tag:blogger.com,1999:blog-273661652024-03-13T20:37:59.114+07:00Catatan Fauzi RachmantoCatatan-catatan ringan Fauzi Rachmanto.Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.comBlogger96125tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-36061793279520949092011-02-17T00:48:00.001+07:002011-02-17T15:58:40.308+07:00Pengumuman PentingTerimakasih kepada teman-teman yang berkunjung ke blog ini. Supaya lebih nyaman bagi teman-teman semua, saya telah membuatkan tempat baru yang lebih baik. Untuk selanjutnya silakan kunjungi http://fauzirachmanto.com/ untuk terus mengikuti tulisan-tulisan terbaru saya.<br /><br />Salam,<br /><br />Fauzi RachmantoFauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-14421129812087394042010-03-09T10:24:00.000+07:002010-03-09T10:26:30.888+07:00Choose Your Customers, Choose Your Destiny“Maaf Pak, solusi yang kami miliki tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan Bapak, namun demikian saya akan referensikan nama Bapak kepada teman saya yang menyediakan jasa yang lebih sesuai dengan kebutuhan Bapak …” demikian saya sampaikan kepada calon pelanggan di depan Saya, sesopan mungkin, sambil mengemasi alat tulis saya. Mata beliau terbelalak, mulut nya terbuka, seolah ingin berkata-kata tapi sulit keluar. Saya paham beliau dilanda kebingungan teramat dahsyat. Sudah gila apa orang di depan saya ini. Menolak pelanggan? Bukankah seharusnya perusahaan IT seperti SDGI ini mencari dan mengejar pelanggan?<br /><br />Oh ya, jangan salah paham, kami tentu juga butuh pelanggan. Namun pelanggan yang seperti apa? Itu yang kami juga harus selektif. Wah, kenapa harus menyeleksi pelanggan? Bukankah seharusnya kita yang diseleksi pelanggan? Nah, ini yang harus diluruskan. Menurut saya, penjual juga harus menyeleksi pembeli nya.<br /><br />Profil pembeli yang tidak sesuai dengan jualan Anda akan merepotkan. Bayangkan, jika Anda adalah pemilik butik yang menyediakan baju-baju pesta “high-end” dengan harga berjuta-juta. Lalu kemudian datang serombongan remaja ABG datang dan mencari T-Shirt dan Jeans murah meriah untuk nongkrong di Kafe. Tentu akan ada ketidaknyamanan disana. Karena profil ABG yang masuk ke butik Anda tidak sesuai dengan produk yang Anda tawarkan. Model mutakhir butik Anda yang rancangan designer ternama bisa-bisa malah jadi bahan tertawaan calon pelanggan Anda. Belum lagi, harga nya bisa-bisa membuat calon pelanggan ABG Anda pingsan berdiri.<br /><br />Karenanya jangan heran kalau outlet butik-butik ternama akan menyesuaikan diri dengan profil pelanggan yang diharapkan akan datang. Bangunan dan desain interiornya umumnya dibuat sangat mewah dan “angker”. Sehingga kalau “orang biasa” yang uangnya pas-pas an, mau masuk saja akan takut dan gemetar. Ini memang disengaja, karena orang yang keuangannya pas-pas an tidak diharapkan menjadi pelanggan mereka, inilah proses seleksi pelanggan.<br />Apakah seleksi awal untuk menyelaraskan profil pelanggan dan produk atau jasa kita sudah cukup? Belum. Ini baru tahap awal. Selanjutnya kita juga bisa melakukan seleksi atas pelanggan-pelanggan yang memberikan kontribusi positif lebih banyak kepada usaha kita.<br /><br />Seperti kita tahu, tidak semua pelanggan memberikan kontribusi yang sama. Ada pelanggan yang rewel, banyak meminta, jarang beli, kalaupun beli nawarnya minta ampun, sudah begitu bayarnya susah. Sebaliknya ada pelanggan “ideal”, yang penggemar fanatik produk kita, tidak banyak menuntut, sering beli, gak pakai nawar, sudah begitu aktif mempromosikan produk kita pada teman-teman nya. Anda pilih punya pelanggan yang mana? Tentu yang ideal. Nah, misi kita adalah memperbanyak pelanggan tipe ideal, dan mengurangi yang tidak ideal. Caranya?<br /><br /><b>Pertama. Tetapkan Kriteria Pelanggan Ideal Anda.</b><br />Jika Anda belum punya, buat. Pelanggan ideal yang seperti Apa yang ingin Anda miliki? Kalau mereka individu, dari kelompok umur berapa? Apa profesinya? Berapa besar pendapatannya? Bagaimana mereka membelanjakan uangnya untuk produk Anda? Kalau mereka perusahaan, di industi apa mereka berkiprah? Seberapa besar assetnya? Berapa jumlah karyawannya? Bagaimana metoda pembelian barang dan jasa mereka? Bagaimana mereka membayar Anda?<br /><br />Kriterianya tidak usah banyak-banyak dan sederhana saja. Misalnya, kriteria pelanggan ideal saya adalah: 1. Perusahaan atau lembaga dengan karyawan minimal 1,000 orang, 2. Menggunakan IT sebagai pendukung operasi usaha nya, 3. Memiliki infrastruktur IT tersebar di lebih dari 5 kantor cabang, 4. Memiliki anggaran belanja IT dan siklus pembelian yang jelas, 5. Memiliki prosedur pembayaran tagihan yang jelas.<br /><br />Memang ada banyak calon pelanggan di luar sana, dengan berbagai profilnya. Namun, kali ini Anda memilih profil pelanggan yang ideal menurut Anda, yang profilnya selaras dengan produk atau jasa yang Anda tawarkan, dan akan memberikan kontribusi lebih besar bagi usaha Anda.<br /><br /><b>Kedua. Buat Kelompok Pelanggan Anda.</b><br />Sekarang lihatlah database existing pelanggan Anda. Oh ya, meskipun Anda menjual produk retail, sebaiknya Anda memiliki database pelanggan. Kalau belum, coba buat data sampling pelanggan yang membeli produk Anda.<br /><br />Lalu cocokkan dengan Kriteria Pelanggan Ideal yang sudah Anda buat. Misalnya saja Anda memiliki 5 kriteria Pelanggan Ideal, mungkin ada pelanggan yang dapat memenuhi ke-5 kriteria tadi, atau mungkin ada perusahaan yang hanya memenuhi 3 kriteria, 2 kriteria, dst. Dari sini Anda akan memiliki kelompok-kelompok Pelanggan. Misalnya Kelompok Pelanggan A (memenuhi 5 kriteria), Kelompok B (memenuhi 4 kriteria), Kelompok C (memenuhi 3 kriteria atau kurang). Ini hanya contoh, silakan gunakan kreatifitas Anda sendiri.<br /><br />Tujuannya adalah untuk mengetahui, berapa banyak pelanggan Ideal yang sudah Anda miliki. Apakah usaha Anda sudah menarik pelanggan ideal, atau malah kebanyakan pelanggan Anda, ternyata bukanlah pelanggan ideal. Informasi ini menentukan langkah kita selanjutnya.<br /><br /><b>Ketiga. Undang Pelanggan Ideal Anda.</b><br />Nah kini saatnya “mengundang”. Pelajari dengan baik. Mengapa “Pelanggan Ideal” Anda membeli produk Anda. Apa yang sebenarnya mereka cari? Mengapa mereka memilih produk Anda? Logikanya, jika ada pelanggan dengan kriteria seperti itu memilih produk Anda, di luar sana masih banyak lagi pelanggan seperti itu yang sedang haus akan produk Anda. Kepada merekalah kita akan memusatkan perhatian kita.<br /><br />Langkah pertama dalam “mengundang” pelanggan ideal adalah dengan menyesuaikan cara komunikasi kita dengan mereka. Dan komunikasi mencakup komunikasi verbal dan non-verbal. Misalnya kalau Anda menjual tas wanita sekelas Louis Vuitton, sudah barang tentu Anda harus sesuaikan komunikasi verbal dan non-verbal toko dan karyawan Anda dengan orang-orang yang akan datang mencari tas sekelas LV tadi. Mulai dari tampilan toko, busana dan penampilan karyawan, hingga cara mereka berperilaku dan berbicara.<br /><br />Kemudian, materi “kampanye” Anda juga harus ditujukan untuk kelompok pelanggan Ideal tadi. Dengan mengetahui alasan pelanggan ideal membeli produk Anda, kita dapat membangun tema promosi yang sejalan dengan alasan tadi. Misalnya, jika produk Anda dibeli karena pelanggan ideal puas dengan mutu, corak dan warna nya. Maka sebaiknya tema ini yang digeber dalam promosi.<br /><br /><b>Keempat. Pelihara Pelanggan Ideal Anda.</b><br />Pelanggan Ideal Anda harus dipertahankan. Ciptakan program-program sesuai harapan mereka, yang akan membuat mereka bertahan menjadi pelanggan. Seseorang dengan profil tertentu, biasanya bergaul dengan orang-orang dengan profil yang sama. Sehingga pelanggan ideal Anda akan melakukan “getok tular” kehebatan produk Anda kepada pelanggan potensial, yang juga ideal.<br />Bagaimana untuk pelanggan perusahaan? Percayalah, getok tular juga terjadi. Pejabat yang berwenang memutus pembelian produk Anda, juga berinteraksi dengan pejabat dari perusahaan lain, dan dapat menjadi “evangelist” produk Anda.<br /><br />Lalu bagaimana dengan “pelanggan tidak ideal” yang sudah terlanjur menjadi pelanggan kita. Apa dibuang saja? Hehehe … tidak perlu seekstrim itu. Berfoksulah pada Pelanggan Ideal, maka jumlah pelanggan ideal akan bertambah, entah itu dari pelanggan baru, atau bisa jadi pelanggan lama ternyata berevolusi menjadi pelanggan ideal. Atau pelanggan tidak ideal yang rontok sendiri terkena seleksi alam.<br /><br />Dengan empat langkah tadi, Anda sudah bisa mulai memilih pelanggan. Karena saya percaya, masa depan usaha kita, tergantung pada siapa pelanggan kita. Anda bermimpi Usaha Anda menjadi perusahaan World Class?, maka jadilah perusahaan World Class. Layani pelanggan World Class. (FR).Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-85200341893418449412010-03-09T10:23:00.000+07:002010-03-09T10:24:20.995+07:00Break, Turn … Accelerate !Kalau Anda ditanya mobil apakah yang paling kencang di dunia? Mungkin yang pertama terlintas di benak Anda adalah mobil Formula 1. Tidak salah memang, karena balapan Formula 1, yang sering dijuluki sebagai “jet darat” itu konon adalah puncak pencapaian teknologi mobil yang ada saat ini. Ketika digeber di berbagai sirkuit dunia, dalam sebuah balapan resmi sebuah mobil F-1 mampu mencapai kecepatan puncak (top speed) sekitar 300 – 330 Km/Jam. Bahkan di beberapa sirkuit dengan karakter “low downforce” seperti Monza – Italia, tercatat bisa mencapai 360 Km/Jam, meskipun sangat jarang terjadi.<br /><br />Tapi kecepatan seperti itu sebenarnya bukan hanya monopoli mobil F1. Mobil road car yang masuk kategori mobil sport seperti Ferrari Enzo atau Lamborghini Murcelago memiliki top speed lebih dari 330 Km/Jam. Bahkan mobil berkategori “super car” seperti Bugatti Veyron mampu dikebut mendekati angka 400 Km/Jam.<br /><br />Lalu dimana hebatnya sebuah mobil F1? Kehebatan mobil F1 sebenarnya bukan melulu soal kemampuan nya untuk melaju di jalur lurus. Namun justru kehebatan dalam melibas tikungan. Seperti Anda tahu, sebuah sirkuit balap, tidak hanya terdiri dari jalur lurus, namun justru sebagian besar terdiri dari tikungan. Dan disinilah persoalan utama sebuah mobil balap.<br /><br />Ketika menikung dengang kecepatan tinggi, sebuah mobil akan menerima gaya lateral (menyamping) yang cukup tinggi. Sebagai ilustrasi, ketika melibas tikungan dengan kecepatan di atas 200 Km/Jam, maka sebuah mobil balap bisa menerima gaya menyamping sebesar 3 kali gaya gravitasi (3g). Sementara, sebuah mobil sport car seperti Ferrari Enzo hanya mampu menahan gaya lateral sekitar 1g, karena mengandalkan mechanical grip dari roda-roda nya. Mobil F1? Nah disini hebatnya. Dengan bentuknya yang aerodinamis, Mobil F1 dirancang untuk memiliki downforce yang mampu menahan gaya lateral hingga 5 – 6g . Seperti ketika melibas tikungan “Copse” di Silverstone dengan kecepatan mendekati 300 Km/Jam. Maka tidak heran, kalau mobil F1 diadu di sirkuit dengan Super Car, akan jauh sekali selisih waktu per lap nya.<br /><br />Lha terus apa hubungannya dengan bisnis? Hehehe … oh ya, hampir saya lupa, keasyikan bicara soal mobil. Pelajaran yang bisa kita ambil dari keunggulan mobil F1 adalah, bahwa untuk menjadi yang terbaik, ternyata bukan hanya soal seberapa cepat Anda bisa berpacu di jalur lurus, tapi justru sebagian besar tergantung pada seberapa baik Anda mampu menghadapi tikungan tajam.<br />Jalur lurus dalam bisnis adalah saat-saat semuanya serba kondusif dan mendukung bagi usaha Anda. Momentum nya demikian tepat. Pasar sedang tumbuh, permintaan akan produk Anda sedang tinggi. Produk Anda terjual demikian mudah, dengan “effortless ease”. Sementara, Anda juga didukung oleh orang-orang yang demikian mumpuni, capable, penuh dedikasi. Pelanggan mendapat pelayanan prima dari tim Anda. Pembayaran dari pelanggan juga lancar, dan kas perusahaan benar-benar sehat. Tinggal injak gas dalam-dalam usaha Anda pun dapat melaju dengan kencang.<br /><br />Namun bagaimana apabila saat melaju kencang di depan tiba-tiba ada tikungan tajam? Seperti apa tikungan dalam bisnis. Wah … Banyak. Bisa jadi berupa Pelanggan yang tiba-tiba berpaling dari produk Anda karena muncul produk sejenis yang lebih disukai. Pelanggan yang karena pergeseran prioritas menunda keputusan membeli produk-produk Anda. Supplier Anda yang tiba-tiba memberikan harga baru, mengganti spek produk, atau bahkan ekstrimnya berhenti berproduksi! Atau, ada regulasi baru yang tidak sesuai dengan usaha Anda. Atau, pelanggan setia yang menunda pembayaran tagihan-tagihan Anda. Hingga, kenaikan harga bahan baku, biaya bahan bakar, listrik, yang membuat produk Anda tidak lagi kompetitif di pasar. Kalau dalam situasi seperti ini Anda tetap melaju kencang, maka ibarat mobil F1, Anda bisa menabrak dinding pembatas sirkuit!<br /><br />Lalu apa yang dilakukan seorang pengendara mobil F1 ketika memasuki tikungan?<br />Yang pertama adalah “Break”. Atau menginjak rem untuk mengurangi kecepatan, untuk menyesuaikan keadaan tikungan di depan kita. Seperti mobil, bisnis juga harus memiliki rem. Ada kalanya kita harus menginjak rem karena situasi nya memang bukan jalur lurus yang siap dilibas dengan kecepatan penuh. Kalau daya serap pasar terhadap produk kita sedang turun, tentu saja tidak logis kalau kita malah menginjak gas dengan meningkatkan produksi, merekrut tim baru, menambah stok bahan baku, dan seterusnya. Lebih logis apabila kita kurangi produksi kalau memang daya serapnya tidak ada.<br /><br />Break itu tidak apa-apa. Demi keselamatan usaha. Seringkali ego seorang pengusaha mencegah untuk melakukan break. Padahal semua pembalap juga akan melakukan pengereman kalau didepan terbentang potensi bahaya. Ingat break ini bukan untuk selamanya, tapi karena sedang memasuki tikungan. Sebuah mobil, dilengkapi dengan rem bukan untuk menghambat mobil tersebut. Tapi justru untuk memastikan bahwa Anda aman disaat melaju dengan kecepatan maksimal. Kalau Anda masih belum yakin situasi nya, Anda juga bisa melakukan “late breaking”, menginjak rem sedikit terlambat seperti yang sering dilakukan pembalap dalam mempertahankan posisinya ketika akan disalip pembalap lain.<br /><br />“Break”, bukan langkah utama dan satu-satunya. Setelah menyesuaikan kecepatan, maka seorang pembalap akan melakukan langkah kedua yaitu “Turn”. Menyesuaikan arah mobilnya untuk melewati tikungan. Kita juga harus menyesuaikan kemudi usaha kita untuk melewati tikungan bisnis yang kita hadapi. Sesuai hasil evaluasi atas penurunan usaha yang terjadi, proses “Turn” bisa mencakup banyak hal. Bisa jadi kita harus merevisi produk kita, menghentikan produk tertentu, mengeluarkan varian produk baru. Mengevaluasi, mereposisi, mengganti atau bahkan mengurangi tim kita. Mencoba mengeksplorasi pasar baru. Dan sebagainya.<br /><br />Mobil F1 mampu melakukan “turn” dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari mobil road car, berkat rancangan aerodinamisnya. Bisnis pun juga begitu. Ada organisasi bisnis yang demikian gemuk dan birokratis, sehingga sulit melakukan “turn”. Maka, pastikan design organisasi bisnis Anda efisien untuk mengantisipasi ketika harus melakukan “turn”.<br /><br />Namun “Turn” juga bukanlah langkah terakhir. Kalau hanya berorientasi pada penyesuaian arah, seorang pembalap bisa-bisa hanya berputar-putar saja. Namun setelah arah sesuai dengan jalan yang terbentang di depan, pada satu titik maka pembalap akan kembali melakukan “Accelerate”. Menginjak kembali pedal gas untuk menambah laju kendaraan. Bisnis Anda juga harus kembali digeber, pada saat sudah menemukan kembali arah yang tepat. Ini tidak mudah, karena bisa jadi di depan sudah menghadang tikungan lagi, atau arah bisnis Anda belum benar-benar tepat. Disinilah pengalaman dan intuisi seorang pengemudi bisnis berperan. Adakalanya keputusan melakukan “Accelerate” bukan keputusan terbaik pada saat itu, dan bisnis Anda malah “spin” dan terpental dari sirkuit. Tapi semakin lama Anda menekuni bisnis, Anda akan tahu kapan saat yang tepat.<br /><br />Tiga langkah, dan hanya tiga langkah itulah yang dilakukan oleh seorang pembalap ketika menghadapi tikungan. Tapi justru tiga langkah ketika memasuki tikungan ini, yang dapat memastikan apakah mobil akan berhasil sampai di garis finish dengan selamat.<br /><br />Ayo geber usaha Anda !, jangan takut memasuki tikungan, lakukan maneuver dan selamat memasuki garis finish kesuksesan.Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-15847798833190682312010-02-18T15:22:00.001+07:002010-02-18T15:25:41.845+07:00Lima Penyebab Kegagalan Pebisnis PemulaBagi pelaku usaha pemula terkadang sulit untuk menerima kenyataan bahwa rencana usaha yang telah disusun dengan matang tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sikap demikian wajar karena pelaku usaha pemula, biasanya belum kenal dengan “kegagalan”. Sebagai pengusaha, kegagalan adalah peristiwa yang harus kita “akrabi”, sehingga ketika terjadi reaksi kita bukan frustrasi, namun dapat menganalisa penyebabnya dan mampu menyusun ulang strategi tepat untung mengatasinya. Penyebab kegagalan pebisnis pemula yang wajib diketahui, untuk dapat diantisipasi adalah sebagai berikut:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Penyebab pertama: Alasan yang salah dalam memulai usaha. </span><br />Banyak pengusaha pemula, memulai usaha dengan alasan yang tidak tepat. Misalnya, memulai usaha dengan alasan menghindari kerja keras di tempat kerja, tidak bahagia di tempat kerja, dan sebagainya. Karena alasan nya adalah menghindari kerja keras, maka pebisnis pemula tadi akan cepat sekali merasa frustrasi ketika dalam mengelola bisnis ternyata perlu usaha yang jauh lebih keras.<br />Kerja keras adalah hal biasa, baik di tempat bekerja maupun ketika mengelola usaha, justru bagaimana supaya bisa melengkapi dengan kerja cerdas dan kerja ikhlas, disitulah pekerjaan rumah nya. Kebahagiaan dapat hadir kapan saja, baik saat menjadi pekerja, maupun ketika menjadi pengusaha. Justru bagaimana dapat selalu menghadirkan semangat dan kebahagiaan di hati kita, dalam situasi apapun, disitu tantangannya.<br />Ketika alasan yang dipilih tidak tepat, maka frustrasi dan kegagalan akan mudah sekali menghampiri.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Penyebab kedua: Tidak berhasil menarik pelanggan.</span><br />Euphoria ketika memulai usaha, seringkali membutakan kita dengan hal-hal yang sangat prinsipil dalam bisnis, misalnya bagaimana mendatangkan pelanggan dan menciptakan transaksi yang menguntungkan. Karena sangat bersemangat memulai usaha, kadang pelaku usaha pemula lupa untuk melakukan mengenali pasar, apakah produk yang diciptakannya memiliki kebutuhan yang nyata pada pasar yang menjadi sasarannya. Produk yang luar biasa inovatif, desain menarik, tetap saja akan berpotensi gagal apabila memang tidak ada kebutuhan riil. Misalnya, jika pasar sasaran kita adalah para petani di desa, tentu produk yang cocok adalah perangkat pertanian yang mereka butuhkan, bukan perangkat perkantoran canggih yang dibutuhkan kaum professional di kota besar.<br />Dalam kasus lain, kita sudah menciptakan produk inovatif yang luar biasa, dan memang ada kebutuhan kuat dari masyarakat akan produk tersebut, namun kalau tidak dilakukan marketing yang baik, maka potensi gagal juga akan besar. Karena suatu produk yang baik, baru akan sukses, jika kita komunikasikan dengan cara yang tepat, kepada orang yang tepat, secara masal.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Penyebab ketiga: Biaya operasional terlalu besar.</span><br />Banyak pengusaha pemula yang gagal tinggal landas, karena besar pasak daripada tiang. Misalnya usaha sudah dapat mendatangkan hasil yang baik. Memiliki produk yang inovatif, pasar yang potensial, dengan kebutuhan yang terdefinisikan dengan baik. Strategi pemasaran pun dapat dijalankan dengan baik. Namun apabila untuk itu semua diperlukan biaya yang lebih besar dari pendapatan, maka dalam jangka panjang usaha tersebut akan sulit dipertahankan.<br />Seringkali biaya operasional yang besar tersebut datang dari “jebakan kemewahan korporat” belaka. Hal-hal yang sesungguhnya jika dikaji ulang tidak perlu. Misalnya, kantor yang mewah, sementara tidak pernah ada customer yang perlu datang ke kantor kita. Perangkat komunikasi dan komputer mobile yang canggih, sementara kita jarang perlu menggunakan di luar kantor. Kendaraan yang mahal sementara kita jarang memerlukan, dan sebagainya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Penyebab keempat: Manajemen hutang yang buruk.</span><br />Karena terlalu bersemangat dalam berusaha, seringkali pelaku usaha mengabaikan prinsip dasar berhutang. Seringkali mereka menggunakan hutang untuk hal-hal yang tidak terkait langsung dengan memperbesar hasil usaha. Akibatnya adalah jebakan hutang, yang ditutup dengan hutang yang lain, kemudian ditutup dengan hutang yang lain, dan seterusnya. Tidak jarang pengusaha pemula, berakhir usaha nya dalam kondisi terjebak hutang yang sudah sulit diurai ujung pangkal nya.<br />Prinsip dasar manajemen hutang adalah kita menggunakan hutang untuk mengungkit usaha kita. Kita mengambil hutang karena usaha kita dapat mendatangkan pendapatan, memiliki keuntungan yang cukup, yang akan menjadi sumber pengembalian hutang. Bukan semata karena ada jaminan berupa harta tetap (fixed asset).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Penyebab kelima: Tim yang tidak solid.</span><br />Tidak jarang usaha yang awalnya berjalan baik, kemudian harus bubar karena tim yang didalamnya memutuskan untuk berpisah. Terlebih apabila usaha tersebut dibangun secara bersama-sama. Potensi “pecah kongsi” dapat menjadi sumber kegagalan.<br />Umumnya ini terjadi karena tidak adanya “trust”, rasa percaya diantara anggota tim. Ketiadaan trust datang dari keinginan untuk dipercaya, tapi tidak dapat membuktikan diri bahwa kita layak dipercaya. Kepercayaan adalah sesuatu yang harus kita raih, kita buktikan melalui tindakan nyata. Bukan sesuatu yang diberikan begitu saja oleh orang lain.<br />Selain itu, pecah kongsi sering terjadi karena satu pihak merasa lebih unggul atau lebih berjasa dari pihak lain. Tidak menyadari bahwa setiap orang punya kekuatan dan kelemahan. Sikap seperti ini akan menjadi sumber perpecahan. Kalau memang ingin membangun usaha dengan partner, maka toleransi terhadap kelemahan partner lain menjadi kata kunci.<br /><br />Demikianlah lima penyebab kegagalan yang harus kita antisipasi. Seorang pengusaha sejati, tidak hanya siap untuk menerima keuntungan, tidak hanya terbius dengan angka-angka proyeksi keuntungan. Namun juga siap, jika hasilnya adalah sebaliknya. Pengusaha sejati akan menjadikan kegagalan tadi sebagai umpan balik, menyusun ulang strategi, dan bangkit kembali. (FR).Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-52627258098504103852009-11-02T00:21:00.000+07:002009-11-02T00:23:23.180+07:00Keranjang JebolSalah satu berkah menjadi wirausaha, dan lantas “diduga” memiliki banyak uang, adalah banyaknya kenalan dan saudara baru. Ada yang sekedar ingin berteman, ada yang ingin bersahabat dan sekaligus menawarkan “peluang investasi”. Tidak apa-apa tentu nya. Malah saya berterimakasih sudah diperkenalkan kepada rupa-rupa peluang investasi. Dan rupanya semakin maju peradaban, makin beraneka ragam “peluang investasi” tadi. Mulai dari yang sering kita dengar seperti saham, valuta asing, emas, pompa bensin, properti, dan sebagainya, hingga yang meski tidak pasti usahanya apa, namun pasti dalam menjanjikan keuntungan sekian persen per bulan.<br /><br />Contohnya, ada tawaran investasi yang menjamin keuntungan 60% per tahun. Dan modal pokoknya dijamin kembali dalam setahun. Menarik bukan?<br /><br />Kalau mau lebih cerdas, saya bisa pinjam uang di bank dengan bunga pinjaman katakanlah 15% per tahun, dan saya investasikan, maka saya sudah untung 45% per tahun. Wow, bayangkan kalau properti saya dijaminkan ke bank, dan dapat pinjaman Rp. 500 juta saja, setiap tahun saya bisa terima bersih Rp.225 juta. Tanpa keluar uang dari kocek sendiri. Properti masih utuh, plus kas masih utuh seandainya pinjaman mau dilunasi. Apalagi kalau keuntungan diinvestasikan kembali. Dahsyat. Bisa cepat bebas finansial dong. Mau?<br /><br />Tunggu dulu. Dari semua tawaran investasi tadi, jarang sekali saya mau ambil. Atau malah tidak pernah ya? Oh, berarti tidak punya uang … hehehe. Bukan, itu mungkin salah satu faktor, tapi pasti bukan alasan utama.<br /><br />Melakukan investasi kata orang seperti menaruh telur dalam keranjang. Maka kita harus memastikan keranjang seperti apa yang akan menjadi alat investasi kita.<br /><br />Saya beruntung, sebelum terjun ke dunia usaha pernah bekerja sebagai analis investasi, jadi sedikit banyak masih memiliki kepekaan dalam menimbang risiko investasi. Jadi setiap peluang investasi, pasti akan melewati lima meja screening saya, dan sebagian besar memang tidak lolos. Lima meja? Iya, lima meja imajiner yg saya gunakan dalam menimbang sebuah tawaran investasi:<br /><br /><b>Pertama, Kenali diri Anda.</b><br /><br />Lho masa sih sama diri sendiri tidak kenal? Nama, tanggal lahir, alamat sampai nomor KTP saja kan hapal. Maksudnya, kenali betul Anda ini sebenarnya siapa? Apakah Anda seorang pegawai yang ingin mengembangkan tabungan Anda supaya lebih banyak lagi melalui investasi. Atau barangkali Anda seorang pengusaha yang sedang ingin menikmati membangun bisnis lengkap dengan suka duka nya. Ataukah Anda seorang pengusaha sukses yang sudah melewati fase mengelola usaha, dan kini ingin “beternak uang”?<br /><br />Lalu apa tujuan Anda berinvestasi? Apa yang Anda inginkan dari investasi yang akan Anda lakukan. Apakah Anda memang ingin menjadi investor? Atau Anda sedang ingin mengoptimalkan aset Anda untuk mendukung pengembangan usaha?<br /><br />Kemudian apa target Anda dalam berinvestasi? Hasil cepat dalam jangka pendek, karena Anda sekedar memanfaatkan dana menganggur sebelum dana digunakan untuk hal lain? Atau Anda memang sedang ingin mencapai akumulasi kapital yang besar, dan siap dengan permainan investasi jangka panjang?<br /><br />Berapa dana yang siap Anda gunakan untuk investasi? Berapa lama Anda sanggup menahan dana tersebut dalam wahana investasi yang Anda pilih?<br /><br />Berapa besar risiko yang sanggup Anda tanggung seandainya investasi tidak berjalan sesuai rencana?<br />Anda jawab dulu pertanyaan-pertanyaan di atas, sebelum masuk ke meja kedua.<br /><br /><b>Kedua, Kenali mitra investasi Anda</b><br /><br />Anda sudah kenal calon mitra investasi Anda? Nama, alamat, nomor telpon, email, jenis usaha, kegiatan sehari-hari, account facebook? Tidak cukup. Oh, jangan khawatir Anda mungkin mengenal calon mitra Anda dari komunitas terpercaya, atau bahkan kenal dari aktivitas keagamaan. Atau barangkali, calon mitra Anda terkenal, sering muncul di koran dan majalah bisnis. Sayangnya semua itupun tidak cukup.<br /><br />Anda akan mempercayakan dana investasi Anda. Maka Anda harus mengenal betul mitra Anda.<br />Bukan sekedar mengenal pribadi nya. Tapi Anda harus tahu betul dana Anda akan diinvestasikan kembali dalam kegiatan usaha apa. Dan bagaimana mitra Anda menjalankan usaha tersebut. Baguskah pengelolaannya? Baguskan manajemen nya? Pengalaman dan track recordnya? Dan terutama baguskah hasilnya?<br /><br />Misalnya dana Anda akan diinvestasikan kembali dalam usaha agrobisnis? Maka Anda harus terjun melakukan observasi sendiri bagaimanan kegiatan agrobisnis akan dilakukan. Apa risiko-risiko nya, dan bagaimana mitra Anda mampu menangani risiko tadi. Apakah ada pengalaman sebelumnya yang membuktikan mitra Anda mampu menangani risiko. Properti? Anda harus tahu dimana lokasinya? Bagaimana prospeknya? Kemampuannya menyelesaikan proyek, dan sebagainya. Industri telekomunikasi? Pertambangan? Pelayaran? Penerbangan? Sama saja. Jangan ragu dan malu bertanya, daripada nanti menyesal. Jangan sampai mitra usaha Anda belakangan sekedar berdalih "maaf, saya ditipu orang" hanya karena ketidaktahuan mereka dalam bisnis yang akan dimasuki.<br /><br /><b>Ketiga: Berhitunglah Sendiri</b><br /><br />Percayalah, semua hitungan dalam proposal investasi sudah pasti indah adanya. Kalau saya, pasti saya hitung kembali. Dengan asumsi saya sendiri. Karena seringkali asumsi nya over-optimistic dan tidak realistis. Cara terbaik adalah dengan melakukan cross-check dengan dunia nyata. Misalnya jika calon mitra mengaku usaha tersebut revenue perbulannya sekian milyar, maka coba cek usaha sejenis, apa betul angka tadi masuk akal. Dengan sedikit survey, maka Anda akan memiliki perhitungan yang lebih masuk akal.<br /><br />Perhitungan yang luar biasa khayal biasanya menyangkut proyeksi pertumbuhan per tahun. Wah, bisa sangat indah. Tumbuh sekian puluh persen per tahun, BEP dalam sekian tahun. Dan seterusnya. Ingat, semua adalah berdasarkan asumsi. Hasilnya bisa sama sekali berbeda ketika asumsi berubah.<br /><br /><b>Keempat: Bicaralah dengan Mr. Spock dan Dr. Mc.Coy</b><br /><br />Di film Star Trek, Kapten Kirk punya dua penasehat: Dr. Mc.Coy yang emosional, dan Mr. Spock yang logis. Ketika membuat keputusan Kirk sering bertanya kepada keduanya, untuk mendapat masukan yang balance.<br /><br />Dalam berinvestasi Anda juga harus bertanya pada Spock dan Mc.Coy. Jangan hanya karena faktor emosi, Anda membuat keputusan investasi. Misalnya, karena memiliki ikatan batin atau terpesona kharisma mitra investasi, Anda rela melepas ratusan juta.<br /><br />Atau Anda melakukan investasi hanya karena teman lain sudah melakukan. Anda tidak kuasa membayangkan teman Anda nanti akan kaya raya dari investasi yang ditawarkan, dan Anda takut ketinggalan miskin sendirian. Kata-kata “Yang lain sudah ambil nih, tinggal kamu saja ...” terngiang di telinga. Maka karena perasaan Anda tidak mau kalah, keputusan investasi diambil dengan cepat. Sebenarnya ini tidak salah, karena emosi manusia memang sesungguhnya membantu. Tapi tolong tanya juga Mr.Spock yang ada dalam diri Anda sendiri. Apakah investasi ini memang layak dilakukan? Apakah keuntungan yang ditawarkan masuk akal? Apakah risiko yang mungkin terjadi sepadan dengan dana yang akan Anda keluarkan?<br /><br />Terlebih kalau mitra investasi Anda menghimpun dana dari orang banyak. Tanyakan ke Spock, bagaimana dengan likuiditasnya? Bayangkan, calon mitra investasi Anda mengumpulkan uang dari banyak investor. Kemudian menginvestasikan dana yang terkumpul kedalam berbagai bentuk usaha dan investasi. Dan dapat dipastikan sebagian besar nvestasi yang dilakukan tidak likuid. Karena yang likuid (mudah menjadi kas kembali) paling hanya rekening bank, deposito dan investasi surat berharga yang marketabel dan dijual di pasar modal dan pasar uang.<br /><br />Jadi misalnya 20% saja dari dana investor ditarik pada hari yang sama, mitra investasi Anda akan kolaps. Kenapa? Karena uang sudah menjadi asset tidak likuid, yang perlu waktu untuk kembali menjadi cash kembali. Bagaimana kalau yang menarik dana sebanyak 50%, 80%? Wah, bisa saya pastikan mitra investasi Anda akan mendadak sulit ditemui. Bukan karena soal itikad baik, namun memang secara logis, ada siklus “asset conversion cycle”, yang membuat kas tidak bisa ditarik begitu saja dengan cepat, apalagi dalam jumlah banyak.<br /><br /><b>Kelima: Miliki “Exit Strategy”</b><br /><br />Semua investasi pada prinsipnya harus memiliki strategi untuk “keluar pada keadaan darurat”. Mirip pintu darurat pada pesawat terbang atau gedung-gedung perkantoran. Jika terjadi risiko yang tidak dikehendaki, melalui jalan mana Anda akan keluar dari investasi Anda. Investasi saham dan valas, punya pintu exit berupa batas untuk cut-loss. Misalnya kalau harga terus turun, di titik tertentu harus berani melepas supaya kerugian tidak semakin besar. Dalam hal ini exit strategy nya mudah, yaitu jual.<br /><br />Property, emas, dsb, juga exit strategy nya adalah melepas dan memperoleh kembali kas, meskipun tidak 100% karena dipotong “realized loss”.<br /><br />Bahkan bank, ketika memberikan pinjaman kepada debitur, selalu meminta kolateral untuk memback-up pinjaman yang diberikan. Kalau debitur tidak mampu membayar, maka exit strategy nya adalah dengan mengeksekusi kolateral.<br /><br />Anda bisa menilai sendiri, apakah investasi yang Anda lakukan memiliki exit strategy? Bagaimana jika mitra investasi tidak mampu membayar hasil investasi yang dijanjikan. Atau malah lebih gawat lagi tidak mampu membayar pokok investasi nya? Apa yang dapat dilakukan untuk memperoleh kembali kas yang Anda tanam?<br /><br />Investasi yang tanpa exit strategy sama saja dengan pesawat tanpa pintu darurat.<br /><br />Kalau setelah melewati lima meja di atas, Anda yakin investasi Anda layak dilaksanakan, maka lakukan saja. Banyak yang mengatakan bahwa dalam berinvestasi, jangan menaruh telur di keranjang yang sama. Itu betul. Namun tidak cukup. Lima langkah di atas saya maksudkan untuk memastikan bahwa kita tidak menaruh telur di keranjang yang sama, dan pastinya bukan keranjang yang jebol. (FR)Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-82796616077159970192009-10-09T16:32:00.001+07:002009-10-09T16:36:23.195+07:00The Art of The Start: 8 Hal yang Harus Anda Perhatikan Ketika Memulai UsahaSaya memulai membangun usaha pada tahun 2002. Waktu itu saya merasa sudah cukup menjalani karir di bidang perbankan dan kemudian teknologi informasi. Dengan penuh rasa percaya diri, penuh keyakinan, dengan restu orang tua, dukungan istri, dukungan keluarga, teman dan segenap handai taulan, berdirilah perusahaan saya. Yang kemudian ternyata “failure to launch”.<br /><br />Ya, ibarat mencoba meluncurkan Apollo ke Bulan, boro-boro sampai bulan. Mesin nya saja gak langsung nyala. Masih untung gak sampai meledak.<br /><br />Tapi itu dulu … Alhamdulillah sekarang usaha IT yang saya tekuni relatif berjalan dengan baik. Ini yang membuat saya sering ditodong berbagi pengalaman. Tentu banyak sekali pengalaman yang bisa dibagikan. Baik pengalaman yang indah maupun tidak indah untuk dikenang. Kalau mau diceritakan satu persatu, mungkin bisa jadi novel. Hari ini, saya ingin share 8 hal yang menurut saya harus diperhatikan oleh siapapun yang sedang memulai usaha nya sendiri. Ini bukan dari teori, bukan dari buku, tapi saya ambil dari pengalaman saya sendiri.<br /><br /><b>1. Ide Harus Besar, Tapi Tetap Membumi</b><br />Sewaktu memulai usaha, terus terang saya dan rekan-rekan saya memiliki segudang ide besar. Yang mungkin saking besar nya, tidak cukup realistis dengan kenyataan di pasar. Produk yang kami bawa memang bagus secara teknologi, tapi hampir-hampir tidak bisa dijual. Memiliki ide besar boleh, tapi jangan sampai melupakan realitas pasar, karena ujung-ujung nya kita harus menjual sesuatu.<br />Untuk tidak mengulang kesalahan semacam itu, paling tidak kita harus memperhatikan:<br /><br />Pertama: Apa sebenarnya produknya? Menjawab ini saja bagi saya dulu, kadang sulit. Mungkin saking ingin menerapkan prinsip “apa lu mau gua ada”, sampai-sampai sosok “binatang” nya apa tidak jelas. Dari A – Z ingin di cover semua, sampai bingung sendiri kalau harus diceritakan ke calon pelanggan. Kalau kita saja bingung, gimana yang mau beli?<br /><br />Kedua: Produk ini mau dijual kesiapa? Siapa yang memerlukan? Kadang-kadang kami di bidang IT saking asik nya menciptakan produk dengan teknologi terkini, sampai lupa siapa sebenarnya yang memerlukan produk ini. Kami mencipta karena kami bisa, bukan karena ada pihak yang memerlukan.<br /><br />Ketiga: Kira-kira berapa nilai pasarnya? Wah, musti riset pasar? Iya, tapi bisa riset pasar kecil-kecilan, tanpa bayar konsultan. Artinya, secara sederhana kita bisa mengukur sendiri, pihak yang memerlukan produk yang kita jual, sebenarnya bersedia membayar berapa. Jangan-jangan butuh sih butuh, tapi kalau disuruh beli tidak mau. Dan selanjutnya kita juga perlu tahu ada berapa banyak potensi pelanggan di area yang jadi sasaran kita.<br /><br />Keempat: Bagaimana persaingannya? Siapa saja pemain lama yang lebih dulu ada. Seberapa banyak mereka menguasai pasar yang jadi sasaran tadi. Apakah pasarnya tetap, berkembang, atau malah sedang menyusut.<br /><br />Kelima: Mengapa produk kita lebih baik dibanding produk pesaing? Apa keunikan-nya? Apa kelebihannya? Apa USP nya? dsb. Bagaimana strategi kita untuk membawa produk kita ke pasar tadi. Apa irresistible sensational offer yang ingin kita sampaikan ke pelanggan potensial kita?<br /><br />Kelima hal tadi kalau Anda tulis, sudah sama isinya dengan rencana pemasaran. Memang tidak canggih, tapi cukup untuk membumikan ide besar kita.<br /><br /><b>2. “Isi” Lebih Penting dari “Bungkusan” </b><br />Lho bukannya sudah jelas? Kalau makan Duren, mending isinya apa kulitnya? Ya tentu isi nya. Untuk kasus Duren sepertinya jelas. Nah, tapi bagi para pebisnis pemula, godaannya justru seringkali adalah bagaimana memiliki bungkusan yang bagus, entah ada isi nya atau tidak.<br /><br />Sewaktu baru mendirikan usaha, saya memiliki pemahaman, bahwa yang namanya usaha, kantor, harus langsung dilengkapi infrastruktur yang lengkap. Sekalipun baru berdiri. Yang penting bungkusnya dulu.<br /><br />Tidak ada yang salah sebenarnya, apabila usaha nya berjalan dengan baik. Tapi dalam kasus saya dulu, karena revenue tak kunjung tiba, sementara “tongkrongan” kantor sudah terlanjur keren, kemana-mana pake jas. Malah jadi mirip main kantor-kantor-an … hehehe.<br /><br />Saya belajar bahwa ternyata percuma buang-buang resources demi “bungkusan”, kalau tidak ada isi nya. Jangan sampai perusahaan seolah menjadi bungkusan besar, padahal isi nya tidak ada. Kantor nya bagus, karyawan banyak, bos nya naik mercy semua. Tapi revenue nya secara konsisten selalu kecil. Ya percuma. Sebaliknya, tanpa memaksakan diri untuk “main kantor-kantoran”, bungkusan toh akan membesar sendiri ketika isi nya memang sudah besar. Tanpa perlu kita paksakan.<br /><br /><b>3. Modal tidak Selalu Berupa Uang </b><br />Pertanyaan klasik yang selalu disampaikan dalam setiap diskusi yang pernah saya lakukan adalah: “Bagaimana memulai usaha, sementara saya tidak punya modal.” Atau “Bagaimana mau memulai, Saya tidak punya uang?”<br /><br />Setelah menjalani usaha, Anda akan paham bahwa modal awal tidak selalu berupa uang. Dalam pengalaman saya, ketika saya mencoba menginvestasikan segenap sumber-daya keuangan yang saya miliki, sampai habis-habis an, ternyata usaha yang saya rintis malah tidak menghasilkan. Mungkin karena sebagian besar habis untuk main kantor-kantoran tadi. Tapi justru pada saat saya kehabisan sumber-daya uang, dan tinggal mengandalkan sumber-daya ide dan jaringan kerja, usaha saya malah mulai berjalan.<br /><br />Jadi menurut saya modal utama yang harus dimiliki adalah idea atau gagasan. Dan ide ini diproduksi oleh otak kita sendiri, gratis. Kalau Anda saat ini belum punya ide, tidak apa2. Masih punya otak kan? Karena selama masih punya otak, ide nanti akan dating sendiri, tentunya kalau kita stimulasi terus menerus melalui baca buku, diskusi dan brainstorming dengan teman-teman. Kalau setelah di cek ternyata otak juga sudah tidak punya, nah itu soal lain.<br /><br />Saya percaya kalau sebuah ide terbukti dapat menghasilkan uang, maka dengan sendiri nya akan menarik hal-hal lain untuk mendukungnya. Termasuk menarik pemilik modal berupa uang yang kita perlukan.<br /><br />Nah, dengan demikian kita juga harus punya skill untuk menjual gagasan. Ide atau gagasan tadi harus kita sampaikan kepada orang yang tepat, dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat. Jadi kalau mau mulai usaha harus terbiasa menyampaikan gagasan secara lisan, tertulis ataupun melalui demo. Ini skill yang tidak mudah, tapi bisa dilatih dan dipelajari.<br /><br /><b>4. Anda Bukan Superman </b><br />Mungkin saja, di tempat kerja sebelumnya kita dikenal memiliki keahlian teknis yang baik. Bisa jadi kita adalah engineer dengan segudang keahlian dan sertifikasi di tangan. Tapi seorang teknisi yang baik, seandainya kemudian diminta untuk duduk di jajaran management, belum tentu akan menjadi manager yang baik.<br /><br />Sebagai manager, bukan lagi skill teknis yang harus dikuasai, namun lebih banyak strategi dan taktik bagaimana bisa mendapat hasil melalui orang lain. Namun, manager yang baik belum tentu bisa menjadi pewirausaha yang baik juga. Karena sebagai pewirausaha, tidak lagi bagaimana mengurus hari ini, tapi harus berorientasi masa depan, lebih banyak berurusan dengan visi, mau dibawa kemana perusahaan.<br /><br />Programmer yang hebat, tidak selalu adalah seorang project manager yang hebat juga, project manager yang sukses dalam berbagai implementasi, belum tentu akan menjadi pewirausaha handal. Ketiganya adalah sosok berbeda. Dan jika Anda tidak bisa menjadi ketiganya, maka Anda butuh orang lain untuk menjadi partner usaha Anda. Kalau Anda jago dibidang pengembangan, dan hanya mau bekerja dalam hal pengembangan, maka Anda butuh partner yang menguasai pengelolaan sumber daya, pemasaran, keuangan, dsb.<br /><br />Berpartner dalam usaha tidak mudah. Usaha pertama saya, yang didirikan oleh empat partner, tidak berjalan dengan baik. Kami memutuskan berpisah di depan. Karena sungguh sulit menyatukan ide 4 kepala.<br /><br />Untuk bisa berjalan dengan baik, kata kunci nya adalah adanya rasa saling percaya (“trust”), dan toleransi. Toh kita bukan Superman. Kita bukan manusia sempurna, maka kita juga harus bisa menerima ketidak-sempurnaan partner kita.<br /><br /><b>5. Manfaatkan Jaringan </b><br />Yang saya lupakan pada tahap awal membangun usaha adalah kedekatan dengan jaringan kerja. Padahal, dikemudian hari terbukti, jaringan adalah modal yang sangat berharga.<br /><br />Pertama, kita harus mengenal komunitas pelanggan kita. Kalau perlu hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka, jika ada. Berinteraksi dengan intens dengan mereka. Supaya kita dapat memahami “what’s hot” dan dapat segera merespon dengan produk atau solusi yang kita tawarkan.<br /><br />Kedua, kita juga harus dikenal dikalangan usaha sejenis. Penting untuk eksis dan dikenal oleh perusahaan-perusahaan sejenis, terutama yang sudah lebih dulu maju. Kita harus bersikap kooperatif, bukan kompetitif. Kalau keahlian kita sudah dikenal, jangan heran, seringkali pekerjaan-pekerjaan penting bisa datang dari kerjasama dengan perusahaan sejenis.<br /><br />Ketiga, kita juga harus eksis dimata pemilik modal. Apakah itu bank, lembaga keuangan, ataupun pribadi-pribadi yang punya uang tapi bingung mau bisnis apa. Track record kita dimata mereka harus baik. Pada masa pertumbuhan, dukungan mereka akan penting.<br /><br />Keempat, kita juga harus dekat dengan pihak-pihak yang berpotensi membantu pemasaran produk kita. Apakah itu sebagai partner, agent atau reseller.<br /><br />Kelima, kalau kita memerlukan produk dari pihak ketiga, maka kita harus dekat dengan jaringan supplier. Jika ada, maka bagus lagi masuk dalam komunitas supplier, sehingga kita tidak bergantung pada satu pihak saja.<br /><br /><b>6. Jangan Malu Untuk “Narsis” </b><br />Banyak teman pelaku usaha IT yang saya tahu sangat hebat dalam menciptakan produk. Sayangnya mereka terlalu “malu-malu kucing”. Nah, kalau sudah menjadi pewirausaha, saatnya untuk “narsis-narsis macan”.<br /><br />Bagaimana orang tahu Anda punya produk hebat, kalau Anda simpan untuk diri sendiri. Tampilkan diri Anda dan produk Anda, supaya dikenal. Dengan demikian Anda sudah membantu mempermudah hidup orang yang sedang mencari produk Anda.<br /><br />Tidak perlu iklan yang mahal. Rajin-rajin lah berbagi tentang apa yang Anda sukai. Baik secara offline maupun online. Rajinlah menulis, berkomentar di milis, dan berbicara tentang topik yang Anda kuasai, terkait bisnis Anda. Bagikan ilmunya secara gratis, tidak usah terlalu memikirkan uangnya dulu. Setelah Anda mendapatkan atensi dan reputasi, maka uang akan mengikuti.<br /><br /><b>7. Tetap fleksibel</b><br />Selama perjalanan Anda dalam berbisnis, tetaplah fleksibel. Memang Anda disarankan untuk merumuskan tujuan yang jelas, sehingga tahu persis aksi apa yang harus dilakukan. Namun tujuan bukanlah peta mati yang membatasi gerak Anda. Lebih sesuai kita sebut tujuan tadi adalah kompas yang menunjuk kemana Anda akan menuju. Jika di tengah jalan ada kejutan? Ya, improvisasi-lah.<br /><br />Pada waktu memulai usaha IT, saya berniat berjualan system untuk remote trading. Eh ternyata gagal. Kemudian, sempat membangun visi untuk menjadi penyedia solusi mobile. Kurang greng. Memposisikan sebagai web application developer, lumayan, tapi sedikit “kurang gizi”. Maklum baru nyari bentuk. Ketika ada peluang masuk ke market IT Service Management dan IT Asset Management, dan kita coba. Ternyata berjalan. Dan segala rintisan yang sudah dijalani pun seperti menemukan momentum.<br /><br />Bisnis memang lebih banyak kejutan, dibanding peristiwa “sesuai scenario”. Coba kalau saya “fanatik” hanya mau jualan solusi remote trading, misalnya. Demi visi, cita-cita, dan tujuan sakral yang tdk boleh diganggu gugat misalnya. Entah apa yang akan terjadi. Saya memutuskan tujuan menjadi guide saya, tanpa menolak peluang yang hadir ditengah perjalanan.<br /><br /><b>8. Think Big – Start Small – Act Now.</b><br />Punya rencana besar kalau tidak dilaksanakan percuma. Saya dulu sempat dikenal sebagai tukang bikin rencana. Mudah sekali saya memunculkan ide-ide bisnis. Yang tidak satupun saya kerjakan.<br /><br />Sampai suatu hari ada teman mengingatkan. Stop berwacana. Kerjakan. Nah, ini yang bikin bingung. Memang kalau mau dikerjakan semua jadi bingung. Maka cita-cita besar kita harus coba dipecah dalam rencana-rencana kecil. Dan yang kecil-kecil ini dulu yang kita kerjakan.<br /><br />Ingin punya online store buku nomer satu di Indonesia? Sebuah cita-cita besar. Tapi langkah pertamanya apa? Karena online store Anda tidak bisa tiba2 muncul begitu saja. Anda bisa pecah dalam “start small”. Menyusun catalog buku yang akan dijual? Merancang tampilan? Memilih aplikasi online store yang cocok? Membeli domain? Memesan hosting? Dan sebagainya. Ketika dipecah menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil, semua jadi masuk akal untuk dikerjakan.<br /><br />Nah, kapan mulainya? Ya sekarang! Semua bisa dikerjakan sekarang. Belum punya uang untuk beli domain, bisa merancang tampilan dulu. Belum bisa aplikasi online store, bisa belajar dulu, dsb. Jadi, Think Big – Start Small – Act Now!<br /><br />Lalu, mengapa masih membaca tulisan saya ini. Ayo mulai kerjakan sekarang!<br /><br />(*) Tulisan ini adalah rangkuman materi yang saya sampaikan pada Seminar penutupan Program Pemagangan untuk SDM IT yang diselenggarakan RICE dan PT.INTI di Bandung 8 Oktober 2009.Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-27712037725438315362009-10-07T11:09:00.001+07:002009-10-07T11:11:26.937+07:00Gratiskan Jualan Anda !“Cara jualan kamu kuno !” Demikian kata seorang pengusaha senior kepada saya ketika kami sedang berbuka puasa bersama, bulan Ramadan lalu. Saya tergagap. Wah, baru kali ini ada yang mengatakan demikian tentang model bisnis saya. Tapi berhubung beliau jauh … jauh … jauh … lebih berpengalaman dibanding saya, dengan usaha yang skala nya ratusan kali lipat usaha saya, saya tidak punya pilihan lain selain mendengar kritikan beliau. Saya menahan nafas menunggu kalimat beliau berikutnya.<br /><br />Beliau menambahkan, “Kalau kamu bisnis IT, nyuruh pelanggan beli produk, itu bisnis jaman dulu”. Saya mulai paham. Karena beberapa pelanggan saya ada yang memang menggunakan pola pembayaran bulanan atau sewa. Tidak mau kalah saya langsung berkomentar: “Kalau sewa atau bayar biaya bulanan bagaimana Pak?” Beliau menjawab: “Itu lebih baik. Tapi itu sekarang juga sudah kuno!” Nah ini bikin saya kaget lagi. “Yang gak kuno gimana dong Pak?”, saya makin penasaran. “Yang gak kuno itu kalau pelanggan gak usah bayar !.” Nyaris saya lompat dari kursi. Gratis? Musti bayar gaji karyawan dari mana? Beliau hanya tertawa-tawa, membuat saya makin penasaran.<br /><br />Seolah “Law of Attraction” bekerja keras untuk saya. Dua minggu kemudian tanpa sengaja saya nemu buku baru karya salah satu penulis favorit saya Chris Anderson, judulnya: “Free: The future of radical price”. Ya, pengusaha senior tadi ternyata benar! Masa depan ternyata ada pada harga nol, alias gratis. Pelanggan gak usah bayar.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Semua Serba Gratis</span><br />Tidak dapat disangkal, virus gratis memang sudah menjalar kemana-mana. Kita sekarang bisa dengan mudah mengakses internet di mall-mall melalui infrastruktur hot-spot gratis. Saya menggunakan laptop dengan OS Linux Ubuntu yang dibagi-bagikan gratis oleh Canonical, mengetik dengan word-processor OpenOffice yang disediakan gratis oleh Sun Microsystem, menggunakan browser Firefox yang gratis, menggunakan layanan email gratis dari Google, chatting gratis melalui Yahoo Messenger dan mengakses jaringan seperti Facebook secara gratis. Malah kalau online nya di bandara, kopi yang menemani saya online pun gratis, komplimen dari lounge yang disponsori penerbit kartu kredit yg saya pakai. Chris Anderson malah mengetik seluruh isi buku nya melalui aplikasi Google Docs, word processing gratis yang disediakan online oleh Google.<br /><br />Tunggu … kenapa yang gratis hanya layanan-layanan yang terkait dengan internet? Oh tidak. Diluar itu Anda juga dengan mudah menemukan produk atau layanan gratis atau sangat murah. Memang tidak semua sudah tersedia di Negara kita. Beberapa tahun lalu, kalau ingin pasang antenna parabola di rumah, kita harus membayar cukup mahal. Sekarang antenna parabola “dipinjamkan” oleh provider layanan siaran TV melalui satelit. Modem bisa kita peroleh gratis jika kita berlangganan broadband. Hampir semua penerbit kartu kredit sudah menggratiskan iuran tahunan-nya. Low cost airlines telah merevolusi dan mempelopori penjualan tiket pesawat terbang sangat murah atau bahkan gratis. Di Negara-negara maju, daftar produk gratis ini semakin banyak. Anda dapat memiliki handphone dengan gratis, tentu dengan kontrak berlangganan tertentu. Memiliki laptop gratis, dengan berlangganan akses broadband. Singkat kata semua ada versi gratis nya, bahkan mobil gratis pun ada. Kalau majalah gratis sudah sangat biasa, Di Tokyo, malah ada toko yang menyediakan 5 item gratis untuk setiap pengunjungnya, mulai dari lilin, mie instan, sampai krim wajah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Makan Siang Gratis Memang (Pernah) Ada</span><br />Anda tentu pernah mendengar ungkapan “tidak ada makan siang gratis”. Ungkapan ini sebenarnya berasal dari jaman Cowboy di Amerika Serikat. Pada waktu itu banyak Saloon, tempat nongkrong orang Amerika jaman dulu, yang menyediakan makan siang gratis untuk menarik pengunjung. Makan siang nya memang benar-benar gratis. Tapi pengunjung harus bayar mahal untuk yang lain-lain, seperti minuman, permainan kasino, sewa kamar, dsb.<br />Bagi-bagi produk gratis juga awalnya dilakukan oleh King Gillette, pencipta silet cukur pertama di dunia. Jaman dahulu pria bercukur dengan pisau cukur lipat yang tidak praktis, harus sering di asah, dsb. Ide menggunakan pisau cukur super tipis yang tidak perlu diasah, tapi dibuang jika sudah tumpul, adalah ide baru yang awalnya sulit dipahami. Gillette pun membagikan secara gratis sebagai marketing gimmick produk lain, dengan harapan pengguna baru yang menyukai ide ini selanjutnya akan membeli. Misalnya bekerjasama dengan bank, pisau baru Gillette dijadikan bonus bagi pembuka rekening tabungan. Dan Gillette benar, lambat laun pisau cukur Gillette dikenal dan kemudian mendunia hingga hari ini.<br /><br />Jell-O, dessert paling popular di Amerika juga awalnya sulit untuk dijual. Peter Cooper, penemu makanan dari gelatin ini kesulitan memperkenalkan produk baru nya. Baru setelah produk ini dipasarkan oleh genius pemasaran dan orator Francis Woodward, Jell-O menemukan tempatnya di pasar. Woodward bukan membagikan produk ini secara gratis. Namun mencetak dan membagikan buku resep gratis untuk memberi ide kepada calon pelanggan, bahwa Jell-O sangat praktis dan dapat disajikan dengan berbagai variasi. Woodward yang membeli lisensi Jell-O hanya seharga $450 sukses besar.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dari Kelangkaan Menuju Keberlimpahan</span><br />Model gratis a la Saloon, Gillette dan Jell-O adalah model-model gratis abad lalu, yang hingga sekarang masih sering digunakan. Namun, abad 21 telah menciptakan model bisnis gratis baru. Model bisnis yang digerakkan oleh kemudahan dan teknologi.<br /><br />Plastik pada awalnya dirancang sebagai produk eksklusif. Riset dan produksinya memerlukan biaya mahal. Plastik juga lebih kuat dan tahan lama disbanding kayu. Jadi sudah selayaknya produk dari plastic dijual mahal. Namun, kita lihat hari ini, plastic demikian berlimpah ada dimana-mana. Plastik pada akhirnya menjadi komoditas yang berlimpah dan murah.<br /><br />Barang elektronik modern tumbuh pesat setelah transistor ditemukan. Pada awalnya transistor adalah barang langka yang mahal. Tahun 1961 harga 1 buah transistor adalah $ 10. Kurang dari 10 tahun harga nya sudah tinggal $1 sen. Dan hari ini, sebuah microchip yang setara dengan 2 milyar transistor hanya dijual $ 300, atau 0.000015 sen per transistor. Hal yang sama terjadi juga untuk kapasitas penyimpanan disk dan juga bandwidth, yang semakin lama semakin murah. Inilah yang kemudian memicu revolusi digital yang merubah cara pandang pengusaha dalam mencari revenue.<br /><br />Ketika sebuah produk telah menjadi komoditi yang “terlalu murah untuk dihargai”, maka kita tidak lagi bisa mengandalkan harga produk sebagai sumber revenue kita. Harga sangat terkait dengan kelangkaan, sementara yang kita hadapi adalah keberlimpahan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Gratis? Dari Mana Uangnya?</span><br />Menjalankan usaha memang tetap harus berorientasi pada profit, yang sumber nya adalah revenue dikurangi cost. Model bisnis gratis pada dasarnya melakukan kreatifitas pada sumber revenue, bukan menghilangkan revenue. Jika semula revenue semata dari harga jual, maka dengan prinsip keberlimpahan, kita coba mencari revenue dari sumber lain. Beberapa model bisnis yang ada adalah:<br /><br />Subsidi Silang Langsung<br />Ini model generasi pertama. Revenue dari sumber lain memberikan subsidi silang untuk item yang sengaja dibuat lost. Misalnya, gratis handphone, tapi bayar talktime. Gratis antenna parabola, bayar biaya langganan. Gratis software, bayar hardware. Dsb. Termasuk model bisnis yang digunakan Canonical yang membagikan OS Ubuntu Linux secara gratis. Software nya memang gratis, tapi jika perusahaan kemudian butuh jasa konsultasi, training dan implementasi Ubuntu resmi dari Canonical, perusahaan tersebut harus membayar mahal.<br /><br />Subsidi Pihak Ketiga<br />Ini model bisnis yang digunakan Radio, TV dan Majalah Gratis. Pelanggan gratis, tapi pemasang iklan bayar. Digunakan juga oleh penerbit kartu kredit yang menggratiskan iuran, tapi memberikan charge yang mahal ke merchant. Diskotik juga menjadi pelopor model ini melalui program “ladies night”. Gratis untuk pengunjung wanita, tapi pengunjung pria membayar.<br /><br />Freemium<br />Ini model yang sering digunakan perusahaan konsultan dan teknologi informasi. Gratis untuk versi yang generic, tapi membayar untuk versi premium. Bisa juga divariasikan dengan modul. Untuk modul terbatas gratis, modul yang lebih lengkap bayar. Gratis untuk konsultasi awal, bayar untuk jasa konsultasi yang lebih lengkap. Gratis untuk overview seminar, bayar untuk training yang lebih lengkap.<br /><br />Nonmonetary<br />Ini yang 100% gratis. Jasa yang diberikan sama sekali gratis. Imbalan yang diterima penyedia jasa adalah perhatian dan reputasi. Dan dengan reputasi yang semakin meningkat, dikenal dimana-mana, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendatangkan revenue. Musisi yang memberikan karya nya secara gratis dan memperoleh reputasi dan perhatian, dapat menghasilkan revenue dari konser-konser ataupun penjualan merchandise nya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sebelum Menggratiskan Jualan Anda</span><br />Oke … oke, mungkin kedengarannya masih menakutkan untuk menggratiskan begitu saja jualan Anda. Memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum Anda menggratiskan jualan Anda:<br /><br />Pertama, Sesuaikan dengan model bisnis yg ada sekarang. Anda harus analisa baik-baik dari mana sumber revenue Anda. Secara umum menggratiskan jualan Anda dimaksudkan untuk memperbesar revenue, bukan mengurangi revenue. Kalau Anda jualan baju dan membagi-bagikan begitu saja produk terbaru Anda, sulit dibayangkan untuk mendapat revenue yang lebih besar. Tapi jika Anda member subsidi pada asesoris dan membagikan gratis sebagai gimmick untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak, jauh lebih masuk akal. Atau mungkin yang bisa digratiskan adalah catalog, newsletter atau buku kecil tentang bagaimana memanfaatkan produk Anda secara maksimal.<br /><br />Kedua, gratis akan efektif jika sifatnya masal, melibatkan crowd yang besar. Karena dengan biaya yang sudah ditetapkan, maka semakin besar pelanggan terlibat, biaya per pelanggan akan semakin kecil hingga nyaris nol. Membagikan software gratis kepada 100 orang atau 1 juta orang akan sangat berbeda. Maka Canonical dengan Ubuntu nya rajin mengirim CD gratis. Dalam ekonomi digital eksistensi produk kita di pasar akan sangat tergantung pada atensi dan reputasi. Gratis adalah senjata untuk mencapai dua hal tersebut.<br /><br />Saya menutup buka bersama dengan pengusaha senior yang saya ceritakan di depan dengan perasaan puas. Beliau menceritakan dengan detil “resep rahasia” menggratiskan layanan IT beliau, dan tetap memperoleh revenue dari tempat lain. Sebelum kami berpisah, beliau mengucapkan kalimat: “Oh ya, kalau semua sudah gratis, gratis pun jadi kuno. Harusnya pelanggan gak usah bayar, malah dibayar!” Waduh …. (FR)Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com20tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-10135271129452928802009-06-24T00:26:00.001+07:002009-06-24T00:26:46.272+07:00Percayalah ...“Kamu harus percaya pada ku Ma ...” Kata seorang suami memelas di depan istri nya yang marah sambil memegang kemeja kantor dengan cap lipstik di kerah nya.<br /><br />“Percayalah, meski pergi jauh, aku akan kembali dan melamarmu ...” kata seorang pemuda, sesaat sebelum meninggalkan pacarnya untuk pergi merantau.<br /><br />“Kalau proyek ini dipercayakan kepada kami, saya yakin akan selesai sesuai anggaran dan jadwal yang Bapak tetapkan ...” kata seorang konsultan kepada klien nya.<br /><br />“Rakyat tidak lagi percaya dengan pemerintah yang sekarang ...”, demikian kata seorang politisi yang ingin dipilih rakyatnya.<br /><br />Contoh pernyataan-pernyataan di atas berbicara tentang “ke-percaya-an” (trust). Untuk menghindari kerancuan, saya menggunakan istilah trust, karena “kepercayaan” dalam Bahasa Indonesia dapat juga berarti “beliefs” atau “faith”. Jadi apa sesungguhnya trust itu? Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, darimana datangnya trust?<br /><br />Semua sepakat bahwa trust itu penting. Pernikahan, dibangun di atas trust yang tumbuh di antara antara suami dan istri. Organisasi, berdiri karena ada trust di antara anggota nya. Perusahaan, berdiri karena ada trust antara pemilik usaha, pelanggan, pekerja dan mitra kerjanya. Transaksi bisnis, terjadi karena ada trust antara penjual dan pembeli. Negara, berdiri karena masih ada trust di antara warga negara dan penyelenggara pemerintahan-nya. Tanpa trust, tanpa ke-percaya-an, maka ikatan-ikatan tadi akan runtuh. Trust adalah “The one thing that changes everythings” demikian kata Stephen Covey dalam buku The Speed of Trust.<br /><br />Terlebih lagi dalam bisnis. Trust diakui memiliki korelasi yang erat dengan biaya dan kecepatan. Pada interaksi bisnis yang dijalankan dengan trust yang tinggi, maka kecepatan akan tinggi, dan biaya akan rendah. Sebaliknya, trust yang rendah akan menyebabkan biaya yang tinggi dan kecepatan yang rendah. Misalnya, ketika kita menjual barang pada orang yang kita percayai, maka biasanya eksekusi nya akan lebih cepat, bahkan bisa dibayar kemudian. Sebaliknya, kalau pembeli belum dipercaya maka kita akan menerapkan prosedur yang lebih ketat, ada biaya dimuka, dsb.<br /><br />Meskipun mengakui betapa pentingnya trust, namun sangat jarang kita memikirkan apa dan bagaimana trust bisa dikembangkan. Akibatnya seringkali kita membina hubungan bisnis maupun hubungan sosial, dengan trust yang rendah, yang mengakibatkan biaya tinggi dan kecepatan rendah tadi.<br /><br />Membangun trust tidak semudah mengucapkan kata-kata “Percayalah ...” seperti rayuan pemuda kepada pacarnya. Namun, meski tidak mudah, bisa dipelajari. Berikut beberapa catatan saya dalam mengembangkan trust.<br /><br />Trust harus diraih, bukan diberikan.<br /><br />Seringkali orang berharap akan dapat memiliki trust ketika berinteraksi dengan seseorang yang merupakan anggota dari kelompok tertentu yang ia percayai. Dan hampir dipastikan ia akan kecewa. Misalnya, ketika kita berinteraksi dengan seseorang dengan gelar keagamaan tertentu, atau anggota kelompok keagamaan tertentu, seringkali kita langsung memiliki “trust”.<br /><br />Namun trust yang demikian seringkali hanya bersifat semu, kerena belum teruji oleh perbuatan. Pada akhirnya konsistensi perbuatan-perbuatan pribadi tersebut yang akan membuat kita memiliki trust atau tidak, bukan gelar yang dimiliki, bukan karena keturunan seseorang yang hebat, atau bukan karena anggota organisasi yang besar dan terkenal.<br /><br />Dalam bisnis dan kehidupan, trust adalah sesuatu yang harus diraih melalui proses, bukan sesuatu yang secara instan bisa diberikan atau diwariskan begitu saja. Kalau saja trust bisa diwariskan atau dihibahkan kepada anggota-anggota organisasi yang “terpercaya”, betapa mudahnya pekerjaan bank-bank kita dalam menyalurkan kredit. Kenyataannya tidak demikian.<br /><br />Semua berawal dari “self-trust”<br /><br />Seringkali kita mendengar keluhan-keluhan tentang rendahnya trust dari pelanggan, rendahnya trust dari kolega kita. Atau tidak adanya trust diantara anggota masyarakat kita. Kita mencoba mencari-cari solusi untuk organizational trust, market trust atau societal trust tadi. Akan sulit selama kita belum menyentuh akar sebenarnya yaitu “self-trust”. Trust dari pribadi kita sendiri. Membangun self-trust, tidak lepas dari: karakter dan kemampuan kita.<br /><br />Bagian terpenting dari karekter adalah integritas. Yaitu bagaimana kita menjalani nilai-nilai yang kita anut secara konsisten. Sekedar berkata “jujur” tidak cukup. Namun juga harus dibuktikan dengan perbuatan yang kongruen dengan perkataan tadi. Serta dihiasi dengan sikap berani sekaligus rendah hati. Berani menyatakan pendapat, mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, namun rendah hati dengan tidak arogan menganggap dirinya pasti benar dan orang lain pasti salah. Inilah landasan integritas yang merupakan modal pertama dalam membangun trust.<br /><br />Integritas tanpa kemampuan belum cukup untuk membangun trust. Maka selain menjadi pribadi yang penuh integritas, kita juga harus terbukti mampu. Dikenal sebagai pribadi yang ber-integritas akan membuat orang mengenal Anda sebagai “orang baik”, namun belum tentu dipercaya, jika Anda tidak memiliki catatan bahwa Anda memiliki kemampuan. Kemampuan tidak hanya diukur dari seberapa banyak Anda tahu, namun menyeluruh, mencakup: Talents (bakat), Attitude (sikap), Skills (keahlian), Knowledge (pengetahuan) dan Style (gaya atau sentuhan personal Anda).<br /><br />Selain itu, karakter dan kemampuan kita harus dibuktikan dengan hasil (result). Ibarat pohon, karakter adalah akar, kemampuan adalah batang dan daun, namun tetap saja, buah adalah yang akan dilihat dan dinikmati. Karakter yang baik, kemampuan yang mumpuni, harus dibuktikan dengan result yang nyata. Dengan tiga modal tadi, maka self-trust dapat kita tumbuhkan.<br /><br />Trust bisa naik, dan turun.<br /><br />Memiliki hubungan sosial ataupun bisnis dengan trust yang tinggi, dapat membuat kita lengah. Seringkali kita berasumsi bahwa trust adalah abadi. Padahal fakta nya tidak demikian. Trust bisa saja naik, atau turun, bahkan hilang.<br /><br />Trust yang meningkat harus menjadi agenda kita. Trust yang menurun, sedapat mungkin kita cegah. Penurunan trust biasanya terjadi apabila kita tidak menjaga “self-trust” kita masing-masing. Mungkin integritas yang mulai luntur, atau kemampuan yang tidak relevan lagi di masa sekarang, atau bisa jadi result yang tidak lagi terbukti. Kesemuanya dapat mempengaruhi trust.<br /><br />Demikian catatan saya. Jika diniatkan, saya yakin kita semua dapat belajar membangun trust secara konsisten. Percayalah ...Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-51102394967707157242009-05-19T12:16:00.001+07:002009-05-19T12:18:08.404+07:00Siapa Mau Pinjaman Modal?Karena judul di atas, saya yakin tulisan saya ini langsung dibaca. Hahaha … gotcha! Ya, siapa yg tidak mau menerima pinjaman modal. Saya saja yang nulis judul di atas ikutan kepengen …. Kalau Anda pengusaha, pasti Anda pernah berusaha mendapatkan pinjaman untuk modal usaha Anda. Kalau pertanyaan diatas diajukan ke seluruh pengusaha di Indonesia bahkan dunia, sebagian besar pasti tunjuk jari. Termasuk saya.<br /><br />Itulah mengapa dulu sewaktu saya bekerja di bank, problem saya bukan mencari siapa yang mau menerima pinjaman. Tapi mencari, siapa yang bisa mengembalikan pinjaman. Kalau yang mau banyaaak … yang bisa mengembalikan? Belum tentyu ...<br /><br />Kalau ditanya, Anda mau pinjaman modal? Pasti kita langsung ngangguk pada detik pertama. Tapi kalau ditanya, Mengapa perlu pinjaman? Untuk apa pinjaman nya? Berapa besar? Berapa lama? Dari mana sumber pengembalian pinjaman nya? Nah, baru kita menelan ludah dan garuk-garuk kepala yang tidak gatal.<br /><br />Karena sesungguhnya pinjam meminjam itu ada “filosofi”nya. Ini yang jarang dikuasai orang. Tanpa memahami nya, memang pasti kita akan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi. Ini yang ingin saya bicarakan.<br /><br />Memahami Asset Conversion Cycle<br /><br />Untuk memudahkan pemahaman, kita pergunakan ilustrasi sederhana. Katakanlah saya memulai sebuah usaha dengan modal Rp. 1.5 juta. Saya ingin memproduksi dan menjual kaos saya sendiri. Maka modal tadi saya belikan bahan kaos sebesar Rp.1 juta dan membayar penjahit sebesar Rp.500 ribu. Jadilah 20 potong kaos yang saya jual di kios depan rumah saya, seharga Rp.100 ribu per potong.<br /><br />Ketika saya baru memulai usaha, maka asset saya berupa Kas sebesar Rp.1.5 juta. Ketika saya membeli bahan kaos, maka sebagian asset saya mengalami konversi menjadi bahan baku sebesar Rp.1 juta, plus Rp.500 ribu terkonversi menjadi upah. Dan ketika saya memiliki 20 potong kaos siap jual, asset saya terkonversi menjadi bahan jadi. Bahan jadi ini ketika terjual, akan kembali menjadi Kas. Siklus dari kas menjadi bahan baku, kemudian menjadi barang jadi dan menjadi kas kembali, inilah yang disebut “Asset Conversion Cycle”.<br /><br />Kalau siklus konversi asset berjalan sempurna, maka dari Kas awal Rp.1.5 juta, saya akan memiliki kas Rp. 2 juta dari penjualan 20 potong kaos. Yang Rp. 500 ribu adalah profit saya. Yang Rp. 1.5 juta dapat saya pergunakan kembali untuk memproduksi kembali 20 kaos. Demikian seterusnya. Setiap produksi, untung 500 ribu. Mudah bukan?<br /><br />Mudah. Namun sayangnya itu hanya terjadi di dunia khayal … hahaha.<br /><br />Dalam dunia nyata, kenyataanya bisa jadi Anda produksi 20 kaos, yang terjual hanya 15, 10 atau bahkan cuma 3. Sementara penjahit harus tetap Anda bayar. Bahan baku kaos juga harus sudah dibeli kembali. Sementara asset sudah berupa bahan jadi semua. Kalau sudah begini, Asset Conversion Cycle pun mandek, terhenti.<br /><br />Atau saya perlu membeli mesin jahit, karena mesin jahit saat ini terlalu lamban. Maka saya perlu menyisihkan dana dari Kas. Tapi kalau saya investasikan kas saya, maka kas saya akan mandek dalam bentuk mesin jahit.<br /><br />Atau mau contoh yg lebih “happy problem”? Misalnya tiba-tiba saya memperoleh pesanan 100 buah kaos kampanye Capres. Kalau saya sanggupi jelas kas saya tidak akan mencukupi. Karena artinya saya harus sanggup memproduksi kaos 5 kali lipat dari kemampuan kas saya hari ini.<br /><br />Dari skenario-skenario diatas, hasil akhirnya sama. Konversi kas yang tidak berjalan lancar. Kas yang sudah dikeluarkan tidak kembali menjadi kas. Dan karena Kas seperti darah bagi bisnis, maka bisnis kaos saya pun akan mulai kurang darah dan sakit-sakit-an.<br /><br />Sound familiar? Welcome to the club, dan teruslah membaca tulisan ini.<br /><br />Memahami Lending Rationale<br /><br />Mencari pinjaman modal …. Adalah resep ampuh terhadap masalah konversi kas tadi. Benarkah? Belum tentu. Kalau masalah usaha kaos saya adalah pada kemampuan menjual, maka berapa pun kas yang disuntik ke usaha saya, hasil akhirnya akan sama. Konversi kas mandek. Malah, kini datang masalah baru, yaitu bagaimana mengembalikan pinjaman.<br /><br />Tapi tentu saja ada skenario-skenario yang memang pinjaman kas akan sangat membantu. Skenario inilah yang menjadi alasan bank memberikan pinjaman. Jaman saya belajar perbankan dulu, disebut sebagai “Lending Rationale”, atau landasan pemikiran mengapa bank memberi pinjaman.<br /><br />Secara umum ada 3 skenario lending rationale:<br /><br />Pertama. Asset Conversion Lending. Atau pinjaman untuk menambah asset (kas) yang akan dikonversi. Misalnya usaha kaos saya yang rata-rata menjual 20 kaos per bulan. Karena menjelang lebaran atau menjelang kampanye Pilpres saya prediksikan ada peningkatan penjualan sebesar 100%. Maka saya perlu tambahan kas, untuk mengatasi fluktuasi kebutuhan kas yang sifatnya temporer ini.<br /><br />Mengapa perlu pinjaman ini? Ya, karena kalau tidak kas saya tidak akan mencukupi untuk memenuhi lonjakan permintaan. Berapa besarnya? Ya, sesuai prediksi fluktuasi yang akan dialami. Darimana pengembaliannya? Dari selesai nya siklus konversi asset secara penuh, yaitu ketika barang jadi terjual dan kembali menjadi kas. Misalnya, ketika pesanan kaos pilpres saya dibayar.<br /><br />Kedua. Cash Flow Lending. Untuk menyediakan cash jangka menengah panjang, untuk modal kerja permanen atau investasi. Misalnya, usaha kaos saya perlu membeli mesin jahit baru. Tidak mungkin saya penuhi dari modal awal saya yang cuma Rp.1,5 juta tadi. Tapi saya bisa mengambil pinjaman jangka menengah (misalnya 3 tahun) yang saya bayar dari cash flow usaha. Misalnya mencicil Rp.100 ribu per bulan, karena dari profit sebelumnya saya tahu saya memiliki kesanggupan membayar sebesar itu.<br /><br />Mengapa perlu pinjaman ini? Untuk membiayai investasi jangka menengah. Berapa besarnya? Sesuai kebutuhan investasi dan kesanggupan membayar dari cash flow. Dari mana pengembaliannya? Dari operating cash flow yang berjalan.<br /><br />Ketiga. Asset Protection Lending. Ini pinjaman untuk menjaga supaya asset (cash) saya tidak terkikis pertumbuhan usaha saya sendiri. Misalnya usaha saya tumbuh 10% per bulan, maka dengan sendiri nya setiap bulan saya perlu tambahan kas untuk menambah bahan baku dsb. Jika tidak, maka kas saya akan terkikis dan bisa-bisa meskipun usaha maju, saya cash-less.<br /><br />Mengapa perlu pinjaman ini? Untuk memproteksi kas supaya sesuai dengan pertumbuhan usaha. Berapa besarnya? Sesuai dengan trend pertumbuhan. Dari mana pengembaliannya? Biasanya pembiayaan bersifat revolving dan evergreen.<br /><br />Begitulah “rationale” atau landasan pemikiran pemberian pinjaman. Sebagai pelaku bisnis Anda tinggal menganalisa kira-kira usaha Anda sedang dalam situasi yang mana. Setelah paham situasi nya, baru diputuskan apakah pinjaman diperlukan. Dan kalau diperlukan pinjaman yang seperti apa. Bisnis adalah sesuatu yang masuk akal. Semua ada “rationale” nya.<br /><br />Lho terus pinjaman yg ditawarkan di judul? Ya ... kalau sudah tau ilmu nya Anda kan bisa ke bank ... hehehe. Selamat mengajukan pinjaman !Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com14tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-83089173690244790672009-03-30T12:11:00.000+07:002009-03-30T12:12:36.343+07:00Surat Untuk SaudarakuSaudaraku ...<br /><br />Saya dapat memahami perasaan Anda. Sesungguhnya bukan hanya Anda, saya pun dahulu juga telah mengalami ujian yang sama. Berusaha dan belum berhasil, tidak punya uang, justru banyak hutang, sudah saya alami.<br /><br />Padahal sudah membuat daftar impian, tujuan yang pasti, sudah membuat strategi, sudah berani mengambil tindakan … Nekat malah, karena saya melepas pekerjaan saya demi bisnis. Bukan keberhasilan yang diraih, namun justru kesulitan demi kesulitan. Pada waktu itu pun, saya merasakan rasa frustasi yang luar biasa.<br /><br />Saudaraku …<br /><br />Pertama-tama harus kita pahami tentang sunatullah, ketetapan Allah yang berlaku sebagai hukum yang berjalan di alam semesta ciptaanNya ini. Ketetapan ini berlaku tanpa memandang siapa pun pelaku nya. Misalnya: hukum grafitasi. Benda apapun, jika dilepaskan akan jatuh ke permukaan bumi. Siapapun yang menjatuhkan benda itu, apapun agama nya, bahkan atheis sekalipun, benda tadi akan jatuh ke permukaan bumi. Karena demikianlah sunatullah nya.<br /><br />Sunatullah yang lain adalah, siapa yang ingin berhasil dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencapai nya, maka atas seizin Allah, keinginannya akan tercapai. Siapapun orangnya, apakah itu muslim, non-muslim, bahkan atheis sekalipun. Karena ini sudah merupakan sunatullah, sebagaimana hukum grafitasi. Maka saya tidaklah heran dengan keberhasilan Bill Gates ataupun Donald Trump, karena mereka memang melakukan usaha dengan sungguh-sungguh.<br /><br />Lantas, mengapa ada orang yang sudah berusaha namun belum berhasil? Jika keberhasilan, sebagaimana grafitasi adalah sunatullah? Mengapa ini bisa terjadi? Pertanyaan nya adalah, betulkan ia sudah berusaha sesuai dengan cara-cara yang dilakukan orang yang berhasil? Jika belum, maka tentu saja dia masih belum akan mecapai keberhasilan. Sebagaimana kita melepas benda, namun benda tadi terikat dengan tali, maka hukum grafitasi bumi pun tidak bisa menarik benda tadi.<br /><br />Lalu, bagaimanakah cara-cara orang yang berhasil itu? Keberhasilan orang-orang yang sukses dalam berbisnis itu meninggalkan jejak. Sehingga kita bisa mengikuti jejak-jejak tadi, untuk ikut mencapai kesuksesan.<br /><br />Saudaraku, untuk memulai, sebagai tahap awal coba praktekkan beberapa sikap mental yang banyak kita temui pada orang-orang berhasil ini:<br /><br />Ikhlas.<br /><br />Orang yang berhasil, melakukan segala sesuatu dengan Ikhlas. Batin nya ikhlas, menerima apa yang telah Tuhan berikan untuk nya hari ini. Bahwa pasti ada kebaikan yang Tuhan semesta alam berikan hari ini. Sekalipun mungkin peristiwa hari ini “buruk” di mata kita. Karena buruk di mata kita, belum tentu buruk di mata Tuhan.<br /><br />Alkisah, jaman dahulu kala, di sebuah kampung, ada seorang lelaki tua yang hidup dengan anak lelaki tunggalnya. Suatu ketika pemuda tadi jatuh dari kuda, dan kaki nya patah. “Malang benar nasib anakmu ...” Demikian kata orang kampung. Ternyata, keesokan hari nya, datanglah tentara kerajaan untuk mengajak seluruh pemuda yang sehat maju ke medan perang yang mengerikan, yang hampir dipastikan seluruh pemuda tadi akan pulang tinggal nama. Seluruh orang tua menangis meratapi nasib anaknya … Kecuali orang tua dari pemuda yang kaki nya patah tadi. Jadi sekarang siapa yang nasib nya malang?<br /><br />“Kemalangan” ternyata hanyalah penilaian kita sebagai manusia yang lemah ini.<br /><br />Jadi Saudaraku …. apakah hari ini usaha kita selalu gagal, banyak hutang, tidak punya uang? Saya yakin, pasti ada maksud baik Tuhan dari pengalaman kita hari ini.<br /><br />Syukur.<br /><br />Selain ikhlas, kita juga harus terima dan syukuri apa yang sudah kita alami dan miliki hari ini. Dan juga apa-apa yang sudah kita terima di masa lalu, dan apa yang akan kita terima besok.<br /><br />Karena tidak ada guna nya batin kita menolak dan menyesali apa yang kita alami hari ini. Seringkali batin kita menjerit-jerit, “mengapa nasib ku seperti ini ….”, namun hal ini malah akan memperkuat penderitaan kita. “What you resist persist ... “demikian pepatah kata. Makanya, orang yang mengeluhkan penderitaannya, biasanya penderitaanya semakin buruk. Yang mengeluhkan hutang, hutangnya makin banyak, yang mengeluhkan bisnisnya sepi, bisnisnya makin sepi, yang mengeluhkan tidak punya uang, uang nya makin sedikit.<br /><br />Sebaliknya, orang yang bisa mensyukuri apa yang mereka terima hari ini, maka insyaAllah justru kenikmatan yang dia terima akan bertambah.<br /><br />Jadi, saudaraku … Mulailah dengan mensyukuri apa yang saudaraku sudah miliki hari ini. Tidak hanya materi, namun juga kesehatan, cinta, pengetahuan, keluarga, dan sahabat. Banyak orang yang kaya materi namun tidak memiliki yang saya sebutkan tadi.<br /><br />Lepaskan.<br /><br />“Let it Go … Let it God”. Kita diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Bijaksana. Maka lepaskanlah kembali semuanya kepada Dia. Kembalikan semuanya kepada Dia. Biarkan Tuhan yang mengatur hidup kita ini.<br /><br />Kadang kita merasa lebih tahu dan lebih pintar dari Tuhan. Bahwa hidup kita harus seperti yang kita “tentukan”. Padahal Tuhan lah yang menentukan hidup kita.<br /><br />Banyak kejadian sudah saya alami. Bahwa di satu titik kita menemui jalan buntu, ketika seluruh logika dan nalar tidak mampu lagi mencari penyelesaian, penyelesaian justru datang ketika kita pasrahkan kembali permasalahan kita kepada Allah.<br /><br />Sedih karena ditolak calon pelanggan? Wajar, namun lepaskan kembali pada Tuhan, siapa tahu Yang Punya Hidup punya skenario lain, yaitu memberikan pelanggan yang lebih baik.<br /><br />Amanah.<br /><br />Amanah adalah selalu bisa dipercaya, menepati janji dan menunaikan tanggung-jawab. Seringkali kita tergoda untuk tidak amanah pada saat kita mengalami perjalanan hidup yang sulit.<br /><br />Kepercayaan yang diberikan kepada kita, dengan mudahnya kita sia-sia kan, demi keuntungan sesaat. Seringkali demi uang yang jumlahnya tidak seberapa.<br /><br />Kalau kita berhutang, maka kita wajib berusaha membayarnya. Dengan segala usaha yang kita mampu.<br /><br />Saya juga pernah mengalami tidak mampu membayar hutang seperti saudara. Namun, saya berusaha dengan menemui pemberi hutang, dengan sikap yang baik, untuk membicarakan kembali jadwal pembayaran hutang saya.<br /><br />Bahkan, saya juga pernah menawarkan barter, menukar hutang saya dengan keahlian yang saya miliki. Dan berhasil.<br /><br />Yang penting adalah berusaha untuk amanah. Karena buah dari amanah, adalah nama baik dan kepercayaan, yang selama nya akan menjadi modal utama dalam bisnis kita. Donald Trump, misalnya, berhasil bangkit dari keterpurukan, karena nama baik nya dalam bisnis masih dipercaya investor.<br /><br />Dan yang terakhir saudaraku, adalah ...<br /><br />Memberi.<br /><br />Berikanlah apa yang saudara sedang cari. Karena ia akan kembali dalam jumlah yang berlipat-lipat. Jika saudaraku mencari cinta, maka berikanlah cinta. Jika Anda mencari ilmu, berikanlah ilmu. Dan jika Anda mencari uang, berikanlah uang …<br /><br />“Power of Giving” sudah dibuktikan oleh banyak orang. Dengan memberi, maka kita akan menerima. Bukan sebaliknya.<br /><br />Maka, Bill Gates pun tidak ragu menyumbangkan lebih dari 28 milyar Dollar kekayaanya, dan apa yang terjadi? Bill Gates makin kaya, bukan tambah miskin.<br /><br />Dua minggu lalu, saya mengalami sendiri hal ini. Saya memberikan sejumlah uang melalui transfer bank. Dan di tempat parkir mobil, masih di bank yang sama, saya menerima pemberitahuan dari staff saya lewat telephone kalau kami menerima order, senilai 100 kali lipat uang yang saya berikan. Kekuatan memberi benar-benar terbukti.<br /><br />Demikian yang dapat saya bagikan saudaraku …<br /><br />Sikap mental Ikhlas – Syukur – Lepaskan – Amanah - Memberi, ini telah menolong saya di masa-masa sulit dahulu, dam semoga bisa membantu Saudara mencapai apa yang dicita-citakan. Amin.<br /><br />Salam,<br /><br />Fauzi RachmantoFauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-81164939350973330552009-03-19T23:47:00.002+07:002009-03-19T23:56:04.698+07:00Segitiga BermudaJika Anda melihat peta Amerika Serikat, di sisi Samudera Atlantik, Anda akan menemukan semenanjung Florida. Sebelah tenggara Florida, ada kepulauan Bahama, Kuba, Dominika, Haiti dan Puerto Rico. Arah timur laut dari Florida, ada kepulauan kecil, Bermuda. Jika kita menghubungkan secara imajiner antara Miami, Florida dengan Puerto Rico dan Bermuda, maka terbentanglah wilayah yang disebut “Segitiga Bermuda”, yang sering dijuluki sebagai “Segitiga Setan”.<br /><br />Namanya cukup seram? Ya. Bagaimana tidak. Sejak abad ke-19 hingga hari ini, terhitung sudah lebih dari 1700 kapal laut dan kapal udara yang lenyap ketika melewati kawasan Segitiga Bermuda. Bahkan, dalam beberapa kasus kapal-kapal tersebut lenyap, hilang, tanpa bekas.<br /><br />Penyebabnya apa? Banyak teori yang sudah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Dari mulai keterlibatan Alien, peninggalan teknologi Atlantis, semburan gas Metana, dan sebagainya. Apapun, toh kejadian yang sama masih terjadi hingga beberapa tahun belakangan ini.<br /><br />Tapi saya tidak sedang ingin membicarakan teori yang menjelaskan Segitiga Bermuda di Samudra Atlantis sana.<br /><br />Dalam bisnis, sesungguhnya juga ada “Segitiga Bermuda” mematikan yang telah banyak memakan korban perusahaan-perusahaan kecil yang baru mulai berlayar mengarungi kehidupan dunia usaha. Ini yang ingin saya bicarakan.<br /><br />Kalau Anda punya banyak kenalan pelaku bisnis pemula, coba saja ingat-ingat. Pasti ada rekan Anda yang beberapa tahun lalu sedang semangat-semangat nya mengembangkan usaha nya, hari ini mungkin sudah tidak terdengar lagi kabar beritanya. Seolah lenyap begitu saja, seperti ditelan “Segitiga Bermuda”.<br /><br />Ini yang bagi saya menarik untuk dibicarakan.<br /><br />Keith R. McFarland dalam buku nya “The Breakthrough Company” menceritakan dengan jelas bagaimana sebuah perusahaan dapat mengarungi Segitiga Bermuda bisnis ini dan sukses menjadi pelaku bisnis luar biasa.<br /><br />Usaha kecil dan menengah, sesungguhnya memiliki banyak keunggulan. Dari hasil riset McFarland, paling tidak ada tiga keunggulan usaha kecil dibanding perusahaan-perusahaan yang sudah besar dan mapan, yaitu: (1) Mereka memiliki biaya yang rendah, (2) Mereka mampu memberikan secara tepat apa yang diinginkan konsumen, dan (3) Lebih mampu bereaksi secara cepat.<br /><br />Dari pengalaman saya mengelola usaha saya, System Design Group Indonesia (http://sdgisolutions.com), saya mengakui ketepatan hasil riset McFarland di atas. Perusahaan kami adalah konsultan Teknologi Informasi yang relatif kecil jika dibandingkan kompetitor-kompetitor kami. Dalam banyak kesempatan, “ke-kecil-an” kami tadi ternyata menjadi kekuatan.<br /><br />Dalam hal biaya, sangat jelas. Pernah dalam sebuah kesempatan mengikuti tender di luar kota, saya harus bersaing dengan sebuah perusahaan IT papan atas di Indonesia. Untuk melakukan presentasi mereka datang dengan satu tim lengkap yang terdiri dari tiga orang, naik pesawat terbang rame-rame, dan menginap di hotel selama 3 hari. Saya, karena tidak punya banyak karyawan, cukup datang sendiri, dan cukup menginap satu malam. Dan perusahaan kami yang menang.<br /><br />Karena jumlah klien dan konsultan kami relatif sedikit, klien kami juga memiliki keuntungan untuk dapat berinteraksi dengan lebih intens dengan konsultan yang ditugaskan bekerja di klien tersebut. Tidak ada jenjang birokrasi rumit hanya untuk memenuhi sebuah permintaan klien.<br /><br />Dalam hal kecepatan, kami juga sering diuntungkan. Dalam beberapa kesempatan bernegosiasi, klien kami dapat lebih cepat memperoleh jawaban, karena saya langsung terlibat. Keputusan dapat saya berikan saat itu juga. Sementara kompetitor saya umumnya diwakili oleh tim penjualan, yang harus meminta persetujuan atasan, yang harus meminta persetujuan lagi kepada atasan di atas nya lagi. Capeek deeh ... kata Klien yang menunggu jawaban.<br /><br />Kalau begitu, dengan segala keuntungan tadi, dimana bahaya nya? Dimana “Segitiga Bermuda” nya?<br /><br />Justru 3 keunggulan tadi, dapat menjadi Segitiga Bermuda yang akan menenggelamkan sebuah usaha. Yaitu ketika sebuah usaha kecil beranjak tumbuh, dan tetap berasumsi memiliki keunggulan-keunggulan yang pada fase pertumbuhan usaha sebenarnya sudah tidak relevan lagi.<br /><br />Misalnya keungguan biaya. Secara alamiah keunggulan ini akan lenyap ketika sebuah usaha mulai tumbuh. Sebagai akibat pertumbuhan, biaya karyawan juga bertambah, biaya promosi bertambah, biaya kantor bertambah. Hingga pada suatu titik, tidak ada lagi keunggulan dari segi biaya. Saya mengalami sendiri fase ini. Biaya karyawan yang membengkak, biaya transportasi yang membengkak, biaya marketing yang membengkak, adalah fakta-fakta yang tidak saya jumpai ketika usaha saya lebih kecil dari sekarang.<br /><br />Demikian juga soal kecepatan. Ketika karyawan bertambah, tim berkembang, pendelegasian kewenangan mulai dijalankan, ada birokrasi yang mulai bekerja. Kecepatan merespon permintaan klien pun mulai terpengaruh. Jika tadinya saya melakukan sendiri pekerjaan penjualan, kini ada tim sales yang membantu saya. Ini tidak terelakkan. Akibatnya ada satu jenjang yang harus dilewati untuk dapat memberikan reaksi yang dahulu dapat diberikan seketika.<br /><br />Lalu bagaimana?<br /><br />Ini yang jadi pertanyaan saya juga.<br /><br />Menurut McFarland, satu-satu nya jalan adalah menjadikan keunggulan-keunggulan yang ada pada saat sebuah usaha masih relatif kecil menjadi “keunggulan yang berkelanjutan”.<br /><br />Caranya?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pertama: Optimalisasi Biaya, bukan menekan biaya.</span><br /><br />Biaya yang rendah, adalah keunggulan usaha kecil. Ketika usaha Anda beranjak besar, maka mau tidak mau biaya akan semakin besar. Ini yang harus dioptimalkan. Banyak yang salah kaprah hal ini dengan menekan biaya. Termasuk saya. Misalnya, awalnya saya enggan menambah jumlah karyawan pada saat klien mulai bertambah. Akibatnya, klien-klien lama malah tidak terperhatikan dan ini sangat berbahaya. Padahal mau tidak mau memang saya harus menambah jumlah tim konsultan. Namun, biaya karyawan yang saya keluarkan, toh dapat di optimalkan. Misalnya, saya menciptakan fungsi baru yaitu R&D yang melekat pada tim konsultan tertentu.<br /><br />Contoh lain, istri saya yang membuat baju muslimah dengan merk "Lentik", melalui usaha nya Lepuspa.Biz (http://lepuspa.biz) menyewa sebuah tempat di sebuah mall di Bandung. Semakin rame toko nya, pihak manajemen mall dengan “jahat”nya menaik-kan biaya sewa. Tidak dapat dielakkan. Namun biaya nya bisa dioptimalkan. Misalnya jika semula cuma jadi outlet penjualan, tempat yang sama bisa sekalian untuk media promosi produk baju yang baru di launching, lengkap dengan X banner, leaflet, dsb.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kedua, Menguasai Produk, bukan menambah Produk.</span><br /><br />Pada saat tumbuh, untuk lebih memuaskan pelanggan yang makin beragam, godaan terbesar adalah melakukan diversifikasi. Ini juga saya alami. Klien-klien baru, dengan permintaan baru, menggoda sekali untuk memberikan produk baru untuk mereka. Padahal setiap produk baru adalah sumber biaya yang dapat menghisap cash perusahaan. Jika tidak hati-hati ini dapat berakibat fatal.<br /><br />Itulah yang membuat perusahaan kami sampai hari ini hanya melayani solusi IT Service Management (ITSM) dan yang terkait, misalnya IT Asset Management. Apa tidak ada permintaan untuk solusi lain? Buanyaak. Tapi untuk mengembangkan ekspertise dalam bidang ITSM saja perlu bertahun-tahun, dan biaya tidak sedikit. Masuk ke produk lain juga akan memerlukan biaya dan usaha yang tidak sedikit.<br /><br />Diversifikasi boleh, namun kuasai lebih dahulu dengan sebaik-baiknya produk yang saat ini menjadi andalan kita. Yang sering terjadi adalah, sebelum menguasai betul produk yang saat ini dijual, sudah tergoda produk lain. Akibatnya malah dua-dua nya tidak berjalan dengan baik.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Ketiga, Let your customer be your guide.</span><br /><br />Kalau tetap ingin melakukan diversifikasi, biarkan pelanggan yang menjadi pemandu kita. Bukan kita. Saya pernah punya pengalaman pahit berjualan solusi IT yang menurut saya bagus. Menurut saya, bukan menurut pelanggan. Akibatnya tidak berjalan seperti yang diinginkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Keempat. Buang struktur organisasi yang tidak perlu. </span><br /><br />Banyak usaha kecil yang ketika tumbuh, jadi keasyikan main kantor-kantor an. Kalau tadinya mudah mengakses bahkan owner nya sekalipun, sekarang kalau mau ketemu manager nya saja pelanggan harus bikin janji dengan sekretaris nya. Ini yang akan meruntuhkan kecepatan yang semula jadi keunggulan kita. Sudahlah. Kalau tidak perlu sekali, tidak perlu di ada-ada in.<br /><br />That's it. Itulah empat panduan yang disampaikan Keith McFarland. Selamat mencoba, dan sukses melintasi “Segitiga Bermuda”.Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-58569418310558404682009-02-19T14:18:00.002+07:002009-02-19T16:09:57.249+07:00Childhood Dreams<style type="text/css"> <!-- @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --></style>Professor Randy Pausch, dulu adalah seorang Profesor Computer Science di Carnegie Mellon University. Sesuai tradisi di universitas Carnegie Mellon, pada bulan September 2007, Randy diminta menyampaikan “Last Lecture”. Makna kuliah terakhir tersebut begitu dalam, karena Randy Pausch pada saat itu memang sedang dalam perjuangan melawan penyakit pancreatic cancer yang mematikan. Dokter memperkirakan hidup Randy tidak lama lagi, sehingga Last Lecture kali ini bisa jadi adalah benar-benar kuliah terakhirnya. Meskipun sedang menghadapi penyakit yang mematikan, kuliah Prof. Pausch yang berjudul – Really Achieving Your Childhood Dreams, sama sekali bukan tentang kematian. Tapi justru berbicara tentang kehidupan. Tentang mimpi-mimpi masa kecilnya, bagaimana terwujudnya mimpi-mimpi tersebut, dan mimpi bagi ketiga anak nya yang akan tumbuh tanpa kehadirannya.<br /><br />Bulan Juli 2008, Randy Pausch akhirnya meninggalkan keluarga dan teman-teman nya untuk selama-lamanya. Namun Randy telah mewariskan buku yang sangat luar biasa, “The Last Lecture”. Sebuah buku yang saya baca dengan penuh rasa haru, dan membuat saya kembali mengingat impian masa kecil saya.<br /><br />Salah satu impian masa kecil Randy Pausch adalah “Menjadi Captain Kirk”. Pesona sang Kapten yang memimpin pesawat ruang angkasa USS Enterprise dalam serial TV Star Trek begitu melekat pada benak Randy kecil, hingga ia membayangkan kelak akan menjadi seperti Captain Kirk. Setelah dewasa, Randy Pausch memang tidak pernah menjadi Kapten kapal ruang angkasa. Namun, guess what? Dia pernah berkesempatan mencoba pengalaman mengalami zero grafity di pesawat NASA. Dan puncak pengalaman nya yang terkait dengan impian masa kecilnya adalah, ketika Pausch harus mendemokan teknologi Virtual Reality secara langsung kepada William Shatner, pemeran Captain Kirk!<br /><br />Impian masa kecil Randy Pausch yang lain adalah “menjadi Disney Imagineering”. Imagineering adalah orang-orang di belakang layar di Disney yang memungkinkan segala atraksi yang fantastis di Disneyland ataupun Disney Movie terjadi. Randy kecil begitu terpesona dengan Disneyland yang disebutnya sebagai “Happiest Place on Earth”. Lama setelah Randy melewati masa kanak-kanak nya, dan menjadi seorang computer scientist dengan area penelitian Virtual Reality, sepertinya apa yang ditekuni Randy tidak berkaitan dengan mimpi masa kecilnya. Sampai ketika sebuah kesempatan datang: tawaran bekerja sama dengan Disney untuk mengembangkan Virtual Reality. Randy pun segera menuju California dengan kebanggaan: menjadi Disney Imagineering.<br /><br />Tidak hanya impian pribadi nya. Randy juga bercerita tentang impian seorang anak buahnya bernama Tommy Burnett. Ketika Randy merekrut Tommy, sebuah pertanyaan dilontarkan: Apa impian kamu? Jawaban Tommy tidak kalah lugas: Impian masa kecilnya adalah membuat film Star Wars. Pada saat itu tahun 1993, 3 serial Star Wars selesai dibuat sepuluh tahun sebelumnya, dan George Lucas belum mengumumkan rencana membuat serial baru. Tapi Tommy tetap berkeras bahwa membuat film Star Wars adalah impian masa kecil nya. Beberapa tahun kemudian, Industrial Light & Magic, perusahaan George Lucas mencari programmer Python, dan Tommy diterima bekerja. Dan begitulah, akhirnya Tommy terlibat dalam tiga prequel film Star Wars, sebagai lead technical director. Sama seperti impian masa kecil nya.<br /><br />Ini membuat saya berpikir. Apakah saya juga telah menjalani kehidupan seperti impian masa kecil saya, sebagaimana Randy atau Tommy? Lalu apa impian masa kecil saya?<br /><br />Kalau saya ingat-ingat kembali impian masa kecil saya sangat dipengaruhi cerita-cerita science fiction. Sama seperti Randy Pausch, saya penggemar Star Trek, dan saya sangat mengagumi Captain Kirk, melebihi Mr. Spock, Sulu, McCoy ataupun Scott. Saya terpesona dengan kepemimpinan Captain Kirk maupun gadget-gadget nya. Banyak yg terkesan dengan “handphone flip” yang digunakan Kirk. Namun menurut saya yang paling dahsyat adalah “Tricorder”. Ini semacam komputer portabel yang mampu melakukan scanning planet yang baru didatangi dan layarnya akan memunculkan informasi-informasi berharga. Sebuah komputer portabel, bayangkan ! Saya sering memimpikan memiliki Tricorder.<br /><br />Waktu saya kecil (saya lahir tahun 1970), tentu saja belum ada personal computer seperti yang kita kenal sekarang. Paling tidak di Indonesia. Pemahaman pertama saya tentang komputer, selain dari Star Trek, saya peroleh dari komik serial Arad dan Maya. Dalam komik tadi dikisahkan pesawat yang dikendarai Arad memiliki komputer cerdas yang bisa berbicara. Namanya CC. Saking cerdas nya kadang Arad dibikin emosi oleh si CC ini. Saya jadi sangat tertarik dengan yang namanya komputer. Apakah betul secerdas itu?<br /><br />Beruntung saya mempunyai Kakak-Kakak laki yang sangat suka elektronika, dan rajin berlangganan majalah-majalah sains, diantaranya yang saya ingat majalah Mekatronika. Gambaran komputer yang lebih jelas saya peroleh dari salah satu majalah tadi. Suatu hari Kakak saya menunjukkan gambar sebuah kotak TV dengan tombol-tombol mesin ketik di bawahnya: “ini lho kompiyuter ...” katanya. Sok ng-Inggris. Saya pun ikut2 an menyebutnya “kompiyuter”, bukan komputer. Waktu itu saya masih SD. Saya sering berkhayal, mengoperasikan kompiyuter. Papan tulis hitam yang biasa kami gunakan untuk belajar saya gambari layar-layar, dan tombol mesin ketik di bawahnya. Dalam khayalan saya, saya berinteraksi dengan si kompiyuter, memberikan pertanyaan, dan kompiyuter menjawab. Seperti Tricorder nya Captain Kirk atau CC nya Arad.<br /><br />Tahun 1998, mungkin 20 tahun semenjak khayalan saya, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan software, bernama Commercial Software Services Ltd. Tugas saya, menjadi konsultan sebuah sistem aplikasi. Duduk di depan “kompiyuter”, untuk merancang, menguji dan mengoperasikan aplikasi tadi. Setiap hari saya harus berinteraksi dengan si “kompiyuter”. Memang bukan dengan kata-kata seperti Arad, tapi dengan data yang berguna untuk klien saya. Hari ini saya baru sadar, bahwa pada saat itu terjadi, rupanya salah satu impian masa kecil saya terwujud. Meskipun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Bahkan hingga hari ini, saya masih berbisnis di industri software computer. Ini membuat saya merinding.<br /><br />Lalu apa impian masa kecil Anda?Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-39291749401741545082008-11-25T14:37:00.000+07:002008-11-25T14:41:17.797+07:00Bukan Kimi“Kacamata nya Kimi Raikkonen yang mana Mas?” tanya saya di sebuah toko kacamata di Bandung. Si Mas langsung mengambilkan sebuah kacamata dari tempat yg terkunci rapih. Sebuah kacamata bergagang merah yg sangat bagus diserahkan dengan hati-hati ke saya. Saya langsung mencoba, dan bercermin. Hmm ... sepertinya ada yang aneh. Saya melirik ke poster Kimi di samping saya, tersenyum manis dengan kacamata yg sama. Ganteng sekali juara dunia Formula-1 tahun 2007 itu. Saya bercermin lagi, hmm ... tetap aneh. Kacamatanya seperti kesempitan. Wajah saya terlalu bulat, dan gagang-nya yg melengkung indah itu serasa tidak pas di telinga saya. Saya lirik Kimi lagi. Masih tetap ganteng. Saya bercermin lagi. Duh, tetap saja aneh. Kacamata saya copot, saya nyerah. Ah, saya memang bukan Kimi.<p></p> <p style="margin-bottom: 0in;">Memang manusia diciptakan sungguh unik. Dari sekian milyar penduduk bumi, kok ya tidak ada yang sama persis. Bahkan mereka yang terlahir kembar, konon tetap memiliki perbedaan. Apalagi antara saya dan Kimi Raikkonen, jelas beda sekali. Perbedaan-perbedaan yg cukup ekstrim juga saya temukan antara saya, Brad Pitt, Nico Rosberg ataupun Zac Efron, hehehe ... ya iya laah, masa ya iya doong. </p> <p style="margin-bottom: 0in;">Jadi sepertinya percuma saja saya pakai kacamata Kimi Raikkonen, gak akan ngaruh apa-apa di wajah saya. Apalagi pengaruh ke skill mengemudi. Kacamata seperti punya Kimi tidak akan menjadikan saya menjadi pembalap. Saya ya saya, Kimi ya Kimi. Kami berdua, seperti juga Anda, adalah individu yang masing-masing unik. Tidak ada dua nya di dunia.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Tapi justru keunikan masing-masing individu ini yang membuat dunia ini begitu indah. Coba bayangkan kalau seluruh laki-laki di dunia diciptakan berwajah Brad Pitt semua. Atau seluruh wanita di dunia diciptakan seperti Angelina Jolie semua. Pasti sangat membosankan, membingungkan, bahkan sedikit menakutkan. Apalagi kalau cara bicara, gaya, perilaku dan kemampuan-nya dibuat sama semua. Pasti sangat menakutkan.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Alhamdulillah Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing. Ada yang jago balap, ada yang pandai membuat mobil, ada yang pandai menjual, ada yang pandai memasak, bahkan ada juga yang jago makan. Masing-masing punya keunikan dan kelebihan. Keunikan ini yang membuat dunia ini “berputar”. Saling melengkapi dengan indah-nya. Si jago masak, sepandai apapun, akan membutuhkan para jago makan. Si jago balap, percuma membalap kalau tidak ada yg mengemas olah-raga balapan dalam bisnis yang melibatkan jutaan penonton. Inilah indahnya kehidupan. Terdiri dari keunikan-keunikan yang saling melengkapi.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Kalau kita demikian unik, mengapa kita harus mengabaikan keunikan diri kita dengan mencoba menjadi orang lain?</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Mihaly Csikszentmihaly, pencetus gagasan “Flow” dalam bekerja dan berbisnis, bahkan menyebut bahwa menemukan keunikan diri kita adalah salah satu pilar kebahagiaan. Saking unik-nya kita, maka konon dipastikan masing-masing kita sebenarnya menyimpan potensi luar biasa untuk melakukan “sesuatu” dengan cara yang lebih baik dari orang kebanyakan.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Orang-orang seperti Kimi Raikkonen, Fernando Alonso, Michael Schumacher atau Lewis Hamilton tahu persis bahwa mereka memiliki keunikan, yaitu kemampuan menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, jauh dari rata-rata kebanyakan orang. Demikian juga dengan orang-orang seperti Bill Gates, Donald Trump atau Warren Buffet memiliki keunikan dalam melakukan bisnis. </p> <p style="margin-bottom: 0in;">Namun, pertanyaannya pentingnya adalah, bagaimana kita bisa menemukan keunikan kita? Berikut beberapa tips yang bisa saya share:</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Pertama: Mulailah dari “passion” Anda. </p> <p style="margin-bottom: 0in;">Passion adalah energi yang Anda rasakan meluap-luap ketika Anda melakukan sesuatu. Energi yang demikian membakar dari dalam diri Anda untuk melakukan sesuatu yang demikian Anda sukai. Anda tidak perlu diminta untuk melakukan, Anda dengan senang hati akan melaksanakan. Kimi Raikkonen, Lewis Hamilton atau Schumacher, dari kecil sudah memiliki passion yang kuat pada olah raga balap mobil. Donald Trump, memiliki passion yang kuat dalam mengembangkan bisnis. Itu mereka. Lalu, kalau Anda, apa passion Anda? Coba tulis saja.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Masih belum bisa? Coba jawab pertanyaan ini: Apa yang akan anda lakukan dengan senang hati sebagai pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, seandainya uang bukan masalah. Seandainya, apapun yang Anda lakukan, hidup Anda akan berkelimpahan.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Hmmm ... Masih belum bisa? Atau bagaimana kalau Anda memiliki banyak passion? Tidak apa-apa, tulis saja semua passion Anda tadi. Misalnya: Passion saya adalah: menulis, mengembangkan bisnis, public speaking, dan berwisata. </p> <p style="margin-bottom: 0in;">Hmmm ... Masih belum bisa? Wah, Anda sepertinya kurang-gairah ... Hehehe ... Pasti bisa, karena setiap orang pasti punya hasrat terpendam dalam diri-nya.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Kedua: Merangkai Passion Anda.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Jika Anda memiliki banyak passion. Dan kenyataanya hampir semua orang memiliki banyak Passion. Maka tentukanlah dahulu passion utama Anda. Ini adalah yang paling membuat Anda bergairah, dibandingkan passion yang lain. Misalnya, dari passion saya: menulis, mengembangkan bisnis, public speaking, dan berwisata, saya memilih passion utama saya adalah Menulis. Karena saya sangat bersemangat ketika menulis. Karena saya bisa bangun tidur dan langsung kepengen menulis dengan penuh semangat. Mungkin sama bersemangatnya dengan Lewis Hamilton kecil selalu ingin membalap go-kart.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Lalu bagaimana nasib passion-passion yang lain? Dibuang? Sabar, jangan dibuang dulu. Passion-passion yang lain ini justru akan menjadi faktor penentu keunikan kita. Jadi mari kita rangkai saja. Karena saya senang menulis dan mengembangkan bisnis, bagaimana kalau saya kombinasikan dua passion: menulis tentang pengembangan bisnis? Karena saya suka menulis dan public speaking, bagaimana kalau saya menulis buku dan menyampaikannya dalam seminar-seminar? Ah, atau bagaimana kalau saya menulis buku pengembangan bisnis, mengadakan seminar tentang buku saya, diselenggarakan di tempat-tempat wisata bisnis? Wow ... mau meledak otak saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan-nya.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Ini baru dari empat passion yang saya identifikasikan. Bagaimana kalau saya rangkai dengan passion-passion terpendam saya yang lain? Pasti luar biasa!</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Dan ini akan menjadi sesuatu yang unik. Sesuatu yang “Gue banget”, karena berawal dari sesuatu yang benar-benar saya sukai.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Anda juga harus mencobanya. Karena keunikan Anda, pada akhirnya akan membedakan hasil karya Anda dengan orang lain. Ini adalah dasar dari marketing yang sebenarnya.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Jadi, ternyata benar, saya adalah saya. Kimi adalah Kimi. Tidak perlu memakai kacamata Kimi Raikkonen, toh saya sudah menemukan sesuatu yang luar biasa. Sesuai keunikan yang saya miliki. Anda juga sudah menemukan keunikan Anda? (FR)</p> Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-43107014837832993792008-11-18T14:06:00.003+07:002008-11-21T14:52:14.080+07:00OutliersPernahkah Anda memikirkan, apa yang membedakan Bill Gates dengan ribuan pengusaha IT lainnya? Apa yang membedakan Beatles dengan ribuan band dari Inggris? Apa yang membedakan Joe Flom – seorang pengacara korporat terkemuka, dengan ribuan pengacara lain di Amerika? Gates, Flom dan juga the Beatles adalah Outliers. Dalam statistik, outliers adalah hasil observasi yang tidak bisa dikelompokkan dalam kelompok utama karena sangat berbeda dengan kelompok utama. Dalam buku terbaru Malcolm Gladwell yang berjudul “Outliers: The Story of Success”, Gladwell yang juga penulis buku “Tipping Point” dan “Blink” mengungkapkan dengan sangat cerdas peran lingkungan sosiologis yang memunculkan para Outliers yang sukses luar biasa itu.<p>Jika selama ini kita membaca biografi orang-orang sukses dan kisah-kisah heroik mereka, kesan yang melekat adalah bagaimana mereka telah berhasil mewujudkan keberhasilan mereka dari nol, perjuangan tidak kenal menyerah yang mereka lakukan, dsb. Seolah-olah segala keberhasilan mereka adalah semata dari diri mereka sendiri. Dalam Outliers, Gladwell justru memberikan penyeimbang, bahwa selain faktor kemampuan diri mereka sendiri, ada faktor-faktor sosiologis di luar diri mereka yang berperan penting dalam kesuksesan mereka. Faktor-faktor inilah yang telah membuat mereka menjadi para Outliers.</p><p style="font-weight: bold;">Sukses instan vs aturan 10,000 Jam</p><p>Banyak orang yang membaca biografi Bill Gates secara salah. Mereka hanya melihat moment dimana Bill Gates memutuskan keluar dari Harvard dan mendirikan Microsoft bersama Paul Allen. Seolah modal Bill Gates waktu itu hanyalah tekad dan semangat saja. Padahal jauh sebelum itu, Bill Gates sudah mempersiapkan diri nya dengan “berlatih” menulis program selama lebih kurang 10,000 jam. Tidak percaya? Bill Gates sudah menulis program sejak di sekolah menengah, berkat perkumpulan orang tua murid sekolahnya yang berpikir kedepan dengan membelikan komputer “time sharing” yang terhitung mahal. Dan selepas sekolah menengah, Gates yang tinggal di dekat University of Washington dapat menggunakan komputer mereka yang nganggur antara jam 03 – 06 pagi. Berapa kira-kira total waktu “berlatih” Bill Gates sebelum memulai Microsoft? Bisa jadi sekitar “10,000 jam”. </p><p>Bagaimana dengan the Beatles? Band paling sukses di dunia hingga hari ini. Banyak yang melihat Beatles hanya pada saat mereka tenar dengan album-album legendaris seperti “Sgt. Peppers Lonely Hard Club Band” atau “White Album”. Tapi sesungguhnya, jauh sebelum mereka memperoleh kontrak rekaman pertama mereka, mereka telah menjalani latihan maraton yang panjang dan sulit. Selama 1960 – 1962 Beatles bermain untuk klub di Hamburg Jerman dan harus bermain selama 8 jam sehari, hingga 7 hari seminggu lamanya. Durasi yang panjang menyebabkan mereka harus memeras kreatifitas, memainkan bermacam genre lagu, memodifikasi lagu lama, hingga menciptakan lagu sendiri. Jika tidak, maka penonton bakal berteriak-teriak karena bosan. Masa-masa “10,000 jam” di Hamburg ini lah yang telah menempa John Lennon, Paul McCartney dan George Harrison dengan skill yang mereka butuhkan, menumbuhkan chemistry di antara mereka, dan kreatifitas nyaris tanpa batas yang kelak akan menjadikian musik Beatles memiliki spektrum yang sangat luas.</p><p>Kesimpulannya, Gates, Beatles dan juga para olahragawan professional, memiliki peluang yang lebih baik, karena mereka juga telah mengasah kemampuan mereka lebih lama dari orang kebanyakan. Gladwell memberikan ilustrasi yang sangat teliti, bagaimana pemain Hockey professional kebanyakan lahir pada bulan-bulan tertentu. Semata karena pada saat direkrut di usia dini, mereka beberapa bulan lebih tua dari pesaing-pesaingnya. Akibatnya mereka dianggap lebih mampu, memperoleh keistimewaan selama sekolah, dan berlatih lebih lama dibanding rekan-rekan seusianya. Merekapun memperoleh 10,000 jam nya secara lebih cepat dibanding orang lain.</p><p style="font-weight: bold;">Jenius Saja Tidak Cukup</p><p>Apakah Bill Gates jenius? Apakah John Lennon seorang jenius? Bisa jadi. Tapi bisa jadi juga tidak. Yang jelas Christopher Langan adalah manusia paling jenius dewasa ini. IQ nya mencapai 190. Bayangkan, Albert Einstein saja hanya 150. Untuk menguji kejeniusan Langan bahkan tidak cukup dengan test IQ standard, namun harus dengan test khusus untuk IQ sangat tinggi. Kecerdasan Langan sangat luar biasa. Bicaranya teratur dan runut, pengetahuan umumnya sangat luas, ingatannya sangat kuat, memecahkan soal matematika dengan mudah, dan sebagainya. Menurut Anda apakah profesi Langan saat ini? Ahli membuat roket? Bukan, dia adalah pengelola peternakan kuda. </p><p>Kejeniusan Langan nyaris tidak berarti apa-apa, karena sepanjang sekolah kegagalan demi kegagalan dialaminya. Berbeda dengan Bill Gates yang didukung keluarga dan teman-temannya. Langan menjalani masa remaja nya sendirian. Dan berusaha keras masuk ke perguruan tinggi yang disukainya, sendirian. Dan Langan tidak pernah berhasil. Ternyata para jenius tadi untuk berhasil juga butuh dukungan. Dalam bahasa Gladwell: “no one--not rock stars, not professional athletes, not software billionaires, and not even geniuses--ever makes it alone."</p><p>Christopher Langan memiliki keuntungan dibanding orang kebanyakan. Yaitu kecerdasannya. Namun kecerdasan tadi tidak membawanya menjadi orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Tentu saja, kita semua membutuhkan tingkat intelegensi yang cukup untuk mencapai keberhasilan. Namun intelegensi yang mampu membawa Anda lulus sekolah sebenarnya sudah cukup. Jika IQ Anda di atas rata-rata teman sekolah Anda, itu adalah advantage, jika Anda bisa memanfaatkan. Sebagaimana Bill Gates memanfaatkan komputer di sekolah mahal nya waktu itu, atau the Beatles memanfaatkan peluang bermain di Hamburg.</p><p style="font-weight: bold;">Sukses Orang Pinggiran</p><p>Bagaimana jika kita tidak seberuntung Bill Gates yang orang tua nya “kebetulan” kaya, atau the Beatles yang “kebetulan” tinggal di Liverpool?</p><p>Joseph Flom adalah keturunan imigran Yahudi dari Eropa Timur yang tinggal di New York. Sangat cerdas, Flom lulus dari sekolah hukum Harvard pada tahun 1948 dengan cum laude. Tapi apakah mudah masuk ke firma hukum terkemuka bagi seorang keturunan Yahudi? Tidak. Bahkan kenyataanya tidak bisa. Pada waktu itu firma hukum terkemuka di AS hanya menerima pengacara muda dari kalangan kulit putih. Jika diterima Flom akan menjadi “makhluk aneh” ditengah-tengah pengacara yang sudah “seragam” dalam budaya. Joe Flom pun akhirnya masuk ke firma baru yang baru didirikan, dan belum memiliki klien ,Skadden & Arps. Waktu Flom menanyakan firma tadi berspesialisasi dalam kasus apa saja, pemilik firma menjawab, “kasus apa saja yang masuk dari pintu depan itu ...”</p><p>Begitulah, akhirnya Flom mengerjakan kasus apa saja. Utamanya kasus-kasus yang tidak akan ditangani firma besar: Proxy fights. Proxy fights adalah langkah yang dapat diambil pemegang saham perusahaan, yang meminta pemegang saham lain untuk menunjuk dia sebagai proxy untuk mengambil langkah tertentu, misalnya pergantian manajemen, dsb. Ini adalah “dirty jobs” yang tidak dikerjakan firma besar. Flom adalah jagoan dalam bidang ini, karena tanpa pesaing. Dan seiring dengan maraknya hostile takeover, reputasi Flom semakin berkibar. Memasuki tahun 1970-an, merger dan akuisisi mulai banyak terjadi di Wall-street. Pada saat itu, maka hanya satu nama yang dikenal cukup memiliki pengalaman: Joseph Flom. </p><p>Joseph Flom adalah Yahudi yang terpinggirkan di komunitas hukum Amerika Serikat. Namun justru hal ini membuatnya “terpaksa” berspesialisasi pada hal yang tidak dikerjakan oleh orang lain. Dan ketika kesempatan yang lebih besar datang, ia sudah berada disana. Ia adalah Outliers.</p><p style="font-weight: bold;">Warisan Leluhur</p><p>Gladwell juga tidak menyangkal, bahwa ada “warisan-warisan leluhur” yang melekat pada budaya kita yang dapat sangat mempengaruhi keberhasilan.</p><p>Korea Air (KAL) adalah salah satu maskapai penerbangan yang terkenal dengan safety yang tinggi. Merupakan member dari aliansi SkyTeam, sejak 1999 KAL tidak memiliki catatan buruk keselamatan. Bahkan tahun 2006 menerima Phoenix Award atas transformasi yg dilakukannya. Padahal sebelumnya Korea Air dikenal sebagai penerbangan dengan tingkat kecelakaan yang tinggi. Yang paling terkenal adalah crash Penerbangan KAL 801 di Guam pada tahun 1997. KAL sukses melakukan transformasi dengan mengevaluasi dan melakukan perubahan segala penyebab yang mungkin atas tingginya kecelakaan, dan salah satu point yang sangat krusial adalah: Budaya.</p><p>Pesawat terbang modern di desain untuk diterbangkan oleh lebih dari satu orang. Karenanya, Pilot akan dibantu oleh co-Pilot dan Flight engineer. Apa hubungannya dengan budaya? Dalam budaya Korea, adalah pantang membantah seorang pemimpin. Karenanya, seorang co-pilot akan patuh dan tidak berani menentang sang Pilot. Kalaupun menentang, mereka tidak berani menyampaikan secara to the point, namun dalam ungkapan yang ambigu. Dalam crash penerbangan 801, dari rekaman pembicaraan di cockpit jelas terdengar bahwa co-pilot tidak berani menyampaikan opini nya. Pada saat Pilot memutuskan untuk melakukan pendaratan secara visual, flight engineer hanya berani berkomentar bahwa “Kapten, radar cuaca sangat membantu kita”. Alih-alih menyatakan:” Kapten sebaiknya kita tidak melakukan pendaratan secara visual”.</p><p>KAL membuktikan, budaya memang bisa sangat mempengaruhi keberhasilan. Namun, kita juga bisa melakukan perubahan atas budaya yang tidak kondusif bagi pencapaian keberhasilan.</p><p>Apakah dengan demikian budaya Asia secara umum tidak mengkondisikan ke arah keberhasilan? Tentu saja tidak demikian. Bahkan saat ini dunia sangat mengakui kemampuan orang Asia. Paling tidak dalam Matematika. Ya, dalam setiap kontes dan olimpiade Matematika, siswa-siswa Asia bisa dipastikan jauh lebih unggul dari siswa-siswa negara barat. Ini juga salah satu imbas dari warisan leluhur: Budaya Pertanian. </p><p>Petani Padi di Asia, ribuan tahun lamanya bekerja dengan cara berbeda dibandingkan bangsa Eropa. Di negara empat musim, praktis petani hanya dapat bertani pada 2 musim, dan sisa nya adalah menganggur. Demikian juga di negara-negara dengan malam yang lebih panjang, petani bekerja lebih singkat. Tidak demikian dengan petani di Asia. Para penanam Padi adalah orang-orang dengan ketekunan yang sangat tinggi, yang sanggup bekerja dari subuh hingga petang, sepanjang tahun. Ketekunan dan juga bahasa yang lebih akrab terhadap angka adalah kunci penguasaan orang Asia dalam Matematika. Coba saja bandingkan cara pengucapan bilangan belasan dan puluhan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Bahasa Inggris memiliki lebih banyak ketidak-teraturan dalam pengucapan.</p><p>Ketekunan para Petani Padi yang kental dalam budaya bangsa Asia, merupakan sumber yang akan membawa kemajuan Asia di masa mendatang. Seperti pepatah lama China yang dikutip oleh Gladwell: “No one who can rise before dawn, 360 days a year, fail to make his family rich ...” (FR)</p>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-37815605147882544282008-10-13T11:32:00.000+07:002008-10-13T11:33:30.802+07:00The DipJumat minggu lalu menjadi hari yang sedikit menegangkan. Setelah puas berlibur selama Lebaran, ternyata urat syaraf harus langsung tegang. Bagaimana tidak, nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS terus mengalami depresiasi hingga sempat menembus batas psikologis Rp.10,000 per dollar AS. Beberapa rekan sesama pengusaha IT terang-terang-an menyatakan kekhawatirannya. Apalagi bagi mereka yang fokus bermain di penjualan hardware. Kenaikan nilai tukar Dollar jelas akan mempengaruhi harga jual produk mereka. Bahkan diantara teman saya ada yang sudah terlanjur memegang kontrak pembelian dari customer dengan nilai Rupiah. Bisa dibayangkan, kenaikan dollar seperti ini jelas memunculkan potensi kerugian yang tidak sedikit.<br /><br />Berita menegangkan dari Pasar Uang tadi dilengkapi dengan kondisi yang setali tiga uang di Pasar Modal. Bursa Efek Indonesia minggu lalu di suspensi oleh otoritas karena didera aksi jual hingga Indeks Harga Saham Gabungan mengalami kejatuhan hingga lebih dari 10%. Mau tidak mau, dua kejadian tadi menyisakan sebuah pertanyaan besar: Apakah kita diambang krisis ekonomi?<br /><br />Saya kembali terkenang dengan masa-masa krisis sepuluh tahun lalu. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dipicu oleh krisis moneter, dan akhirnya merembet ke krisis politik dan krisis multi dimensi, yang bahkan hingga hari ini belum tuntas kita atasi. Terbayang kembali masa-masa sepuluh tahun lalu yang dipenuhi dengan berita penutupan bank, perusahaan yang gulung tikar, dan PHK besar-besar-an. Kembali pertanyaan besar tadi mengganggu pikiran saya: Akankah kita dihantam krisis kembali? Haruskah terjadi gelombang PHK lagi? Dan yang lebih penting lagi, dapatkah usaha-usaha kecil dan menengah, seperti usaha saya, terus bertahan? Haruskah usaha-usaha kecil dan menengah yang beberapa tahun lalu mulai bermekaran di Republik ini harus terhempas oleh badai krisis?<br /><br />Padahal beberapa tahun ini, benar-benar merupakan tahun keemasan bagi kami pelaku usaha kecil. Usahawan-usahawan muda bermunculan dengan semangat dan gairah baru. Iklim usaha yang kondusif. Situasi politik relatif stabil, suku bunga terjaga dalam level yang rendah, dan nilai tukar Rupiah tidak sangat fluktuatif. Meski harga BBM sempat mengalami kenaikan, namun secara umum bisnis berjalan dengan baik. Dan kemudian, terjadilah krisis keuangan di pusat ekonomi dunia, Amerika Serikat. Krisis yang mau tidak mau akan dirasakan dampaknya oleh semua pelaku ekonomi di planet ini.<br /><br />Ibarat sedang berjalan melintasi dataran yang landai dan nyaman, dan tiba-tiba di depan ternyata ada sebuah jurang besar menghadang. Rupanya inilah moment yang oleh Seth Godin disebut sebagai fenomena sebuah “cekungan” (The Dip). Sebuah moment yang akan menentukan, apakah kita akan berhenti, atau bertahan. The Dip adalah sebuah batas, yang akan menentukan, apakah kita akan menjadi yang terbaik, atau menjadi yang kebanyakan, berhenti dan meratap di tepian The Dip.<br /><br />Bagaimana jika krisis ekonomi benar-benar terjadi? Bahkan dengan tingkat yang sama atau lebih parah dari krisis sebelumnya? Akankah saya berhenti atau bertahan? Kalau saya pribadi, ternyata ada lebih banyak alasan untuk maju terus melewati The Dip, seberapa dalam pun cekungan ini nanti akan terjadi.<br /><br />Alasan Pertama: Semua pihak akan mengalami Krisis. Bukan hanya kita sendirian yang akan menghadapi krisis. Kalau krisis hanya kita alami sendirian, sementara kompetitor tidak mengalami, maka ini akan memberikan advantage bagi kompetitor kita. Krisis ekonomi global tidak akan menyisakan ruangan bagi siapapun. Ibarat hujan besar yang mengguyur sebuah permainan sepakbola dan membuat seluruh pemain di lapangan menjadi basah. Semua pemain akan menghadapi tantangan yang sama. Dalam posisi seperti ini, tidak ada pihak yang akan menjadi lebih unggul karena krisis. Kecuali kalau kita memutuskan berhenti atau melambat karena krisis, maka sama artinya dengan memberikan advantage bagi kompetitor kita.<br /><br />Alasan Kedua: Dampak Krisis paling dirasakan oleh mereka yang besar. Pengalaman selama Krisis 1998, justru para pemain besar-lah yang akan merasakan dampak krisis dengan lebih berat. Perusahaan-perusahaan besar, memiliki transaksi-transaksi, hutang-piutang, termasuk pinjaman-pinjaman, menggunakan mata uang asing dalam jumlah besar. Mereka adalah pihak-pihak pertama yang akan merasakan dampak dari fluktuasi nilai tukar mata uang. Mereka juga sangat tidak fleksibel dalam melakukan langkah-langkah penghematan. Untuk menyusun ulang budget, ada langkah-langkah birokratis yang harus dilalui. Demikian juga dalam membuat keputusan dalam reorganisasi, keputusan melakukan diversifikasi produk, pasar, dsb. bukanlah keputusan-keputusan yang bisa dibuat dalam waktu cepat. Usaha kecil, sebaliknya, sangat fleksibel. Reorganisasi, ganti produk, bahkan ganti pasar, diputuskan sendiri oleh owner dan bisa langsung diimplementasikan saat itu juga. Tidak heran, di era Krisis pada masa lalu, sektor usaha informal seperti industri rumah tangga dan para penjual lapak di kaki lima, justru mampu bertahan. Fleksibilitas yang menjadi advantage usaha kecil inilah yang akan saya manfaatkan sebaik-baiknya.<br /><br />Alasan Ketiga: Krisis selalu memunculkan peluang. Jika produk atau jasa yang kita tawarkan adalah sebuah kebutuhan, maka sebenarnya pasar tidak akan pernah pergi meninggalkan kita. Hanya pergeseran-pergeseran yang akan terjadi. Dari kacamata usaha, peluang-nya bisa jadi sama manis nya. Orang yang biasa membeli baju seharga Rp. 1 juta, pada saat krisis, mungkin akan turun kelas membeli baju seharga Rp. 100 ribu. Ini peluang bagi mereka yg menjual baju seharga 100 ribu. Mereka yg biasa memakai parfum asli, mungkin akan mencari parfum refill. Yang biasa memakai mobil, mungkin akan membeli motor, yang biasa makan di resto mungkin akan mencari kafe tenda pinggir jalan, yang biasa nonton di bioskop, mungkin akan menyewa DVD, yang biasa liburan di luar negeri, mungkin akan memilih liburan di dalam negeri yang tidak kalah eksotis. Dan seterusnya.<br /><br />Pergeseran-pergeseran ini yang membuat saya yakin, The Dip yang akan membentang di depan kita akan dapat kita lewati. Pasti melewatinya tidak dengan mudah. Namun bukan sesuatu yang mustahil. Dan ketika Anda kelak berhasil melewatui The Dip, dan berdiri di seberang sana, Anda telah membuktikan diri bahwa Anda sudah menjadi yang lebih baik. Bahkan mungkin yang terbaik di bidang yang Anda tekuni. (FR).Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-63125497886392722402008-08-26T20:02:00.000+07:002008-08-26T20:05:23.571+07:00C.E.M.“Pak maaf hari ini saya tidak masuk, motor saya rusak”<br />“Pak maaf kemarin saya tidak dapat hadir di meeting, saya mendadak sakit perut”<br />“Maaf Bu laporan belum selesai, laptop saya tiba-tiba rusak”<br />“Maaf saya terlambat Pak, tadi jalanan macet berat”<br /><br />Apakah kalimat-kalimat di atas terdengar akrab di telinga Anda? Mungkin ada rekan Anda yang senang mengucapkan kalimat-kalimat sakti tadi? Atau jangan-jangan Anda sendiri sering mengucapkan kalimat di atas dan sejenisnya? Kalau ya, maaf ya, hehehe ... tulisan kali ini memang khusus buat Anda.<br /><br />Kalimat-kalimat di atas adalah contoh kalimat “excuse” alias beralasan. Pada dasarnya semua orang punya sisi “si pembuat alasan” dalam dirinya masing-masing. Coba Anda ingat-ingat, dalam satu kesempatan, pasti Anda pernah melontarkan excuse. Entah alasan tidak datang ke kantor, alasan menunda pekerjaan, atau alasan terlambat pulang ke rumah. Saya sendiri juga pernah. Atau sering ya? Hehehe ...<br /><br />Excuse ini manusiawi. Karena merupakan bagian dari mekanisme manusia dalam mempertahankan diri nya. Pada dasar nya manusia selalu ingin melindungi diri nya, karena nya, ketika sang “ego” merasa “diserang”, maka muncul naluri untuk bertahan. Diantaranya dengan mengemukakan alasan. Namun, Anda harus berhati-hati. Membuat excuse yang terlalu sering dapat membuat Anda mengidap penyakit yang saya sebut “Chronic Excuse Making” (pengidap penyakit membuat alasan yang kronis). Ini yang gawat.<br /><br />Pengidap Chronic Excuse Making (C.E.M) ini akan selalu berlindung di balik alasan-alasan, untuk menutupi hal-hal yang tidak mau atau tidak mampu ia kerjakan. Seolah-olah, dengan menyampaikan excuse, maka kewajiban yang harus dilaksanakan sudah terselesaikan. Jadi jika ada suatu pekerjaan yang tidak terselesaikan, maka excuse lah yang akan dikedepankan. Mengapa datang terlambat? Kan ... macet. Mengapa tidak selesai? Kan ... saya sakit. Mengapa tidak datang? Kan ... tadi hujan. Dst.<br /><br />Padahal kita semua tahu, yang namanya excuse tidak akan mengubah apa-apa. Kalau tidak selesai ya artinya tidak selesai. Apapun excuse nya. Kalau tidak datang ya artinya tidak datang, apapun alasan yang kita berikan. Pengidap C.E.M kadang melupakan hal ini, karena terjebak dalam alasan-alasan yang dikemukakan.<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-family: georgia;">Never trade results for excuses.</span><br />Dalam buku “Winning Habits”, Dick Lyles bertutur tentang kisah Admiral John P.J. Farragut, seorang purnawirawan Angkatan Laut Amerika Serikat yang sangat sukses baik dalam karir militer maupun karir pasca dinas militernya. Dalam buku fiksi tersebut dikisahkan Admiral Farragut mengungkap rahasia suksesnya kepada pasangan muda bernama Albert dan Jennifer. Salah satu rahasia sukses sang Admiral diperoleh selama pendidikan militer-nya. Rahasia tadi berbunyi: “Never trade results for excuses”.<br /><br />Dalam pendidikan militer US Navy yang penuh disiplin, ketika seorang calon perwira ditanya seniornya, dan ia tidak tahu jawabannya, maka tidak ada jawaban “I don't know”. Yang ada hanyalah “I'll find out, Sir!” Betapapun sulitnya pertanyaan tadi. Bisa dibayangkan, jika kelak mereka bertugas di sebuah kapal, dalam situasi genting, jika ada persoalan yang harus dipecahkan, maka “I don't know” memang sama sekali bukan jawaban. Padahal, selama pendidikan, mereka akan sangat disibukkan dengan berbagai program belajar yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk berlama-lama menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan seniornya. Dan ketika sang calon perwira tidak berhasil menemukan jawaban, maka hanya ada satu alasan yang dapat disampaikan: “No excuse, Sir!” Ya, tidak ada excuse. Karena excuse apapun yang dikemukakan tidak dapat menggantikan jawaban yang seharusnya disampaikan.<br /><br />Para calon perwira US Navy tadi belajar, bahwa excuse, bagaimanapun adalah alasan bahwa kita gagal memenuhi komitmen yang telah kita sampaikan. Betul, bahwa kadangkala ada hambatan yang menghalangi. Namun orang-orang sukses adalah mereka yang terbukti selalu bisa mengatasi hambatan yang menghalangi komitmen yang telah mereka berikan, dan tidak menyerah dengan mudah oleh alasan-alasan sederhana.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Push it to your limit.</span><br />Dulu, sewaktu masih menjadi karyawan, saya sering menerima “mission impossible”. Salah satu yang saya masih ingat adalah tugas untuk mengikuti tender di sebuah perusahaan yang berlokasi di luar Jawa. Sebenarnya ini tugas biasa. Namun kali ini dengan waktu untuk menyiapkan proposal dan dokumen tender yang sangat singkat. Hanya dua hari kerja. Biasanya butuh waktu paling cepat dua minggu untuk menyiapkan dokumen yang sama. Namun kali ini tidak ada ampun, saya hanya punya waktu dua hari saja. Hari pertama praktis habis untuk menyiapkan dokumen pendukung, mengcopy nya dan memasukkan dalam folder-folder yang akan dibawa ke tender. Di hari pertama saya pulang jam 12 malam. Hari kedua, saya baru selesai membuat proposal teknis tepat jam 12 malam, sementara jam 6 pagi saya harus sudah ada di Bandara. Dan susahnya waktu itu saya tinggal di daerah Bekasi, lebih dari 1 jam perjalanan dari kantor saya.<br /><br />Rasanya nyaris tidak mungkin pagi harinya saya bisa ikut tender. Saya hampir menyerah. Sendirian, jam 12 malam, di kantor yang gelap dan gerah (di kawasan Sudirman overtime untuk lampu dan AC sangat mahal), belum makan malam, dan membayangkan teman-teman dan atasan saya waktu itu yang semua sudah lelap tertidur. Hampir saya memutuskan untuk menyerah. Saya sudah siap membuat alasan. Mulai dari mendadak laptop saya crash, mendadak radiator mobil saya bocor, mendadak sakit perut, tiba-tiba meriang, dst. Apapun bisa saya sebutkan supaya besok ada alasan tidak datang di tender tadi. Dan mendadak juga saya jadi kreatif sekali membuat alasan. Namun, semakin banyak alasan yang saya karang, semakin saya tersadar, bahwa: Tidak ada gunanya membuat excuse. Excuse apapun yang saya buat, tidak akan pernah menjadi penggati dari fakta yang akan saya terima besok: bahwa saya gagal ikut tender. Ini yang saya tidak bisa terima. Dan saya mentertawakan kebodohan saya.<br /><br />Waktu itu saya segera memutuskan membawa pulang semua folder kerumah, merapikan folder dan amplop di rumah, mencari-cari meterai dan segel jam 02 pagi (dan ajaibnya dapat), memasukkan semua amplop kedalam travel bag, mandi, ganti baju, dan langsung ke Bandara. Saya berhasil berada di lokasi tender tepat jam 08.30 pagi, 30 menit sebelum tender dimulai. Saya puas. Perjuangan saya selama dua hari tidak sia-sia.<br /><br />Namun saya kalah dalam tender tersebut. Padahal dokumen yang saya siapkan tanpa cela. Apa boleh buat, solusi yang kami tawarkan secara komersial kurang kompetitif. Meskipun kalah, tentu saja saya pribadi masih untung. Lho, kok untung? Bukan, bukan untung uang SPJ. Perusahaan tempat saya bekerja tidak mendapatkan projectnya, tapi saya tetap beruntung memperoleh pengalaman yang sangat berharga. Bahwa ternyata saya bisa memenuhi komitmen yang saya berikan, tanpa harus memberikan excuse apapun, ketika saya berusaha hingga limit saya.<br /><br />Jadi kalau Anda mulai merasakan gejala-gejala C.E.M, segera coba dua resep tadi: (1) Ingatlah, bahwa excuse tidak dapat menggantikan hasil akhir, dan (2) Cobalah sampai limit Anda dahulu, sebelum menyampaikan excuse. Semoga dengan demikian kita semua (termasuk saya) bisa terhindar dari penyakit C.E.M. (fr)Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-24542364742980345702008-08-07T13:24:00.000+07:002008-08-07T13:26:26.844+07:006 Agustus6 Agustus, pukul 08.15 pagi. 63 tahun yang lalu. Kilatan cahaya sangat menyilaukan tiba-tiba menerangi langit. Dan sesaat kemudian sebuah asap cendawan raksasa memayungi Hiroshima. Seluruh bangunan, manusia, tumbuhan dan hewan di bawahnya, hancur seketika. Bom Atom pertama di dunia telah dijatuhkan di Horoshima.<br /><br />Adalah presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S. Truman yang memutuskan untuk menggunakan bom bertenaga atom untuk mengakhiri perlawanan Jepang. Sebuah keputusan yang telah merenggut ratusan ribu jiwa rakyat sipil Jepang. Namun juga adalah keputusan yang terbukti dapat mengakhiri Perang Dunia yang berlarut-larut dan menhindari korban lebih besar. Sebuah keputusan yang sesungguhnya juga tidak mudah, bahkan bagi seorang pemimpin sekelas Truman.<br /><br />Ketika militer Amerika Serikat menyatakan mereka berhasil menciptakan Bom Atom, tidak semua orang mendukung penggunaan Bom Atom untuk mengakhiri perang. Bahkan ilmuwan Albert Einstein, Jenderal Dwight Eisenhower hingga Jenderal Douglas MacArthur pada waktu itu telah menyatakan bahwa Bom Atom tidak diperlukan untuk mengakhiri perang. Sehingga Presidan Truman dihadapkan pada pilihan yang berat, dengan konsekuensi yang sama berat nya. Namun toh keputusan harus dibuat. Sang pemimpin harus tegas membuat keputusan, apakah Bom Atom akan digunakan atau tidak. Dan Truman akhirnya membuat keputusan yang konon adalah sebuah keputusan yang paling berpengaruh di abad lalu.<br /><br />Membuat keputusan adalah salah satu kualitas dari seorang Pemimpin. Seandainya kita dalam posisi Truman waktu itu, sanggupkah kita membuat keputusan?<br /><br />Dalam kehidupan sehari-hari kita juga harus selalu membuat keputusan, meskipun keputusan yang harus kita buat nilai penting nya jauh di bawah keputusan yang pernah dibuat oleh Presiden Truman. Terlebih dalam kehidupan para pemimpin dan pemilik bisnis. Keputusan penting yang dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha setiap saat harus dibuat. Haruskah kita menjalankan program marketing yang mahal ini atau tidak? Haruskah karyawan yang bermasalah ini dipertahankan atau diberi kesempatan lagi? Haruskah kita meneruskan kerjasama dengan supplier ini atau mencari supplier baru? Dan banyak lagi keputusan yang harus dibuat dalam time-frame yang sangat singkat.<br /><br />Menunda keputusan hampir dapat dipastikan malah akan menimbulkan masalah baru. Karena berikutnya akan mengantri masalah-masalah lain yang harus segera diputuskan.<br /><br />Menjadi indecisive (sulit membuat keputusan) adalah penyakit yang dapat membahayakan diri Anda dan keseluruhan organisasi. Dan penyakit ini saya amati kadang demikian kronis pada diri seseorang. Anda dapat mengamati sikap indecisive ini dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan untuk hal-hal sangat penting, untuk hal-hal sepele seperti memilih mau makan siang dimana, atau mau makan siang apa, bagi pribadi yang indecisive, bisa menjadi cerita yang panjang. Penyakit ini harus dicegah. Karena bisa kronis. Awalnya mungkin hanya indecisive dalam hal memilih menu makanan, memilih baju, atau mau pergi kemana akhir pekan nanti. Namun setelah menjadi kebiasaan, bisa-bisa kita akan selalu indecisive dalam banyak keputusan yang lebih penting.<br /><br />Jika Anda memutuskan untuk menjadi Pemimpin. Maka Anda harus lebih mengasah diri Anda untuk menjadi pribadi yang decisive. Caranya? Nah, ini harus dilatih, secara terus menerus. Beberapa metode praktis yang saya gunakan adalah sebagai berikut:<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 102);">Gunakan bahasa yang decisive </span><br />Apakah Anda termasuk orang yang sering menggunakan kata-kata “bagaimana lagi ...”, “terpaksa ...”, “sepertinya ...”, “mungkin ...” secara berlebihan dan tidak pada tempatnya?. Hati-hati, jangan-jangan Anda sedang mengekspresikan sesuatu yang indecisive. Misalnya ketika diundang di sebuah acara. Seringkali kita menjawab dengan “sepertinya saya tidak bisa datang ...”. Ini sebenarnya aneh. Kok sepertinya? Mengapa kita tidak memutuskan saja, bisa datang atau tidak. Jika bisa, akan datang jam berapa, dst. Jika tidak bisa, nyatakan saja tidak bisa. Atau dalam sebuah meeting, ketika akan menyampaikan saran, seringkali orang menyampaikan “mungkin ... saya ada sedikit saran.” Lho kok mungkin? Jadi mau menyampaikan saran atau tidak. Dulu saya punya seorang sopir yang tinggal di daerah yang setiap musim hujan selalu banjir. Dan setiap kebanjiran selalu mengeluh. Saya heran, dan bertanya mengapa dia tinggal disana. Jawabannya adalah “bagaimana lagi Pak ...” Lho, memangnya kita tidak bisa memutuskan untuk tetap tinggal atau pindah mencari tempat tinggal baru. Seorang teman pernah menyampaikan pada saya bahwa “sepertinya saya akan resign dari pekerjaan ...” Nah, kok sepertinya? Jadi mau resign atau tidak? Bagaimana seandainya Presiden Truman waktu diminta keputusan akan menggunakan Bom Atom atau tidak menjawab dengan “hmmm ... mungkin ...” Kira-kira bagaimana reaksi bawahannya?<br /><br />Orang-orang yang decisive menggunakan bahasa yang mengekspresikan keputusan atau preferensi nya. Bukan bahasa yang mengambang dan ragu-ragu. Apa yang kita ucapkan dapat membentuk diri kita. Jadi mulai sekarang, perhatikan ucapan Anda, apakah decisive atau indecisive.<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 102);">Dapatkan informasi yang lengkap</span><br />Seringkali penyebab kita sulit membuat keputusan adalah informasi yang tidak lengkap. Misalnya kita diundang ke sebuah acara, yang lokasinya kita tidak tahu dimana, atau waktu nya tidak jelas. Tentu akan sulit membuat keputusan. Atau kita diminta memutuskan untuk jadi membeli mobil atau tidak, sementara warna dan harga nya kita belum tahu, tentu sulit untuk memutuskan. Seorang yang decisive tidak akan membiarkan diri dalam ketidak tahuan informasi, namun berusaha mendapatkan informasi yang lebih lengkap, dan memutuskan berdasarkan informasi tersebut.<br /><br />Seorang yang decisive akan menggali informasi lebih lengkap, misalnya: “Jam berapa acaranya, hari apa, dimana?” Dan memutuskan, misalnya: “OK kalau acaranya di Bandung Indah Plaza, hari Sabtu jam 12.00 saya bisa, saya akan datang.” Atau dalam hal membeli mobil misanya “Kalau ada yang warna nya hitam, dan harga nya bisa kurang dari 200 juta, saya beli”. Ketika akan memutuskan memberikan sanksi kepada karyawan yang bermasalah maka seorang yang decisive akan menggali informasi, kesalahan apa yang telah diperbuat, peraturan perusahaan mana yang dilanggar, sesuai ketentuan apa sanksi nya, dan memutuskan sanksi tanpa ragu.<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 102);">Gunakan intuisi</span><br />Seringkali, meskipun informasi yang kita peroleh sudah cukup lengkap, kita masih ragu-ragu untuk memutuskan. Ini ibaratnya Anda harus memilih pasangan hidup yang sama baiknya, sama cantiknya, sama cerdasnya. Sudah di cek informasi bibit bebet bobot juga masih seimbang. Lalu bagaimana memutuskan? Ya gunakan saja intuisi. Apa kata hati Anda? Sayangnya intuisi tidak akan berkembang jika Anda tidak latih. Jadi harus sering digunakan. Percayalah, apapun keputusan yang Anda pilih nanti akan ada konsekuensi nya. Jadi percuma ada dalam posisi tidak memilih. Dengarkan intuisi Anda dan ambil keputusan, apapun konsekuensi nya ya nanti dihadapi saja.<br /><br />Dalam kenyataanya di belakang hari kita akan sulit mengatakan apakah dulu kita membuat keputusan yang salah atau benar. Yang ada adalah bagaimana kita menghadapi konsekuensi dari keputusan kita. Contohnya ketika memutuskan resign dari pekerjaan dan memulai usaha sendiri, saya tidak melakukan kalkulasi berapa tabungan saya, bagaimana risiko usaha saya, dsb. Intuisi saya mengatakan saya harus resign hari itu, dan saya resign. Dan kemudian pada tahun pertama usaha saya nyaris kolaps. Saat itu tentu ada rasa sesal. Mengapa saya harus memutuskan resign, sehingga mengakibatkan saya kesulitan keuangan. Coba kalau tetap jadi karyawan tentu masih menikmati gaji dan hidup tenang. Apakah keputusan saya waktu itu salah? Saya tidak ada waktu untuk memikirkan apakah keputusan saya salah atau benar. Yang ada adalah mencurahkan pikiran dan tenaga supaya dapur keluarga tetap ngebul. Hingga usaha saya membaik dan membaik. Alhamdulillah hari ini saya tidak menyesal sudah membuat keputusan untuk memulai usaha sendiri.<br /><br />Anda juga memutuskan untuk memulai menjadi orang yang decisive? Selamat mencoba 3 latihan di atas, dan nikmati konsekuensi keputusan Anda. Lagipula, Anda toh tidak sedang diminta memutuskan untuk menjatuhkan Bom Atom. (FR).Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-70120037753968282372008-06-30T23:58:00.003+07:002008-07-01T00:17:42.875+07:00Surat Pengunduran DiriSurat Pengunduran Diri! Lagi-lagi Surat Pengunduran Diri! Saya paling tidak suka dengan surat pengunduran diri dari karyawan saya. Memang tidak sering. Tapi ketika terjadi, mau tidak mau saya kesal, karena biasanya mendadak. Apalagi kalau terjadi disaat kami sedang menghadapi deadline beberapa project. Tiba-tiba salah seorang anggota team mengundurkan diri. Jelas kinerja team kami akan terpengaruh. Untuk mencari pengganti sebenarnya mudah. Karena jumlah pencari kerja di sektor IT cukup banyak. Namun, saya harus kembali berinvestasi waktu dan tenaga untuk melatih karyawan baru untuk menguasai produk kami. Belum waktu yang diperlukan untuk mengenalkan karyawan baru dengan tim dari klien kami. Dampak yang langsung terasa adalah kinerja kami untuk menyelesaikan project yang sudah terjadwal. Tapi inilah seni nya mengelola usaha. Biarpun tidak suka, saya harus jalani.<br /><br />Nasib yang saya alami ternyata juga dialami oleh tokoh Marcus dalam buku “The Ship Builder” karya Jack Myrick. Marcus adalah seorang pembuat kapal di Athena, 2,500 tahun yang lalu. Ia adalah pemilik usaha dan pekerja keras yang membawahi belasan karyawan. Namun, kerja keras tidak cukup. Usaha Marcus nyaris guncang, karena hampir tidak dapat memenuhi deadline delivery kapal yang dipesan pelanggannya. Penyebabnya karena para karyawannya yang hampir tidak punya spirit. Jumlahnya terus menurun, hingga tinggal beberapa orang, itupun dengan skill yang tidak mencukupi. Padahal Marcus sudah berusaha memberikan fasilitas yang baik. Tapi mengapa para karyawan tidak mau bekerja sesuai dengan keinginannya. Kalau Marcus sampai gagal menyelesaikan project pembangunan kapalnya, apa kata dunia? Ini kedengarannya akrab di telinga saya.<br /><br />Beruntung Marcus bertemu dengan Barnabas, seorang pembuat kapal paling sukses di Athena waktu itu. Untunglah Marcus tidak malu untuk bertanya. Dan dengan bijaksana Barnabas membagi ilmu nya. Yang ternyata dia peroleh dari lima keping sabak (tablet) yang berisi rahasia sukses dalam membangun imperium bisnis kapalnya. Saya tahu, pasti Anda juga ingin tahu rahasia nya kan? Oke, ini dia:<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Buatlah mereka merasa dihargai</span><br /><br />Kapankah terakhir Anda benar-benar menyatakan bahwa Anda menghargai karyawan Anda? Maksud saya menyatakan secara langsung, face to face. Saya kembali mengingat-ingat, ternyata saya jarang mengungkapkan penghargaan saya kepada tim saya. Ini yang harus saya koreksi. Biasanya kita hanya memberikan tugas dan perintah. Namun lupa memberikan apresiasi atas apa yang karyawan telah lakukan untuk usaha kita. Padahal betapa jerih payah mereka sedikit banyak telah memberikan kontribusi bagi usaha yang kita kelola.<br /><br />Orang tua kita jaman dulu sebenarnya sudah banyak memberikan contoh, dengan selalu mengucapkan “tolong” ketika memberikan tugas, dan mengucapkan “terimakasih” ketika tugas selesai dilaksanakan. Ada baiknya hal sederhana ini akan saya terapkan kepada tim saya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Lihat potensi mereka, bukan kekurangan mereka</span><br /><br />Ini yang sulit. Sebagai pengusaha kita mau instan. Maunya kalau punya karyawan ya yang siap pakai, siap kerja. Kalau selama bekerja performance tidak sesuai dengan harapan ya kasih surat peringatan, kalau perlu dikeluarkan, ganti yang lebih bagus. Padahal ternyata sebuah permata bisa datang dari batu yang kita sangka batu biasa. Kalau kita berkutat pada kesalahan dan keburukan karyawan kita, bisa-bisa potensi yang sebenarnya tidak pernah terlihat.<br /><br />Saya pernah mengalami hal ini. Salah seorang anggota tim saya, ketika baru bergabung betul-betul performance nya jauh di bawah harapan saya. Pengetahuannya baik tentang produk maupun pengetahuan umum IT nya sangat minimal. Saya sudah berniat akan menghentikannya setelah masa percobaan selesai. Ternyata, ketika masa percobaan hampir selesai, saya melihat sisi lain dari tim saya tadi, yaitu ketekunan dan kegigihan yang cukup bagus. Akhirnya saya pertahankan dan dia kian hari semakin maju.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Memimpinlah dengan otoritas, bukan kekuasaan</span><br /><br />Otoritas berbeda dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan, kita dapat memerintahkan karyawan kita melakukan sesuatu yang kita minta. Dan kalau tidak melaksanakan kita berikan sanksi. Namun, justru seni nya adalah, bagaimana membuat karyawan melakukan sesuatu yang kita inginkan dengan sukarela, tanpa perlu kita perintahkan, itulah otoritas.<br /><br />Otoritas datang dari integritas kita sebagai pemilik. Jika kata-kata kita bisa dipegang. Jika kita bisa memberikan contoh kepada karyawan bahwa kita melakukan apa yang kita ucapkan. Jika kita bisa “walk the talk”, maka otoritas akan dapat kita miliki. Kekuasaan bisa datang dan pergi, namun otoritas akan melekat pada pribadi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Cintai mereka terlebih dahulu</span><br /><br />Tentu kita ingin dicintai oleh karyawan. Namun cinta karyawan kita tidak dapat kita beli. Mereka baru akan mencintai kita, ketika kita mencintai mereka terlebih dahulu. Dan cinta adalah kata kerja, yang baru dapat dirasakan oleh karyawan, dengan tindakan kita. Cinta disini maksudnya adalah bagaimana kita memperlakukan karyawan dengan rasa hormat, sayang dan penuh kasih. Tentu saja maksudnya ke semua karyawan, bukan karyawan2 tertentu saja.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Buatlah mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang luar biasa</span><br /><br />Mungkin usaha Anda memiliki visi luar biasa. Mungkin Anda bercita-cita membangun konglomerasi global. Mungkin Anda yakin suatu saat nanti usaha Anda akan menjadi nomor satu di Asia. Namun, apa guna nya cita-cita tersebut bagi karyawan kita, jika mereka tidak merasa menjadi bagian dari cita-cita besar tadi.<br /><br />Disinilah tantangan untuk selalu memahami apa mimpi karyawan kita, dan mengkaitkan mimpi perusahaan dengan mimpi mereka. Ketika mimpi perusahaan adalah mimpi karyawan, maka kemajuan ada di tangan. Maka prinsip terakhir ini oleh Myrick disebut sebagai “unifying principle”.<br /><br />Ah, semoga saya mampu melaksanakan lima prinsip dahsyat ini, supaya tim saya semakin maju dan tidak ada lagi Surat Pengunduran Diri mampir di meja saya. (FR).Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-27823199202318434732008-05-27T08:01:00.002+07:002008-05-27T08:01:51.562+07:00Risalah Hati<span xmlns=""><p><em>Why set your heart on a piece of earth, simple one? Seek out the source which shines forever</em>. -- Jalaluddin Rumi, Mathnawi II, 709.<br /></p><p>Bayangkan sebuah ruang kamar. Di dalamnya ada sebuah lampu menempel di langit-langit. Lampu tadi ditutupi oleh tudung lampu yang terbuat dari kaca putih bening. Sudah terbayang? Kalau sudah kita lanjutkan. Lampu tadi menerangi seluruh isi kamar. Sangat terang. Seisi kamar pun terlihat jelas, berkat cahaya dari lampu, yang terpancar melewati tudung lampu yang bening.<br /></p><p>Hingga kemudian ada debu kotor menempel di tudung kaca bening tadi. Debu tadi akan menghalangi cahaya. Jika dibiarkan, semakin banyak debu bertumpuk, semakin redup cahaya lampu. Hingga apabila tudung lampu tertutup penuh dengan debu hitam, pijaran cahaya akan tertutup. Cahaya pun tidak terlihat, dan kamar menjadi gelap.<br /></p><p>Ah, mau membicarakan apa sih ini?<br /></p><p>Sabar. Sabar. Saya sedang membuat analogi tentang hati. Bukan, bukan liver yang berwarna coklat kemerahan itu. Namun hati manusia yang tak berwujud, namun ada. Hati yang bisa membuat Anda mabuk kepayang, sekaligus bisa membuat Anda marah tujuh turunan. Hati yang membuat Anda ketakutan, namun hati yang sama bisa membuat Anda berani melawan segala rintangan. Hati yang dalam bahasa Arab disebut Qalbu.<br /></p><p>Karena tidak berwujud makanya kita perlu model, perlu perumpamaan. Hati ibaratnya tudung lampu yang terbuat dari kaca putih bening di kamar yang saya ceritakan tadi. Ruang kamar tadi adalah Jiwa kita. Jiwa adalah aspek diri kita yang non-fisik. Anda pasti tahu, sebagai manusia kita memiliki aspek fisik dan aspek non-fisik. Aspek fisik adalah organ tubuh kita. Aspek non-fisik adalah jiwa kita. Tubuh fisik kita adalah kendaraan bagi jiwa kita. Hati dapat menerangi jiwa kita, sepanjang kita selalu menjaga hati kita tetap bersih.<br /></p><p>Memangnya hati bisa kotor? Bisa, seperti halnya tudung lampu yang tertutup debu.<br /></p><p>Di dalam jiwa (Nafs) kita ada komponen yang bernama pikiran (Aql) yang sesungguhnya netral. Pikiran adalah alat bantu kita dalam berinteraksi dengan dunia fisik. Berkat Pikiran kita dapat memahami dunia materi. Namun jika pikiran berpaling kepada dunia materi semata, kadang ia akan memandu kita ke arah yang salah. Pikiran akan mereferensikan setiap tindakan berdasarkan penguasaan atas materi. Yang berujung pada ketakutan akan kehilangan (fear). Ini adalah landasan dari sikap kikir, bakil, dengki, iri, sombong, dan sebagainya yang akan menciptakan debu kotor yang menempel pada kaca hati. Debu yang menumpuk akan menghalangi cahaya bagi jiwa kita.<br /></p><p>Sebaliknya, pikiran juga bisa berpaling ke dalam. Pikiran yang berpaling ke dalam diri kita sendiri akan menemukan bahwa, dunia materi di "luar sana", sesungguhnya memiliki aspek-aspek yang sama dengan diri nya. Sama-sama ciptaan Tuhan, yang bahan baku nya sama. Karenanya pikiran akan sadar bahwa ia sudah memiliki segala yang ia cari. Tidak akan pernah merasa takut kekurangan. Tidak akan pernah merasa takut kehilangan. Tidak merasa lebih dari orang lain, dan tidak akan merasa di bawah orang lain. Inilah cinta (love) yang menjadi dasar dari sikap welas asih, ikhlas, syukur, dan sebagainya yang akan menghapuskan debu dari kaca hati. Bola kaca hati pun menjadi bening. Hati akan memancar terang, menerangi jiwa.<br /></p><p>Tapi dari mana cahaya hati sesungguhnya berasal? Cahaya lampu itu tentu bukan berasal dari tudung kaca yang melingkupi lampu, namun berasal dari pijar lampu yang ada di dalam. Sumber cahaya itu adalah dari Ruh yang ditiupkan oleh Sang Pencipta sendiri ke dalam diri manusia. Cahaya yang berasal dari Sumber dari segala sumber. Bayangkan, betapa dahsyatnya apa yang ada dalam diri kita. Betapa terang sesungguhnya cahaya yang dapat kita pancarkan. Jika saja kita mengizinkan cahaya hati menerangi jiwa kita.<br /></p><p>Namun sayangnya kita sering mengotori hati kita sendiri sehingga ruang jiwa kita demikian gelap, sehingga kita dapat dikelabuhi oleh cahaya semu dari dunia materi di luar sana. Ibarat penghuni gua, yang dalam gelap terpesona oleh bayangan dari luar pintu gua dan mengira bayangan tadi adalah realitas. Kita sering terjebak dalam ketakutan akan kekurangan. Sehingga terus mencari dan mencari, tanpa pernah merasa cukup. Atau terbuai dalam ilusi akan kenikmatan materi yang dikendalikan nafsu (syahwat), bukan cahaya dari hati.<br /></p><p>Semangat jiwa yang berasal dari ketakutan atau syahwat, dapat datang dan pergi dengan mudah. Karena dipengaruhi oleh kondisi materi di luar sana. Namun jiwa yang diterangi oleh cahaya yang berasal dari hati, tidak akan terpengaruh oleh dunia luar. Dia akan terus terang, dan terang terus.<br /></p><p>Maka, izinkanlah cahaya hati kita terpancar keluar, menerangi jiwa kita. Sehingga setiap tindakan adalah ekspresi dari terangnya cahaya agung yang berasal dari Ruh, yang telah ditiupkan sendiri oleh Sang Pencipta. Maka dengan demikian, sehat, bahagia dan makmur, akan kembali menjadi fitrah bagi kita semua. Amin. (Fauzi Rachmanto)</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-68216478112835858952008-05-27T07:38:00.002+07:002008-05-27T07:48:52.023+07:00Benar Benar Mabok<span xmlns=""><p>Dari minggu lalu, inbox email dan messenger saya terisi dengan banyak pertanyaan yang sama dari sesama pemilik usaha. Bagaimana nih, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik. Saya, biasanya menjawab singkat dengan sedikit bercanda, Alhamdulillah di Bandung bensin dan elpiji masih terbeli. Salah satu teman baik langsung menelpon saya dan dengan sewot menguliahi, bahwa saya tidak sensitif dengan beban penderitaan rakyat miskin akibat kenaikan BBM ini. Bahkan saya dinilai pro pemerintah yang pro kepentingan perusahaan minyak asing. Hehehe … siapalah saya ini, Alhamdulillah kalau dikira kenal orang pemerintahan atau perusahaan minyak asing.<br /></p><p>Apakah kenaikan BBM berpengaruh terhadap bisnis saya? Sudah tentu. Menurut saya semua bisnis pasti akan terkena dampak kenaikan BBM, entah besar atau kecil, baik langsung atau tidak langsung. Kenaikan BBM jelas mendorong inflasi dan akan mempengaruhi daya beli. Namun, menurut saya pertanyaan pentingnya bukanlah ada atau tidaknya pengaruh kenaikan BBM, namun bagaimana para pemilik usaha kecil dan menengah seperti saya ini dapat terus bertahan setelah BBM naik. Nah, kalau ini pertanyaannya, penting untuk dijawab. Berikut 3 tips supaya Anda tidak Benar-Benar Mabok akibat kenaikan BBM:<br /></p><h2>Menerima<br /></h2><p>Kenaikan BBM sudah terjadi. Kalau saya, memilih untuk menerima dan tidak membuang energy dan emosi saya untuk menolak kenaikan ini. Hehehe … jujur saja saya langsung didamprat teman saya ketika mengatakan ini. Bukan, saya bukan pro pemerintah, partai berkuasa atau apapun. Saya pro dengan kedamaian hati saya sendiri. Saya yakin Menteri Keuangan dan seluruh staff ahli nya jauh lebih pintar dari saya, dan pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Bagaimana dengan alternative lain selain menaikkan BBM? Mungkin saja ada. Saya yakin jika alternative tersebut bisa diterapkan, tidak sekedar wacana dan hitungan di atas kertas, pada saatnya pasti akan diterapkan. Namun saya tidak mau berandai-andai. Fakta nya hari ini adalah, kenaikan harga BBM masih menjadi pilihan terbaik yang mungkin di jalankan. Dan saya belajar menerima kenyataan tadi.<br /></p><p>Saya juga menaruh hormat terhadap rekan-rekan yang melakukan segala daya upaya untuk membuat pemerintah merevisi keputusan menaikkan harga BBM. Saya paham sepenuhnya pendapat mereka, dan menghargai niat baik mereka. Sebagai konsumen BBM, tentu saya juga lebih senang kalau harga BBM murah. Tapi kenyataannya BBM adalah produk yang harga nya dapat mengalami fluktuasi di manapun di dunia ini. Dan saya memilih untuk siap ketika harga nya meningkat.<br /></p><p>Saya juga tentu prihatin dengan dampak kenaikan harga bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun saya juga yakin pemerintah sudah memikirkan, dan memiliki program untuk mengurangi dampak tersebut. Saya sendiri tentu juga bisa berkontribusi dengan memperbanyak sedekah, daripada berteriak-teriak "membela" mereka.<br /></p><h2>Fokus Pada Peluang<br /></h2><p>Kenaikan BBM memang menimbulkan "persoalan". Namun kalau kita amati "persoalan" tadi sebagian besar baru pada tahap potensial. Ada rekan yang menyampaikan pada saya, bahwa setelah BBM naik, pasti pembeli berkurang, pasti toko nya sepi. Saya tanya kembali, sudah sepi belum toko nya hari ini? Teman saya tadi ketawa nyengir. Hehehe … gak sih Pak, kalau hari ini malah ramai. Tapi kan nanti pasti sepi. Wah, ya nanti saja kita bahas kalau sudah beneran sepi.<br /></p><p>Saya paham bahwa rekan tadi bermaksud untuk antisipatif terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Ini bagus. Namun jangan sampai kita berkutat pada "persoalan" sehingga melupakan peluang yang muncul. Kalau Anda cukup lama di dunia marketing pasti tahu bahwa kemampuan membeli atau daya beli bukanlah satu-satu nya faktor pendorong terjadi nya pembelian.<br /></p><p>Misalnya, beberapa waktu lalu saya membaca keberhasilan sebuah produsen alat-alat kesehatan yang sukses menjual produknya di kota-kota kecil. Produknya berupa ikat pinggang ajaib, hingga kasur ajaib. Harga nya luar biasa mahal menurut saya. Anehnya pembeli nya juga bukan dari kalangan mampu. Tinggal di kota kecil lagi. Hebatnya lagi, pembeli nya belum tentu benar-benar membutuhkan alat tersebut. Karena, alat-alat tadi sifatnya hanya "menjaga kesehatan", "melancarkan peredaran darah", "memperbaiki metabolisme", dsb. Boro-boro mikirin metabolisme, lha untuk makan saja mungkin pas-pas an. Kalau dihitung-hitung dari daya beli masyarakat di kota-kota kecil tadi, ini tidak masuk akal. Tapi itulah dunia usaha, tidak selalu masuk akal.<br /></p><p>Daripada memikirkan "persoalan" daya beli masyarakat di kota kecil yang menjadi target, produsen alat kesehatan tadi memilih untuk melihat peluang untuk memasarkan produk secara lebih kreatif di kota-kota kecil tadi. Kita juga bisa seperti itu.<br /></p><h2>Kesempatan Belajar<br /></h2><p>Dulu sewaktu krisis moneter menghantam Asia Pasifik tahun 1997, saya masih menjadi karyawan. Tugas kami lumayan berat, karena harus menjual solusi software ke industri perbankan yang pada waktu itu mulai kolaps. Belum lagi nilai tukar dollar yang melambung tinggi, sementara produk kami dijual dalam dollar. Secara logika mungkin mendingan tutup warung saja. Hanya satu hal yang membuat kami terus bertahan, bahwa kami percaya apabila kami berhasil melewati krisis tersebut, kami dapat melewati tantangan apapun.<br /></p><p>Krisis selalu menawarkan peluang untuk belajar. Pola pikir "business as usual" harus diuji kembali dengan adanya tantangan baru. BBM naik? Harga bahan baku naik? Ongkos transportasi naik? Biaya karyawan naik? Itu adalah seri mata kuliah wajib di universitas pengusaha yang sesungguhnya. Kali ini tidak hanya di text book. Namun Anda langsung praktek di dunia nyata. Dan ketika Anda lulus ujian. Dapat dipastikan Anda satu langkah lebih baik dari kemarin.<br /></p><p>Semoga setelah kenaikan BBM ini Anda semua menjadi Benar-Benar Mampu. (Fauzi Rachmanto)</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-44488243568923102972008-04-04T14:31:00.002+07:002008-04-04T14:50:52.009+07:00Butterfly<span xmlns=""><p>Secangkir kopi hitam, 2 potong lupis ketan, dengan taburan parutan kelapa dan gula merah cair. Pagi ini terhidang di depan saya. Saya sebenarnya sudah tidak minum kopi lagi. Tapi pagi ini setelah meeting di salah satu customer saya, tiba-tiba saya ingin nostalgia di kantin di dekat tempat parkir ini. Lima tahun lalu saya sering berada di kantin ini. Waktu itu perusahaan saya adalah perusahaan OMAC (One Man Army Corp). Saya adalah direktur, salesman, implementor, merangkap bagian penagihan. Lima tahun lalu, saya bolak-balik presentasi, melakukan implementasi dan menagih pembayaran, dengan segala dokumentasinya yang suka bikin senewen. Dan kantin ini adalah tempat mangkal saya.<br /></p><p>Kopi nya masih hitam kental. Saya cuma berani menyeruput sedikit. Dan rasanya masih mantap. Lupis nya jangan tanya. Legit dan gurih. Lima tahun lalu, lupis ini adalah sarapan rutin saya kalau sedang ke customer saya ini. Tapi suasana dalam kantin sudah sangat berubah. Dulu kantin ini kecil, sempit, pengap dan gerah. Sekarang sudah diperluas, lega, dan jendela kaca nya besar. Cat nya pun bagus dan menarik. Lengkap degan musik yang mengalun pelan dari sound system sederhana. Lebih mirip kafe. Ah, rupanya sang pemilik kantin paham betul dengan adagium: "Change is the only constant". Satu-satu nya hal yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Lingkungan di seputar gedung customer saya itupun sudah berubah. Semakin banyak karyawan yang mampir ke kantin tadi. Dan kantin tadi menyambut perubahan tadi dengan perubahan.<br /></p><p>Bahkan perusahaan saya yang dulu OMAC pun sudah berubah. Kini saya bisa duduk santai makan lupis, sementara staff saya masih di dalam melakukan tindak lanjut hasil meeting tadi pagi. Dulu, harus saya sendiri yang melakukan semuanya. Saya hirup sedikit lagi kopi saya. Sudah lebih dari 2 bulan saya tidak minum kopi. Kafein segera terserap dan merambat ke otak saya. Rasanya segar dan nikmat sekali. Alhamdulillah. Saya mengucapkan syukur kepada yang memberi saya kehidupan. Saya merasa tenang dan bersyukur.<br /></p><p>Pandangan saya tertuju ke pot tanaman di depan jendela kantin. Tanaman sejenis bougenvile itu lima tahun lalu masih kecil. Tapi kini sudah besar. Pot nya terlalu kecil sehingga pecah, tidak sanggup menahan desakan akar tanaman. Tanahnya berserakan kemana-mana. Pohon itu berubah. Pot nya tidak bisa berubah. Pot tanaman pun pecah, karena tidak bisa menanggapi perubahan dengan perubahan.<br /></p><p>Di pucuk tanaman tadi saya lihat ada kupu-kupu indah terbang melintas. Tiba-tiba kantin terasa senyap dan dingin. Musik pelan terdengar mengalun, sebuah lagu baru yang saya kurang familiar terdengar. Dari soundtrack film mungkin. Ah, penyanyinya Melly Goeslaw. Sebait lirik tertangkap di telinga "Butterfly fly away so high, As high as hopes I pray …" Oh, saya tahu judulnya Butterfly. Kupu-kupu. Tepat ketika saya mengamati seekor kupu-kupu. Adakah sebuah pertanda? Adakah ini isyarat yang harus saya tangkap maknanya? Tuhan memang suka bermain teka-teki. Saya merinding. Dan buru-buru menyeruput kopi lagi.<br /></p><p>Kupu-kupu adalah makhluk luar biasa. Bayangkan, dari ulat yang menjijikkan, mampu bertransformasi menjadi makhluk yang demikian indah. Dari binatang yang hanya bisa bergerak lamban. Menjadi makhluk yang lincah terbang kesana kemari. Kupu-kupu adalah simbol perubahan yang positif. Perubahan menjadi yang lebih baik. Perubahan. Adakah saya siap dengan perubahan? Mata saya beralih ke interior kantin yang sudah berubah. Saya menatap pot yang pecah karena tidak berubah. Perubahan. Saya harus siap dengan perubahan.<br /></p><p>Saya tidak selalu siap dengan perubahan. Anak pertama saya mulai beranjak remaja. Sikap dan perilaku nya tidak seperti waktu dia masih anak-anak. Sekarang dia sudah berani memiliki pendapat sendiri, berani mengutarakan keinginan sendiri, berani menentukan pilihan sendiri. Tidak jarang kami berbeda pendapat. Kadang saya bertanya, dimana bayi manja yang dulu saya gendong-gendong itu? Tapi itulah hidup. Anak saya berubah. Saya juga harus berubah. Kalau tidak bisa pecah seperti pot tanaman di depan kantin tadi.<br /></p><p>Customer saya juga berubah. Organisasi mereka juga tumbuh. Tuntutan nya sudah berbeda dengan jaman saya masih OMAC dulu. Mereka kini menuntut layanan yang sangat lengkap dan professional. Saya harus mengandalkan tim untuk melayani mereka. Tidak bisa one man show lagi. Perusahaan saya harus ikut berubah, atau ditinggalkan oleh customer kami.<br /></p><p>Kadang-kadang perubahan terjadi terlalu tiba-tiba, atau tidak menyenangkan kita. Unexpected change ini paling sering terjadi di dunia bisnis. Di bisnis software juga sering terjadi. Principal yang tiba-tiba merger dan tidak bekerjasama dengan kita lagi. Revisi harga secara tiba-tiba, sementara kita masih menawarkan ke customer dengan harga lama. Dan sebagainya. Bagaimana menyikapinya? Kalau saya dengan berusaha mencari sisi baiknya. Awan yang gelap selalu memiliki "silver lining". Saya pernah "bercerai" dengan suatu principal. Awalnya memang saya tidak terima, karena merasa di-zalimi. Tapi rupanya perceraian tadi adalah jalan bagi saya untuk bertemu dengan principal yang lebih baik. Kadang perubahan adalah jawaban dari doa-doa kita di waktu malam. Meskipun cara nya tidak selalu kita pahami.<br /></p><p>Dua potong lupis sudah saya habiskan. Saya tidak berani nambah lagi. Kupu-kupu cantik di luar sana terbang mendekat ke jendela seperti hendak menyapa. Saya tersenyum. Terimakasih inspirasinya, bisik saya. Kupu-kupu tadi terbang menjauh, dan hilang dari pandangan. (Fauzi Rachmanto).</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-79178988310518296892008-04-03T21:28:00.002+07:002008-04-03T21:40:30.743+07:00Kritik dan Keripik<span xmlns=""><p>Pada waktu meeting, saya sering mendapat kritik dari karyawan saya. Biasanya tentang cara saya menjalankan perusahaan. Terus terang saya kesal. Coba bayangkan, saya yang sudah belasan tahun di bisnis IT, yang merupakan pendiri sekaligus pemilik perusahaan, masa di ajarin bagaimana mengelola perusahaan sama "anak kemaren sore" yang baru kerja 3 tahun. Yang makan dari gaji yang saya bayarkan lagi. Apa gak kesal. Tahu apa mereka soal usaha yang saya bangun dengan susah payah ini. Jadi ketika mendengar kritik dari karyawan saya, meskipun wajah saya tetap tersenyum dan manggut-manggut, dalam hati saya kadang geram juga. Awas aja lu, gw pecat. Begitu kadang saya membatin.<br /></p><p>Kritik yang lain kadang saya terima dari pelanggan. Ini lebih menyebalkan lagi. Pelanggan memberikan kritik lebih tajam dan tanpa tedeng aling-aling. Kalau karyawan masih ada takut2nya, nah kalau pelanggan nggak ada takutnya sama sekali. Wong mereka yang bayar saya. Jadi meskipun pilihan kata nya menyakitkan, saya terpaksa harus tetap tersenyum dan bilang "ya pak, ya pak, ya pak" terus. Persis CD rusak. Apa lagi kalau yang mengkritik itungan nya masih junior. Wah, kebanggaan diri saya langsung kena. Kurang asem, diceramahin sama keroco nih. Gak tau apa saya ini owner. Demikian kadang saya membatin.<br /></p><p>Mungkin saya memang tidak tahan kritik. Dalam tes kepribadian yang pernah saya ikuti, saya ini tergolong tipe dominan. Salah satu ciri nya ya ini, saya sensi sekali dengan kritik.<br /></p><p>Bukan pembenaran, tapi kesal karena di kritik menurut saya manusiawi. Namanya manusia, ingin nya ya perbuatannya dipuji orang lain. Pastinya kesal atau bahkan marah kalau perbuatannya disalahkan pihak lain. Apalagi kalau di kritik oleh orang yang menurut kita tidak lebih pandai dari kita. Siapa lu, ngritik gue? Mungkin demikian perasaan kebanyakan orang.<br /></p><p>Meskipun kesal, namun saya tidak pernah marah kalau di kritik. Malah biasanya saya diam saja. Bukan apa2, saya sadar kok kalau kritik itu bermanfaat buat saya. Bahkan, jujur saja, saya memulai usaha saya dulu karena kritik. Ceritanya begini. Dulu sejak masih jadi karyawan memang saya sudah senang membicarakan berbagai peluang usaha. Karena saya bekerja di perusahan IT, biasanya ide usaha yang saya lontarkan masih seputar bisnis IT. Ide-ide usaha ini biasanya saya sampaikan dan diskusikan dengan kawan-kawan dekat saya. Suatu hari saya sedang asyik menyampaikan suatu ide usaha di sebuah kafe dengan seorang teman. Teman tadi tiba2 mengambil buku saku, membuka nya dan geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Kenapa? Tanya saya. Setengah mencibir dia berkata, bahwa saya punya lebih dari 30 ide bisnis (dia mencatat semua), dan tidak ada satu pun yang sudah saya jalankan. Plak! Rasanya saya seperti ditampar.<br /></p><p>Saya waktu itu memang tipe pemikir. Bukan pelaku. Dan ide usaha yang saya "telor" kan ternyata cukup banyak. Saya sampai terkaget-kaget. Dan ironisnya, tidak satu pun yang saya jalankan. Saya asli omdo (omong doang) dan nato (no action think only). Kritik ini yang membuat saya malu sama teman saya, dan akhirnya mencoba merealisasikan salah satu ide bisnis saya tadi. Dan jadilah saya seorang pengusaha.<br /></p><p>Jadi kritik meskipun menyebalkan, tapi buat saya perlu. Bahkan pujian malah membuat kita terlena, dan lupa memperbaiki diri. Sementara kritik akan menggugah kita dan membuat kita menjadi lebih baik. Ya, tapi kan harus "kritik yang membangun" . Tidak juga. Kritik ya kritik, mau disampaikan setajam pisau silet atau yang lunak enak di telinga, itu terserah pengkritik. "Membangun" nya itu terserah kita. Pilih mana? Kritik pedas yang membuat hidup Anda berubah total menjadi lebih baik, atau kritik setengah hati, yang membuat Anda tidak berubah dari keadaan sekarang? Ya, tapi tolong kritik disampaikan dengan solusi. Ini juga tidak wajib. Kritik ya kritik, terserah pengkritik nya. Solusi nya terserah kita. Apalagi orang-orang yang suka mengkritik biasanya memang gak bakat memikirkan solusi. Coba saja tanya orang-orang yang suka demo. Pasti tidak bisa memberikan solusi konkret. Biarkan saja. Mari kita belajar memikirkan solusi nya sendiri. Jadi nya kan yang makin pinter kita.<br /></p><p>Pelaku itu ibarat pemain bola, dan peng-kritik itu ibarat penonton. Dua-dua nya perlu. Pertandingan bola tanpa penonton ya gak seru. Penonton tanpa ada pemain bola, mau nonton apa?<br /></p><p>Karena sensi sama kritikan. Saya jadinya termasuk malas meng-kritik. Pertama, karena saya memang gak bakat ngasih kritikan. Kata orang saya kalau mengkritik malah jadi kaya orang marah-marah, padahal maksud saya bukan begitu, jadinya suka bikin salah paham. Daripada salah paham, lebih baik saya menyampaikan sesuatu yang baik, atau diam.<br /></p><p>Kedua, saya sedang mencoba belajar menerapkan prinsip "non-judgement". Prinsip ini saya pelajari dari Deepak Chopra dalam "7 Spiritual Laws of Success". Inti nya, belajar untuk tidak "menghakimi" peristiwa, kejadian, maupun orang. Karena keterbatasan kita sebagai manusia, sesungguhnya kita tidak tahu "big picture" dari peristiwa yang kita hakimi tadi. Siapalah kita ini menghakimi peristiwa yang sudah digariskan Yang Maha Tahu. Apalagi menghakimi kesempurnaan ciptaan Yang Maha Sempurna. Saya tidak berani.<br /></p><p>Lantas bagaimana kalau saya lagi kesal sama orang, atau ada peristiwa yang menurut saya tidak benar? Dari pada menyampaikan kritik saya lebih suka makan keripik. Ok .. Ok .. Ok .. Kesan nya "maksa" ya? Tapi ini beneran. Saya suka sekali makan keripik kentang (yang rasa plain), atau keripik singkong (yang plain juga). Rasa nya renyah dan keasyikan mengunyahnya bisa melupakan saya untuk mengkritik.<br /></p><p>Tulisan ini menyebalkan Anda? Anda ingin mengkritik? Silakan … silakan, sampaikan kritik Anda, saya mau ambil keripik singkong dulu. (Fauzi Rachmanto)</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-64704631810979004512008-03-24T14:25:00.002+07:002008-03-24T14:30:01.075+07:00Memilih<span xmlns=""><p>"Our lives are a sum total of the choices we have made." -- Dr. Wayne Dyer<br /></p><p>Alangkah beruntungnya manusia. Tuhan memberi kesempatan untuk menjalani setiap detik dalam hidup kita dengan pilihan. Dari bangun tidur, sampai kita tidur lagi, kita dapat memilih. Begitu bangun di pagi hari, Anda dapat memilih untuk langsung bangun dan beraktifitas, atau memilih untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Di pagi hari, Anda dapat memilih untuk menyapa anak, istri dan keluarga di rumah dengan semangat dan senyuman, atau cemberut dan mengomel bahwa Anda kesiangan. Sambil sarapan, Anda dapat memilih untuk berbicara dengan anak Anda tentang sekolahnya, membaca berita buruk di koran, atau nonton gossip artis di TV. Di kantor, Anda dapat memilih untuk memulai menyelesaikan pekerjaan Anda, atau sekedar chatting dengan teman-teman Anda di kantor lain. Dan seterusnya. Pendek kata: Anda memiliki pilihan.<br /></p><p>Dahsyatnya kekuatan pilihan, dapat Anda lihat dari kehidupan orang-orang sukses. Dunia teori fisika tidak akan diperkaya dengan "radiasi Hawking" seandainya Stephen Hawking memilih untuk menyerah ketika mendapati dirinya lumpuh akibat amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Entah bagaimana wajah industri software komputer saat ini, kalau saja Bill Gates memilih untuk melanjutkan kuliah dan membuang mimpinya merintis perusahaan perangkat lunak bersama Paul Allen. Mungkin tim balap Formula 1 dan produsen mobil sport terkemuka Ferrari tidak akan pernah ada, kalau saja Enzo Ferrari memilih untuk cukup puas menjadi karyawan Alfa Romeo.<br /></p><p>Lalu apakah dengan demikian kita harus menunggu untuk membuat sebuah keputusan besar sebagaimana Hawking, Gates atau Ferrari? Tidak. Mereka tidak serta merta membuat sebuah keputusan besar. Namun melalui hidupnya dengan pilihan-pilihan kecil yang membentuk keputusan besar mereka dikemudian hari. Bill Gates tidak serta merta memutuskan untuk mendirikan Microsoft. Namun jauh sebelumnya, Gates muda telah memilih untuk mengikuti "ekskul" komputer di SMA nya. Memilih untuk "hang out" dengan Paul Allen dan kawan-kawan untuk mengutak-atik program komputer, memilih untuk berbisnis di usia muda dengan membuatkan program untuk produsen Altair, kemudian IBM PC, dan seterusnya. Pilihan-pilihan kecil yang kemudian membentuk seluruh hidupnya.<br /></p><p>Setiap detik adalah pilihan. Dan setiap pilihan, sekecil apapun, menentukan masa depan kita.<br /></p><p>Namun, apakah kita sudah benar-benar memahami bagaimana caranya memilih? Sebagai contoh, ketika ada peluang usaha ditawarkan kepada kita, apakah kita memilih untuk serta merta menolak, atau mencoba mempelajarinya dahulu? Di sebuah acara formal, ketika kita melihat ada orang yang dapat memberikan pengaruh positif kepada kita, apakah kita memilih untuk berkenalan, atau malah menunduk malu dan menghindar? Ketika anak kita tidak mengikuti kemauan kita, apakah akan kita hardik dengan amarah, atau coba ajak bicara? Pilihan-pilihan kecil. Namun bisa berdampak besar.<br /></p><p>Ya, tapi bagaimana cara memilih? Mengapa kita sering ada dalam situasi yang sepertinya "salah pilih". Apakah ada teknik untuk membantu dalam memilih. Ada. Salah satunya yang menurut saya sangat efektif digunakan di banyak bidang kehidupan adalah teknik H-O-W yang diajarkan oleh David Freemantle dalam buku-nya "How to Choose". Teknik H-O-W ini terdiri dari tiga bagian:<br /></p><h2>Hesitate (Pertimbangan)<br /></h2><p>Langkah pertama adalah untuk selalu melakukan pertimbangan sebelum Anda memberikan reaksi. Melakukan pertimbangan berarti tidak memberikan reaksi spontan yang seringkali hanya didorong emosi. Contohnya ketika karyawan Anda ada yang melakukan sebuah kesalahan fatal yang merugikan bisnis Anda, apakah yang akan Anda lakukan: memaki, menampar atau langsung memecat. Itu kalau Anda tidak menggunakan pertimbangan. Pertimbangkanlah. Anda punya pilihan. Diamlah sejenak, untuk masuk ke tahap memilih berikutnya.<br /></p><h2>Outcomes (Hasil)<br /></h2><p>Sudahkah Anda memikirkan hasil yang akan Anda peroleh. Dan yang lebih penting lagi, hasil apakah yang Anda inginkan dari pilihan yang akan Anda ambil? Ketika raport anak Anda di sekolah demikian jeleknya, mungkin Anda ingin memarahi Anak Anda habis-habisan hingga ia menangis, terluka hatinya, dan hilang rasa percaya dirinya. Itukah hasil yang Anda inginkan? Atau Anda menginginkan anak yang bahagia, optimis, percaya diri, dan buahnya nanti adalah prestasi yang baik? Pikirkan dulu hasilnya, sehingga Anda dapat masuk ke tahap memilih yang ketiga.<br /></p><h2>Ways (Cara)<br /></h2><p>Kalau sudah ketahuan hasilnya, Anda bisa memperluas pemikiran Anda ke cara-cara yang dapat Anda tempuh. Jika hasil yang ingin dicapai adalah karyawan yang tidak melakukan kesalahan, mungkin Anda bisa mulai menulis aturan perusahaan yang lebih tegas, melakukan pelatihan kembali, atau mungkin sistem dan prosedur perlu dibenahi. Jika anak yang sehat lahir batin, bahagia, optimis, bertanggung-jawab dan percaya diri yang ingin Anda peroleh, maka mungkin Anda bisa mulai memberi kepercayaan, tanggung-jawab dan bimbingan untuk anak Anda. Cara ini dapat Anda kembangkan seluas-luasnya, dan dapat Anda jalankan secara parallel.<br /></p><p>Saya menggunakan teknik H-O-W ini dalam berbagai hal. Yang sederhana misalnya dalam menggunakan email. Saya sangat sering menerima email dari mitra kerja yang isinya kadang tidak enak dibaca. Sebelum menggunakan teknik H-O-W ini, saya akan bereaksi spontan. Kata-kata pedas saya balas dengan kata yang lebih pedas lagi. Akibatnya pernah saling berbalas email tak berkesudahan terjadi, dan hubungan kami menjadi renggang. Kini saya memilih menggunakan teknik H-O-W: Melakukan pertimbangan, memikirkan hasil yang ingin saya peroleh dari reply email saya, dan memilih cara penyampaiannya. Hasilnya jauh lebih baik.<br /></p><p>Ah, tapi hidup adalah pilihan. Menerapkan teknik ini atau tidak, adalah pilihan Anda. Selamat membuat pilihan yang lebih baik. (FR)</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-19636201097232481632008-03-11T00:57:00.003+07:002008-03-11T01:02:46.270+07:00Semut dan Gajah<span xmlns=""><p>Pernahkah Anda merasakan, betapa Anda sudah bekerja keras siang malam untuk mewujudkan apa yang Anda inginkan, namun sepertinya nasib malah membawa Anda ke arah yang berlawanan? Anda sudah bekerja keras untuk mewujudkan impian-impian Anda, namun sepertinya Anda malah dibawa menuju ke tempat lain, yang jauh dari mimpi Anda? Jika YA, maka nasib Anda sama dengan nasib seekor semut yang hidup dipunggung seekor gajah. Bayangkan saja, sang semut sudah capek-capek berjalan menuju timur, kalau gajahnya berjalan menuju barat, maka sama saja semut tadi akan menuju barat, bukan timur. Analogi ini saya temukan di buku mungil yang ditulis dengan sangat indah oleh Vince Poscente, berjudul "The Ant and the Elephant" yang di edisi bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Tuntunlah Sang Gajah". Vince Poscente adalah seorang mantan atlet Olimpiade, entrepreneur dan ahli strategi bisnis.<br /></p><p>Buku yang ditulis dalam bentuk fabel (cerita tentang binatang) ini mengisahkan perjalanan Adir sang semut, dan Elgo sang Gajah. Adir adalah semut kecil dengan cita-cita besar. Setelah terhempas badai dan terpisah dari koloni nya. Adir menemukan tujuan hidupnya, yaitu Oase. Mengapa Oase? Karena bagi Adir Kehidupan haruslah menjadi perjalanan yang bermakna, bukan sekedar perjuangan untuk bertahan hidup. Bagi Adir Oase lah yang akan membuat hidupnya bermakna. Namun, pada awalnya Adir tidak menyadari bahwa ia tinggal dipunggung Elgo, jadi kemanapun ia melangkah, akan sia-sia saja jika Elgo tidak menuju ke arah yang sama dengan tujuan Adir. Beruntunglah Adir bertemu dengan Brio, sang burung hantu cerdas yang menyadarkan Adir bahwa keberhasilannya untuk mencapai Oase akan sangat tergantung pada kemampuannya untuk berkomunikasi dan menuntun Elgo, menuntun sang Gajah.<br /></p><p>Adir dan Elgo dalam kisah ini adalah perlambang dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar kita. Kekuatan pikiran sadar kita, dibandingkan dengan kekuatan pikiran bawah sadar kita, memang bagaikan semut dengan gajah. Ini bukan analogi yang mengada-ada. Vince mengutip penelitian Dr. Lee Pulos yang mengungkapkan bahwa dalam setiap detik, pikiran sadar kita menggunakan 2000 neuron, dan pikiran bawah sadar menggunakan 4 milyar neuron. Bayangkan, keputusan sadar dihasilkan oleh hanya 2000 neuron, sementara keputusan yang dibuat oleh pikiran bawah sadar menggunakan 4 milyar neuron. Jadi jelas siapa mengendalikan siapa. Gajahlah yang ternyata membawa kemana semut pergi, bukan sebaliknya.<br /></p><p>Jadi, jika selama ini "semut" Anda yang cerdas itu mungkin sudah merumuskan visi hidup Anda dengan jelas, sudah merancang strategi berbisnis dengan rinci, dan sudah mengambil langkah-langkah berani, misalnya resign dari pekerjaan, sampai pinjam uang mertua segala, namun kok bisnis Anda sepertinya masih jauh dari visi yang Anda angankan, mungkin disini jawabannya. Barangkali Anda belum berbicara dengan "Gajah" Anda. Ya jangan heran, kalau Anda sudah take action ke utara tapi kok malah menuju ke selatan, mungkin Gajah Anda yang membawa kesana. Lalu bagaimana menuntun Gajah kita ini?<br /></p><p>Kata kunci nya adalah emosi. Dalam kisah Adir dan Elgo dikisahkan bahwa Elgo hanya dapat mendengar Adir hanya melalui emosi. Emosi Adir tentang Oasis yang sangat kuat, yang dapat ditangkap oleh Elgo dan membuatnya mulai melangkah menuju Oasis. Beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca kisah seorang anak kecil yang mampu berlari beberapa puluh kilometer, di malam hari, sendirian, demi mencari pertolongan bagi Ayahnya yang tidak dapat bergerak di mobil mereka yang mengalami kecelakaan. Jika anak itu diminta melakukan lagi hal yang sama, mungkin sudah tidak sanggup. Jangankan anak kecil, orang dewasapun mungkin tidak mampu. Namun emosi yang sangat kuat untuk menyelamatkan nyawa sang Ayah, telah menggerakkan "Gajah" nya yang luar biasa kuat.<br /></p><p>Demikian pula para pebisnis sukses. Umumnya mereka punya emosi yang sangat kuat untuk mewujudkan apa yang mereka cita-citakan. Mereka memiliki "burning desire" yang mampu menggerakkan sang Gajah. Mungkin Anda perlu merenungkan lagi apa yang ingin Anda wujudkan, dan kali ini rasakan emosi Anda. Adakah emosi meledak-ledak disana? Adakah air mata Anda tiba-tiba meleleh membayangkan kebahagiaan dan kelimpahan yang akan Anda alami bersama istri dan Anak Anda? Jika YA, selamat! Besar kemungkinan Gajah Anda mulai mendengar, dan siap melangkah menuju Oasis Anda. Selamat menuntun Gajah Anda, dan sampai ketemu di Oasis!. (FR)</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-27366165.post-29254363485613620402008-02-04T21:02:00.001+07:002008-02-04T21:02:29.458+07:00Menjual Tanpa Berjualan<span xmlns=''><p>Beberapa minggu lalu saya sempat melakukan hal yang saya sebenarnya tidak saya sukai. Saya mengusir dua orang salesman produk investasi keuangan yang memaksa menjelaskan produk mereka di kantor saya. Akhir-akhir ini memang saya sering ditawari berbagai macam produk investasi. Entah dapat informasi dari mana, sepertinya mereka kok tahu saja kalau saya sedang banyak duit, hehehe … Dari awal dihubungi lewat telepon, Saya sebenarnya sudah menyatakan tidak berminat dengan produk mereka. Bukan saya tidak open-minded, namun sebagai mantan investment analyst, saya tahu persis risiko produk investasi yg mereka tawarkan, dan tipe investasi mereka tidak sesuai dengan profil dan karakter saya. Namun, karena kantor kami berdekatan, dua sales ini memaksa sekali untuk datang ke kantor ketika saya sedang berada di kantor. Akhirnya, saya memberikan waktu sepuluh menit kepada mereka untuk menjelaskan apa keuntungan bagi saya jika saya berinvestasi pada produk yang mereka tawarkan. <br /></p><p>Dan ternyata sepuluh menit tadi menjadi sepuluh menit yang sangat menjengkelkan. Bukannya to the point meyakinkan saya soal keuntungan investasi, risiko dan penanggulangan risiko, namun dua salesman tadi malah menceramahi saya bahwa produk mereka tidak haram, produk mereka adalah produk legal, dan seterusnya. Hingga sepuluh menit berlalu masih belum jelas apa yang dijual dan apa untungnya buat saya. Sebagai sesama penjual, saya bersimpati kepada mereka, maka saya bantu mereka dengan pertanyaan yang mengarahkan: jika saya memiliki USD 10 ribu, berapa yang saya dapat?. Masih tidak terjawab juga. Kembali saya diceramahi bahwa produk mereka berbeda dengan investasi valuta asing, dst. Akhirnya dengan berat hati, saya mengucapkan terimakasih, dan meminta mereka meninggalkan ruangan saya. Ini mengagetkan mereka. Semoga pengusiran saya menjadi pelajaran dan menjadikan mereka penjual-penjual tangguh di masa depan.<br /></p><p>Saya juga seorang penjual, dan saya selalu bersimpati dengan para penjual. Namun saya sangat prihatin dengan masih digunakannya teknik-teknik penjualan yang tingkat keberhasilannya sangat minim seperti itu. Teknik penjualan produk investasi tadi menggunakan teknik "Cold Call" sebagai basis. Calon pelanggan akan dihubungi oleh telemarketer untuk membuat janji, kemudian apabila calon pelanggan bersedia, akan ada salesman yang berkunjung dan mencoba merayu Anda untuk membeli produk mereka. Saya juga menggunakan teknik yang sama bertahun-tahun yang lalu ketika menjual produk software di sebuah perusahaan software asing. Prinsipnya sederhana, dari sekian ratus orang yang ditelpon, ada sekian persen yang akan mau didatangi salesman, dari sekian puluh orang yang mau didatangi salesman, akan ada sekian persen yang mau membeli. Jadi kalau target sales Anda tidak tercapai, Anda harus menelpon lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi. Dan percayalah, ini sangat melelahkan.<br /></p><p>Teknik "Cold Call" membuat seorang penjual harus berburu mengejar-ngejar calon pembeli, entah mereka membutuhkan atau tidak. Dan ini dapat sangat mengganggu calon pembeli. Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari ditawari sesuatu yang tidak kita butuhkan. Teknik "Cold Call" tidak peduli itu. Teknik ini juga tidak mempertimbangkan betapa tidak nyaman nya di telpon atau tiba-tiba dikunjungi orang yang tidak dikenal, dan kemudian orang tidak dikenal tadi memaksa kita mengikuti kemauan mereka. Mungkin Anda pernah merasakan ditempel para penjual kartu kredit di mall-mall yang nyerocos tanpa mempedulikan kerepotan Anda membawa belanjaan, atau tiba-tiba rumah Anda kedatangan tamu penjual alat sedot debu yang memaksa demo, sementara Anda sedang ingin beristirahat bersama keluarga. Teknik "Cold Call" kurang peduli pada calon pelanggan. Teknik "Cold Call" membuat calon pembeli membenci penjual, dan sudah menciptakan jarak sejak awal. Lalu apakah ada alternatifnya?<br /></p><p>Tentu ada. Frank J. Rumbauskas Jr. dalam buku nya "Never Cold Call Again!" menyebutkan "Self Marketing" sebagai alternatif yang jauh lebih sesuai dengan perkembangan jaman. Untuk memahami Self Marketing, Anda dapat membayangkan seorang dokter ahli yang laris manis. Yang reputasi nya sudah sangat diakui, dan mungkin untuk mendapatkan jasa nya Anda harus daftar dan antri berjam-jam. Perlukah dokter tadi menelpon calon pasien, untuk menawarkan jasa nya? Tidak perlu. Namun, mengapa orang rela antri berjam-jam? Karena nama dokter tadi sudah menjual diri nya sendiri. Bahkan jika Anda tidak tahu alamat dan nomor telpon dokter tadi, Anda akan bertanya kesana kemari atau googling di internet. Anda sebagai calon pembeli yang akan aktif mendatangi sang dokter, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, jika Teknik "Cold Call" adalah "cara menjual, penjual aktif", maka teknik "self-marketing" adalah "cara menjual, pembeli aktif".<br /></p><p>Self Marketing tidak akan merendahkan Anda sebagai penjual, karena calon pembeli yang akan aktif mendatangi Anda. Dan yang lebih penting lagi, calon pembeli yang menghubungi Anda adalah orang yang tepat. Orang yang memang membutuhkan produk atau jasa Anda. Mereka tidak akan merasa terganggu, justru akan senang berbicara panjang lebar dengan Anda. Tapi bagaimana menerapkan Self Marketing?<br /></p><h2>Jadilah Sang Ahli<br /></h2><p>Untuk dapat benar-benar melakukan Self Marketing, Anda harus menjadi ahli dalam bidang Anda, karena yang akan dijual adalah reputasi Anda. Misalnya Anda menjual software akuntansi, maka Anda memang harus dikenal sebagai orang yang ahli dalam software akuntansi. Orang dapat bertanya segala hal tentang akuntansi dan metoda pencatatan dalam komputer kepada Anda. Kalaupun Anda sendiri tidak mampu menjadi ahli, Anda dapat merekrut orang-orang yang benar-benar ahli, dan menjadikan mereka sebagai tim yang ahli. Track record Anda di masa lalu juga dapat menjadi referensi ke-ahli-an Anda. <br /></p><h2>Pesan Yang Jelas<br /></h2><p>Anda harus memiliki "pesan" yang jelas bagi para calon pelanggan Anda. Calon pelanggan haruslah dengan mudah memahami bidang apa yang Anda kuasai, dan solusi apa yang dapat Anda berikan untuk masalah mereka. Coba Anda teruskan kalimat saya berikut ini: "Ingat beras, ingat …….". Besar kemungkikan Anda akan langsung menyebut sebuah merk produk-produk elektronik yang berhasil memposisikan diri mereka sebagai produk untuk beras. Pesan mereka selama ini sangat jelas, sehingga menempel di benak kita semua. Nah bayangkan, jika Anda berhasil memiliki pesan yang jelas seperti itu sehingga orang akan selalu mengasosiasikan nama Anda dengan keahlian tertentu. <br /></p><h2>Gunakan Pengungkit<br /></h2><p>Semakin banyak orang yang mengetahui keahlian Anda, maka semakin banyak calon pelanggan untuk Anda. Teknik Cold Call memiliki kelemahan dimana hubungan selalu tercipta secara one to one. Anda hanya bisa menelpon satu orang setiap saat. Dengan Self Marketing, Anda dapat menggunakan pengungkit (leverage) untuk menciptakan lebih banyak calon pelanggan. Teknik yang dapat digunakan dapat memanfaatkan banyak media. Anda dapat membuat event yang mengukuhkan keahlian Anda, misalnya dengan seminar gratis tentang bidang keahlian Anda. Media masa juga dapat dimanfaatkan, misalnya dengan membuat artikel tentang keahlian Anda dan memuatnya di majalah. Teknik Cold Call dikembangkan sebelum ada internet. Leverage yang dapat diberikan oleh internet dalam Self Marketing sangat luar biasa. Misalnya dengan membuat blog tentang keahlian Anda, sehingga orang menjadikan blog Anda sebagai referensi, menciptakan mailing-list tentang bidang keahlian Anda sehingga Anda bisa terus berkomunikasi dengan market potensial Anda, memberikan email newsletter gratis untuk mengupdate calon pelanggan Anda dengan hal-hal terbaru, hingga memanfaatkan search engine optimization untuk membuat nama Anda mudah dicari melalui search engine.<br /></p><h2>Ciptakan Sistem<br /></h2><p>Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana membangun sistem untuk menjamin supply calon pelanggan. Pengungkit yang Anda gunakan haruslah menjadi bagian dari sistem yang idealnya berjalan secara "otomatis". Dengan teknologi internet hal ini semakin mudah, misalnya dengan memanfaatkan search engine untuk memandu pencari kata kunci tertentu ke website Anda, kemudian menyediakan download brosur, whitepaper, atau file gratis di website Anda, namun sekaligus Anda melakukan tracking siapa yang berminat terhadap produk Anda. Sehingga bukan Anda yang harus mengejar-ngejar calon pelanggan, namun sistem yang akan melakukan.<br /></p><p>Dengan demikian, Self Marketing akan membuat orang semakin mengenal Anda meskipun Anda tidak sedang aktif melakukan penjualan. Anda akan dapat melakukan penjualan, tanpa berjualan. (FR)</p></span>Fauzi Rachmantohttp://www.blogger.com/profile/14831845815996709974noreply@blogger.com11