Thursday, July 05, 2007

Menjadi Jenderal

Betapa besar perbedaan cara kerja seorang Jenderal di masa perang modern dengan Jenderal di masa lampau. Jika Anda pernah menyaksikan film "Ike: The Countdown to D Day", yang dibintangi Tom Selleck sebagai Jenderal Dwight D. Eisenhower, Sang Supreme Commander pada waktu serangan besar-besaran pasukan sekutu ke Normandia, Anda akan bisa menyaksikan bahwa Jenderal Eisenhower bekerja dengan luar biasa melalui pemikiran, strategi dan keputusan yang dibuat dengan penuh perhitungan di war-room nya. Ini berbeda dengan aksi Jenderal Gaius Julius Caesar atau Jenderal Mark Anthony misalnya, yang dapat Anda saksikan di film serial "the Rome". Pada masa kerajaan Romawi tadi, para Jenderal tidak hanya memikirkan strategi dan membuat keputusan, namun juga langsung melakukan aksi fisik di medan pertempuran. Maka di film the Rome Anda dapat menyaksikan Jenderal Mark Anthony yang langsung turun bertempur dan ikut berdarah-darah. Sesuatu yang sulit kita bayangkan akan terjadi pada Jenderal Eisenhower, ataupun Jenderal Norman Schwarzkopf, misalnya.

Anda yang memiliki bisnis juga adalah Jenderal bagi bisnis Anda. Karena mengelola bisnis prinsipnya tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan para Jenderal tadi. Sebagai "Jenderal Bisnis" kita juga harus pandai menyusun strategi, mengalokasikan sumberdaya, dan membuat keputusan untuk mencapai tujuan. Kompetisi dengan para pesaing pada market yang terbatas juga mirip dengan pertempuran antar pasukan dalam memperebutkan wilayah tertentu. Dan konsekuensi dari keputusan yang dibuat oleh seorang jenderal bisnis pun bisa berupa kemenangan ataupun kekalahan. Hampir sama dengan hasil suatu peperangan. Idealnya, di jaman modern ini, seorang jenderal bisnis mampu bekerja seperti para Jenderal militer di masa modern seperti Eisenhower atau Schwarzkopf.

Buat saya ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Bagaikan Jenderal masa Romawi kuno, saya lebih sering ikut langsung dalam pertempuran-pertempuran di garis depan. Meskipun sudah berhasil untuk membatasi diri tidak terlibat langsung dalam delivery, namun hingga saat ini saya masih sangat terlibat dalam pemasaran dan penjualan. Ini yang kadang membuat saya mengalami kesibukan yang sedikit di luar batas. Dan ini saya akui sangat melelahkan. Seperti yang saya alami beberapa minggu ini. Kami mendapat begitu banyak opportunity yang sangat menantang. Tentu ini baik buat bisnis. Namun konsekuensinya, saya harus sering terjun langsung dalam mempelajari kebutuhan calon pelanggan, merumuskan konsep solusinya dalam bentuk proposal, hingga melakukan presentasi dan demo solusi yang kami tawarkan. Kadang hal ini memakan waktu yang tidak sedikit. Beberapa minggu ini saya selama beberapa malam hanya bisa tidur 2 – 3 jam, itupun besoknya harus segar kembali karena harus siap melakukan presentasi. Nah, presentasinya sendiri kadang bisa makan waktu seharian. Caaapee deh …

Ini mungkin sindrom pebisnis pemula seperti saya. Sebenarnya yang sekarang sudah lumayan, karena sebelumnya malah lebih parah lagi. Saya terlibat langsung di semua lini. Mulai dari proses jualan, proses delivery, hingga penagihan. Kalau istilahnya Brad Sugars, masih work in the business. Saya kemudian mulai untuk tidak terlibat dalam delivery, karena ini yang paling melelahkan, juga antara lain setelah terinspirasi oleh pemikiran Brad Sugars. Tapi rupanya di area penjualan, saya masih sering keasyikan bertempur.

Delegate !

Saya tahu, Anda pasti berpikir, kenapa saya tidak delegasikan tugas yang melelahkan tadi? Bukankah di berbagai bukunya Brad Sugars dengan jelas mengatakan, bangun system dan delegasikan ke tim. Bahkan kemampuan untuk melakukan pendelegasian ini oleh banyak pemikir seperti John C. Maxwell atau Jeffrey J. Fox dianggap sebagai ukuran kemampuan kepemimpinan seseorang. Jenderal Eisenhower sebelum "D Day" melakukan delegasi kewenangan yang jelas kepada pimpinan angkatan udara, angkatan laut dan angkatan darat yang akanmenjadi eksekutor keputusannya. Seorang Jenderal modern tahu persis, tidak mungkin ia melakukan semua sendirian, tanpa dukungan seluruh anggota tim. Singkatnya, seorang Jenderal bekerja dengan memberikan delegasi kepada tim.

Namun pelaksanaan pendelegasian tidak semudah teorinya. Saya sendiri juga masih terus mencoba. Dan mungkin saya termasuk orang yang sering gagal melakukan pendelegasian. Tapi tidak apa-apa, paling tidak saya jadi belajar. Dalam pengalaman saya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab tidak berjalannya pendelegasian:

Pendelegasian tanpa kepercayaan. Pendelegasian artinya memberikan kepercayaan penuh kepada tim Anda untuk melaksanakan. Mungkin seringkali kita "gemas" dengan cara tim kita melaksanakan tugas yang tadinya biasa kita kerjakan. Dan dorongan untuk mengambil alih kembali tugas tadi kadang demikian besar. Tapi apabila ini kita lakukan, maka delegasi yang kita coba jalankan akan berakhir. Ini godaan yang paling sering saya alami. Saya sudah delegasikan, namun saya juga gemas, karena saya tahu saya bisa melakukan dengan lebih baik. Tapi jika semua hal saya ambil alih kembali, kapan jadi Jenderal nya ya?

Pendelegasian tanpa pengarahan. Ini sering sekali dilakukan oleh para Jenderal bisnis pemula seperti saya. Memberikan delegasi kewenangan dengan pola "saya gak mau tahu" dan "pokoknya urusan kamu". Padahal sebagai Jenderal kita harus memberikan arahan apa yang akan dicapai, kenapa harus dicapai, dan bagaimana mencapainya. Pelaksanan tugasnya yang kemudian di delegasikan. Tanpa arahan, tim yang menerima delegasi akan tidak tahu arah.

Pendelegasian tanpa persiapan. Ini juga kerap terjadi. Delegasi diberikan tanpa persiapan atas tim nya sendiri. Belum ada struktur organisasi dan pembagian tugas yang jelas, belum ada prosedur yang jelas, langsung di delegasikan kewenangannya. Bahkan kadang belum jelas apakah anggota tim nya sudah siap atau belum. Kalau belum siap, ya harus disiapkan. Mungkin perlu dilakukan pelatihan, atau di re organisasi dulu tim nya. Memberikan delegasi tanpa persiapan anggota tim, sama saja dengan menciapkan chaos.

Pendelegasian tanpa pengendalian. Pendelegasian tanpa control kadang bagaikan menciptakan api dalam sekam. Kita sudah ciptakan sistemnya, siapkan orangnya, memberikan pengarahan, dan memberikan delegasi penuh kepada anggota tim kita. Dan semua kelihatan berjalan dengan baik. Namun tiba-tiba customer Anda menghubungi Anda untuk menyatakan memberhentikan jasa yang diberikan perusahaan Anda, dan Anda pun kebingungan dimana salahnya. Ini sangat mungkin terjadi jika dalam pemberian delegasi, Anda tidak punya metode yang baku untuk mengukur hasil yang dicapai oleh tim Anda.

Semoga Anda bisa memetik manfaat dari pengalaman saya. Tanpa delegasi, bisnis jadi tidak sehat. Seorang Jenderal tidak seharusnya ikut larut dalam pertempuran sehingga melupakan fungsi utama nya untuk memimpin pasukan mencapai tujuannya. Seorang Jenderal harus lebih sering meluangkan waktu nya untuk hal-hal yang strategis, berpikir tentang masa depan, sehingga bisnis nya memiliki masa depan yang baik. Ah, rupanya masih banyak yang harus saya pelajari. Semoga kita semua mampu menjadi Jenderal bisnis sejati. (FR)

5 comments:

Helsusandra Syam said...

Pak Fauzi,
Terimakasih atas pencerahannya. Semoga terus tetap menyinari.

Syam,
http://hensyam.co.nr

Tutut Ve Ha said...

Tulisan yang bagus pak Fauzi, lebih membuka wawasan dalam mendelegasikan. Tulisan anda menjadi guru bagi kami.

Faif Yusuf said...

Hm....senang nih,
ternyata aku sudah bisa menyandang gelar Jenderal he..he...

tinggal belajar terus untuk menjadi Jenderal tulen...

matur nuwun Pak Fauzi

faif

Fauzi Rachmanto said...

Pak Syam, Bu Tutut, Pak Faif, thanks sudah mampir. Justru Jenderal2 lapangan seperti Anda semua yang langkah2 nya sangat inspiratif.
Bu Tutut, sharing nya di email & blog tentang pendelegasian sangat luar biasa. Pengalaman memang guru yg terbaik.
Regards,
Fauzi

Yoyox Sancoyo said...

hehe.. pak fauzi. memang benar apa yang ditulis njenengan. dan pertanyaanku terjawab sudah (thanks!), kenapa karyawan saya kerjanya salah mulu... thx pak! And keep writing!