“Pak maaf hari ini saya tidak masuk, motor saya rusak”
“Pak maaf kemarin saya tidak dapat hadir di meeting, saya mendadak sakit perut”
“Maaf Bu laporan belum selesai, laptop saya tiba-tiba rusak”
“Maaf saya terlambat Pak, tadi jalanan macet berat”
Apakah kalimat-kalimat di atas terdengar akrab di telinga Anda? Mungkin ada rekan Anda yang senang mengucapkan kalimat-kalimat sakti tadi? Atau jangan-jangan Anda sendiri sering mengucapkan kalimat di atas dan sejenisnya? Kalau ya, maaf ya, hehehe ... tulisan kali ini memang khusus buat Anda.
Kalimat-kalimat di atas adalah contoh kalimat “excuse” alias beralasan. Pada dasarnya semua orang punya sisi “si pembuat alasan” dalam dirinya masing-masing. Coba Anda ingat-ingat, dalam satu kesempatan, pasti Anda pernah melontarkan excuse. Entah alasan tidak datang ke kantor, alasan menunda pekerjaan, atau alasan terlambat pulang ke rumah. Saya sendiri juga pernah. Atau sering ya? Hehehe ...
Excuse ini manusiawi. Karena merupakan bagian dari mekanisme manusia dalam mempertahankan diri nya. Pada dasar nya manusia selalu ingin melindungi diri nya, karena nya, ketika sang “ego” merasa “diserang”, maka muncul naluri untuk bertahan. Diantaranya dengan mengemukakan alasan. Namun, Anda harus berhati-hati. Membuat excuse yang terlalu sering dapat membuat Anda mengidap penyakit yang saya sebut “Chronic Excuse Making” (pengidap penyakit membuat alasan yang kronis). Ini yang gawat.
Pengidap Chronic Excuse Making (C.E.M) ini akan selalu berlindung di balik alasan-alasan, untuk menutupi hal-hal yang tidak mau atau tidak mampu ia kerjakan. Seolah-olah, dengan menyampaikan excuse, maka kewajiban yang harus dilaksanakan sudah terselesaikan. Jadi jika ada suatu pekerjaan yang tidak terselesaikan, maka excuse lah yang akan dikedepankan. Mengapa datang terlambat? Kan ... macet. Mengapa tidak selesai? Kan ... saya sakit. Mengapa tidak datang? Kan ... tadi hujan. Dst.
Padahal kita semua tahu, yang namanya excuse tidak akan mengubah apa-apa. Kalau tidak selesai ya artinya tidak selesai. Apapun excuse nya. Kalau tidak datang ya artinya tidak datang, apapun alasan yang kita berikan. Pengidap C.E.M kadang melupakan hal ini, karena terjebak dalam alasan-alasan yang dikemukakan.
Never trade results for excuses.
Dalam buku “Winning Habits”, Dick Lyles bertutur tentang kisah Admiral John P.J. Farragut, seorang purnawirawan Angkatan Laut Amerika Serikat yang sangat sukses baik dalam karir militer maupun karir pasca dinas militernya. Dalam buku fiksi tersebut dikisahkan Admiral Farragut mengungkap rahasia suksesnya kepada pasangan muda bernama Albert dan Jennifer. Salah satu rahasia sukses sang Admiral diperoleh selama pendidikan militer-nya. Rahasia tadi berbunyi: “Never trade results for excuses”.
Dalam pendidikan militer US Navy yang penuh disiplin, ketika seorang calon perwira ditanya seniornya, dan ia tidak tahu jawabannya, maka tidak ada jawaban “I don't know”. Yang ada hanyalah “I'll find out, Sir!” Betapapun sulitnya pertanyaan tadi. Bisa dibayangkan, jika kelak mereka bertugas di sebuah kapal, dalam situasi genting, jika ada persoalan yang harus dipecahkan, maka “I don't know” memang sama sekali bukan jawaban. Padahal, selama pendidikan, mereka akan sangat disibukkan dengan berbagai program belajar yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk berlama-lama menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan seniornya. Dan ketika sang calon perwira tidak berhasil menemukan jawaban, maka hanya ada satu alasan yang dapat disampaikan: “No excuse, Sir!” Ya, tidak ada excuse. Karena excuse apapun yang dikemukakan tidak dapat menggantikan jawaban yang seharusnya disampaikan.
Para calon perwira US Navy tadi belajar, bahwa excuse, bagaimanapun adalah alasan bahwa kita gagal memenuhi komitmen yang telah kita sampaikan. Betul, bahwa kadangkala ada hambatan yang menghalangi. Namun orang-orang sukses adalah mereka yang terbukti selalu bisa mengatasi hambatan yang menghalangi komitmen yang telah mereka berikan, dan tidak menyerah dengan mudah oleh alasan-alasan sederhana.
Push it to your limit.
Dulu, sewaktu masih menjadi karyawan, saya sering menerima “mission impossible”. Salah satu yang saya masih ingat adalah tugas untuk mengikuti tender di sebuah perusahaan yang berlokasi di luar Jawa. Sebenarnya ini tugas biasa. Namun kali ini dengan waktu untuk menyiapkan proposal dan dokumen tender yang sangat singkat. Hanya dua hari kerja. Biasanya butuh waktu paling cepat dua minggu untuk menyiapkan dokumen yang sama. Namun kali ini tidak ada ampun, saya hanya punya waktu dua hari saja. Hari pertama praktis habis untuk menyiapkan dokumen pendukung, mengcopy nya dan memasukkan dalam folder-folder yang akan dibawa ke tender. Di hari pertama saya pulang jam 12 malam. Hari kedua, saya baru selesai membuat proposal teknis tepat jam 12 malam, sementara jam 6 pagi saya harus sudah ada di Bandara. Dan susahnya waktu itu saya tinggal di daerah Bekasi, lebih dari 1 jam perjalanan dari kantor saya.
Rasanya nyaris tidak mungkin pagi harinya saya bisa ikut tender. Saya hampir menyerah. Sendirian, jam 12 malam, di kantor yang gelap dan gerah (di kawasan Sudirman overtime untuk lampu dan AC sangat mahal), belum makan malam, dan membayangkan teman-teman dan atasan saya waktu itu yang semua sudah lelap tertidur. Hampir saya memutuskan untuk menyerah. Saya sudah siap membuat alasan. Mulai dari mendadak laptop saya crash, mendadak radiator mobil saya bocor, mendadak sakit perut, tiba-tiba meriang, dst. Apapun bisa saya sebutkan supaya besok ada alasan tidak datang di tender tadi. Dan mendadak juga saya jadi kreatif sekali membuat alasan. Namun, semakin banyak alasan yang saya karang, semakin saya tersadar, bahwa: Tidak ada gunanya membuat excuse. Excuse apapun yang saya buat, tidak akan pernah menjadi penggati dari fakta yang akan saya terima besok: bahwa saya gagal ikut tender. Ini yang saya tidak bisa terima. Dan saya mentertawakan kebodohan saya.
Waktu itu saya segera memutuskan membawa pulang semua folder kerumah, merapikan folder dan amplop di rumah, mencari-cari meterai dan segel jam 02 pagi (dan ajaibnya dapat), memasukkan semua amplop kedalam travel bag, mandi, ganti baju, dan langsung ke Bandara. Saya berhasil berada di lokasi tender tepat jam 08.30 pagi, 30 menit sebelum tender dimulai. Saya puas. Perjuangan saya selama dua hari tidak sia-sia.
Namun saya kalah dalam tender tersebut. Padahal dokumen yang saya siapkan tanpa cela. Apa boleh buat, solusi yang kami tawarkan secara komersial kurang kompetitif. Meskipun kalah, tentu saja saya pribadi masih untung. Lho, kok untung? Bukan, bukan untung uang SPJ. Perusahaan tempat saya bekerja tidak mendapatkan projectnya, tapi saya tetap beruntung memperoleh pengalaman yang sangat berharga. Bahwa ternyata saya bisa memenuhi komitmen yang saya berikan, tanpa harus memberikan excuse apapun, ketika saya berusaha hingga limit saya.
Jadi kalau Anda mulai merasakan gejala-gejala C.E.M, segera coba dua resep tadi: (1) Ingatlah, bahwa excuse tidak dapat menggantikan hasil akhir, dan (2) Cobalah sampai limit Anda dahulu, sebelum menyampaikan excuse. Semoga dengan demikian kita semua (termasuk saya) bisa terhindar dari penyakit C.E.M. (fr)
9 comments:
Pengalaman yang luar biasa dan mencerahkan ya mas Fauzi. Dulu pas ngantor di wisma Danamon apa juga sering dapat mission imposible ? saya sering, pernah sampai mau dipecat karena tidak mau paraf salah satu permintaan big bos..he..he nice story...
Sukses selalu buat keluarga !
Didi
sangat menyentuh dan menginspirasi.
ditunggu terus edisi selanjutnya.
- arif
kenapa gak nular ke anak-anak ya, ji ?
apa perlu dimasukin ke SQC dulu, atau di train sama mbak Hauda atau pak Edi?
gue kadang mikir ya, apa yang harus dibuat untuk menularkan kebiasaan ke anak2. Dicontohin udah? apa masih kurang? Dikasih tau? kan sering juga. Dimarahin? gue gak sanggup kalo marah sering2.. Ditambahin fasilitas? ..
apa masalah raw material? tapi bukannya semua orang diciptakan oleh Tuhan yang sama ?
mungkin Tuhan justru lagi membangun kita lagi, dalam hal lebih sabar dan nrimo.. :) -- lalu kapankah Tuhan membangun mereka?
ucok-
terimkasih atas inspirasinya, pak...
met lebaran pak fauzi... minal aidin walfaidzin mohon maaf lahir batin
berjuang maksimal itu nikmat ya pak.. hehe. salam kenal. tulisannya very inspiring!
Artikelnya bagus pak... menggedor-gedor saya nih tuk memaknai sebuah komitmen. Bisa saya pinjam tuk di blog saya pak? Thanks
mampir & salam kenal... sayah termasuk orang yang ga suka denger excuse ini itu...
saya selalu terinspirasi kalo baca postingan bapak.. izin copas ya pak, mudah2an bisa jadi inspirasi buat yang lain.
Post a Comment