Monday, October 16, 2006

Jojon

Akhir-akhir ini saya sering memperhatikan beberapa acara guyon di beberapa saluran TV Indonesia. Salah satu wajah yang sering muncul adalah superstar lawak Indonesia: Jojon. Atau mungkin lebih tepatnya saya menyebut Pak Jojon, megingat usia beliau yang tentu tidak muda lagi. Masih dengan gaya nya yang khas: kumis ala Charlie Chaplin, dan celana kebesaran yang diangkat sampai perut. Dan tentu masih lucu.

Saya tak habis pikir. Jojon hadir menghibur kita sejak saya masih SD hingga sekarang anak2 saya sudah SD. Jojon waktu itu ngetop setelah masa Bagyo cs. Salah satu superstar lawak yang lain. Bahkan sempat kedua group melakukan "duel meet" dengan tampil sepanggung. Pada masa jayanya, Jojon cs sangat ditunggu-tunggu kemunculannya di layar TVRI, satu-satunya saluran waktu itu. Bagaikan hidangan istimewa, oleh TVRI waktu itu biasanya Jojon cs juga dihadirkan pada saat2 istimewa, misalnya pada saat "panggung lebaran". Salah satu celetukan khas yang waktu itu sangat diingat oleh pemirsa adalah bagaimana Jojon dan Cahyono saling memanggil.

Yang diperlihatkan Jojon adalah persistensi dan dedikasi pada pekerjaan yang demikian luar biasa. Di usia nya yang tidak muda lagi, energi nya dalam bekerja sulit ditandingi yuniornya. Pada masa ramadhan saja, saya perhatikan Jojon tampil live di dua saluran yang berbeda, menjelang buka dan menjelang sahur. Jojon yang saya saksikan sekarang, masih sama seperti Jojon dulu yang tampil apa ada nya sebagai pelawak yang sadar akan tugas nya untuk melucu. Termasuk dengan trik-trik "pelecehan" fisik yang dilakukan yunior nya kepada Jojon.

Ini berbeda dengan beberapa pelawak generasi sekarang yang ketika sudah berhasil eksis tak mau lagi disebut pelawak. Malah ada yang barangkali risih dengan sebutan pelawak, menamakan diri sebagai "pengusaha tawa". Terbuai dengan gaya "profesional" semu, dengan kerumitan kantor2an, sekretaris, tim manajemen dan sebagainya. Pelawak yang mustinya melawak tadi malah akhirnya terjebak dalam atribut2 eksekutif, dengan berjas-berdasi selalu tampil bak eksekutif perusahaan. Dan malah tidak lucu lagi. Mungkin lupa dengan kerja kreatif yang harus dilakukan: melawak. Padahal pelawak adalah profesi sebagaimana profesi lain seperti dokter, insinyur atau pengacara. Tugasnya pun jelas: menghadirkan kelucuan bagi konsumen nya.

Dalam keseharian kita pun sering menyaksikan bagaimana kita tidak profesional dengan melupakan profesi kita sebenarnya. Olahragawan yang maunya diperlakukan seperti artis sinetron. Karyawan yang bersikap seperti owner perusahaan. Guru yang lebih senang jualan buku. Dokter yang ngomongnya jadi mirip lawyer. Pejabat pemerintah yang lebih mirip pengusaha. Anggota DPR yang maunya kerja nya mirip eksekutif. dll. Kepada Jojon mereka seharusnya berguru tentang persistensi dan dedikasi kepada pekerjaan.(fr)

Sunday, October 15, 2006

Briatore

Kalau Anda mengikuti balapan F1 pasti kenal dengan sosok flamboyan ini. Selain terkenal dalam keahlian nya mengencani para supermodel kelas dunia, Briatore dikenal sebagai team principal yang sukses mencetak juara dunia. Setelah dulu berhasil mengantarkan sang legenda Michael Schumacher menjadi WDC dua kali berturut-turut saat masih di tim Benetton sebelum akhirnya pindah ke Ferrari, tahun lalu Briatore kembali melambungkan Fernando Alonso menjadi WDC termuda, dan seperti sejarah yang seolah berulang, besar kemungkinan tahun ini Alonso akan memperoleh gelar WDC kedua sebelum pindah ke tim yang lebih kaya, McLaren, tahun depan.

Yang unik dari pribadi Briatore adalah latar belakngnya yang jauh dari dunia balapan, tidak seperti pesaing-pesaingnya seperti Jean Todt (Ferrari) atau Ron Dennis (McLaren) yang sejak awal karirnya memang di balapan. Briatore yang pernah menjadi pelayan ini adalah bekas orang susah yang akhirnya sukses menjadi pengusaha. Ini yang menjadikan Briatore lebih memiliki sisi seorang manager dibanding yang lain. Ditangan Briatore, team Renault pun dikenal sebagai tim yang relatif paling irit dibanding tim lain. Teknisi senior di Renault, atau bahkan pembalapnya digaji jauh lebih rendah dibanding tim-tim pemboros seperti Ferrari, McLaren, Honda atau Toyota. Jika dilihat dari hasil yang diperoleh Renault, dapat kita lihat betapa efisien nya Briatore. Keberanian dan kejelian nya untuk menggunakan pembalap muda juga tergolong nekat. Jika tim lain rela merogoh belasan juta dollar per tahun untuk membajak pembalap yang terbukti sudah jadi, Briatore lebih memilih pembalap muda untuk diorbitkan. Untuk menggantikan Alonso misalnya, Briatore memilih mengajak juara GP2 Heikki Kovailanen yang baru pertama kali membalap di F1 tahun depan.

Tidak seperti principal yang lain yang periuk nasi nya mengandalkan balapan. Selain di F1, Briatore juga sukses dengan bisnis nya menjalankan jaringan klub "Billionaire". Kegilaan dan komitmen nya pada pekerjaan membuat saya berpikir bahwa motivasi dibelakang Briatore adalah uang. Namun saya salah, orang seperti Briatore rupanya sudah tidak memikirkan uang lagi. Seperti yang pernah diungkapkan dalam sebuah wawancara, bagi Briatore, yang penting adalah kepuasan untuk berhasil melaksanakan pekerjaan nya itu sendiri. Bukan uang. Menurut Briatore, uang akan mengikuti dengan sendirinya. Ini berbeda dengan masa-masa dia menjadi pelayan dulu dimana hanya uang yang ia pikirkan.

Ada tiga pelajaran yang saya petik dari sosok Briatore. Pertama, Anda tidak perlu takut dengan kotak-kotak yang diciptakan lingkungan. Dunia sekarang adalah dunia yang rajin membuat kategori, sekat dan stempel. Namun Briatore memberi contoh. Jangan terlalu kaku, terobos saja sekat-sekat nya, dan lakukan yang Anda percaya. Banyak yang awalnya memberi stempel Briatore marketing-guy Benetton, bukan orang balapan. Atau dia lebih cocok ada di "kotak" pengusaha restoran. Ngapain ngurusin balapan. Namun waktu membuktikan, para "darah biru" F1 pun mengakui kepiawaian bekas pelayan restoran ini.

Kedua, sikap untuk fokus pada kualitas pekerjaan, dan bukan hasil akhir berupa uang, merupakan sikap khas orang-orang berhasil. Orang-orang semacam Briatore selalu fokus pada apa yang sedang dikerjakan saat ini dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi, untuk memastikan apa yang dia kerjakan saat itu terlaksana dengan baik. Dan mereka percaya keberhasilan yang sering diukur dengan uang hanya masalah waktu. Orang-orang dengan karakter seperti ini adalah mereka yang pelan-pelan membangun prestasi di sekitarnya, dan menjadi semakin besar.

Pelajaran ketiga, kalau Anda sukses seperti Briatore, biarpun sudah "aki-aki", masih saja diuber supermodel :-) (FR)

Wednesday, October 11, 2006

November 1997

Senin 27 Oktober
Jam 14.00 siang. "Kita berhasil nih Fred!" Sudargo tertawa terbahak2 dibalik meja besarnya. "Bos besar kasih 50 juta dolar lewat sindikasi 5 bank. Biar gak BMPK!". Dihisapnya cerutu besarnya sambil menatap Fredy tajam2. "Kayanya mereka2 baru dapet dana likuiditas dari BI. Jadi Selamet nih perusahaan kita!". Sudargo tertawa lagi sambil menghembuskan asap cerutu. Fredy masih terdiam sedikit bingung. Sejujurnya dia muak dengan lelaki di depannya, di otaknya masih menggantung segudang masalah keuangan perusahaannya akibat ulah Sudargo selama ini. "Lu jangan bengong gitu! Legalitas udah beres. Pengikatan notariil diberesin tadi pagi. Bank kita jadi Lead Arranger jadi gampang. Lu siapin aja escrow account di Bank kita. Notice of drowdown juga udah gue teken sekalian tadi pagi. Lusa dana keluar." Sudargo nyrocos tanpa henti. "Kamis gue mau langsung TT in ke rekening kita di singapur aja lah." Fredy mengangguk pelan. "Sono Lu kerjain. Jangan lupa bawa specimen tandatangan gw. Cuma gue yang boleh keluarin duit!" Fredy berdiri dan keluar dari ruangan Sudargo.

Selasa 28 Oktober
Jam 09.00 pagi. Fredy baru menyalakan komputernya. Ruangan di kantor nya di kawasan bergengsi itu selalu rapi. Sebagai MBA alumni perguruan tinggi terkenal di Australia, di usia nya yang ke 32 tahun dia cukup beruntung sudah menduduki posisi Manager keuangan di perusahaan properti ternama, milik group usaha ternama, yang bahkan memiliki Bank yang cukup disegani. Meskipun lebih muda dari dirinya, Sudargo yang juga keponakan owner group usaha itu adalah direktur dan atasan langsungnya. Fredy teringat pagi itu dia harus segera ke Bank menyerahkan spesimen tandatangan dan copy identitas Sudargo. Fredy bergegas memanggil sekretarisnya untuk menyiapkan berkas2 perusahaan, dan langsung meluncur ke Bank.

Rabu 29 Oktober
Jam 21.30. Fredy baru memarkir mobilnya di garasi rumahnya di daerah Bekasi. Komplek perumahan yang ditempatinya dikembangkan oleh perusahaan tempat dia bekerja. Sebetulnya ini adalah rumah stock perusahannya yang tidak laku dan akhirnya dijual paksa ke para manager dengan memotong gaji. Fredy tinggal sendirian. Hanya ada pembantu yang pulang hari untuk bebersih. Baru 2 tahun Fredy tinggal di Jakarta. Setamat kuliah, dia sempat tinggal di Singapura untuk mendirikan perusahaan IT kecil-kecilan bersama paman nya, AsiaTech Solutions. Sayang pamannya sudah meninggal, sehingga Fredy memilih kembali ke Jakarta. Fredy hendak mengunci gerbang rumahnya, ketika Udin satpam perumahan lewat dengan sepeda nya. "Malem bos. Lembur terus nih. Eh, KTP Bekasi bos yg kemaren saya titipin ke Bibi udah keterima?". "Udah Din. Makasih" Jawab Fredy tersenyum. "Saya yang makasih Bos. Tips nya lumayan." Si Uding nyengir "Eh, saya juga baru tau nama bos aslinya Sudargo".

Kamis 30 Oktober
Jam 10.30 pagi. Fredy baru tiba di ruang kerjanya setelah menyelesaikan urusan pribadi di biro perjalanan langganan. Suasana kantor terlihat aneh. Karyawan bergerombol dan saling berbisik. Sekretaris nya tampak panik. Tiba2 sekretarisnya masuk tanpa permisi. "Pak kata sekretaris nya Pak Sudargo tidak bisa dihubungi, Hape nya tidak aktif! Kata sopirnya di rumahnya juga tidak ada Pak! Kata pembantu nya Tadi malam beliau pergi tiba-tiba" Fredy hanya tersenyum santai, "Oh, mungkin ada keperluan penting sama Bos besar" SMS masuk, nomor tidak dikenal, bunyinya "Fred, ada masalah penting, saya dan bos besar keluar negeri, tahan dulu semua transaksi - S". Fredy terdiam.

Jumat 31 Oktober
Jam 09.30 pagi. Bank itu terlihat sibuk seperti biasa. Fredy menyerahkan PO pengambilan rekening dollar dan instruksi transfer ke teller. "TT ya Pak, ke Singapura?. Mmm .. saya cek dulu ya Pak" Fredy mengangguk. Teller melakukan pemeriksaan rekening dan spesimen tandatangan. "OK Pak, dijalankan hari ini ya? O ya ini nama penerimanya AsiaTech Solutions ya pak? Nomor rekening sudah betul Pak?". Fredy mengangguk.

Sabtu 1 November
Jam 17.00 sore. Fredy duduk santai di apartemen nya di Orange Regency, Singapura. Dibuka laptopnya, dial-up, segera tersambung ke internet. Dilihatnya Berita.com. Berita pertama, pemerintah membekukan 16 Bank. Bank milik Bos besar nampak dalam daftar. Berita selanjutnya, bos-bos konglomerat diberitakan kabur ke luar negeri. Nama bos besar dan Sudargo, ada dalam daftar. Ditulisnya email ke kekasihnya yang tinggal di Perancis "Jemput aku Selasa pagi 4 November di Charles de Gaule airport. Kita akan menikah di Swiss".(fr)

Monday, October 09, 2006

Hari Terakhir

Pria itu menatap layar televisi yang menyiarkan kejadian terakhir di AS. Pemerintah darurat yang terbukti tidak efektif telah dibubarkan, konggres sudah lama bubar, dan bendera kebangsaan sedang diturunkan. Negara2 bagian sudah memutuskan untuk berdiri sendiri, dan masing2 sibuk mengklaim penguasaan atas sumber-daya sisa2 kebesaran AS. Perang saudara diambang pintu, terutama antar negara yang menguasai peralatan militer, termasuk senjata nuklir. Sudah hampir satu tahun kerusuhan dan penjarahan terjadi diseluruh AS, sejak nilai tukar Dollar AS mencapai titik 0. Tidak lebih berharga dari kertas toilet. Dan sejak perusahaan2 besar di AS mengalami kebangkrutan besar yang tidak dapat ditolong lagi yang memicu gelombang pengangguran yang terbesar dalam sejarah.

Pria itu menghela nafas panjang dan menghirup kopi nya. Semoga tidak terjadi perang dan korban jiwa lebih banyak. Dirinya teringat, betapa ide yang semula dianggap mengada2 kini telah mengubah sejarah. Ingatan nya kembali beberapa tahun silam, tentang diskusi nya dengan beberapa rekan dalam berbagai milis bahwa keruntuhan AS nantinya, bukan disebabkan oleh terorisme, tapi dari sistem moneter nya yang dari awal salah. Pria itu selalu mengungkapkan bahwa Dollar AS adalah sesuatu yang tidak real, karena nilai nya hanya ditopang oleh “persepsi” pengguna nya. USD juga tidak kebal terhadap penurunan persepsi atas nilai, dan secara teoritis sangat mungkin untuk tidak memiliki nilai lagi bagi pengguna nya.

Beberapa teman nya yang kini menjadi pakar di berbagai lembaga mulai mengadopsi ide yang dianggap konyol tadi. Dan entah bagaimana, tidak berapa lama di kalangan diplomatik ide tadi menjelma menjadi wacana untuk melepaskan dunia dari ketergantungan moneter terhadap USD. Pada masa itu AS mencapai puncak dominasi nya di dunia, dan dengan mudahnya menguasai wilayah2 kaya minyak di timur-tengah baik secara langsung mau pun tidak langsung. Karena sudah tidak memiliki lawan, isu sentral yang diusung untuk pembenaran kehadiran AS pada waktu itu adalah islamist terrorism.

Akhirnya setelah 2 tahun hanya menjadi wacana, OPEC yang mulai terganggu dengan dominasi AS di kawasan kaya minyak mulai mengadopsi paham baru “non-USD trade mechanism”. Perdagangan minyak tanpa USD. Sebagai gantinya OPEC membuat satuan mata uang yang berbasis cadangan minyak sebagai “jaminan”, yang disebut OBC (oil backed currency). Langkah ini segera menjadi angin segar bagi Euro yang semakin loyo. Negara2 Eropa pun akhirnya hanya menerima Euro sebagai alat transaksi. Satu tahun berjalan, trend “no USD” makin menguat. Negara2 Asia timur dengan dimotori China dan Jepang membentuk mata uang bersama “Asia”. Perdagangan intra kawasan praktis sudah tidak menggunakan USD lagi. Penurunan nilai tukar USD yang terus menerus telah memicu spekulan untuk menghabisi USD tanpa ampun. Pada tahun ke-3 sejak OBC diperkenalkan, akhirnya sistem moneter AS runtuh. Tidak ada lagi yang mau menerima USD diseluruh dunia, termasuk di AS. Perusahaan2 besar di AS sudah kesulitan sejak setahun terakhir satu demi satu dipailitkan. Pengangguran dimana2, dan AS terancam kekacauan besar.

Kepanikan akhirnya melanda pemerintah AS. Ancaman kekuatan militer pun tidak dapat digunakan lagi, karena kini AS menghadapi seluruh dunia. Puncaknya, kerusuhan di dalam negeri akhirnya membuat AS harus menarik angkatan bersenjatanya kembali pulang. Di dalam negeri public AS berulangkali menjatuhkan pemimpin nya, hingga akhirnya negara2 bagian memutuskan pemisahan diri.

Dan kini, negara yang dulu begitu berkuasa itu benar2 secara resmi dibubarkan. Pria itu berulang mengganti saluran berita di televisi nya. Berita yang sama. Direguknya lagi kopi pahitnya. Ada sedikit kesedihan di hati nya, mengingat korban yang mungkin timbul, dan kekacauan yang lebih luas. Ah, aku hanya orang sederhana nun jauh di Bandung sini. Apakah betul “kepak sayap kupu2” di Bandung sini dapat menjadikan angin topan di ujung dunia sana. Dibuka nya laptop nya, dibacanya kembali blog nya lima tahun lalu, tentang Hari Terakhir sebuah negara besar bernama Amerika Serikat. (fr)

Bubur Merah Putih

Beberapa waktu yang lalu saya secara tidak sengaja mendengar obrolan segerombolan manusia di lift. Inti nya, caci maki dan sumpah serapah kepada Ibu Pertiwi Indonesia. Dari pakaian nya, cara ngomongnya yang ¼ Inggris dan ¾ Bahasa Indonesia, kesimpulan saya mereka cukup terpelajar, mungkin pernah sekolah atau tinggal diluar negeri, atau paling tidak sering ke luar negeri. Karena dikit2 ada ucapan, “gak kaya disono ..” Saya pengen ngomong banyak sama mereka, tapi keburu keluar lift. Ini yang ingin saya ungkapkan:

Saya sendiri gak sering2 amat keluar negeri, dan asli orang kampung. Waktu lahir dan dikasih nama, orang tua saya membuat bubur merah-putih. Saya juga ingat, dulu Ayah saya mengikatkan kain merah-putih di palang kayu penyangga atap rumah. Entah apa maksudnya, tapi ini barangkali yang membuat saya memiliki pandangan yang sungguh berbeda.

Indonesia sebagai negara memang sedang menghadapi banyak masalah. Tapi bukankah kita harusnya menjadi bagian dari solusi masalah yang sedang kita hadapi, dan bukan sekedar berkoar2 mencaci maki? Kalau merasa republik ini korup, mulailah dari diri kita untuk tidak korup, dan jangan segan menolak korupsi. Kalau merasa disini banyak pengangguran, ya bantulah ciptakan lapangan kerja, bukan mengemis kerjaan. Kalau merasa disini lalu-lintas semrawut, ya ayo mulai tertib dari diri kita sendiri. Kalau menurut kita pemerintahan dan lembaga perwakilan nya masih “geblek” ya pilihlah orang2 terbaik dalam pemilu. Atau, Anda sendiri merasa cukup hebat, ya majulah jadi politikus.

Saya masih memiliki mimpi bahwa suatu saat kita akan keluar dari kesulitan dan menang. Ini bangsa besar dan hebat. Setiap mendengar orang mencaci-maki republik ini, saya teringat leluhur saya yang banyak menderita dijaman clash ke II dengan Belanda. Namun penderitaan mereka, dan jutaan lagi relawan yang telah berkorban nyawa dan harta demi berdiri nya negara republik Indonesia ini, seolah tidak ada artinya bagi para pecundang yang cuma bisa ternganga2 pencapaian orang lain dan lantas menghina bangsa sendiri. Anda bisa tebak jaman leluhur2 kita berjuang untuk merdeka dulu orang2 model begini pada kemana. Barangkali sekarangpun kalo kita dijajah lagi, pasti mereka akan duluan menyeberang jadi orang2nya penjajah. Lha wong enak, jadi budak nya negara maju yg dikagumi. Itulah mental inlander, kalo dengan orang asing dan yang serba asing, akan „munduk-munduk“, kalo sama orang sendiri akan merendahkan.

Saya tidak anti-barat, timur, negara besar atau apapun. Saya bekerja sama juga dengan banyak perusahaan dari US, UK, Australia, dan semuanya baik2 saja. Saya paham sepenuhnya kita hidup dalam komunitas global. Tentu saja saya juga senang mengkonsumsi makanan, pakaian, buku, karya seni, musik dsb karya dari negara lain. Saya juga kagum dengan kemajuan2 yang lebih dahulu dicapai negara lain. Namun kekaguman2 tadi tidak membuat saya merasa perlu untuk merendahkan diri sendiri. Saya juga tidak dalam posisi pro-pemerintah. Sejak jaman mahasiswa dulu hingga kini, saya juga senang dengan satire, kritikan, atau bahkan ledekan atas kerja pemerintahan negara kita yang memang sering tidak bagus. Tapi tidak dengan semangat merendahkan orang lain ataupun diri sendiri.

Saya juga sepakat banyak sekali yang harus dibenahi. Tapi kalau Anda cinta, Anda akan berusaha membenahi, bukan mencaci. Kalau cat rumah atau rumput di halaman Anda kalah dengan rumah tetangga, ya mari kita cat dan tanam rumput baru, bukan kagum2 melulu sama rumah orang lain. Atau Anda pikir pemerintah ataupun undang2 kita perlu diganti? Ganti lah melalu koridor demokrasi yang sudah kita sepakati.

Tapi kalau ternyata Anda bener2 sudah gak suka dengan negara sendiri, ya gak usah dipaksain. Saran saya juga jangan juga main cela. Nanti Anda yang makan hati. Kalau mau, ya sana “resign” saja sebagai warga negara Indonesia. Silakan apply jadi WN di tempat yang Anda kagumi, dan good luck. Siapa tau Anda jadi orang hebat disana. Banyak kok, teman saya yang tujuan hidupnya adalah memiliki status permanent resident di negeri orang. Atau kalau mau jalur cepat, minta dikawinin aja sama orang asing dan dibawa kesana. Itu satu pilihan hidup yang saya hormati juga. Setelah itu Anda akan tenang dan bebas merdeka tidak perlu memikirkan masalah2 Republik Indonesia lagi. Bagaimana kalau banyak yang mau pindah? Ya tidak apa2. Gak usah dihalangi, itu hak mereka. Anggaplah seleksi alam.

Kalau saya? Saya lebih suka disini. Dan bersama orang2 yang tersisa dan masih satu mimpi, kelak akan menjadikan negara ini besar dan hebat. Kalau saya belum bisa juga, akan saya wariskan semangat ini ke anak2 saya. Siapa tahu Anda kelak terkagum2 dengan negara kami (fr)