Tuesday, November 25, 2008

Bukan Kimi

“Kacamata nya Kimi Raikkonen yang mana Mas?” tanya saya di sebuah toko kacamata di Bandung. Si Mas langsung mengambilkan sebuah kacamata dari tempat yg terkunci rapih. Sebuah kacamata bergagang merah yg sangat bagus diserahkan dengan hati-hati ke saya. Saya langsung mencoba, dan bercermin. Hmm ... sepertinya ada yang aneh. Saya melirik ke poster Kimi di samping saya, tersenyum manis dengan kacamata yg sama. Ganteng sekali juara dunia Formula-1 tahun 2007 itu. Saya bercermin lagi, hmm ... tetap aneh. Kacamatanya seperti kesempitan. Wajah saya terlalu bulat, dan gagang-nya yg melengkung indah itu serasa tidak pas di telinga saya. Saya lirik Kimi lagi. Masih tetap ganteng. Saya bercermin lagi. Duh, tetap saja aneh. Kacamata saya copot, saya nyerah. Ah, saya memang bukan Kimi.

Memang manusia diciptakan sungguh unik. Dari sekian milyar penduduk bumi, kok ya tidak ada yang sama persis. Bahkan mereka yang terlahir kembar, konon tetap memiliki perbedaan. Apalagi antara saya dan Kimi Raikkonen, jelas beda sekali. Perbedaan-perbedaan yg cukup ekstrim juga saya temukan antara saya, Brad Pitt, Nico Rosberg ataupun Zac Efron, hehehe ... ya iya laah, masa ya iya doong.

Jadi sepertinya percuma saja saya pakai kacamata Kimi Raikkonen, gak akan ngaruh apa-apa di wajah saya. Apalagi pengaruh ke skill mengemudi. Kacamata seperti punya Kimi tidak akan menjadikan saya menjadi pembalap. Saya ya saya, Kimi ya Kimi. Kami berdua, seperti juga Anda, adalah individu yang masing-masing unik. Tidak ada dua nya di dunia.

Tapi justru keunikan masing-masing individu ini yang membuat dunia ini begitu indah. Coba bayangkan kalau seluruh laki-laki di dunia diciptakan berwajah Brad Pitt semua. Atau seluruh wanita di dunia diciptakan seperti Angelina Jolie semua. Pasti sangat membosankan, membingungkan, bahkan sedikit menakutkan. Apalagi kalau cara bicara, gaya, perilaku dan kemampuan-nya dibuat sama semua. Pasti sangat menakutkan.

Alhamdulillah Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing. Ada yang jago balap, ada yang pandai membuat mobil, ada yang pandai menjual, ada yang pandai memasak, bahkan ada juga yang jago makan. Masing-masing punya keunikan dan kelebihan. Keunikan ini yang membuat dunia ini “berputar”. Saling melengkapi dengan indah-nya. Si jago masak, sepandai apapun, akan membutuhkan para jago makan. Si jago balap, percuma membalap kalau tidak ada yg mengemas olah-raga balapan dalam bisnis yang melibatkan jutaan penonton. Inilah indahnya kehidupan. Terdiri dari keunikan-keunikan yang saling melengkapi.

Kalau kita demikian unik, mengapa kita harus mengabaikan keunikan diri kita dengan mencoba menjadi orang lain?

Mihaly Csikszentmihaly, pencetus gagasan “Flow” dalam bekerja dan berbisnis, bahkan menyebut bahwa menemukan keunikan diri kita adalah salah satu pilar kebahagiaan. Saking unik-nya kita, maka konon dipastikan masing-masing kita sebenarnya menyimpan potensi luar biasa untuk melakukan “sesuatu” dengan cara yang lebih baik dari orang kebanyakan.

Orang-orang seperti Kimi Raikkonen, Fernando Alonso, Michael Schumacher atau Lewis Hamilton tahu persis bahwa mereka memiliki keunikan, yaitu kemampuan menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, jauh dari rata-rata kebanyakan orang. Demikian juga dengan orang-orang seperti Bill Gates, Donald Trump atau Warren Buffet memiliki keunikan dalam melakukan bisnis.

Namun, pertanyaannya pentingnya adalah, bagaimana kita bisa menemukan keunikan kita? Berikut beberapa tips yang bisa saya share:

Pertama: Mulailah dari “passion” Anda.

Passion adalah energi yang Anda rasakan meluap-luap ketika Anda melakukan sesuatu. Energi yang demikian membakar dari dalam diri Anda untuk melakukan sesuatu yang demikian Anda sukai. Anda tidak perlu diminta untuk melakukan, Anda dengan senang hati akan melaksanakan. Kimi Raikkonen, Lewis Hamilton atau Schumacher, dari kecil sudah memiliki passion yang kuat pada olah raga balap mobil. Donald Trump, memiliki passion yang kuat dalam mengembangkan bisnis. Itu mereka. Lalu, kalau Anda, apa passion Anda? Coba tulis saja.

Masih belum bisa? Coba jawab pertanyaan ini: Apa yang akan anda lakukan dengan senang hati sebagai pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, seandainya uang bukan masalah. Seandainya, apapun yang Anda lakukan, hidup Anda akan berkelimpahan.

Hmmm ... Masih belum bisa? Atau bagaimana kalau Anda memiliki banyak passion? Tidak apa-apa, tulis saja semua passion Anda tadi. Misalnya: Passion saya adalah: menulis, mengembangkan bisnis, public speaking, dan berwisata.

Hmmm ... Masih belum bisa? Wah, Anda sepertinya kurang-gairah ... Hehehe ... Pasti bisa, karena setiap orang pasti punya hasrat terpendam dalam diri-nya.

Kedua: Merangkai Passion Anda.

Jika Anda memiliki banyak passion. Dan kenyataanya hampir semua orang memiliki banyak Passion. Maka tentukanlah dahulu passion utama Anda. Ini adalah yang paling membuat Anda bergairah, dibandingkan passion yang lain. Misalnya, dari passion saya: menulis, mengembangkan bisnis, public speaking, dan berwisata, saya memilih passion utama saya adalah Menulis. Karena saya sangat bersemangat ketika menulis. Karena saya bisa bangun tidur dan langsung kepengen menulis dengan penuh semangat. Mungkin sama bersemangatnya dengan Lewis Hamilton kecil selalu ingin membalap go-kart.

Lalu bagaimana nasib passion-passion yang lain? Dibuang? Sabar, jangan dibuang dulu. Passion-passion yang lain ini justru akan menjadi faktor penentu keunikan kita. Jadi mari kita rangkai saja. Karena saya senang menulis dan mengembangkan bisnis, bagaimana kalau saya kombinasikan dua passion: menulis tentang pengembangan bisnis? Karena saya suka menulis dan public speaking, bagaimana kalau saya menulis buku dan menyampaikannya dalam seminar-seminar? Ah, atau bagaimana kalau saya menulis buku pengembangan bisnis, mengadakan seminar tentang buku saya, diselenggarakan di tempat-tempat wisata bisnis? Wow ... mau meledak otak saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan-nya.

Ini baru dari empat passion yang saya identifikasikan. Bagaimana kalau saya rangkai dengan passion-passion terpendam saya yang lain? Pasti luar biasa!

Dan ini akan menjadi sesuatu yang unik. Sesuatu yang “Gue banget”, karena berawal dari sesuatu yang benar-benar saya sukai.

Anda juga harus mencobanya. Karena keunikan Anda, pada akhirnya akan membedakan hasil karya Anda dengan orang lain. Ini adalah dasar dari marketing yang sebenarnya.

Jadi, ternyata benar, saya adalah saya. Kimi adalah Kimi. Tidak perlu memakai kacamata Kimi Raikkonen, toh saya sudah menemukan sesuatu yang luar biasa. Sesuai keunikan yang saya miliki. Anda juga sudah menemukan keunikan Anda? (FR)

Tuesday, November 18, 2008

Outliers

Pernahkah Anda memikirkan, apa yang membedakan Bill Gates dengan ribuan pengusaha IT lainnya? Apa yang membedakan Beatles dengan ribuan band dari Inggris? Apa yang membedakan Joe Flom – seorang pengacara korporat terkemuka, dengan ribuan pengacara lain di Amerika? Gates, Flom dan juga the Beatles adalah Outliers. Dalam statistik, outliers adalah hasil observasi yang tidak bisa dikelompokkan dalam kelompok utama karena sangat berbeda dengan kelompok utama. Dalam buku terbaru Malcolm Gladwell yang berjudul “Outliers: The Story of Success”, Gladwell yang juga penulis buku “Tipping Point” dan “Blink” mengungkapkan dengan sangat cerdas peran lingkungan sosiologis yang memunculkan para Outliers yang sukses luar biasa itu.

Jika selama ini kita membaca biografi orang-orang sukses dan kisah-kisah heroik mereka, kesan yang melekat adalah bagaimana mereka telah berhasil mewujudkan keberhasilan mereka dari nol, perjuangan tidak kenal menyerah yang mereka lakukan, dsb. Seolah-olah segala keberhasilan mereka adalah semata dari diri mereka sendiri. Dalam Outliers, Gladwell justru memberikan penyeimbang, bahwa selain faktor kemampuan diri mereka sendiri, ada faktor-faktor sosiologis di luar diri mereka yang berperan penting dalam kesuksesan mereka. Faktor-faktor inilah yang telah membuat mereka menjadi para Outliers.

Sukses instan vs aturan 10,000 Jam

Banyak orang yang membaca biografi Bill Gates secara salah. Mereka hanya melihat moment dimana Bill Gates memutuskan keluar dari Harvard dan mendirikan Microsoft bersama Paul Allen. Seolah modal Bill Gates waktu itu hanyalah tekad dan semangat saja. Padahal jauh sebelum itu, Bill Gates sudah mempersiapkan diri nya dengan “berlatih” menulis program selama lebih kurang 10,000 jam. Tidak percaya? Bill Gates sudah menulis program sejak di sekolah menengah, berkat perkumpulan orang tua murid sekolahnya yang berpikir kedepan dengan membelikan komputer “time sharing” yang terhitung mahal. Dan selepas sekolah menengah, Gates yang tinggal di dekat University of Washington dapat menggunakan komputer mereka yang nganggur antara jam 03 – 06 pagi. Berapa kira-kira total waktu “berlatih” Bill Gates sebelum memulai Microsoft? Bisa jadi sekitar “10,000 jam”.

Bagaimana dengan the Beatles? Band paling sukses di dunia hingga hari ini. Banyak yang melihat Beatles hanya pada saat mereka tenar dengan album-album legendaris seperti “Sgt. Peppers Lonely Hard Club Band” atau “White Album”. Tapi sesungguhnya, jauh sebelum mereka memperoleh kontrak rekaman pertama mereka, mereka telah menjalani latihan maraton yang panjang dan sulit. Selama 1960 – 1962 Beatles bermain untuk klub di Hamburg Jerman dan harus bermain selama 8 jam sehari, hingga 7 hari seminggu lamanya. Durasi yang panjang menyebabkan mereka harus memeras kreatifitas, memainkan bermacam genre lagu, memodifikasi lagu lama, hingga menciptakan lagu sendiri. Jika tidak, maka penonton bakal berteriak-teriak karena bosan. Masa-masa “10,000 jam” di Hamburg ini lah yang telah menempa John Lennon, Paul McCartney dan George Harrison dengan skill yang mereka butuhkan, menumbuhkan chemistry di antara mereka, dan kreatifitas nyaris tanpa batas yang kelak akan menjadikian musik Beatles memiliki spektrum yang sangat luas.

Kesimpulannya, Gates, Beatles dan juga para olahragawan professional, memiliki peluang yang lebih baik, karena mereka juga telah mengasah kemampuan mereka lebih lama dari orang kebanyakan. Gladwell memberikan ilustrasi yang sangat teliti, bagaimana pemain Hockey professional kebanyakan lahir pada bulan-bulan tertentu. Semata karena pada saat direkrut di usia dini, mereka beberapa bulan lebih tua dari pesaing-pesaingnya. Akibatnya mereka dianggap lebih mampu, memperoleh keistimewaan selama sekolah, dan berlatih lebih lama dibanding rekan-rekan seusianya. Merekapun memperoleh 10,000 jam nya secara lebih cepat dibanding orang lain.

Jenius Saja Tidak Cukup

Apakah Bill Gates jenius? Apakah John Lennon seorang jenius? Bisa jadi. Tapi bisa jadi juga tidak. Yang jelas Christopher Langan adalah manusia paling jenius dewasa ini. IQ nya mencapai 190. Bayangkan, Albert Einstein saja hanya 150. Untuk menguji kejeniusan Langan bahkan tidak cukup dengan test IQ standard, namun harus dengan test khusus untuk IQ sangat tinggi. Kecerdasan Langan sangat luar biasa. Bicaranya teratur dan runut, pengetahuan umumnya sangat luas, ingatannya sangat kuat, memecahkan soal matematika dengan mudah, dan sebagainya. Menurut Anda apakah profesi Langan saat ini? Ahli membuat roket? Bukan, dia adalah pengelola peternakan kuda.

Kejeniusan Langan nyaris tidak berarti apa-apa, karena sepanjang sekolah kegagalan demi kegagalan dialaminya. Berbeda dengan Bill Gates yang didukung keluarga dan teman-temannya. Langan menjalani masa remaja nya sendirian. Dan berusaha keras masuk ke perguruan tinggi yang disukainya, sendirian. Dan Langan tidak pernah berhasil. Ternyata para jenius tadi untuk berhasil juga butuh dukungan. Dalam bahasa Gladwell: “no one--not rock stars, not professional athletes, not software billionaires, and not even geniuses--ever makes it alone."

Christopher Langan memiliki keuntungan dibanding orang kebanyakan. Yaitu kecerdasannya. Namun kecerdasan tadi tidak membawanya menjadi orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Tentu saja, kita semua membutuhkan tingkat intelegensi yang cukup untuk mencapai keberhasilan. Namun intelegensi yang mampu membawa Anda lulus sekolah sebenarnya sudah cukup. Jika IQ Anda di atas rata-rata teman sekolah Anda, itu adalah advantage, jika Anda bisa memanfaatkan. Sebagaimana Bill Gates memanfaatkan komputer di sekolah mahal nya waktu itu, atau the Beatles memanfaatkan peluang bermain di Hamburg.

Sukses Orang Pinggiran

Bagaimana jika kita tidak seberuntung Bill Gates yang orang tua nya “kebetulan” kaya, atau the Beatles yang “kebetulan” tinggal di Liverpool?

Joseph Flom adalah keturunan imigran Yahudi dari Eropa Timur yang tinggal di New York. Sangat cerdas, Flom lulus dari sekolah hukum Harvard pada tahun 1948 dengan cum laude. Tapi apakah mudah masuk ke firma hukum terkemuka bagi seorang keturunan Yahudi? Tidak. Bahkan kenyataanya tidak bisa. Pada waktu itu firma hukum terkemuka di AS hanya menerima pengacara muda dari kalangan kulit putih. Jika diterima Flom akan menjadi “makhluk aneh” ditengah-tengah pengacara yang sudah “seragam” dalam budaya. Joe Flom pun akhirnya masuk ke firma baru yang baru didirikan, dan belum memiliki klien ,Skadden & Arps. Waktu Flom menanyakan firma tadi berspesialisasi dalam kasus apa saja, pemilik firma menjawab, “kasus apa saja yang masuk dari pintu depan itu ...”

Begitulah, akhirnya Flom mengerjakan kasus apa saja. Utamanya kasus-kasus yang tidak akan ditangani firma besar: Proxy fights. Proxy fights adalah langkah yang dapat diambil pemegang saham perusahaan, yang meminta pemegang saham lain untuk menunjuk dia sebagai proxy untuk mengambil langkah tertentu, misalnya pergantian manajemen, dsb. Ini adalah “dirty jobs” yang tidak dikerjakan firma besar. Flom adalah jagoan dalam bidang ini, karena tanpa pesaing. Dan seiring dengan maraknya hostile takeover, reputasi Flom semakin berkibar. Memasuki tahun 1970-an, merger dan akuisisi mulai banyak terjadi di Wall-street. Pada saat itu, maka hanya satu nama yang dikenal cukup memiliki pengalaman: Joseph Flom.

Joseph Flom adalah Yahudi yang terpinggirkan di komunitas hukum Amerika Serikat. Namun justru hal ini membuatnya “terpaksa” berspesialisasi pada hal yang tidak dikerjakan oleh orang lain. Dan ketika kesempatan yang lebih besar datang, ia sudah berada disana. Ia adalah Outliers.

Warisan Leluhur

Gladwell juga tidak menyangkal, bahwa ada “warisan-warisan leluhur” yang melekat pada budaya kita yang dapat sangat mempengaruhi keberhasilan.

Korea Air (KAL) adalah salah satu maskapai penerbangan yang terkenal dengan safety yang tinggi. Merupakan member dari aliansi SkyTeam, sejak 1999 KAL tidak memiliki catatan buruk keselamatan. Bahkan tahun 2006 menerima Phoenix Award atas transformasi yg dilakukannya. Padahal sebelumnya Korea Air dikenal sebagai penerbangan dengan tingkat kecelakaan yang tinggi. Yang paling terkenal adalah crash Penerbangan KAL 801 di Guam pada tahun 1997. KAL sukses melakukan transformasi dengan mengevaluasi dan melakukan perubahan segala penyebab yang mungkin atas tingginya kecelakaan, dan salah satu point yang sangat krusial adalah: Budaya.

Pesawat terbang modern di desain untuk diterbangkan oleh lebih dari satu orang. Karenanya, Pilot akan dibantu oleh co-Pilot dan Flight engineer. Apa hubungannya dengan budaya? Dalam budaya Korea, adalah pantang membantah seorang pemimpin. Karenanya, seorang co-pilot akan patuh dan tidak berani menentang sang Pilot. Kalaupun menentang, mereka tidak berani menyampaikan secara to the point, namun dalam ungkapan yang ambigu. Dalam crash penerbangan 801, dari rekaman pembicaraan di cockpit jelas terdengar bahwa co-pilot tidak berani menyampaikan opini nya. Pada saat Pilot memutuskan untuk melakukan pendaratan secara visual, flight engineer hanya berani berkomentar bahwa “Kapten, radar cuaca sangat membantu kita”. Alih-alih menyatakan:” Kapten sebaiknya kita tidak melakukan pendaratan secara visual”.

KAL membuktikan, budaya memang bisa sangat mempengaruhi keberhasilan. Namun, kita juga bisa melakukan perubahan atas budaya yang tidak kondusif bagi pencapaian keberhasilan.

Apakah dengan demikian budaya Asia secara umum tidak mengkondisikan ke arah keberhasilan? Tentu saja tidak demikian. Bahkan saat ini dunia sangat mengakui kemampuan orang Asia. Paling tidak dalam Matematika. Ya, dalam setiap kontes dan olimpiade Matematika, siswa-siswa Asia bisa dipastikan jauh lebih unggul dari siswa-siswa negara barat. Ini juga salah satu imbas dari warisan leluhur: Budaya Pertanian.

Petani Padi di Asia, ribuan tahun lamanya bekerja dengan cara berbeda dibandingkan bangsa Eropa. Di negara empat musim, praktis petani hanya dapat bertani pada 2 musim, dan sisa nya adalah menganggur. Demikian juga di negara-negara dengan malam yang lebih panjang, petani bekerja lebih singkat. Tidak demikian dengan petani di Asia. Para penanam Padi adalah orang-orang dengan ketekunan yang sangat tinggi, yang sanggup bekerja dari subuh hingga petang, sepanjang tahun. Ketekunan dan juga bahasa yang lebih akrab terhadap angka adalah kunci penguasaan orang Asia dalam Matematika. Coba saja bandingkan cara pengucapan bilangan belasan dan puluhan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Bahasa Inggris memiliki lebih banyak ketidak-teraturan dalam pengucapan.

Ketekunan para Petani Padi yang kental dalam budaya bangsa Asia, merupakan sumber yang akan membawa kemajuan Asia di masa mendatang. Seperti pepatah lama China yang dikutip oleh Gladwell: “No one who can rise before dawn, 360 days a year, fail to make his family rich ...” (FR)