Thursday, January 10, 2008

Sebatang Paku

Karena sebatang paku terlepas, lepaslah sepatu kuda;

Karena sepatu terlepas, terjatuhlah kuda;

Karena kuda terjatuh, pesan tidak terkirim ke garis depan;

Karena pesan tidak terkirim, pasukan kalah perang;

Karena kalah perang, jatuhlah sebuah negara!

Untaian kalimat bijak di atas adalah sebuah ungkapan lama, yang konon aslinya dari cerita Jepang. Mungkin Anda juga pernah membaca dalam berbagai versinya. Pertama kali mendengar saya langsung terkesan dan kemudian terus teringat. Bagaimana mungkin sebatang paku bisa menjatuhkan sebuah Negara? Bagaimana sebuah hal "sepele" ternyata membawa konsekuensi yang demikan besar?

Pada tahun 1994 ketika Rudy Giuliani mulai menjadi walikota New York City, angka kriminalitas di NYC sangat tinggi. Pada kurun waktu 1994 hingga 2001, statistik menujukkan bahwa angka kriminalitas di NYC menurun sangat drastis. Bagaimana Rudy Giuliani melakukannya? Apakah dengan melakukan operasi perburuan kriminal besar-besaran a la film Hollywood? Bukan. Giuliani dan tim kepolisian NYPD berhasil menurunkan tingkat kriminalitas dengan memperbaiki "jendela pecah". Ini serius. Inilah yang oleh kriminolog disebut teori "broken windows".

Asumsi nya begini, jendela pecah yang dibiarkan menimbulkan kesan bahwa sebuah rumah sudah tidak ada yang mengurus atau tidak ditinggali. Ini akan mendorong vandalisme dan tindakan anarki berikutnya. Misalnya memecah jendela yang lain, dinding yang dicoreti graffiti, hingga akhirnya lingkungan menjadi tempat nongkrong berandalan, dan seterusnya. Ini yang secara akumulatif menjadikan angka kriminalitas demikian tinggi. Sehingga untuk menurunkan kriminalitas harus dimulai dari hal kecil, seperti memperbaiki jendela pecah tadi. Menurut Giuliani: "You had to pay attention to small things, otherwise they would get out of control and become much worse." Giuliani memperhatikan hal kecil, memperhatikan "paku di sepatu kuda" nya supaya tidak lepas.

Para pengusaha sukses umumnya juga dikenal sebagai orang-orang yang sangat memperhatikan hal kecil. Pengembang waralaba McDonald's Ray Kroc terkenal memiliki obsesi yang luar biasa terhadap kecepatan dan kebersihan. Anda boleh berdebat soal rasa burger McDonald's, tapi siapapun pasti terkesan dengan kecepatan pelayanan dan kebersihan restoran McDonald's. Howard Schultz, orang yang berhasil mengembangkan Starbuck menjadi kedai kopi terbesar di dunia juga sangat memperhatikan detail. Tahun lalu Schultz, sebagai chairman, menulis memo nya yang mengkritik para eksekutif Starbuck yang kurang memperhatikan hilangnya "Starbuck Experience", misalnya mesin expresso yang menghilangkan keakraban dengan customer, packaging biji kopi yang mengutamakan kesegaran namun menghilangkan aroma, hingga desain outlet. Tahun ini Schultz kembali menjadi CEO, dan kita akan lihat apa gebrakannya. Pendiri Apple, Steve Jobs mungkin adalah satu-satu nya pemimpin perusahaan teknologi beromset milyaran dollar, yang masih ikut mendesain sendiri rancangan tangga pada outlet-outlet Apple. Perhatiannya pada hal detail yang sering dianggap sepele sangat luar biasa. Hingga hari ini, kalau membicarakan produk Apple, entah itu komputer, iPod hingga iPhone, mau tidak mau Anda akan mengakui desainnya yang sangat inofatif, efisien, stylish dan elegan.

Dengan menyadari bahwa hal kecil dapat berdampak besar, kita juga dapat mulai belajar untuk menjadi seperti Giuliani, Ray Kroc, Howard Schultz ataupun Steve Jobs. Sekalipun usaha atau organisasi kita belum sebesar mereka. Ada empat hal sederhana yang dapat kita terapkan:

Segera Perbaiki

Teori "broken windows" sangat relevan dalam kehidupan kita sehari-hari. Coba perhatikan seisi rumah Anda. Adakah keran air yang bocor tapi belum diperbaiki? Adakah lampu yang mati tapi belum diganti? Adakah atap yang bocor belum diperbaiki? Adakah selokan yang mampet belum dibersihkan? Dst. Kalau menurut teori "broken windows", maka kerusakan kecil seperti itu harus segera diperbaiki, karena dapat mendorong kerusakan yang lebih besar. Yang ujung-ujung nya biaya yang lebih besar. Seringkali rantai kerusakannya diluar dugaan kita. Misalnya, kebocoran keran air ternyata memicu kerusakan pompa air, kerusakan pompa air memicu hubungan pendek dan listrik mati, listrik mati mendadak memicu rusaknya kulkas, dst. Lho kok lancar ya menceritakannya? Soalnya ini pengalaman pribadi, hehehe …

Kalau dalam bisnis, kerusakan kecil yang tidak diperbaiki juga menggambarkan kondisi organisasi Anda. Pernahkah Anda datang ke sebuah kantor atau toko yang lampu neonnya terus berkedip-kedip dan tidak diperbaiki, atau plafond atapnya sudah jebol namun dibiarkan. Bagaimana perasaan Anda? Pasti sangat tidak nyaman berada disana. Orang akan berpikir, memperbaiki hal-hal kecil saja tidak bisa, apalagi hendak berurusan dengan hal-hal yang lebih besar.

Ciptakan Standar

Sebagai penggemar makanan enak, saya memiliki beberapa tempat makan favorit. Beberapa diantaranya sudah menjadi langganan saya sejak saya masih kuliah. Beberapa waktu yang lalu saya mampir di salah satu warung sate langganan saya dulu. Ternyata rasa nya sudah sangat berubah. Saya amati memang generasi yang mengurus warung tadi juga sudah berganti. Dan generasi penerus rupanya tidak mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pelopornya dahulu. Seperti halnya dalam "process industry", menciptakan makanan enak yang konsisten itu ada standar baik dalam bahan atau prosesnya. Sama-sama membuat sate, tapi dengan mengganti merk kecap, mengganti arang dengan pemanggang lain, atau menambah waktu memanggang sedikit saja, hasil akhirnya bisa jauh berbeda.

Untuk menghidari perubahan-perubahan kecil yang dapat berdampak besar, maka diperlukan standar. Standar tadi tidak cukup hanya di mulut saja, namun sebaiknya di dokumentasi kan dengan baik, supaya dapat menjadi referensi tetap. Tidak perlu dokumentasi yang canggih-canggih, yang penting standar pekerjaan terdokumentasi dan dapat dikomunikasikan dengan mudah. Perusahaan yang sudah mewaralabakan usaha nya, sangat pandai dalam hal ini. Tidak hanya standar dalam pembuatan produknya sendiri, namun hingga standar kebersihan dan standar perilaku karyawan. Semua sudah diatur berapa kali lantai harus dipel, berapa kali toilet harus dibersihkan dsb, hingga bagaimana cara menyapa pelanggan. Di beberapa perusahaan yang sangat memperhatikan pelanggan, bahkan diatur berapa kali harus menyapa pelanggan dengan sebutan nama.

Semua Terlibat

Memastikan bahwa tidak ada "paku yang terlepas" bukan hanya pekerjaan satu orang saja. Namun butuh keterlibatan semua pihak, dari pemilik usaha hingga anggota tim terbawah. "Ignorance" adalah awal dari terjadinya paku yang terlepas. Jika ada yang menemukan kerusakan atau kejadian diluar standar, siapapun orangnya, harus segera mengambil tindakan. Mentalitas "ah cuma begitu doang" harus dibuang. Biasanya pemilik usaha adalah pihak paling rewel karena rasa memiliki yang besar. Ray Kroc semasa hidupnya mengepel sendiri restorannya. Saya pernah melihat pemilik usaha travel terbesar di Bandung, yang memiliki ratusan karyawan, pagi-pagi sedang merapikan counter. Tapi pemilik usaha tidak selamanya bisa berada di lokasi usaha. Jadi anggota tim di semua lini harus memiliki keterlibatan yang sama.

Terbuka Terhadap Kritik

Kritik, baik dari diri kita sendiri, sesama anggota tim, apalagi dari pelanggan, merupakan cara terbaik mengetahui adanya "paku yang akan lepas". CEO Starbuck Howard Schultz memberi contoh otokritik yang sangat baik. Saya pernah mendapat kritik tajam dari salah satu klien kami, karena panggilan ke support center kami (kebetulan) di angkat oleh seorang office boy. Hal tersebut tidak dapat diterima, karena seharusnya operator yang menerima telpon adalah orang yang mengetahui persoalan, dan dapat melakukan tindak lanjut. Hal ini masuk akal. Kritik tersebut menjadi masukan yang sangat berharga bagi kami dalam meningkatkan mutu layanan kami, sebelum kejadian yang sama membuat klien lain merasa tidak nyaman.

Bagaimana dengan Anda? Apakah ada sebatang paku di sepatu kuda Anda yang hampir terlepas? Ayo segera perbaiki! (FR)

Monday, January 07, 2008

Simple-ology

Berapa di antara Anda yang pernah punya keinginan memiliki perusahaan IT yang sukses? Saya duga cukup banyak. Saya termasuk diantaranya. Apalagi sewaktu boom dot com pertengahan 90 an dulu, hampir setiap anak kuliahan terinspirasi untuk menjadi seperti Bo Peabody, founder Tripod.Com yang pada tahun 1997 sukses menjual perusahaanya senilai $ 58 juta (hebatnya lagi Tripod waktu itu belum pernah untung).

Namun kalau kita perhatikan, dari mungkin sekian juta orang di dunia yang ingin memiliki perusahaan (berbasis) IT yang sukses, maka hasilnya bisa sangat berbeda, misalnya:

  • Pertama, ada yang tidak pernah memulai membuat perusahaan IT sama sekali.
  • Kedua, ada yang kemudian membuat perusahaan IT, namun tidak berhasil, dan berhenti.
  • Ketiga, ada yang malah menekuni dan mengerjakan hal-hal lain. Dan setiap malam merenung, kenapa saya tidak memiliki perusahaan IT yang sukses.
  • Keempat, ada yang betul-betul membangun perusahaan berbasis IT, sukses besar dan kaya raya seperti Bill Gates (Microsoft), Jeff Bezos (Amazon), Larry Page & Sergey Brin (Google), dsb.

Dari satu keinginan yang sama, yaitu membangun perusahaan IT yang sukses. Ternyata hasilnya akhirnya bisa berbeda-beda. Mengapa?

Mark Joyner memberikan cara pandang menarik dalam bukunya yang sangat luar biasa: "Simple-ology: The Simple Science of Getting What You Want". Sederhana nya begini, menurut Joyner, kita seringkali tidak berhasil mewujudkan apa yang kita inginkan karena mengabaikan hukum pertama dari simple-ology, yaitu: "jarak terdekat dari dua titik adalah sebuah garis lurus".

Dalam teori sungguh simple bukan? Namun dalam praktek, kenyataanya memang kita sering melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan utama yang ingin kita capai. Ibaratnya bukannya membuat garis lurus yang tegas diantara dua titik, kita seringkali malah membuat garis berbelok-belok, memutar kesana kemari tidak menentu. Ketidak-sederhana-an ini yang seringkali akhirnya membuat kita lupa tujuan kita sebenarnya.

Saya punya teman yang sedang membangun usaha jasa konsultan. Bersama tim mereka yang terdiri dari sejumlah pakar bergelar Doktor, Master dengan sertifikasi professional yang berderet, saya nilai usahanya cukup potensial. Apalagi knowledge yang dimiliki teman saya tadi tergolong sangat dicari perusahaan-perusahaan besar dewasa ini. Sayangnya usahanya hingga lebih dari satu tahun kurang berkembang. Yang membuat saya heran, setiap saya bertemu dengan teman saya tadi, topik pembicaraan yang dibicarakan selalu itu-itu saja: masalah ruangan untuk kantor. Rupanya, bagi teman saya tadi, membangun perusahaan jasa konsultan berarti memiliki ruangan kantor yang representatif dan nyaman di lokasi strategis. Sehingga, selalu saja masalah ruangan kantor menjadi "topic of the month" di perusahaan mereka. Mulai dari mencari lokasi, memilih diantara berbagai alternative lokasi, kemudian masalah renovasi, memilih furniture, warna cat yang sesuai corporate color, dsb. Hal-hal yang menurut saya jauh dari relevan dengan upaya menjual jasa mereka.

Padahal kalau mau menjual jasa konsultasi menurut saya ya straight to the point saja: Berjualanlah ke calon klien yang butuh dan punya uang. Dapatkan kontraknya. Kerjakan projectnya. Kemudian tagih uangnya. Mission accomplished. Simple. Bagaimana dengan ruang kantor? Siapa yang butuh ruang kantor kalau sebagaian besar waktu kita habiskan di lokasi klien. Bagaimana dengan alamat yang representative? Haloo … kemana saja?, apakah Anda belum pernah mendengar "virtual office" yang siap disewa di lokasi-lokasi terbaik di Jakarta? Bagaimana kalau mau meeting? Ini lebih mudah lagi, percayalah, klien lebih senang meeting di kantornya. Wah jadi tidak usah investasi bangunan, ruangan, peralatan kantor?. Lha kok enak? Ya memang jadi konsultan itu enak, bayarannya gede lagi, hehehe …

Point nya adalah, dengan berpikir menurut "prinsip garis lurus" tadi, hal-hal yang tidak secara langsung relevan dengan bagaimana menghasilkan uang kita kesampingkan dulu. Meskipun contoh di atas adalah usaha jasa konsultan, prinsip ini umum, sehingga Anda bisa aplikasikan dalam model bisnis Anda sendiri.

Anda dapat menyederhanakan banyak hal, dengan mengacu pada 3 kesederhanaan (simplicity) berikut ini:

Simplicity in Purpose

Anda dapat meninjau kembali tujuan Anda. Jangan-jangan tujuan Anda sendiri sudah njlimet. Analogi paling mudah adalah program komputer. Setiap program komputer yang terinstal di komputer Anda ditulis dengan tujuan tertentu. Misalnya, MS Word untuk word-processing, MS Excel untuk spreadsheet, MS PowerPoint untuk membuat presentasi dan MS Internet Explorer untuk membaca blog saya, (hehehe ... tentu boleh juga kalau mau dipakai untuk sekedar browsing). Setiap baris kode program-program tadi ditulis sesuai dengan tujuan pembuatan program tadi. Bagaimana jika tujuan-tujuan tadi mencoba ditumpuk bersama? Bisa dibayangkan penulisan programnya harus banyak berkompromi dengan berbagai tujuan tadi, sehingga yang dihasilkan adalah program yang tidak "lean" dan tidak efisien.

Simplicity in Method

Mungkin tujuan Anda sebenarnya cukup sederhana: Pergi ke dari Jakarta ke Bandung. Namun banyak cara menuju Bandung. Anda bisa menggunakan mobil lewat jalan tol Cipularang, menggunakan kereta api lewat stasiun Gambir, menggunakan pesawat terbang lewat Bandara Soekarno-Hatta. Hmmm … karena sekarang sudah tidak ada flight Jakarta – Bandung, maka Anda bisa gunakan flight Jakarta – Surabaya, dan Surabaya – Bandung. Metoda mana yang paling simple? Anda pasti bisa menjawabnya.

Simplicity in Execution

Katakanlah tujuan Anda sudah cukup sederhana. Metoda yang Anda pilih juga adalah yang paling sederhana. Namun, masih ada satu jebakan lagi, yaitu kerumitan dalam eksekusinya. Bertahun-tahun yang lalu, saya (yang waktu itu masih berusia 20 tahun) pernah menjadi seksi perlengkapan dalam sebuah acara di kampus. Kami ingin membuat acara yang sederhana. Dengan panggung sederhana, dan backdrop sederhana dengan sebuah tulisan yang sederhana. Jenis huruf dan bahan pun sangat sederhana. Kami membuat huruf-huruf dari karton yang digunting. Simple dan cepat sekali bikinnya. Yang tidak sederhana ternyata adalah bagaimana melekatkan tulisan2 tadi di dinding belakang panggung! Ternyata susah sekali. Saya bahkan masih melekatkan huruf-huruf terakhir ketika tamu-tamu mulai berdatangan. Rasa malu nya betul-betul tidak sederhana.

Mark Joyner masih memiliki 4 prinsip lagi dalam Simple-ology. Tapi yang paling penting adalah "prinsip garis lurus" di atas. Lagipula tulisan ini pun saya maksudkan untuk sederhana. Sehingga meskipun masih banyak yang ingin saya sampaikan, terpaksa harus saya akhiri supaya tetap sederhana. Ah, jangan berlama-lama membaca, silakan mencoba menerapkan Simple-ology. (FR).

Tangan (Tetap) Di Atas

Jim Braddock adalah petinju yang sama sekali tidak diunggulkan. Lawan dalam pertarungan saat itu adalah Max Baer, juara dunia kelas berat yang demikian ganasnya sampai pernah menewaskan dua lawan sebelumnya. Sementara Jim bertinju sekedar untuk bertahan hidup, bahkan sering sekedar untuk dapat menyediakan makan malam bagi keluarganya. Amerika Serikat di awal tahun 30-an adalah masa "great depression" dengan puncaknya kejatuhan pasar saham tahun 1929. Dampaknya langsung dirasakan James Braddock dan keluarganya. Petinju yang sangat berbakat itupun harus lebih sering bekerja sebagai kuli di galangan kapal daripada berlatih tinju. Namun, melawan Max Baer yang diunggulkan 10 : 1, ternyata James mampu bertahan, bahkan kemudian memenangkan pertarungan 15 ronde yang sangat ketat dan brutal. James Braddock kemudian tercatat sebagai juara dunia tinju kelas berat dari tahun 1935 hingga 1937.

Dibalik keberhasilan Jim, adalah Joe Gould, manager dan sahabat Jim yang selalu memompakan semangat kedalam diri Jim. Padahal kehidupan Joe sendiri juga bukanlah tanpa persoalan. Meskipun tinggal di apartemen berkelas dan selalu tampil selayaknya manager sukses, Joe sebenarnya dalam kondisi nyaris bangkrut. Apartemen mewahnya, ternyata di dalamnya sudah kosong nyaris tanpa perabotan. Ada satu kalimat dari Joe Gould yang menjelaskan mengapa sekalipun dalam kondisi bangkrut, Joe, dengan pakaian yang selalu rapih, terus berusaha bernegosiasi memperoleh pertandingan yang baik untuk Jim. Kalimat yang sama, yang selalu diingatkannya kepada Jim, agar dapat bertahan dari gempuran pukulan lawan. Yaitu, "Always keep your hands up.". Jaga tanganmu tetap di atas!

Demikianlah kisah nyata perjalanan hidup James Braddock, yang diceritakan dalam film Cinderella Man yang dibintangi Russel Crowe.

Menjalankan bisnis bagi saya ada persamaanya dengan perjuangan petinju di atas ring. Butuh keberanian dan perjuangan untuk mendapat kesempatan bertanding di atas ring. Namun butuh perjuangan yang lebih besar lagi untuk dapat bertahan di atas ring. Butuh perjuangan untuk memulai usaha. Namun jangan lupa, akan perlu perjuangan yang lebih keras lagi untuk membuat usaha Anda bertahan.

Paling tidak demikianlah pengalaman saya. Pada masa awal memulai usaha, sama seperti kebanyakan pengusaha pemula, semangat saya begitu berkobar. Namun dalam beberapa bulan, ketika cash outflow selalu lebih besar dari cash inflow, dapat Anda bayangkan, usaha saya dengan cepat berubah menjadi petinju kurang tenaga yang hanya dapat berjalan seperti zombie. Pukulan-pukulan tajam dari kreditor yang datang menagih, mulai terasa sangat menyakitkan. Apalagi pukulan-pukulan balasan dalam bentuk usaha penjualan yang sekuat tenaga coba saya lontarkan dengan sisa tenaga, hanya mengenai tempat kosong, alias gagal total. Ibarat petinju, usaha saya sudah terpojok di sudut ring, dan yang bisa saya lakukan hanyalah menjaga "tangan tetap di atas", agar tidak terkena pukulan mematikan. Seperti kata Joe Gould, "Always keep your hands up."

Kalau dalam bisnis, konkretnya seperti apa "menjaga tangan tetap di atas" tadi. Tentu dapat berbeda-beda tergantung situasi yang Anda hadapi. Kalau dalam kasus saya dahulu, ada tiga hal yang saya lakukan untuk dapat bertahan di atas ring bisnis saya. Tiga prinsip yang saya sebut sebagai prinsip "Tangan Tetap di Atas".

Tidak pernah lari. Tidak pernah bersembunyi.

Ketika Anda memiliki kewajiban usaha, Anda pasti dicari-cari orang. Cara mudah yang paling sering ditempuh adalah "menghilang". Mulai dari tidak mengangkat telpon, berganti nomor telpon, tidak merespon surat, email, selalu tidak ada di rumah, hingga ekstrimnya pindah tempat tinggal. Apakah masalahnya kemudian selesai? Bisa ditebak, biasanya malah lebih parah, karena pihak lain yang semula masih mau bicara baik-baik, kini sudah kehilangan kesabaran. Lebih buruk lagi, dengan sulit dihubungi, tidak mau menerima telpon, atau bahkan menghilang, maka peluang-peluang pun ikut pergi. Ketika punya masalah, memang setiap kali telpon berdering, kadang membawa beban ketakutan. Namun, siapa tahu kalau yang menelpon adalah orang yang akan memberi order, bukan debt collector? Lagipula tidak ada alasan untuk lari, karena toh yang kita hadapi manusia juga, yang masih memiliki hati nurani dan rasa hormat kepada sesama manusia.

Sewaktu menghadapi masalah, memang selalu ada godaan untuk diam merenung di rumah. Kalau buat saya ini malah menambah stress. Untuk menghilangkannya saya memilih untuk selalu melakukan sesuatu pekerjaan setiap hari. Saya ingat, dulu setiap pagi saya membuat catatan apa yang akan saya lakukan hari ini, siapa yang akan saya telpon, siapa yang akan saya temui. Dan saya kadang kaget sendiri karena jadwal saya luar biasa padat. Begitu banyak orang yang saya temui, bahkan kadang sekedar meeting-meeting tidak penting. Paling tidak bertemu orang membuat saya tidak memikirkan "masalah" lagi, bahkan kemudian terbukti pertemuan-pertemuan tadi membawa peluang-peluang baru.

Lihat fakta, bukan opini.

Dalam masa sulit, maka biasanya penilaian kita akan dikaburkan oleh opini. Sewaktu upaya-upaya penjualan saya tidak membawa hasil, sementara kewajiban semakin menumpuk, yang mengemuka di pikiran saya adalah opini, bahwa saya nyaris bangkrut, bahwa bisnis saya sudah "habis", bahwa saya punya banyak hutang, dan sebagainya. Semuanya hanyalah opini. Yang segera masuk ke perasaan, dan terasa sangat berat. Padahal ketika saya mencoba mengurai fakta nya, maka situasinya lebih mudah dipahami dan dicari penyelesaiannya. Dan fakta dalam bisnis adalah angka-angka rupiah yang mudah dihitung. Saya kemudian mengesampingkan opini dan perasaan, dan masuk ke dalam detil angka. Berapa rupiah kewajiban saya, berapa rupiah piutang saya di luar, berapa rupiah saya bisa mendapat pinjaman pihak lain. Atas dasar analisa angka-angka tadi, saya dengan mudah dapat menawarkan solusi kepada kreditor untuk membayar kewajiban secara bertahap. Fakta berupa angka-angka tadi menjadi panduan yang sangat baik untuk segera keluar dari masalah.

Hanya memikirkan peluang.

Pada awalnya ini mungkin bentuk dari pelarian saja. Karena berpikir tentang peluang jauh lebih menyenangkan daripada memikirkan persoalan. Jadi saya lebih suka memikirkan peluang-peluang dibanding masalah yang waktu itu saya hadapi. Pada masa sulit, saya telah menyusun puluhan proposal dan melakukan puluhan presentasi, sekalipun tidak semua membawa hasil. Dan ajaibnya, memikirkan peluang dan selalu melakukan sesuatu setiap hari, ternyata menarik lebih banyak ide, peluang dan orang, yang kemudian sangat membantu dalam bisnis saya. Dan ketika peluang berhasil kami wujudkan dalam bisnis yang nyata, yang menghasilkan cash inflow, maka masalah selesai dengan sendirinya.

Demikian tiga prinsip sederhana yang dulu pernah membuat saya bertahan untuk tidak KO. Semoga mengilhami Anda untuk memiliki prinsip sendiri agar selalu dapat menjaga "Tangan Tetap di Atas", tidak peduli seberat apapun pukulan-pukulan yang Anda hadapi di atas ring bisnis Anda. (FR).