Monday, November 02, 2009

Keranjang Jebol

Salah satu berkah menjadi wirausaha, dan lantas “diduga” memiliki banyak uang, adalah banyaknya kenalan dan saudara baru. Ada yang sekedar ingin berteman, ada yang ingin bersahabat dan sekaligus menawarkan “peluang investasi”. Tidak apa-apa tentu nya. Malah saya berterimakasih sudah diperkenalkan kepada rupa-rupa peluang investasi. Dan rupanya semakin maju peradaban, makin beraneka ragam “peluang investasi” tadi. Mulai dari yang sering kita dengar seperti saham, valuta asing, emas, pompa bensin, properti, dan sebagainya, hingga yang meski tidak pasti usahanya apa, namun pasti dalam menjanjikan keuntungan sekian persen per bulan.

Contohnya, ada tawaran investasi yang menjamin keuntungan 60% per tahun. Dan modal pokoknya dijamin kembali dalam setahun. Menarik bukan?

Kalau mau lebih cerdas, saya bisa pinjam uang di bank dengan bunga pinjaman katakanlah 15% per tahun, dan saya investasikan, maka saya sudah untung 45% per tahun. Wow, bayangkan kalau properti saya dijaminkan ke bank, dan dapat pinjaman Rp. 500 juta saja, setiap tahun saya bisa terima bersih Rp.225 juta. Tanpa keluar uang dari kocek sendiri. Properti masih utuh, plus kas masih utuh seandainya pinjaman mau dilunasi. Apalagi kalau keuntungan diinvestasikan kembali. Dahsyat. Bisa cepat bebas finansial dong. Mau?

Tunggu dulu. Dari semua tawaran investasi tadi, jarang sekali saya mau ambil. Atau malah tidak pernah ya? Oh, berarti tidak punya uang … hehehe. Bukan, itu mungkin salah satu faktor, tapi pasti bukan alasan utama.

Melakukan investasi kata orang seperti menaruh telur dalam keranjang. Maka kita harus memastikan keranjang seperti apa yang akan menjadi alat investasi kita.

Saya beruntung, sebelum terjun ke dunia usaha pernah bekerja sebagai analis investasi, jadi sedikit banyak masih memiliki kepekaan dalam menimbang risiko investasi. Jadi setiap peluang investasi, pasti akan melewati lima meja screening saya, dan sebagian besar memang tidak lolos. Lima meja? Iya, lima meja imajiner yg saya gunakan dalam menimbang sebuah tawaran investasi:

Pertama, Kenali diri Anda.

Lho masa sih sama diri sendiri tidak kenal? Nama, tanggal lahir, alamat sampai nomor KTP saja kan hapal. Maksudnya, kenali betul Anda ini sebenarnya siapa? Apakah Anda seorang pegawai yang ingin mengembangkan tabungan Anda supaya lebih banyak lagi melalui investasi. Atau barangkali Anda seorang pengusaha yang sedang ingin menikmati membangun bisnis lengkap dengan suka duka nya. Ataukah Anda seorang pengusaha sukses yang sudah melewati fase mengelola usaha, dan kini ingin “beternak uang”?

Lalu apa tujuan Anda berinvestasi? Apa yang Anda inginkan dari investasi yang akan Anda lakukan. Apakah Anda memang ingin menjadi investor? Atau Anda sedang ingin mengoptimalkan aset Anda untuk mendukung pengembangan usaha?

Kemudian apa target Anda dalam berinvestasi? Hasil cepat dalam jangka pendek, karena Anda sekedar memanfaatkan dana menganggur sebelum dana digunakan untuk hal lain? Atau Anda memang sedang ingin mencapai akumulasi kapital yang besar, dan siap dengan permainan investasi jangka panjang?

Berapa dana yang siap Anda gunakan untuk investasi? Berapa lama Anda sanggup menahan dana tersebut dalam wahana investasi yang Anda pilih?

Berapa besar risiko yang sanggup Anda tanggung seandainya investasi tidak berjalan sesuai rencana?
Anda jawab dulu pertanyaan-pertanyaan di atas, sebelum masuk ke meja kedua.

Kedua, Kenali mitra investasi Anda

Anda sudah kenal calon mitra investasi Anda? Nama, alamat, nomor telpon, email, jenis usaha, kegiatan sehari-hari, account facebook? Tidak cukup. Oh, jangan khawatir Anda mungkin mengenal calon mitra Anda dari komunitas terpercaya, atau bahkan kenal dari aktivitas keagamaan. Atau barangkali, calon mitra Anda terkenal, sering muncul di koran dan majalah bisnis. Sayangnya semua itupun tidak cukup.

Anda akan mempercayakan dana investasi Anda. Maka Anda harus mengenal betul mitra Anda.
Bukan sekedar mengenal pribadi nya. Tapi Anda harus tahu betul dana Anda akan diinvestasikan kembali dalam kegiatan usaha apa. Dan bagaimana mitra Anda menjalankan usaha tersebut. Baguskah pengelolaannya? Baguskan manajemen nya? Pengalaman dan track recordnya? Dan terutama baguskah hasilnya?

Misalnya dana Anda akan diinvestasikan kembali dalam usaha agrobisnis? Maka Anda harus terjun melakukan observasi sendiri bagaimanan kegiatan agrobisnis akan dilakukan. Apa risiko-risiko nya, dan bagaimana mitra Anda mampu menangani risiko tadi. Apakah ada pengalaman sebelumnya yang membuktikan mitra Anda mampu menangani risiko. Properti? Anda harus tahu dimana lokasinya? Bagaimana prospeknya? Kemampuannya menyelesaikan proyek, dan sebagainya. Industri telekomunikasi? Pertambangan? Pelayaran? Penerbangan? Sama saja. Jangan ragu dan malu bertanya, daripada nanti menyesal. Jangan sampai mitra usaha Anda belakangan sekedar berdalih "maaf, saya ditipu orang" hanya karena ketidaktahuan mereka dalam bisnis yang akan dimasuki.

Ketiga: Berhitunglah Sendiri

Percayalah, semua hitungan dalam proposal investasi sudah pasti indah adanya. Kalau saya, pasti saya hitung kembali. Dengan asumsi saya sendiri. Karena seringkali asumsi nya over-optimistic dan tidak realistis. Cara terbaik adalah dengan melakukan cross-check dengan dunia nyata. Misalnya jika calon mitra mengaku usaha tersebut revenue perbulannya sekian milyar, maka coba cek usaha sejenis, apa betul angka tadi masuk akal. Dengan sedikit survey, maka Anda akan memiliki perhitungan yang lebih masuk akal.

Perhitungan yang luar biasa khayal biasanya menyangkut proyeksi pertumbuhan per tahun. Wah, bisa sangat indah. Tumbuh sekian puluh persen per tahun, BEP dalam sekian tahun. Dan seterusnya. Ingat, semua adalah berdasarkan asumsi. Hasilnya bisa sama sekali berbeda ketika asumsi berubah.

Keempat: Bicaralah dengan Mr. Spock dan Dr. Mc.Coy

Di film Star Trek, Kapten Kirk punya dua penasehat: Dr. Mc.Coy yang emosional, dan Mr. Spock yang logis. Ketika membuat keputusan Kirk sering bertanya kepada keduanya, untuk mendapat masukan yang balance.

Dalam berinvestasi Anda juga harus bertanya pada Spock dan Mc.Coy. Jangan hanya karena faktor emosi, Anda membuat keputusan investasi. Misalnya, karena memiliki ikatan batin atau terpesona kharisma mitra investasi, Anda rela melepas ratusan juta.

Atau Anda melakukan investasi hanya karena teman lain sudah melakukan. Anda tidak kuasa membayangkan teman Anda nanti akan kaya raya dari investasi yang ditawarkan, dan Anda takut ketinggalan miskin sendirian. Kata-kata “Yang lain sudah ambil nih, tinggal kamu saja ...” terngiang di telinga. Maka karena perasaan Anda tidak mau kalah, keputusan investasi diambil dengan cepat. Sebenarnya ini tidak salah, karena emosi manusia memang sesungguhnya membantu. Tapi tolong tanya juga Mr.Spock yang ada dalam diri Anda sendiri. Apakah investasi ini memang layak dilakukan? Apakah keuntungan yang ditawarkan masuk akal? Apakah risiko yang mungkin terjadi sepadan dengan dana yang akan Anda keluarkan?

Terlebih kalau mitra investasi Anda menghimpun dana dari orang banyak. Tanyakan ke Spock, bagaimana dengan likuiditasnya? Bayangkan, calon mitra investasi Anda mengumpulkan uang dari banyak investor. Kemudian menginvestasikan dana yang terkumpul kedalam berbagai bentuk usaha dan investasi. Dan dapat dipastikan sebagian besar nvestasi yang dilakukan tidak likuid. Karena yang likuid (mudah menjadi kas kembali) paling hanya rekening bank, deposito dan investasi surat berharga yang marketabel dan dijual di pasar modal dan pasar uang.

Jadi misalnya 20% saja dari dana investor ditarik pada hari yang sama, mitra investasi Anda akan kolaps. Kenapa? Karena uang sudah menjadi asset tidak likuid, yang perlu waktu untuk kembali menjadi cash kembali. Bagaimana kalau yang menarik dana sebanyak 50%, 80%? Wah, bisa saya pastikan mitra investasi Anda akan mendadak sulit ditemui. Bukan karena soal itikad baik, namun memang secara logis, ada siklus “asset conversion cycle”, yang membuat kas tidak bisa ditarik begitu saja dengan cepat, apalagi dalam jumlah banyak.

Kelima: Miliki “Exit Strategy”

Semua investasi pada prinsipnya harus memiliki strategi untuk “keluar pada keadaan darurat”. Mirip pintu darurat pada pesawat terbang atau gedung-gedung perkantoran. Jika terjadi risiko yang tidak dikehendaki, melalui jalan mana Anda akan keluar dari investasi Anda. Investasi saham dan valas, punya pintu exit berupa batas untuk cut-loss. Misalnya kalau harga terus turun, di titik tertentu harus berani melepas supaya kerugian tidak semakin besar. Dalam hal ini exit strategy nya mudah, yaitu jual.

Property, emas, dsb, juga exit strategy nya adalah melepas dan memperoleh kembali kas, meskipun tidak 100% karena dipotong “realized loss”.

Bahkan bank, ketika memberikan pinjaman kepada debitur, selalu meminta kolateral untuk memback-up pinjaman yang diberikan. Kalau debitur tidak mampu membayar, maka exit strategy nya adalah dengan mengeksekusi kolateral.

Anda bisa menilai sendiri, apakah investasi yang Anda lakukan memiliki exit strategy? Bagaimana jika mitra investasi tidak mampu membayar hasil investasi yang dijanjikan. Atau malah lebih gawat lagi tidak mampu membayar pokok investasi nya? Apa yang dapat dilakukan untuk memperoleh kembali kas yang Anda tanam?

Investasi yang tanpa exit strategy sama saja dengan pesawat tanpa pintu darurat.

Kalau setelah melewati lima meja di atas, Anda yakin investasi Anda layak dilaksanakan, maka lakukan saja. Banyak yang mengatakan bahwa dalam berinvestasi, jangan menaruh telur di keranjang yang sama. Itu betul. Namun tidak cukup. Lima langkah di atas saya maksudkan untuk memastikan bahwa kita tidak menaruh telur di keranjang yang sama, dan pastinya bukan keranjang yang jebol. (FR)

Friday, October 09, 2009

The Art of The Start: 8 Hal yang Harus Anda Perhatikan Ketika Memulai Usaha

Saya memulai membangun usaha pada tahun 2002. Waktu itu saya merasa sudah cukup menjalani karir di bidang perbankan dan kemudian teknologi informasi. Dengan penuh rasa percaya diri, penuh keyakinan, dengan restu orang tua, dukungan istri, dukungan keluarga, teman dan segenap handai taulan, berdirilah perusahaan saya. Yang kemudian ternyata “failure to launch”.

Ya, ibarat mencoba meluncurkan Apollo ke Bulan, boro-boro sampai bulan. Mesin nya saja gak langsung nyala. Masih untung gak sampai meledak.

Tapi itu dulu … Alhamdulillah sekarang usaha IT yang saya tekuni relatif berjalan dengan baik. Ini yang membuat saya sering ditodong berbagi pengalaman. Tentu banyak sekali pengalaman yang bisa dibagikan. Baik pengalaman yang indah maupun tidak indah untuk dikenang. Kalau mau diceritakan satu persatu, mungkin bisa jadi novel. Hari ini, saya ingin share 8 hal yang menurut saya harus diperhatikan oleh siapapun yang sedang memulai usaha nya sendiri. Ini bukan dari teori, bukan dari buku, tapi saya ambil dari pengalaman saya sendiri.

1. Ide Harus Besar, Tapi Tetap Membumi
Sewaktu memulai usaha, terus terang saya dan rekan-rekan saya memiliki segudang ide besar. Yang mungkin saking besar nya, tidak cukup realistis dengan kenyataan di pasar. Produk yang kami bawa memang bagus secara teknologi, tapi hampir-hampir tidak bisa dijual. Memiliki ide besar boleh, tapi jangan sampai melupakan realitas pasar, karena ujung-ujung nya kita harus menjual sesuatu.
Untuk tidak mengulang kesalahan semacam itu, paling tidak kita harus memperhatikan:

Pertama: Apa sebenarnya produknya? Menjawab ini saja bagi saya dulu, kadang sulit. Mungkin saking ingin menerapkan prinsip “apa lu mau gua ada”, sampai-sampai sosok “binatang” nya apa tidak jelas. Dari A – Z ingin di cover semua, sampai bingung sendiri kalau harus diceritakan ke calon pelanggan. Kalau kita saja bingung, gimana yang mau beli?

Kedua: Produk ini mau dijual kesiapa? Siapa yang memerlukan? Kadang-kadang kami di bidang IT saking asik nya menciptakan produk dengan teknologi terkini, sampai lupa siapa sebenarnya yang memerlukan produk ini. Kami mencipta karena kami bisa, bukan karena ada pihak yang memerlukan.

Ketiga: Kira-kira berapa nilai pasarnya? Wah, musti riset pasar? Iya, tapi bisa riset pasar kecil-kecilan, tanpa bayar konsultan. Artinya, secara sederhana kita bisa mengukur sendiri, pihak yang memerlukan produk yang kita jual, sebenarnya bersedia membayar berapa. Jangan-jangan butuh sih butuh, tapi kalau disuruh beli tidak mau. Dan selanjutnya kita juga perlu tahu ada berapa banyak potensi pelanggan di area yang jadi sasaran kita.

Keempat: Bagaimana persaingannya? Siapa saja pemain lama yang lebih dulu ada. Seberapa banyak mereka menguasai pasar yang jadi sasaran tadi. Apakah pasarnya tetap, berkembang, atau malah sedang menyusut.

Kelima: Mengapa produk kita lebih baik dibanding produk pesaing? Apa keunikan-nya? Apa kelebihannya? Apa USP nya? dsb. Bagaimana strategi kita untuk membawa produk kita ke pasar tadi. Apa irresistible sensational offer yang ingin kita sampaikan ke pelanggan potensial kita?

Kelima hal tadi kalau Anda tulis, sudah sama isinya dengan rencana pemasaran. Memang tidak canggih, tapi cukup untuk membumikan ide besar kita.

2. “Isi” Lebih Penting dari “Bungkusan”
Lho bukannya sudah jelas? Kalau makan Duren, mending isinya apa kulitnya? Ya tentu isi nya. Untuk kasus Duren sepertinya jelas. Nah, tapi bagi para pebisnis pemula, godaannya justru seringkali adalah bagaimana memiliki bungkusan yang bagus, entah ada isi nya atau tidak.

Sewaktu baru mendirikan usaha, saya memiliki pemahaman, bahwa yang namanya usaha, kantor, harus langsung dilengkapi infrastruktur yang lengkap. Sekalipun baru berdiri. Yang penting bungkusnya dulu.

Tidak ada yang salah sebenarnya, apabila usaha nya berjalan dengan baik. Tapi dalam kasus saya dulu, karena revenue tak kunjung tiba, sementara “tongkrongan” kantor sudah terlanjur keren, kemana-mana pake jas. Malah jadi mirip main kantor-kantor-an … hehehe.

Saya belajar bahwa ternyata percuma buang-buang resources demi “bungkusan”, kalau tidak ada isi nya. Jangan sampai perusahaan seolah menjadi bungkusan besar, padahal isi nya tidak ada. Kantor nya bagus, karyawan banyak, bos nya naik mercy semua. Tapi revenue nya secara konsisten selalu kecil. Ya percuma. Sebaliknya, tanpa memaksakan diri untuk “main kantor-kantoran”, bungkusan toh akan membesar sendiri ketika isi nya memang sudah besar. Tanpa perlu kita paksakan.

3. Modal tidak Selalu Berupa Uang
Pertanyaan klasik yang selalu disampaikan dalam setiap diskusi yang pernah saya lakukan adalah: “Bagaimana memulai usaha, sementara saya tidak punya modal.” Atau “Bagaimana mau memulai, Saya tidak punya uang?”

Setelah menjalani usaha, Anda akan paham bahwa modal awal tidak selalu berupa uang. Dalam pengalaman saya, ketika saya mencoba menginvestasikan segenap sumber-daya keuangan yang saya miliki, sampai habis-habis an, ternyata usaha yang saya rintis malah tidak menghasilkan. Mungkin karena sebagian besar habis untuk main kantor-kantoran tadi. Tapi justru pada saat saya kehabisan sumber-daya uang, dan tinggal mengandalkan sumber-daya ide dan jaringan kerja, usaha saya malah mulai berjalan.

Jadi menurut saya modal utama yang harus dimiliki adalah idea atau gagasan. Dan ide ini diproduksi oleh otak kita sendiri, gratis. Kalau Anda saat ini belum punya ide, tidak apa2. Masih punya otak kan? Karena selama masih punya otak, ide nanti akan dating sendiri, tentunya kalau kita stimulasi terus menerus melalui baca buku, diskusi dan brainstorming dengan teman-teman. Kalau setelah di cek ternyata otak juga sudah tidak punya, nah itu soal lain.

Saya percaya kalau sebuah ide terbukti dapat menghasilkan uang, maka dengan sendiri nya akan menarik hal-hal lain untuk mendukungnya. Termasuk menarik pemilik modal berupa uang yang kita perlukan.

Nah, dengan demikian kita juga harus punya skill untuk menjual gagasan. Ide atau gagasan tadi harus kita sampaikan kepada orang yang tepat, dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat. Jadi kalau mau mulai usaha harus terbiasa menyampaikan gagasan secara lisan, tertulis ataupun melalui demo. Ini skill yang tidak mudah, tapi bisa dilatih dan dipelajari.

4. Anda Bukan Superman
Mungkin saja, di tempat kerja sebelumnya kita dikenal memiliki keahlian teknis yang baik. Bisa jadi kita adalah engineer dengan segudang keahlian dan sertifikasi di tangan. Tapi seorang teknisi yang baik, seandainya kemudian diminta untuk duduk di jajaran management, belum tentu akan menjadi manager yang baik.

Sebagai manager, bukan lagi skill teknis yang harus dikuasai, namun lebih banyak strategi dan taktik bagaimana bisa mendapat hasil melalui orang lain. Namun, manager yang baik belum tentu bisa menjadi pewirausaha yang baik juga. Karena sebagai pewirausaha, tidak lagi bagaimana mengurus hari ini, tapi harus berorientasi masa depan, lebih banyak berurusan dengan visi, mau dibawa kemana perusahaan.

Programmer yang hebat, tidak selalu adalah seorang project manager yang hebat juga, project manager yang sukses dalam berbagai implementasi, belum tentu akan menjadi pewirausaha handal. Ketiganya adalah sosok berbeda. Dan jika Anda tidak bisa menjadi ketiganya, maka Anda butuh orang lain untuk menjadi partner usaha Anda. Kalau Anda jago dibidang pengembangan, dan hanya mau bekerja dalam hal pengembangan, maka Anda butuh partner yang menguasai pengelolaan sumber daya, pemasaran, keuangan, dsb.

Berpartner dalam usaha tidak mudah. Usaha pertama saya, yang didirikan oleh empat partner, tidak berjalan dengan baik. Kami memutuskan berpisah di depan. Karena sungguh sulit menyatukan ide 4 kepala.

Untuk bisa berjalan dengan baik, kata kunci nya adalah adanya rasa saling percaya (“trust”), dan toleransi. Toh kita bukan Superman. Kita bukan manusia sempurna, maka kita juga harus bisa menerima ketidak-sempurnaan partner kita.

5. Manfaatkan Jaringan
Yang saya lupakan pada tahap awal membangun usaha adalah kedekatan dengan jaringan kerja. Padahal, dikemudian hari terbukti, jaringan adalah modal yang sangat berharga.

Pertama, kita harus mengenal komunitas pelanggan kita. Kalau perlu hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka, jika ada. Berinteraksi dengan intens dengan mereka. Supaya kita dapat memahami “what’s hot” dan dapat segera merespon dengan produk atau solusi yang kita tawarkan.

Kedua, kita juga harus dikenal dikalangan usaha sejenis. Penting untuk eksis dan dikenal oleh perusahaan-perusahaan sejenis, terutama yang sudah lebih dulu maju. Kita harus bersikap kooperatif, bukan kompetitif. Kalau keahlian kita sudah dikenal, jangan heran, seringkali pekerjaan-pekerjaan penting bisa datang dari kerjasama dengan perusahaan sejenis.

Ketiga, kita juga harus eksis dimata pemilik modal. Apakah itu bank, lembaga keuangan, ataupun pribadi-pribadi yang punya uang tapi bingung mau bisnis apa. Track record kita dimata mereka harus baik. Pada masa pertumbuhan, dukungan mereka akan penting.

Keempat, kita juga harus dekat dengan pihak-pihak yang berpotensi membantu pemasaran produk kita. Apakah itu sebagai partner, agent atau reseller.

Kelima, kalau kita memerlukan produk dari pihak ketiga, maka kita harus dekat dengan jaringan supplier. Jika ada, maka bagus lagi masuk dalam komunitas supplier, sehingga kita tidak bergantung pada satu pihak saja.

6. Jangan Malu Untuk “Narsis”
Banyak teman pelaku usaha IT yang saya tahu sangat hebat dalam menciptakan produk. Sayangnya mereka terlalu “malu-malu kucing”. Nah, kalau sudah menjadi pewirausaha, saatnya untuk “narsis-narsis macan”.

Bagaimana orang tahu Anda punya produk hebat, kalau Anda simpan untuk diri sendiri. Tampilkan diri Anda dan produk Anda, supaya dikenal. Dengan demikian Anda sudah membantu mempermudah hidup orang yang sedang mencari produk Anda.

Tidak perlu iklan yang mahal. Rajin-rajin lah berbagi tentang apa yang Anda sukai. Baik secara offline maupun online. Rajinlah menulis, berkomentar di milis, dan berbicara tentang topik yang Anda kuasai, terkait bisnis Anda. Bagikan ilmunya secara gratis, tidak usah terlalu memikirkan uangnya dulu. Setelah Anda mendapatkan atensi dan reputasi, maka uang akan mengikuti.

7. Tetap fleksibel
Selama perjalanan Anda dalam berbisnis, tetaplah fleksibel. Memang Anda disarankan untuk merumuskan tujuan yang jelas, sehingga tahu persis aksi apa yang harus dilakukan. Namun tujuan bukanlah peta mati yang membatasi gerak Anda. Lebih sesuai kita sebut tujuan tadi adalah kompas yang menunjuk kemana Anda akan menuju. Jika di tengah jalan ada kejutan? Ya, improvisasi-lah.

Pada waktu memulai usaha IT, saya berniat berjualan system untuk remote trading. Eh ternyata gagal. Kemudian, sempat membangun visi untuk menjadi penyedia solusi mobile. Kurang greng. Memposisikan sebagai web application developer, lumayan, tapi sedikit “kurang gizi”. Maklum baru nyari bentuk. Ketika ada peluang masuk ke market IT Service Management dan IT Asset Management, dan kita coba. Ternyata berjalan. Dan segala rintisan yang sudah dijalani pun seperti menemukan momentum.

Bisnis memang lebih banyak kejutan, dibanding peristiwa “sesuai scenario”. Coba kalau saya “fanatik” hanya mau jualan solusi remote trading, misalnya. Demi visi, cita-cita, dan tujuan sakral yang tdk boleh diganggu gugat misalnya. Entah apa yang akan terjadi. Saya memutuskan tujuan menjadi guide saya, tanpa menolak peluang yang hadir ditengah perjalanan.

8. Think Big – Start Small – Act Now.
Punya rencana besar kalau tidak dilaksanakan percuma. Saya dulu sempat dikenal sebagai tukang bikin rencana. Mudah sekali saya memunculkan ide-ide bisnis. Yang tidak satupun saya kerjakan.

Sampai suatu hari ada teman mengingatkan. Stop berwacana. Kerjakan. Nah, ini yang bikin bingung. Memang kalau mau dikerjakan semua jadi bingung. Maka cita-cita besar kita harus coba dipecah dalam rencana-rencana kecil. Dan yang kecil-kecil ini dulu yang kita kerjakan.

Ingin punya online store buku nomer satu di Indonesia? Sebuah cita-cita besar. Tapi langkah pertamanya apa? Karena online store Anda tidak bisa tiba2 muncul begitu saja. Anda bisa pecah dalam “start small”. Menyusun catalog buku yang akan dijual? Merancang tampilan? Memilih aplikasi online store yang cocok? Membeli domain? Memesan hosting? Dan sebagainya. Ketika dipecah menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil, semua jadi masuk akal untuk dikerjakan.

Nah, kapan mulainya? Ya sekarang! Semua bisa dikerjakan sekarang. Belum punya uang untuk beli domain, bisa merancang tampilan dulu. Belum bisa aplikasi online store, bisa belajar dulu, dsb. Jadi, Think Big – Start Small – Act Now!

Lalu, mengapa masih membaca tulisan saya ini. Ayo mulai kerjakan sekarang!

(*) Tulisan ini adalah rangkuman materi yang saya sampaikan pada Seminar penutupan Program Pemagangan untuk SDM IT yang diselenggarakan RICE dan PT.INTI di Bandung 8 Oktober 2009.

Wednesday, October 07, 2009

Gratiskan Jualan Anda !

“Cara jualan kamu kuno !” Demikian kata seorang pengusaha senior kepada saya ketika kami sedang berbuka puasa bersama, bulan Ramadan lalu. Saya tergagap. Wah, baru kali ini ada yang mengatakan demikian tentang model bisnis saya. Tapi berhubung beliau jauh … jauh … jauh … lebih berpengalaman dibanding saya, dengan usaha yang skala nya ratusan kali lipat usaha saya, saya tidak punya pilihan lain selain mendengar kritikan beliau. Saya menahan nafas menunggu kalimat beliau berikutnya.

Beliau menambahkan, “Kalau kamu bisnis IT, nyuruh pelanggan beli produk, itu bisnis jaman dulu”. Saya mulai paham. Karena beberapa pelanggan saya ada yang memang menggunakan pola pembayaran bulanan atau sewa. Tidak mau kalah saya langsung berkomentar: “Kalau sewa atau bayar biaya bulanan bagaimana Pak?” Beliau menjawab: “Itu lebih baik. Tapi itu sekarang juga sudah kuno!” Nah ini bikin saya kaget lagi. “Yang gak kuno gimana dong Pak?”, saya makin penasaran. “Yang gak kuno itu kalau pelanggan gak usah bayar !.” Nyaris saya lompat dari kursi. Gratis? Musti bayar gaji karyawan dari mana? Beliau hanya tertawa-tawa, membuat saya makin penasaran.

Seolah “Law of Attraction” bekerja keras untuk saya. Dua minggu kemudian tanpa sengaja saya nemu buku baru karya salah satu penulis favorit saya Chris Anderson, judulnya: “Free: The future of radical price”. Ya, pengusaha senior tadi ternyata benar! Masa depan ternyata ada pada harga nol, alias gratis. Pelanggan gak usah bayar.

Semua Serba Gratis
Tidak dapat disangkal, virus gratis memang sudah menjalar kemana-mana. Kita sekarang bisa dengan mudah mengakses internet di mall-mall melalui infrastruktur hot-spot gratis. Saya menggunakan laptop dengan OS Linux Ubuntu yang dibagi-bagikan gratis oleh Canonical, mengetik dengan word-processor OpenOffice yang disediakan gratis oleh Sun Microsystem, menggunakan browser Firefox yang gratis, menggunakan layanan email gratis dari Google, chatting gratis melalui Yahoo Messenger dan mengakses jaringan seperti Facebook secara gratis. Malah kalau online nya di bandara, kopi yang menemani saya online pun gratis, komplimen dari lounge yang disponsori penerbit kartu kredit yg saya pakai. Chris Anderson malah mengetik seluruh isi buku nya melalui aplikasi Google Docs, word processing gratis yang disediakan online oleh Google.

Tunggu … kenapa yang gratis hanya layanan-layanan yang terkait dengan internet? Oh tidak. Diluar itu Anda juga dengan mudah menemukan produk atau layanan gratis atau sangat murah. Memang tidak semua sudah tersedia di Negara kita. Beberapa tahun lalu, kalau ingin pasang antenna parabola di rumah, kita harus membayar cukup mahal. Sekarang antenna parabola “dipinjamkan” oleh provider layanan siaran TV melalui satelit. Modem bisa kita peroleh gratis jika kita berlangganan broadband. Hampir semua penerbit kartu kredit sudah menggratiskan iuran tahunan-nya. Low cost airlines telah merevolusi dan mempelopori penjualan tiket pesawat terbang sangat murah atau bahkan gratis. Di Negara-negara maju, daftar produk gratis ini semakin banyak. Anda dapat memiliki handphone dengan gratis, tentu dengan kontrak berlangganan tertentu. Memiliki laptop gratis, dengan berlangganan akses broadband. Singkat kata semua ada versi gratis nya, bahkan mobil gratis pun ada. Kalau majalah gratis sudah sangat biasa, Di Tokyo, malah ada toko yang menyediakan 5 item gratis untuk setiap pengunjungnya, mulai dari lilin, mie instan, sampai krim wajah.

Makan Siang Gratis Memang (Pernah) Ada
Anda tentu pernah mendengar ungkapan “tidak ada makan siang gratis”. Ungkapan ini sebenarnya berasal dari jaman Cowboy di Amerika Serikat. Pada waktu itu banyak Saloon, tempat nongkrong orang Amerika jaman dulu, yang menyediakan makan siang gratis untuk menarik pengunjung. Makan siang nya memang benar-benar gratis. Tapi pengunjung harus bayar mahal untuk yang lain-lain, seperti minuman, permainan kasino, sewa kamar, dsb.
Bagi-bagi produk gratis juga awalnya dilakukan oleh King Gillette, pencipta silet cukur pertama di dunia. Jaman dahulu pria bercukur dengan pisau cukur lipat yang tidak praktis, harus sering di asah, dsb. Ide menggunakan pisau cukur super tipis yang tidak perlu diasah, tapi dibuang jika sudah tumpul, adalah ide baru yang awalnya sulit dipahami. Gillette pun membagikan secara gratis sebagai marketing gimmick produk lain, dengan harapan pengguna baru yang menyukai ide ini selanjutnya akan membeli. Misalnya bekerjasama dengan bank, pisau baru Gillette dijadikan bonus bagi pembuka rekening tabungan. Dan Gillette benar, lambat laun pisau cukur Gillette dikenal dan kemudian mendunia hingga hari ini.

Jell-O, dessert paling popular di Amerika juga awalnya sulit untuk dijual. Peter Cooper, penemu makanan dari gelatin ini kesulitan memperkenalkan produk baru nya. Baru setelah produk ini dipasarkan oleh genius pemasaran dan orator Francis Woodward, Jell-O menemukan tempatnya di pasar. Woodward bukan membagikan produk ini secara gratis. Namun mencetak dan membagikan buku resep gratis untuk memberi ide kepada calon pelanggan, bahwa Jell-O sangat praktis dan dapat disajikan dengan berbagai variasi. Woodward yang membeli lisensi Jell-O hanya seharga $450 sukses besar.

Dari Kelangkaan Menuju Keberlimpahan
Model gratis a la Saloon, Gillette dan Jell-O adalah model-model gratis abad lalu, yang hingga sekarang masih sering digunakan. Namun, abad 21 telah menciptakan model bisnis gratis baru. Model bisnis yang digerakkan oleh kemudahan dan teknologi.

Plastik pada awalnya dirancang sebagai produk eksklusif. Riset dan produksinya memerlukan biaya mahal. Plastik juga lebih kuat dan tahan lama disbanding kayu. Jadi sudah selayaknya produk dari plastic dijual mahal. Namun, kita lihat hari ini, plastic demikian berlimpah ada dimana-mana. Plastik pada akhirnya menjadi komoditas yang berlimpah dan murah.

Barang elektronik modern tumbuh pesat setelah transistor ditemukan. Pada awalnya transistor adalah barang langka yang mahal. Tahun 1961 harga 1 buah transistor adalah $ 10. Kurang dari 10 tahun harga nya sudah tinggal $1 sen. Dan hari ini, sebuah microchip yang setara dengan 2 milyar transistor hanya dijual $ 300, atau 0.000015 sen per transistor. Hal yang sama terjadi juga untuk kapasitas penyimpanan disk dan juga bandwidth, yang semakin lama semakin murah. Inilah yang kemudian memicu revolusi digital yang merubah cara pandang pengusaha dalam mencari revenue.

Ketika sebuah produk telah menjadi komoditi yang “terlalu murah untuk dihargai”, maka kita tidak lagi bisa mengandalkan harga produk sebagai sumber revenue kita. Harga sangat terkait dengan kelangkaan, sementara yang kita hadapi adalah keberlimpahan.

Gratis? Dari Mana Uangnya?
Menjalankan usaha memang tetap harus berorientasi pada profit, yang sumber nya adalah revenue dikurangi cost. Model bisnis gratis pada dasarnya melakukan kreatifitas pada sumber revenue, bukan menghilangkan revenue. Jika semula revenue semata dari harga jual, maka dengan prinsip keberlimpahan, kita coba mencari revenue dari sumber lain. Beberapa model bisnis yang ada adalah:

Subsidi Silang Langsung
Ini model generasi pertama. Revenue dari sumber lain memberikan subsidi silang untuk item yang sengaja dibuat lost. Misalnya, gratis handphone, tapi bayar talktime. Gratis antenna parabola, bayar biaya langganan. Gratis software, bayar hardware. Dsb. Termasuk model bisnis yang digunakan Canonical yang membagikan OS Ubuntu Linux secara gratis. Software nya memang gratis, tapi jika perusahaan kemudian butuh jasa konsultasi, training dan implementasi Ubuntu resmi dari Canonical, perusahaan tersebut harus membayar mahal.

Subsidi Pihak Ketiga
Ini model bisnis yang digunakan Radio, TV dan Majalah Gratis. Pelanggan gratis, tapi pemasang iklan bayar. Digunakan juga oleh penerbit kartu kredit yang menggratiskan iuran, tapi memberikan charge yang mahal ke merchant. Diskotik juga menjadi pelopor model ini melalui program “ladies night”. Gratis untuk pengunjung wanita, tapi pengunjung pria membayar.

Freemium
Ini model yang sering digunakan perusahaan konsultan dan teknologi informasi. Gratis untuk versi yang generic, tapi membayar untuk versi premium. Bisa juga divariasikan dengan modul. Untuk modul terbatas gratis, modul yang lebih lengkap bayar. Gratis untuk konsultasi awal, bayar untuk jasa konsultasi yang lebih lengkap. Gratis untuk overview seminar, bayar untuk training yang lebih lengkap.

Nonmonetary
Ini yang 100% gratis. Jasa yang diberikan sama sekali gratis. Imbalan yang diterima penyedia jasa adalah perhatian dan reputasi. Dan dengan reputasi yang semakin meningkat, dikenal dimana-mana, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendatangkan revenue. Musisi yang memberikan karya nya secara gratis dan memperoleh reputasi dan perhatian, dapat menghasilkan revenue dari konser-konser ataupun penjualan merchandise nya.

Sebelum Menggratiskan Jualan Anda
Oke … oke, mungkin kedengarannya masih menakutkan untuk menggratiskan begitu saja jualan Anda. Memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum Anda menggratiskan jualan Anda:

Pertama, Sesuaikan dengan model bisnis yg ada sekarang. Anda harus analisa baik-baik dari mana sumber revenue Anda. Secara umum menggratiskan jualan Anda dimaksudkan untuk memperbesar revenue, bukan mengurangi revenue. Kalau Anda jualan baju dan membagi-bagikan begitu saja produk terbaru Anda, sulit dibayangkan untuk mendapat revenue yang lebih besar. Tapi jika Anda member subsidi pada asesoris dan membagikan gratis sebagai gimmick untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak, jauh lebih masuk akal. Atau mungkin yang bisa digratiskan adalah catalog, newsletter atau buku kecil tentang bagaimana memanfaatkan produk Anda secara maksimal.

Kedua, gratis akan efektif jika sifatnya masal, melibatkan crowd yang besar. Karena dengan biaya yang sudah ditetapkan, maka semakin besar pelanggan terlibat, biaya per pelanggan akan semakin kecil hingga nyaris nol. Membagikan software gratis kepada 100 orang atau 1 juta orang akan sangat berbeda. Maka Canonical dengan Ubuntu nya rajin mengirim CD gratis. Dalam ekonomi digital eksistensi produk kita di pasar akan sangat tergantung pada atensi dan reputasi. Gratis adalah senjata untuk mencapai dua hal tersebut.

Saya menutup buka bersama dengan pengusaha senior yang saya ceritakan di depan dengan perasaan puas. Beliau menceritakan dengan detil “resep rahasia” menggratiskan layanan IT beliau, dan tetap memperoleh revenue dari tempat lain. Sebelum kami berpisah, beliau mengucapkan kalimat: “Oh ya, kalau semua sudah gratis, gratis pun jadi kuno. Harusnya pelanggan gak usah bayar, malah dibayar!” Waduh …. (FR)

Wednesday, June 24, 2009

Percayalah ...

“Kamu harus percaya pada ku Ma ...” Kata seorang suami memelas di depan istri nya yang marah sambil memegang kemeja kantor dengan cap lipstik di kerah nya.

“Percayalah, meski pergi jauh, aku akan kembali dan melamarmu ...” kata seorang pemuda, sesaat sebelum meninggalkan pacarnya untuk pergi merantau.

“Kalau proyek ini dipercayakan kepada kami, saya yakin akan selesai sesuai anggaran dan jadwal yang Bapak tetapkan ...” kata seorang konsultan kepada klien nya.

“Rakyat tidak lagi percaya dengan pemerintah yang sekarang ...”, demikian kata seorang politisi yang ingin dipilih rakyatnya.

Contoh pernyataan-pernyataan di atas berbicara tentang “ke-percaya-an” (trust). Untuk menghindari kerancuan, saya menggunakan istilah trust, karena “kepercayaan” dalam Bahasa Indonesia dapat juga berarti “beliefs” atau “faith”. Jadi apa sesungguhnya trust itu? Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, darimana datangnya trust?

Semua sepakat bahwa trust itu penting. Pernikahan, dibangun di atas trust yang tumbuh di antara antara suami dan istri. Organisasi, berdiri karena ada trust di antara anggota nya. Perusahaan, berdiri karena ada trust antara pemilik usaha, pelanggan, pekerja dan mitra kerjanya. Transaksi bisnis, terjadi karena ada trust antara penjual dan pembeli. Negara, berdiri karena masih ada trust di antara warga negara dan penyelenggara pemerintahan-nya. Tanpa trust, tanpa ke-percaya-an, maka ikatan-ikatan tadi akan runtuh. Trust adalah “The one thing that changes everythings” demikian kata Stephen Covey dalam buku The Speed of Trust.

Terlebih lagi dalam bisnis. Trust diakui memiliki korelasi yang erat dengan biaya dan kecepatan. Pada interaksi bisnis yang dijalankan dengan trust yang tinggi, maka kecepatan akan tinggi, dan biaya akan rendah. Sebaliknya, trust yang rendah akan menyebabkan biaya yang tinggi dan kecepatan yang rendah. Misalnya, ketika kita menjual barang pada orang yang kita percayai, maka biasanya eksekusi nya akan lebih cepat, bahkan bisa dibayar kemudian. Sebaliknya, kalau pembeli belum dipercaya maka kita akan menerapkan prosedur yang lebih ketat, ada biaya dimuka, dsb.

Meskipun mengakui betapa pentingnya trust, namun sangat jarang kita memikirkan apa dan bagaimana trust bisa dikembangkan. Akibatnya seringkali kita membina hubungan bisnis maupun hubungan sosial, dengan trust yang rendah, yang mengakibatkan biaya tinggi dan kecepatan rendah tadi.

Membangun trust tidak semudah mengucapkan kata-kata “Percayalah ...” seperti rayuan pemuda kepada pacarnya. Namun, meski tidak mudah, bisa dipelajari. Berikut beberapa catatan saya dalam mengembangkan trust.

Trust harus diraih, bukan diberikan.

Seringkali orang berharap akan dapat memiliki trust ketika berinteraksi dengan seseorang yang merupakan anggota dari kelompok tertentu yang ia percayai. Dan hampir dipastikan ia akan kecewa. Misalnya, ketika kita berinteraksi dengan seseorang dengan gelar keagamaan tertentu, atau anggota kelompok keagamaan tertentu, seringkali kita langsung memiliki “trust”.

Namun trust yang demikian seringkali hanya bersifat semu, kerena belum teruji oleh perbuatan. Pada akhirnya konsistensi perbuatan-perbuatan pribadi tersebut yang akan membuat kita memiliki trust atau tidak, bukan gelar yang dimiliki, bukan karena keturunan seseorang yang hebat, atau bukan karena anggota organisasi yang besar dan terkenal.

Dalam bisnis dan kehidupan, trust adalah sesuatu yang harus diraih melalui proses, bukan sesuatu yang secara instan bisa diberikan atau diwariskan begitu saja. Kalau saja trust bisa diwariskan atau dihibahkan kepada anggota-anggota organisasi yang “terpercaya”, betapa mudahnya pekerjaan bank-bank kita dalam menyalurkan kredit. Kenyataannya tidak demikian.

Semua berawal dari “self-trust”

Seringkali kita mendengar keluhan-keluhan tentang rendahnya trust dari pelanggan, rendahnya trust dari kolega kita. Atau tidak adanya trust diantara anggota masyarakat kita. Kita mencoba mencari-cari solusi untuk organizational trust, market trust atau societal trust tadi. Akan sulit selama kita belum menyentuh akar sebenarnya yaitu “self-trust”. Trust dari pribadi kita sendiri. Membangun self-trust, tidak lepas dari: karakter dan kemampuan kita.

Bagian terpenting dari karekter adalah integritas. Yaitu bagaimana kita menjalani nilai-nilai yang kita anut secara konsisten. Sekedar berkata “jujur” tidak cukup. Namun juga harus dibuktikan dengan perbuatan yang kongruen dengan perkataan tadi. Serta dihiasi dengan sikap berani sekaligus rendah hati. Berani menyatakan pendapat, mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, namun rendah hati dengan tidak arogan menganggap dirinya pasti benar dan orang lain pasti salah. Inilah landasan integritas yang merupakan modal pertama dalam membangun trust.

Integritas tanpa kemampuan belum cukup untuk membangun trust. Maka selain menjadi pribadi yang penuh integritas, kita juga harus terbukti mampu. Dikenal sebagai pribadi yang ber-integritas akan membuat orang mengenal Anda sebagai “orang baik”, namun belum tentu dipercaya, jika Anda tidak memiliki catatan bahwa Anda memiliki kemampuan. Kemampuan tidak hanya diukur dari seberapa banyak Anda tahu, namun menyeluruh, mencakup: Talents (bakat), Attitude (sikap), Skills (keahlian), Knowledge (pengetahuan) dan Style (gaya atau sentuhan personal Anda).

Selain itu, karakter dan kemampuan kita harus dibuktikan dengan hasil (result). Ibarat pohon, karakter adalah akar, kemampuan adalah batang dan daun, namun tetap saja, buah adalah yang akan dilihat dan dinikmati. Karakter yang baik, kemampuan yang mumpuni, harus dibuktikan dengan result yang nyata. Dengan tiga modal tadi, maka self-trust dapat kita tumbuhkan.

Trust bisa naik, dan turun.

Memiliki hubungan sosial ataupun bisnis dengan trust yang tinggi, dapat membuat kita lengah. Seringkali kita berasumsi bahwa trust adalah abadi. Padahal fakta nya tidak demikian. Trust bisa saja naik, atau turun, bahkan hilang.

Trust yang meningkat harus menjadi agenda kita. Trust yang menurun, sedapat mungkin kita cegah. Penurunan trust biasanya terjadi apabila kita tidak menjaga “self-trust” kita masing-masing. Mungkin integritas yang mulai luntur, atau kemampuan yang tidak relevan lagi di masa sekarang, atau bisa jadi result yang tidak lagi terbukti. Kesemuanya dapat mempengaruhi trust.

Demikian catatan saya. Jika diniatkan, saya yakin kita semua dapat belajar membangun trust secara konsisten. Percayalah ...

Tuesday, May 19, 2009

Siapa Mau Pinjaman Modal?

Karena judul di atas, saya yakin tulisan saya ini langsung dibaca. Hahaha … gotcha! Ya, siapa yg tidak mau menerima pinjaman modal. Saya saja yang nulis judul di atas ikutan kepengen …. Kalau Anda pengusaha, pasti Anda pernah berusaha mendapatkan pinjaman untuk modal usaha Anda. Kalau pertanyaan diatas diajukan ke seluruh pengusaha di Indonesia bahkan dunia, sebagian besar pasti tunjuk jari. Termasuk saya.

Itulah mengapa dulu sewaktu saya bekerja di bank, problem saya bukan mencari siapa yang mau menerima pinjaman. Tapi mencari, siapa yang bisa mengembalikan pinjaman. Kalau yang mau banyaaak … yang bisa mengembalikan? Belum tentyu ...

Kalau ditanya, Anda mau pinjaman modal? Pasti kita langsung ngangguk pada detik pertama. Tapi kalau ditanya, Mengapa perlu pinjaman? Untuk apa pinjaman nya? Berapa besar? Berapa lama? Dari mana sumber pengembalian pinjaman nya? Nah, baru kita menelan ludah dan garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

Karena sesungguhnya pinjam meminjam itu ada “filosofi”nya. Ini yang jarang dikuasai orang. Tanpa memahami nya, memang pasti kita akan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi. Ini yang ingin saya bicarakan.

Memahami Asset Conversion Cycle

Untuk memudahkan pemahaman, kita pergunakan ilustrasi sederhana. Katakanlah saya memulai sebuah usaha dengan modal Rp. 1.5 juta. Saya ingin memproduksi dan menjual kaos saya sendiri. Maka modal tadi saya belikan bahan kaos sebesar Rp.1 juta dan membayar penjahit sebesar Rp.500 ribu. Jadilah 20 potong kaos yang saya jual di kios depan rumah saya, seharga Rp.100 ribu per potong.

Ketika saya baru memulai usaha, maka asset saya berupa Kas sebesar Rp.1.5 juta. Ketika saya membeli bahan kaos, maka sebagian asset saya mengalami konversi menjadi bahan baku sebesar Rp.1 juta, plus Rp.500 ribu terkonversi menjadi upah. Dan ketika saya memiliki 20 potong kaos siap jual, asset saya terkonversi menjadi bahan jadi. Bahan jadi ini ketika terjual, akan kembali menjadi Kas. Siklus dari kas menjadi bahan baku, kemudian menjadi barang jadi dan menjadi kas kembali, inilah yang disebut “Asset Conversion Cycle”.

Kalau siklus konversi asset berjalan sempurna, maka dari Kas awal Rp.1.5 juta, saya akan memiliki kas Rp. 2 juta dari penjualan 20 potong kaos. Yang Rp. 500 ribu adalah profit saya. Yang Rp. 1.5 juta dapat saya pergunakan kembali untuk memproduksi kembali 20 kaos. Demikian seterusnya. Setiap produksi, untung 500 ribu. Mudah bukan?

Mudah. Namun sayangnya itu hanya terjadi di dunia khayal … hahaha.

Dalam dunia nyata, kenyataanya bisa jadi Anda produksi 20 kaos, yang terjual hanya 15, 10 atau bahkan cuma 3. Sementara penjahit harus tetap Anda bayar. Bahan baku kaos juga harus sudah dibeli kembali. Sementara asset sudah berupa bahan jadi semua. Kalau sudah begini, Asset Conversion Cycle pun mandek, terhenti.

Atau saya perlu membeli mesin jahit, karena mesin jahit saat ini terlalu lamban. Maka saya perlu menyisihkan dana dari Kas. Tapi kalau saya investasikan kas saya, maka kas saya akan mandek dalam bentuk mesin jahit.

Atau mau contoh yg lebih “happy problem”? Misalnya tiba-tiba saya memperoleh pesanan 100 buah kaos kampanye Capres. Kalau saya sanggupi jelas kas saya tidak akan mencukupi. Karena artinya saya harus sanggup memproduksi kaos 5 kali lipat dari kemampuan kas saya hari ini.

Dari skenario-skenario diatas, hasil akhirnya sama. Konversi kas yang tidak berjalan lancar. Kas yang sudah dikeluarkan tidak kembali menjadi kas. Dan karena Kas seperti darah bagi bisnis, maka bisnis kaos saya pun akan mulai kurang darah dan sakit-sakit-an.

Sound familiar? Welcome to the club, dan teruslah membaca tulisan ini.

Memahami Lending Rationale

Mencari pinjaman modal …. Adalah resep ampuh terhadap masalah konversi kas tadi. Benarkah? Belum tentu. Kalau masalah usaha kaos saya adalah pada kemampuan menjual, maka berapa pun kas yang disuntik ke usaha saya, hasil akhirnya akan sama. Konversi kas mandek. Malah, kini datang masalah baru, yaitu bagaimana mengembalikan pinjaman.

Tapi tentu saja ada skenario-skenario yang memang pinjaman kas akan sangat membantu. Skenario inilah yang menjadi alasan bank memberikan pinjaman. Jaman saya belajar perbankan dulu, disebut sebagai “Lending Rationale”, atau landasan pemikiran mengapa bank memberi pinjaman.

Secara umum ada 3 skenario lending rationale:

Pertama. Asset Conversion Lending. Atau pinjaman untuk menambah asset (kas) yang akan dikonversi. Misalnya usaha kaos saya yang rata-rata menjual 20 kaos per bulan. Karena menjelang lebaran atau menjelang kampanye Pilpres saya prediksikan ada peningkatan penjualan sebesar 100%. Maka saya perlu tambahan kas, untuk mengatasi fluktuasi kebutuhan kas yang sifatnya temporer ini.

Mengapa perlu pinjaman ini? Ya, karena kalau tidak kas saya tidak akan mencukupi untuk memenuhi lonjakan permintaan. Berapa besarnya? Ya, sesuai prediksi fluktuasi yang akan dialami. Darimana pengembaliannya? Dari selesai nya siklus konversi asset secara penuh, yaitu ketika barang jadi terjual dan kembali menjadi kas. Misalnya, ketika pesanan kaos pilpres saya dibayar.

Kedua. Cash Flow Lending. Untuk menyediakan cash jangka menengah panjang, untuk modal kerja permanen atau investasi. Misalnya, usaha kaos saya perlu membeli mesin jahit baru. Tidak mungkin saya penuhi dari modal awal saya yang cuma Rp.1,5 juta tadi. Tapi saya bisa mengambil pinjaman jangka menengah (misalnya 3 tahun) yang saya bayar dari cash flow usaha. Misalnya mencicil Rp.100 ribu per bulan, karena dari profit sebelumnya saya tahu saya memiliki kesanggupan membayar sebesar itu.

Mengapa perlu pinjaman ini? Untuk membiayai investasi jangka menengah. Berapa besarnya? Sesuai kebutuhan investasi dan kesanggupan membayar dari cash flow. Dari mana pengembaliannya? Dari operating cash flow yang berjalan.

Ketiga. Asset Protection Lending. Ini pinjaman untuk menjaga supaya asset (cash) saya tidak terkikis pertumbuhan usaha saya sendiri. Misalnya usaha saya tumbuh 10% per bulan, maka dengan sendiri nya setiap bulan saya perlu tambahan kas untuk menambah bahan baku dsb. Jika tidak, maka kas saya akan terkikis dan bisa-bisa meskipun usaha maju, saya cash-less.

Mengapa perlu pinjaman ini? Untuk memproteksi kas supaya sesuai dengan pertumbuhan usaha. Berapa besarnya? Sesuai dengan trend pertumbuhan. Dari mana pengembaliannya? Biasanya pembiayaan bersifat revolving dan evergreen.

Begitulah “rationale” atau landasan pemikiran pemberian pinjaman. Sebagai pelaku bisnis Anda tinggal menganalisa kira-kira usaha Anda sedang dalam situasi yang mana. Setelah paham situasi nya, baru diputuskan apakah pinjaman diperlukan. Dan kalau diperlukan pinjaman yang seperti apa. Bisnis adalah sesuatu yang masuk akal. Semua ada “rationale” nya.

Lho terus pinjaman yg ditawarkan di judul? Ya ... kalau sudah tau ilmu nya Anda kan bisa ke bank ... hehehe. Selamat mengajukan pinjaman !

Monday, March 30, 2009

Surat Untuk Saudaraku

Saudaraku ...

Saya dapat memahami perasaan Anda. Sesungguhnya bukan hanya Anda, saya pun dahulu juga telah mengalami ujian yang sama. Berusaha dan belum berhasil, tidak punya uang, justru banyak hutang, sudah saya alami.

Padahal sudah membuat daftar impian, tujuan yang pasti, sudah membuat strategi, sudah berani mengambil tindakan … Nekat malah, karena saya melepas pekerjaan saya demi bisnis. Bukan keberhasilan yang diraih, namun justru kesulitan demi kesulitan. Pada waktu itu pun, saya merasakan rasa frustasi yang luar biasa.

Saudaraku …

Pertama-tama harus kita pahami tentang sunatullah, ketetapan Allah yang berlaku sebagai hukum yang berjalan di alam semesta ciptaanNya ini. Ketetapan ini berlaku tanpa memandang siapa pun pelaku nya. Misalnya: hukum grafitasi. Benda apapun, jika dilepaskan akan jatuh ke permukaan bumi. Siapapun yang menjatuhkan benda itu, apapun agama nya, bahkan atheis sekalipun, benda tadi akan jatuh ke permukaan bumi. Karena demikianlah sunatullah nya.

Sunatullah yang lain adalah, siapa yang ingin berhasil dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencapai nya, maka atas seizin Allah, keinginannya akan tercapai. Siapapun orangnya, apakah itu muslim, non-muslim, bahkan atheis sekalipun. Karena ini sudah merupakan sunatullah, sebagaimana hukum grafitasi. Maka saya tidaklah heran dengan keberhasilan Bill Gates ataupun Donald Trump, karena mereka memang melakukan usaha dengan sungguh-sungguh.

Lantas, mengapa ada orang yang sudah berusaha namun belum berhasil? Jika keberhasilan, sebagaimana grafitasi adalah sunatullah? Mengapa ini bisa terjadi? Pertanyaan nya adalah, betulkan ia sudah berusaha sesuai dengan cara-cara yang dilakukan orang yang berhasil? Jika belum, maka tentu saja dia masih belum akan mecapai keberhasilan. Sebagaimana kita melepas benda, namun benda tadi terikat dengan tali, maka hukum grafitasi bumi pun tidak bisa menarik benda tadi.

Lalu, bagaimanakah cara-cara orang yang berhasil itu? Keberhasilan orang-orang yang sukses dalam berbisnis itu meninggalkan jejak. Sehingga kita bisa mengikuti jejak-jejak tadi, untuk ikut mencapai kesuksesan.

Saudaraku, untuk memulai, sebagai tahap awal coba praktekkan beberapa sikap mental yang banyak kita temui pada orang-orang berhasil ini:

Ikhlas.

Orang yang berhasil, melakukan segala sesuatu dengan Ikhlas. Batin nya ikhlas, menerima apa yang telah Tuhan berikan untuk nya hari ini. Bahwa pasti ada kebaikan yang Tuhan semesta alam berikan hari ini. Sekalipun mungkin peristiwa hari ini “buruk” di mata kita. Karena buruk di mata kita, belum tentu buruk di mata Tuhan.

Alkisah, jaman dahulu kala, di sebuah kampung, ada seorang lelaki tua yang hidup dengan anak lelaki tunggalnya. Suatu ketika pemuda tadi jatuh dari kuda, dan kaki nya patah. “Malang benar nasib anakmu ...” Demikian kata orang kampung. Ternyata, keesokan hari nya, datanglah tentara kerajaan untuk mengajak seluruh pemuda yang sehat maju ke medan perang yang mengerikan, yang hampir dipastikan seluruh pemuda tadi akan pulang tinggal nama. Seluruh orang tua menangis meratapi nasib anaknya … Kecuali orang tua dari pemuda yang kaki nya patah tadi. Jadi sekarang siapa yang nasib nya malang?

“Kemalangan” ternyata hanyalah penilaian kita sebagai manusia yang lemah ini.

Jadi Saudaraku …. apakah hari ini usaha kita selalu gagal, banyak hutang, tidak punya uang? Saya yakin, pasti ada maksud baik Tuhan dari pengalaman kita hari ini.

Syukur.

Selain ikhlas, kita juga harus terima dan syukuri apa yang sudah kita alami dan miliki hari ini. Dan juga apa-apa yang sudah kita terima di masa lalu, dan apa yang akan kita terima besok.

Karena tidak ada guna nya batin kita menolak dan menyesali apa yang kita alami hari ini. Seringkali batin kita menjerit-jerit, “mengapa nasib ku seperti ini ….”, namun hal ini malah akan memperkuat penderitaan kita. “What you resist persist ... “demikian pepatah kata. Makanya, orang yang mengeluhkan penderitaannya, biasanya penderitaanya semakin buruk. Yang mengeluhkan hutang, hutangnya makin banyak, yang mengeluhkan bisnisnya sepi, bisnisnya makin sepi, yang mengeluhkan tidak punya uang, uang nya makin sedikit.

Sebaliknya, orang yang bisa mensyukuri apa yang mereka terima hari ini, maka insyaAllah justru kenikmatan yang dia terima akan bertambah.

Jadi, saudaraku … Mulailah dengan mensyukuri apa yang saudaraku sudah miliki hari ini. Tidak hanya materi, namun juga kesehatan, cinta, pengetahuan, keluarga, dan sahabat. Banyak orang yang kaya materi namun tidak memiliki yang saya sebutkan tadi.

Lepaskan.

“Let it Go … Let it God”. Kita diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Bijaksana. Maka lepaskanlah kembali semuanya kepada Dia. Kembalikan semuanya kepada Dia. Biarkan Tuhan yang mengatur hidup kita ini.

Kadang kita merasa lebih tahu dan lebih pintar dari Tuhan. Bahwa hidup kita harus seperti yang kita “tentukan”. Padahal Tuhan lah yang menentukan hidup kita.

Banyak kejadian sudah saya alami. Bahwa di satu titik kita menemui jalan buntu, ketika seluruh logika dan nalar tidak mampu lagi mencari penyelesaian, penyelesaian justru datang ketika kita pasrahkan kembali permasalahan kita kepada Allah.

Sedih karena ditolak calon pelanggan? Wajar, namun lepaskan kembali pada Tuhan, siapa tahu Yang Punya Hidup punya skenario lain, yaitu memberikan pelanggan yang lebih baik.

Amanah.

Amanah adalah selalu bisa dipercaya, menepati janji dan menunaikan tanggung-jawab. Seringkali kita tergoda untuk tidak amanah pada saat kita mengalami perjalanan hidup yang sulit.

Kepercayaan yang diberikan kepada kita, dengan mudahnya kita sia-sia kan, demi keuntungan sesaat. Seringkali demi uang yang jumlahnya tidak seberapa.

Kalau kita berhutang, maka kita wajib berusaha membayarnya. Dengan segala usaha yang kita mampu.

Saya juga pernah mengalami tidak mampu membayar hutang seperti saudara. Namun, saya berusaha dengan menemui pemberi hutang, dengan sikap yang baik, untuk membicarakan kembali jadwal pembayaran hutang saya.

Bahkan, saya juga pernah menawarkan barter, menukar hutang saya dengan keahlian yang saya miliki. Dan berhasil.

Yang penting adalah berusaha untuk amanah. Karena buah dari amanah, adalah nama baik dan kepercayaan, yang selama nya akan menjadi modal utama dalam bisnis kita. Donald Trump, misalnya, berhasil bangkit dari keterpurukan, karena nama baik nya dalam bisnis masih dipercaya investor.

Dan yang terakhir saudaraku, adalah ...

Memberi.

Berikanlah apa yang saudara sedang cari. Karena ia akan kembali dalam jumlah yang berlipat-lipat. Jika saudaraku mencari cinta, maka berikanlah cinta. Jika Anda mencari ilmu, berikanlah ilmu. Dan jika Anda mencari uang, berikanlah uang …

“Power of Giving” sudah dibuktikan oleh banyak orang. Dengan memberi, maka kita akan menerima. Bukan sebaliknya.

Maka, Bill Gates pun tidak ragu menyumbangkan lebih dari 28 milyar Dollar kekayaanya, dan apa yang terjadi? Bill Gates makin kaya, bukan tambah miskin.

Dua minggu lalu, saya mengalami sendiri hal ini. Saya memberikan sejumlah uang melalui transfer bank. Dan di tempat parkir mobil, masih di bank yang sama, saya menerima pemberitahuan dari staff saya lewat telephone kalau kami menerima order, senilai 100 kali lipat uang yang saya berikan. Kekuatan memberi benar-benar terbukti.

Demikian yang dapat saya bagikan saudaraku …

Sikap mental Ikhlas – Syukur – Lepaskan – Amanah - Memberi, ini telah menolong saya di masa-masa sulit dahulu, dam semoga bisa membantu Saudara mencapai apa yang dicita-citakan. Amin.

Salam,

Fauzi Rachmanto

Thursday, March 19, 2009

Segitiga Bermuda

Jika Anda melihat peta Amerika Serikat, di sisi Samudera Atlantik, Anda akan menemukan semenanjung Florida. Sebelah tenggara Florida, ada kepulauan Bahama, Kuba, Dominika, Haiti dan Puerto Rico. Arah timur laut dari Florida, ada kepulauan kecil, Bermuda. Jika kita menghubungkan secara imajiner antara Miami, Florida dengan Puerto Rico dan Bermuda, maka terbentanglah wilayah yang disebut “Segitiga Bermuda”, yang sering dijuluki sebagai “Segitiga Setan”.

Namanya cukup seram? Ya. Bagaimana tidak. Sejak abad ke-19 hingga hari ini, terhitung sudah lebih dari 1700 kapal laut dan kapal udara yang lenyap ketika melewati kawasan Segitiga Bermuda. Bahkan, dalam beberapa kasus kapal-kapal tersebut lenyap, hilang, tanpa bekas.

Penyebabnya apa? Banyak teori yang sudah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Dari mulai keterlibatan Alien, peninggalan teknologi Atlantis, semburan gas Metana, dan sebagainya. Apapun, toh kejadian yang sama masih terjadi hingga beberapa tahun belakangan ini.

Tapi saya tidak sedang ingin membicarakan teori yang menjelaskan Segitiga Bermuda di Samudra Atlantis sana.

Dalam bisnis, sesungguhnya juga ada “Segitiga Bermuda” mematikan yang telah banyak memakan korban perusahaan-perusahaan kecil yang baru mulai berlayar mengarungi kehidupan dunia usaha. Ini yang ingin saya bicarakan.

Kalau Anda punya banyak kenalan pelaku bisnis pemula, coba saja ingat-ingat. Pasti ada rekan Anda yang beberapa tahun lalu sedang semangat-semangat nya mengembangkan usaha nya, hari ini mungkin sudah tidak terdengar lagi kabar beritanya. Seolah lenyap begitu saja, seperti ditelan “Segitiga Bermuda”.

Ini yang bagi saya menarik untuk dibicarakan.

Keith R. McFarland dalam buku nya “The Breakthrough Company” menceritakan dengan jelas bagaimana sebuah perusahaan dapat mengarungi Segitiga Bermuda bisnis ini dan sukses menjadi pelaku bisnis luar biasa.

Usaha kecil dan menengah, sesungguhnya memiliki banyak keunggulan. Dari hasil riset McFarland, paling tidak ada tiga keunggulan usaha kecil dibanding perusahaan-perusahaan yang sudah besar dan mapan, yaitu: (1) Mereka memiliki biaya yang rendah, (2) Mereka mampu memberikan secara tepat apa yang diinginkan konsumen, dan (3) Lebih mampu bereaksi secara cepat.

Dari pengalaman saya mengelola usaha saya, System Design Group Indonesia (http://sdgisolutions.com), saya mengakui ketepatan hasil riset McFarland di atas. Perusahaan kami adalah konsultan Teknologi Informasi yang relatif kecil jika dibandingkan kompetitor-kompetitor kami. Dalam banyak kesempatan, “ke-kecil-an” kami tadi ternyata menjadi kekuatan.

Dalam hal biaya, sangat jelas. Pernah dalam sebuah kesempatan mengikuti tender di luar kota, saya harus bersaing dengan sebuah perusahaan IT papan atas di Indonesia. Untuk melakukan presentasi mereka datang dengan satu tim lengkap yang terdiri dari tiga orang, naik pesawat terbang rame-rame, dan menginap di hotel selama 3 hari. Saya, karena tidak punya banyak karyawan, cukup datang sendiri, dan cukup menginap satu malam. Dan perusahaan kami yang menang.

Karena jumlah klien dan konsultan kami relatif sedikit, klien kami juga memiliki keuntungan untuk dapat berinteraksi dengan lebih intens dengan konsultan yang ditugaskan bekerja di klien tersebut. Tidak ada jenjang birokrasi rumit hanya untuk memenuhi sebuah permintaan klien.

Dalam hal kecepatan, kami juga sering diuntungkan. Dalam beberapa kesempatan bernegosiasi, klien kami dapat lebih cepat memperoleh jawaban, karena saya langsung terlibat. Keputusan dapat saya berikan saat itu juga. Sementara kompetitor saya umumnya diwakili oleh tim penjualan, yang harus meminta persetujuan atasan, yang harus meminta persetujuan lagi kepada atasan di atas nya lagi. Capeek deeh ... kata Klien yang menunggu jawaban.

Kalau begitu, dengan segala keuntungan tadi, dimana bahaya nya? Dimana “Segitiga Bermuda” nya?

Justru 3 keunggulan tadi, dapat menjadi Segitiga Bermuda yang akan menenggelamkan sebuah usaha. Yaitu ketika sebuah usaha kecil beranjak tumbuh, dan tetap berasumsi memiliki keunggulan-keunggulan yang pada fase pertumbuhan usaha sebenarnya sudah tidak relevan lagi.

Misalnya keungguan biaya. Secara alamiah keunggulan ini akan lenyap ketika sebuah usaha mulai tumbuh. Sebagai akibat pertumbuhan, biaya karyawan juga bertambah, biaya promosi bertambah, biaya kantor bertambah. Hingga pada suatu titik, tidak ada lagi keunggulan dari segi biaya. Saya mengalami sendiri fase ini. Biaya karyawan yang membengkak, biaya transportasi yang membengkak, biaya marketing yang membengkak, adalah fakta-fakta yang tidak saya jumpai ketika usaha saya lebih kecil dari sekarang.

Demikian juga soal kecepatan. Ketika karyawan bertambah, tim berkembang, pendelegasian kewenangan mulai dijalankan, ada birokrasi yang mulai bekerja. Kecepatan merespon permintaan klien pun mulai terpengaruh. Jika tadinya saya melakukan sendiri pekerjaan penjualan, kini ada tim sales yang membantu saya. Ini tidak terelakkan. Akibatnya ada satu jenjang yang harus dilewati untuk dapat memberikan reaksi yang dahulu dapat diberikan seketika.

Lalu bagaimana?

Ini yang jadi pertanyaan saya juga.

Menurut McFarland, satu-satu nya jalan adalah menjadikan keunggulan-keunggulan yang ada pada saat sebuah usaha masih relatif kecil menjadi “keunggulan yang berkelanjutan”.

Caranya?

Pertama: Optimalisasi Biaya, bukan menekan biaya.

Biaya yang rendah, adalah keunggulan usaha kecil. Ketika usaha Anda beranjak besar, maka mau tidak mau biaya akan semakin besar. Ini yang harus dioptimalkan. Banyak yang salah kaprah hal ini dengan menekan biaya. Termasuk saya. Misalnya, awalnya saya enggan menambah jumlah karyawan pada saat klien mulai bertambah. Akibatnya, klien-klien lama malah tidak terperhatikan dan ini sangat berbahaya. Padahal mau tidak mau memang saya harus menambah jumlah tim konsultan. Namun, biaya karyawan yang saya keluarkan, toh dapat di optimalkan. Misalnya, saya menciptakan fungsi baru yaitu R&D yang melekat pada tim konsultan tertentu.

Contoh lain, istri saya yang membuat baju muslimah dengan merk "Lentik", melalui usaha nya Lepuspa.Biz (http://lepuspa.biz) menyewa sebuah tempat di sebuah mall di Bandung. Semakin rame toko nya, pihak manajemen mall dengan “jahat”nya menaik-kan biaya sewa. Tidak dapat dielakkan. Namun biaya nya bisa dioptimalkan. Misalnya jika semula cuma jadi outlet penjualan, tempat yang sama bisa sekalian untuk media promosi produk baju yang baru di launching, lengkap dengan X banner, leaflet, dsb.

Kedua, Menguasai Produk, bukan menambah Produk.

Pada saat tumbuh, untuk lebih memuaskan pelanggan yang makin beragam, godaan terbesar adalah melakukan diversifikasi. Ini juga saya alami. Klien-klien baru, dengan permintaan baru, menggoda sekali untuk memberikan produk baru untuk mereka. Padahal setiap produk baru adalah sumber biaya yang dapat menghisap cash perusahaan. Jika tidak hati-hati ini dapat berakibat fatal.

Itulah yang membuat perusahaan kami sampai hari ini hanya melayani solusi IT Service Management (ITSM) dan yang terkait, misalnya IT Asset Management. Apa tidak ada permintaan untuk solusi lain? Buanyaak. Tapi untuk mengembangkan ekspertise dalam bidang ITSM saja perlu bertahun-tahun, dan biaya tidak sedikit. Masuk ke produk lain juga akan memerlukan biaya dan usaha yang tidak sedikit.

Diversifikasi boleh, namun kuasai lebih dahulu dengan sebaik-baiknya produk yang saat ini menjadi andalan kita. Yang sering terjadi adalah, sebelum menguasai betul produk yang saat ini dijual, sudah tergoda produk lain. Akibatnya malah dua-dua nya tidak berjalan dengan baik.

Ketiga, Let your customer be your guide.

Kalau tetap ingin melakukan diversifikasi, biarkan pelanggan yang menjadi pemandu kita. Bukan kita. Saya pernah punya pengalaman pahit berjualan solusi IT yang menurut saya bagus. Menurut saya, bukan menurut pelanggan. Akibatnya tidak berjalan seperti yang diinginkan.

Keempat. Buang struktur organisasi yang tidak perlu.

Banyak usaha kecil yang ketika tumbuh, jadi keasyikan main kantor-kantor an. Kalau tadinya mudah mengakses bahkan owner nya sekalipun, sekarang kalau mau ketemu manager nya saja pelanggan harus bikin janji dengan sekretaris nya. Ini yang akan meruntuhkan kecepatan yang semula jadi keunggulan kita. Sudahlah. Kalau tidak perlu sekali, tidak perlu di ada-ada in.

That's it. Itulah empat panduan yang disampaikan Keith McFarland. Selamat mencoba, dan sukses melintasi “Segitiga Bermuda”.

Thursday, February 19, 2009

Childhood Dreams

Professor Randy Pausch, dulu adalah seorang Profesor Computer Science di Carnegie Mellon University. Sesuai tradisi di universitas Carnegie Mellon, pada bulan September 2007, Randy diminta menyampaikan “Last Lecture”. Makna kuliah terakhir tersebut begitu dalam, karena Randy Pausch pada saat itu memang sedang dalam perjuangan melawan penyakit pancreatic cancer yang mematikan. Dokter memperkirakan hidup Randy tidak lama lagi, sehingga Last Lecture kali ini bisa jadi adalah benar-benar kuliah terakhirnya. Meskipun sedang menghadapi penyakit yang mematikan, kuliah Prof. Pausch yang berjudul – Really Achieving Your Childhood Dreams, sama sekali bukan tentang kematian. Tapi justru berbicara tentang kehidupan. Tentang mimpi-mimpi masa kecilnya, bagaimana terwujudnya mimpi-mimpi tersebut, dan mimpi bagi ketiga anak nya yang akan tumbuh tanpa kehadirannya.

Bulan Juli 2008, Randy Pausch akhirnya meninggalkan keluarga dan teman-teman nya untuk selama-lamanya. Namun Randy telah mewariskan buku yang sangat luar biasa, “The Last Lecture”. Sebuah buku yang saya baca dengan penuh rasa haru, dan membuat saya kembali mengingat impian masa kecil saya.

Salah satu impian masa kecil Randy Pausch adalah “Menjadi Captain Kirk”. Pesona sang Kapten yang memimpin pesawat ruang angkasa USS Enterprise dalam serial TV Star Trek begitu melekat pada benak Randy kecil, hingga ia membayangkan kelak akan menjadi seperti Captain Kirk. Setelah dewasa, Randy Pausch memang tidak pernah menjadi Kapten kapal ruang angkasa. Namun, guess what? Dia pernah berkesempatan mencoba pengalaman mengalami zero grafity di pesawat NASA. Dan puncak pengalaman nya yang terkait dengan impian masa kecilnya adalah, ketika Pausch harus mendemokan teknologi Virtual Reality secara langsung kepada William Shatner, pemeran Captain Kirk!

Impian masa kecil Randy Pausch yang lain adalah “menjadi Disney Imagineering”. Imagineering adalah orang-orang di belakang layar di Disney yang memungkinkan segala atraksi yang fantastis di Disneyland ataupun Disney Movie terjadi. Randy kecil begitu terpesona dengan Disneyland yang disebutnya sebagai “Happiest Place on Earth”. Lama setelah Randy melewati masa kanak-kanak nya, dan menjadi seorang computer scientist dengan area penelitian Virtual Reality, sepertinya apa yang ditekuni Randy tidak berkaitan dengan mimpi masa kecilnya. Sampai ketika sebuah kesempatan datang: tawaran bekerja sama dengan Disney untuk mengembangkan Virtual Reality. Randy pun segera menuju California dengan kebanggaan: menjadi Disney Imagineering.

Tidak hanya impian pribadi nya. Randy juga bercerita tentang impian seorang anak buahnya bernama Tommy Burnett. Ketika Randy merekrut Tommy, sebuah pertanyaan dilontarkan: Apa impian kamu? Jawaban Tommy tidak kalah lugas: Impian masa kecilnya adalah membuat film Star Wars. Pada saat itu tahun 1993, 3 serial Star Wars selesai dibuat sepuluh tahun sebelumnya, dan George Lucas belum mengumumkan rencana membuat serial baru. Tapi Tommy tetap berkeras bahwa membuat film Star Wars adalah impian masa kecil nya. Beberapa tahun kemudian, Industrial Light & Magic, perusahaan George Lucas mencari programmer Python, dan Tommy diterima bekerja. Dan begitulah, akhirnya Tommy terlibat dalam tiga prequel film Star Wars, sebagai lead technical director. Sama seperti impian masa kecil nya.

Ini membuat saya berpikir. Apakah saya juga telah menjalani kehidupan seperti impian masa kecil saya, sebagaimana Randy atau Tommy? Lalu apa impian masa kecil saya?

Kalau saya ingat-ingat kembali impian masa kecil saya sangat dipengaruhi cerita-cerita science fiction. Sama seperti Randy Pausch, saya penggemar Star Trek, dan saya sangat mengagumi Captain Kirk, melebihi Mr. Spock, Sulu, McCoy ataupun Scott. Saya terpesona dengan kepemimpinan Captain Kirk maupun gadget-gadget nya. Banyak yg terkesan dengan “handphone flip” yang digunakan Kirk. Namun menurut saya yang paling dahsyat adalah “Tricorder”. Ini semacam komputer portabel yang mampu melakukan scanning planet yang baru didatangi dan layarnya akan memunculkan informasi-informasi berharga. Sebuah komputer portabel, bayangkan ! Saya sering memimpikan memiliki Tricorder.

Waktu saya kecil (saya lahir tahun 1970), tentu saja belum ada personal computer seperti yang kita kenal sekarang. Paling tidak di Indonesia. Pemahaman pertama saya tentang komputer, selain dari Star Trek, saya peroleh dari komik serial Arad dan Maya. Dalam komik tadi dikisahkan pesawat yang dikendarai Arad memiliki komputer cerdas yang bisa berbicara. Namanya CC. Saking cerdas nya kadang Arad dibikin emosi oleh si CC ini. Saya jadi sangat tertarik dengan yang namanya komputer. Apakah betul secerdas itu?

Beruntung saya mempunyai Kakak-Kakak laki yang sangat suka elektronika, dan rajin berlangganan majalah-majalah sains, diantaranya yang saya ingat majalah Mekatronika. Gambaran komputer yang lebih jelas saya peroleh dari salah satu majalah tadi. Suatu hari Kakak saya menunjukkan gambar sebuah kotak TV dengan tombol-tombol mesin ketik di bawahnya: “ini lho kompiyuter ...” katanya. Sok ng-Inggris. Saya pun ikut2 an menyebutnya “kompiyuter”, bukan komputer. Waktu itu saya masih SD. Saya sering berkhayal, mengoperasikan kompiyuter. Papan tulis hitam yang biasa kami gunakan untuk belajar saya gambari layar-layar, dan tombol mesin ketik di bawahnya. Dalam khayalan saya, saya berinteraksi dengan si kompiyuter, memberikan pertanyaan, dan kompiyuter menjawab. Seperti Tricorder nya Captain Kirk atau CC nya Arad.

Tahun 1998, mungkin 20 tahun semenjak khayalan saya, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan software, bernama Commercial Software Services Ltd. Tugas saya, menjadi konsultan sebuah sistem aplikasi. Duduk di depan “kompiyuter”, untuk merancang, menguji dan mengoperasikan aplikasi tadi. Setiap hari saya harus berinteraksi dengan si “kompiyuter”. Memang bukan dengan kata-kata seperti Arad, tapi dengan data yang berguna untuk klien saya. Hari ini saya baru sadar, bahwa pada saat itu terjadi, rupanya salah satu impian masa kecil saya terwujud. Meskipun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Bahkan hingga hari ini, saya masih berbisnis di industri software computer. Ini membuat saya merinding.

Lalu apa impian masa kecil Anda?