Friday, April 04, 2008

Butterfly

Secangkir kopi hitam, 2 potong lupis ketan, dengan taburan parutan kelapa dan gula merah cair. Pagi ini terhidang di depan saya. Saya sebenarnya sudah tidak minum kopi lagi. Tapi pagi ini setelah meeting di salah satu customer saya, tiba-tiba saya ingin nostalgia di kantin di dekat tempat parkir ini. Lima tahun lalu saya sering berada di kantin ini. Waktu itu perusahaan saya adalah perusahaan OMAC (One Man Army Corp). Saya adalah direktur, salesman, implementor, merangkap bagian penagihan. Lima tahun lalu, saya bolak-balik presentasi, melakukan implementasi dan menagih pembayaran, dengan segala dokumentasinya yang suka bikin senewen. Dan kantin ini adalah tempat mangkal saya.

Kopi nya masih hitam kental. Saya cuma berani menyeruput sedikit. Dan rasanya masih mantap. Lupis nya jangan tanya. Legit dan gurih. Lima tahun lalu, lupis ini adalah sarapan rutin saya kalau sedang ke customer saya ini. Tapi suasana dalam kantin sudah sangat berubah. Dulu kantin ini kecil, sempit, pengap dan gerah. Sekarang sudah diperluas, lega, dan jendela kaca nya besar. Cat nya pun bagus dan menarik. Lengkap degan musik yang mengalun pelan dari sound system sederhana. Lebih mirip kafe. Ah, rupanya sang pemilik kantin paham betul dengan adagium: "Change is the only constant". Satu-satu nya hal yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Lingkungan di seputar gedung customer saya itupun sudah berubah. Semakin banyak karyawan yang mampir ke kantin tadi. Dan kantin tadi menyambut perubahan tadi dengan perubahan.

Bahkan perusahaan saya yang dulu OMAC pun sudah berubah. Kini saya bisa duduk santai makan lupis, sementara staff saya masih di dalam melakukan tindak lanjut hasil meeting tadi pagi. Dulu, harus saya sendiri yang melakukan semuanya. Saya hirup sedikit lagi kopi saya. Sudah lebih dari 2 bulan saya tidak minum kopi. Kafein segera terserap dan merambat ke otak saya. Rasanya segar dan nikmat sekali. Alhamdulillah. Saya mengucapkan syukur kepada yang memberi saya kehidupan. Saya merasa tenang dan bersyukur.

Pandangan saya tertuju ke pot tanaman di depan jendela kantin. Tanaman sejenis bougenvile itu lima tahun lalu masih kecil. Tapi kini sudah besar. Pot nya terlalu kecil sehingga pecah, tidak sanggup menahan desakan akar tanaman. Tanahnya berserakan kemana-mana. Pohon itu berubah. Pot nya tidak bisa berubah. Pot tanaman pun pecah, karena tidak bisa menanggapi perubahan dengan perubahan.

Di pucuk tanaman tadi saya lihat ada kupu-kupu indah terbang melintas. Tiba-tiba kantin terasa senyap dan dingin. Musik pelan terdengar mengalun, sebuah lagu baru yang saya kurang familiar terdengar. Dari soundtrack film mungkin. Ah, penyanyinya Melly Goeslaw. Sebait lirik tertangkap di telinga "Butterfly fly away so high, As high as hopes I pray …" Oh, saya tahu judulnya Butterfly. Kupu-kupu. Tepat ketika saya mengamati seekor kupu-kupu. Adakah sebuah pertanda? Adakah ini isyarat yang harus saya tangkap maknanya? Tuhan memang suka bermain teka-teki. Saya merinding. Dan buru-buru menyeruput kopi lagi.

Kupu-kupu adalah makhluk luar biasa. Bayangkan, dari ulat yang menjijikkan, mampu bertransformasi menjadi makhluk yang demikian indah. Dari binatang yang hanya bisa bergerak lamban. Menjadi makhluk yang lincah terbang kesana kemari. Kupu-kupu adalah simbol perubahan yang positif. Perubahan menjadi yang lebih baik. Perubahan. Adakah saya siap dengan perubahan? Mata saya beralih ke interior kantin yang sudah berubah. Saya menatap pot yang pecah karena tidak berubah. Perubahan. Saya harus siap dengan perubahan.

Saya tidak selalu siap dengan perubahan. Anak pertama saya mulai beranjak remaja. Sikap dan perilaku nya tidak seperti waktu dia masih anak-anak. Sekarang dia sudah berani memiliki pendapat sendiri, berani mengutarakan keinginan sendiri, berani menentukan pilihan sendiri. Tidak jarang kami berbeda pendapat. Kadang saya bertanya, dimana bayi manja yang dulu saya gendong-gendong itu? Tapi itulah hidup. Anak saya berubah. Saya juga harus berubah. Kalau tidak bisa pecah seperti pot tanaman di depan kantin tadi.

Customer saya juga berubah. Organisasi mereka juga tumbuh. Tuntutan nya sudah berbeda dengan jaman saya masih OMAC dulu. Mereka kini menuntut layanan yang sangat lengkap dan professional. Saya harus mengandalkan tim untuk melayani mereka. Tidak bisa one man show lagi. Perusahaan saya harus ikut berubah, atau ditinggalkan oleh customer kami.

Kadang-kadang perubahan terjadi terlalu tiba-tiba, atau tidak menyenangkan kita. Unexpected change ini paling sering terjadi di dunia bisnis. Di bisnis software juga sering terjadi. Principal yang tiba-tiba merger dan tidak bekerjasama dengan kita lagi. Revisi harga secara tiba-tiba, sementara kita masih menawarkan ke customer dengan harga lama. Dan sebagainya. Bagaimana menyikapinya? Kalau saya dengan berusaha mencari sisi baiknya. Awan yang gelap selalu memiliki "silver lining". Saya pernah "bercerai" dengan suatu principal. Awalnya memang saya tidak terima, karena merasa di-zalimi. Tapi rupanya perceraian tadi adalah jalan bagi saya untuk bertemu dengan principal yang lebih baik. Kadang perubahan adalah jawaban dari doa-doa kita di waktu malam. Meskipun cara nya tidak selalu kita pahami.

Dua potong lupis sudah saya habiskan. Saya tidak berani nambah lagi. Kupu-kupu cantik di luar sana terbang mendekat ke jendela seperti hendak menyapa. Saya tersenyum. Terimakasih inspirasinya, bisik saya. Kupu-kupu tadi terbang menjauh, dan hilang dari pandangan. (Fauzi Rachmanto).

Thursday, April 03, 2008

Kritik dan Keripik

Pada waktu meeting, saya sering mendapat kritik dari karyawan saya. Biasanya tentang cara saya menjalankan perusahaan. Terus terang saya kesal. Coba bayangkan, saya yang sudah belasan tahun di bisnis IT, yang merupakan pendiri sekaligus pemilik perusahaan, masa di ajarin bagaimana mengelola perusahaan sama "anak kemaren sore" yang baru kerja 3 tahun. Yang makan dari gaji yang saya bayarkan lagi. Apa gak kesal. Tahu apa mereka soal usaha yang saya bangun dengan susah payah ini. Jadi ketika mendengar kritik dari karyawan saya, meskipun wajah saya tetap tersenyum dan manggut-manggut, dalam hati saya kadang geram juga. Awas aja lu, gw pecat. Begitu kadang saya membatin.

Kritik yang lain kadang saya terima dari pelanggan. Ini lebih menyebalkan lagi. Pelanggan memberikan kritik lebih tajam dan tanpa tedeng aling-aling. Kalau karyawan masih ada takut2nya, nah kalau pelanggan nggak ada takutnya sama sekali. Wong mereka yang bayar saya. Jadi meskipun pilihan kata nya menyakitkan, saya terpaksa harus tetap tersenyum dan bilang "ya pak, ya pak, ya pak" terus. Persis CD rusak. Apa lagi kalau yang mengkritik itungan nya masih junior. Wah, kebanggaan diri saya langsung kena. Kurang asem, diceramahin sama keroco nih. Gak tau apa saya ini owner. Demikian kadang saya membatin.

Mungkin saya memang tidak tahan kritik. Dalam tes kepribadian yang pernah saya ikuti, saya ini tergolong tipe dominan. Salah satu ciri nya ya ini, saya sensi sekali dengan kritik.

Bukan pembenaran, tapi kesal karena di kritik menurut saya manusiawi. Namanya manusia, ingin nya ya perbuatannya dipuji orang lain. Pastinya kesal atau bahkan marah kalau perbuatannya disalahkan pihak lain. Apalagi kalau di kritik oleh orang yang menurut kita tidak lebih pandai dari kita. Siapa lu, ngritik gue? Mungkin demikian perasaan kebanyakan orang.

Meskipun kesal, namun saya tidak pernah marah kalau di kritik. Malah biasanya saya diam saja. Bukan apa2, saya sadar kok kalau kritik itu bermanfaat buat saya. Bahkan, jujur saja, saya memulai usaha saya dulu karena kritik. Ceritanya begini. Dulu sejak masih jadi karyawan memang saya sudah senang membicarakan berbagai peluang usaha. Karena saya bekerja di perusahan IT, biasanya ide usaha yang saya lontarkan masih seputar bisnis IT. Ide-ide usaha ini biasanya saya sampaikan dan diskusikan dengan kawan-kawan dekat saya. Suatu hari saya sedang asyik menyampaikan suatu ide usaha di sebuah kafe dengan seorang teman. Teman tadi tiba2 mengambil buku saku, membuka nya dan geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Kenapa? Tanya saya. Setengah mencibir dia berkata, bahwa saya punya lebih dari 30 ide bisnis (dia mencatat semua), dan tidak ada satu pun yang sudah saya jalankan. Plak! Rasanya saya seperti ditampar.

Saya waktu itu memang tipe pemikir. Bukan pelaku. Dan ide usaha yang saya "telor" kan ternyata cukup banyak. Saya sampai terkaget-kaget. Dan ironisnya, tidak satu pun yang saya jalankan. Saya asli omdo (omong doang) dan nato (no action think only). Kritik ini yang membuat saya malu sama teman saya, dan akhirnya mencoba merealisasikan salah satu ide bisnis saya tadi. Dan jadilah saya seorang pengusaha.

Jadi kritik meskipun menyebalkan, tapi buat saya perlu. Bahkan pujian malah membuat kita terlena, dan lupa memperbaiki diri. Sementara kritik akan menggugah kita dan membuat kita menjadi lebih baik. Ya, tapi kan harus "kritik yang membangun" . Tidak juga. Kritik ya kritik, mau disampaikan setajam pisau silet atau yang lunak enak di telinga, itu terserah pengkritik. "Membangun" nya itu terserah kita. Pilih mana? Kritik pedas yang membuat hidup Anda berubah total menjadi lebih baik, atau kritik setengah hati, yang membuat Anda tidak berubah dari keadaan sekarang? Ya, tapi tolong kritik disampaikan dengan solusi. Ini juga tidak wajib. Kritik ya kritik, terserah pengkritik nya. Solusi nya terserah kita. Apalagi orang-orang yang suka mengkritik biasanya memang gak bakat memikirkan solusi. Coba saja tanya orang-orang yang suka demo. Pasti tidak bisa memberikan solusi konkret. Biarkan saja. Mari kita belajar memikirkan solusi nya sendiri. Jadi nya kan yang makin pinter kita.

Pelaku itu ibarat pemain bola, dan peng-kritik itu ibarat penonton. Dua-dua nya perlu. Pertandingan bola tanpa penonton ya gak seru. Penonton tanpa ada pemain bola, mau nonton apa?

Karena sensi sama kritikan. Saya jadinya termasuk malas meng-kritik. Pertama, karena saya memang gak bakat ngasih kritikan. Kata orang saya kalau mengkritik malah jadi kaya orang marah-marah, padahal maksud saya bukan begitu, jadinya suka bikin salah paham. Daripada salah paham, lebih baik saya menyampaikan sesuatu yang baik, atau diam.

Kedua, saya sedang mencoba belajar menerapkan prinsip "non-judgement". Prinsip ini saya pelajari dari Deepak Chopra dalam "7 Spiritual Laws of Success". Inti nya, belajar untuk tidak "menghakimi" peristiwa, kejadian, maupun orang. Karena keterbatasan kita sebagai manusia, sesungguhnya kita tidak tahu "big picture" dari peristiwa yang kita hakimi tadi. Siapalah kita ini menghakimi peristiwa yang sudah digariskan Yang Maha Tahu. Apalagi menghakimi kesempurnaan ciptaan Yang Maha Sempurna. Saya tidak berani.

Lantas bagaimana kalau saya lagi kesal sama orang, atau ada peristiwa yang menurut saya tidak benar? Dari pada menyampaikan kritik saya lebih suka makan keripik. Ok .. Ok .. Ok .. Kesan nya "maksa" ya? Tapi ini beneran. Saya suka sekali makan keripik kentang (yang rasa plain), atau keripik singkong (yang plain juga). Rasa nya renyah dan keasyikan mengunyahnya bisa melupakan saya untuk mengkritik.

Tulisan ini menyebalkan Anda? Anda ingin mengkritik? Silakan … silakan, sampaikan kritik Anda, saya mau ambil keripik singkong dulu. (Fauzi Rachmanto)