Wednesday, June 24, 2009

Percayalah ...

“Kamu harus percaya pada ku Ma ...” Kata seorang suami memelas di depan istri nya yang marah sambil memegang kemeja kantor dengan cap lipstik di kerah nya.

“Percayalah, meski pergi jauh, aku akan kembali dan melamarmu ...” kata seorang pemuda, sesaat sebelum meninggalkan pacarnya untuk pergi merantau.

“Kalau proyek ini dipercayakan kepada kami, saya yakin akan selesai sesuai anggaran dan jadwal yang Bapak tetapkan ...” kata seorang konsultan kepada klien nya.

“Rakyat tidak lagi percaya dengan pemerintah yang sekarang ...”, demikian kata seorang politisi yang ingin dipilih rakyatnya.

Contoh pernyataan-pernyataan di atas berbicara tentang “ke-percaya-an” (trust). Untuk menghindari kerancuan, saya menggunakan istilah trust, karena “kepercayaan” dalam Bahasa Indonesia dapat juga berarti “beliefs” atau “faith”. Jadi apa sesungguhnya trust itu? Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, darimana datangnya trust?

Semua sepakat bahwa trust itu penting. Pernikahan, dibangun di atas trust yang tumbuh di antara antara suami dan istri. Organisasi, berdiri karena ada trust di antara anggota nya. Perusahaan, berdiri karena ada trust antara pemilik usaha, pelanggan, pekerja dan mitra kerjanya. Transaksi bisnis, terjadi karena ada trust antara penjual dan pembeli. Negara, berdiri karena masih ada trust di antara warga negara dan penyelenggara pemerintahan-nya. Tanpa trust, tanpa ke-percaya-an, maka ikatan-ikatan tadi akan runtuh. Trust adalah “The one thing that changes everythings” demikian kata Stephen Covey dalam buku The Speed of Trust.

Terlebih lagi dalam bisnis. Trust diakui memiliki korelasi yang erat dengan biaya dan kecepatan. Pada interaksi bisnis yang dijalankan dengan trust yang tinggi, maka kecepatan akan tinggi, dan biaya akan rendah. Sebaliknya, trust yang rendah akan menyebabkan biaya yang tinggi dan kecepatan yang rendah. Misalnya, ketika kita menjual barang pada orang yang kita percayai, maka biasanya eksekusi nya akan lebih cepat, bahkan bisa dibayar kemudian. Sebaliknya, kalau pembeli belum dipercaya maka kita akan menerapkan prosedur yang lebih ketat, ada biaya dimuka, dsb.

Meskipun mengakui betapa pentingnya trust, namun sangat jarang kita memikirkan apa dan bagaimana trust bisa dikembangkan. Akibatnya seringkali kita membina hubungan bisnis maupun hubungan sosial, dengan trust yang rendah, yang mengakibatkan biaya tinggi dan kecepatan rendah tadi.

Membangun trust tidak semudah mengucapkan kata-kata “Percayalah ...” seperti rayuan pemuda kepada pacarnya. Namun, meski tidak mudah, bisa dipelajari. Berikut beberapa catatan saya dalam mengembangkan trust.

Trust harus diraih, bukan diberikan.

Seringkali orang berharap akan dapat memiliki trust ketika berinteraksi dengan seseorang yang merupakan anggota dari kelompok tertentu yang ia percayai. Dan hampir dipastikan ia akan kecewa. Misalnya, ketika kita berinteraksi dengan seseorang dengan gelar keagamaan tertentu, atau anggota kelompok keagamaan tertentu, seringkali kita langsung memiliki “trust”.

Namun trust yang demikian seringkali hanya bersifat semu, kerena belum teruji oleh perbuatan. Pada akhirnya konsistensi perbuatan-perbuatan pribadi tersebut yang akan membuat kita memiliki trust atau tidak, bukan gelar yang dimiliki, bukan karena keturunan seseorang yang hebat, atau bukan karena anggota organisasi yang besar dan terkenal.

Dalam bisnis dan kehidupan, trust adalah sesuatu yang harus diraih melalui proses, bukan sesuatu yang secara instan bisa diberikan atau diwariskan begitu saja. Kalau saja trust bisa diwariskan atau dihibahkan kepada anggota-anggota organisasi yang “terpercaya”, betapa mudahnya pekerjaan bank-bank kita dalam menyalurkan kredit. Kenyataannya tidak demikian.

Semua berawal dari “self-trust”

Seringkali kita mendengar keluhan-keluhan tentang rendahnya trust dari pelanggan, rendahnya trust dari kolega kita. Atau tidak adanya trust diantara anggota masyarakat kita. Kita mencoba mencari-cari solusi untuk organizational trust, market trust atau societal trust tadi. Akan sulit selama kita belum menyentuh akar sebenarnya yaitu “self-trust”. Trust dari pribadi kita sendiri. Membangun self-trust, tidak lepas dari: karakter dan kemampuan kita.

Bagian terpenting dari karekter adalah integritas. Yaitu bagaimana kita menjalani nilai-nilai yang kita anut secara konsisten. Sekedar berkata “jujur” tidak cukup. Namun juga harus dibuktikan dengan perbuatan yang kongruen dengan perkataan tadi. Serta dihiasi dengan sikap berani sekaligus rendah hati. Berani menyatakan pendapat, mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, namun rendah hati dengan tidak arogan menganggap dirinya pasti benar dan orang lain pasti salah. Inilah landasan integritas yang merupakan modal pertama dalam membangun trust.

Integritas tanpa kemampuan belum cukup untuk membangun trust. Maka selain menjadi pribadi yang penuh integritas, kita juga harus terbukti mampu. Dikenal sebagai pribadi yang ber-integritas akan membuat orang mengenal Anda sebagai “orang baik”, namun belum tentu dipercaya, jika Anda tidak memiliki catatan bahwa Anda memiliki kemampuan. Kemampuan tidak hanya diukur dari seberapa banyak Anda tahu, namun menyeluruh, mencakup: Talents (bakat), Attitude (sikap), Skills (keahlian), Knowledge (pengetahuan) dan Style (gaya atau sentuhan personal Anda).

Selain itu, karakter dan kemampuan kita harus dibuktikan dengan hasil (result). Ibarat pohon, karakter adalah akar, kemampuan adalah batang dan daun, namun tetap saja, buah adalah yang akan dilihat dan dinikmati. Karakter yang baik, kemampuan yang mumpuni, harus dibuktikan dengan result yang nyata. Dengan tiga modal tadi, maka self-trust dapat kita tumbuhkan.

Trust bisa naik, dan turun.

Memiliki hubungan sosial ataupun bisnis dengan trust yang tinggi, dapat membuat kita lengah. Seringkali kita berasumsi bahwa trust adalah abadi. Padahal fakta nya tidak demikian. Trust bisa saja naik, atau turun, bahkan hilang.

Trust yang meningkat harus menjadi agenda kita. Trust yang menurun, sedapat mungkin kita cegah. Penurunan trust biasanya terjadi apabila kita tidak menjaga “self-trust” kita masing-masing. Mungkin integritas yang mulai luntur, atau kemampuan yang tidak relevan lagi di masa sekarang, atau bisa jadi result yang tidak lagi terbukti. Kesemuanya dapat mempengaruhi trust.

Demikian catatan saya. Jika diniatkan, saya yakin kita semua dapat belajar membangun trust secara konsisten. Percayalah ...