Thursday, November 15, 2007

Inersia

Pernahkah Anda mendorong mobil yang mogok? Kebetulan saya pernah. Berat sekali pada awalnya. Baru setelah mobil mulai bergerak, akan terasa ringan. Fenomena ini dijelaskan oleh Sir Isaac Newton dalam konsep "inertia" yang merupakan bagian penting dari hukum Newton tentang gerak. Apakah itu inersia? Karena saya bukan fisikawan, secara gampang saja, konsep inersia dapat dipahami dalam kalimat sebagai berikut: "bahwa benda yang diam akan cenderung diam, dan benda yang bergerak akan cenderung bergerak". Jadi sebuah benda yang dalam keadaan diam, akan cenderung mempertahankan keadaan diamnya. Itulah kenapa sebuah mobil yang diam memerlukan gaya yang lebih besar untuk dapat bergerak, dibanding ketika mobil tersebut sudah bergerak. Dan karena inersia juga,maka ketika Anda sedang melaju di jalan tol dengan kecepatan tinggi dan melakukan pengereman mendadak, maka tubuh Anda akan terdorong ke depan, karena tubuh Anda yang sedang bergerak maju akan cenderung mempertahankan gerak maju.

Apa hubungannya dengan bisnis? Ternyata, konsep inersia tersebut tidak hanya berlaku untuk benda dan gerak benda, namun juga dapat dianalogikan kedalam bisnis dan gerak bisnis:

Deperlukan "gaya" untuk dapat membuat bisnis yang diam mulai bergerak.

Ini bukan gaya dalam pengertian "style", namun gaya yang dalam bahasa Inggrisnya disebut "force". Ketika Anda memulai bisnis dari nol, maka usaha Anda dapat diibaratkan seperti sebuah benda diam. Yang sesuai hukum Newton, akan mempertahankan keadaan diamnya. Seperti halnya mendorong mobil dalam keadaan diam tadi. Makanya Anda tidak perlu heran, pada tahap awal bisnis, memang dibutuhkan force yang besar untuk membuat bisnis Anda mulai bergerak. Demikan juga Anda yang sudah memiliki bisnis yang sudah bergerak dengan kecepatan yang bagus, harus dijaga jangan sampai bisnis mengalami perlambatan atau bahkan berhenti. Karena, nantinya akan butuh gaya yang besar untuk membuatnya bergerak kembali.

Percepatan bisnis Anda dipengaruhi oleh besarnya "massa" bisnis Anda.

Dalam pengalaman keseharian, jelas lebih sulit mendorong truk dibanding motor misalnya. Karena massa truk yang lebih besar, maka dibutuhkan gaya yang lebih besar untuk membuat truk bergerak atau berubah kecepatannya. Demikian juga, semakin besar bisnis Anda, perlu gaya yang lebih besar untuk membuat bisnis Anda yang semula diam menjadi bergerak, ataupun membuat bisnis mengalami percepatan (perubahan kecepatan). "Gaya" tadi kalau dalam bisnis dapat berupa sumber daya manusia, waktu, modal, dsb.

Inilah kenapa dalam berbisnis selain mempertahankan kecepatan kita juga harus menjaga "massa" atau ukuran bisnis kita. Ketika bisnis Anda sudah bergerak, maka dengan ukuran bisnis yang semakin besar, Anda akan memperoleh percepatan yang lebih baik. Tidak salah makanya jika Anda melakukan eskpansi atau penambahan ukuran bisnis Anda, ketika sudah memperoleh kecepatan yang bagus. Sebaliknya, ketika bisnis Anda terhenti, untuk mempermudah agar bergerak kembali, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengurangi "massa" nya terlebih dahulu, supaya gaya yang diperlukan untuk membuat bisnis Anda bergerak kembali tidak terlalu besar.

Gerak bisnis Anda adalah resultant dari beberapa gaya yang mempengaruhi bisnis Anda.

Ketika Anda melempar sebuah bola ke depan, mengapa bola tidak terus bergerak lurus ke depan, namun bergerak melengkung dan jatuh ke bumi? Jawabannya karena selain terpengaruh gaya dorong lemparan yang Anda lakukan, bola juga terpengaruh gaya gravitasi yang menarik bola ke bumi. Demikian sebuah mobil yang dipasang rem tangan, akan sulit sekali di dorong, karena selain gaya dorong yang berlaku, ada gaya gesek dari rem tangan yang sangat kuat. Mungkin Anda merasa sudah memberikan "gaya dorong" yang sangat kuat kepada bisnis Anda, namun bisnis Anda masih tidak mau bergerak. Maka Anda harus memeriksa, mungkin ada "gaya-gaya" lain yang mempengaruhi bisnis Anda. Yang bisa jadi bahkan berlawanan dengan gaya dorong Anda. Seperti halnya gaya gesek rem tangan tadi.

Saya bahkan sempat mengalaminya. Dulu saya pernah mati-matian berjualan sebuah software online trading yang sangat bagus. Namun, bisnis saya tidak dapat bergerak, karena regulasi pada waktu itu tidak memungkinkan software yang saya jual untuk segera digunakan. "Gaya" yang saya berikan dalam bentuk modal, tenaga kerja, infrastruktur dan waktu, kalah dengan gaya gesek dari regulasi yang lebih kuat. Namun hal ini tidak selalu dalam pengertian negative. Misalnya, pengalaman saya belakangan dalam menjual software tools untuk membantu perusahaan menerapkan pengelolaan infrastruktur IT. Meskipun "gaya" yang saya kerahkan tidak sebesar sebelumnya, namun hasilnya justru jauh lebih baik. Usaha saya menggelinding dengan mudah. Ini karena ada faktor "gaya" lain yang positif, yaitu semakin banyaknya perusahaan yang menerapkan "best practice" pengelolaan IT, baik karena regulasi, ataupun dalam rangka good governance. Ini mirip mendorong mobil di jalanan menurun, menjadi ringan karena dibantu gaya gravitasi. Mungkin Anda punya contoh lain?

Dalam keadaan bergerak, bisnis Anda akan sulit berhenti.

Bisnis yang sudah jalan akan cenderung berjalan, kecuali ada gaya yang membuatnya berhenti. Ketika sebuah mobil sudah melaju kencang, sekalipun Anda matikan mesinnya, akan terus berjalan. Tentu saja hingga ada gaya yang membuatnya berhenti, misalnya gaya gesekan dari roda, gesekan rem, dsb. Makanya ketika bisnis sudah berjalan dengan baik, sebetulnya memiliki momentum untuk melaju dengan lancar. Dengan demikian tugas kita sebagai pemilik bisnis sesungguhnya adalah memastikan bahwa tidak ada gaya yang dapat memperlambat atau menghentikan laju bisnis kita. Contohnya, suatu ketika bisnis Anda kebanjiran order, tapi ternyata Anda tidak punya SDM yang cukup, atau Anda tidak mampu membeli bahan baku karena modal kerja Anda habis untuk investasi aktiva tetap, dsb. Dalam hal ini, akibat pengelolaan sumberdaya yang tidak sejalan dengan percepatan usaha, maka usaha yang sedang berjalan bagus tiba-tiba seperti direm mendadak.

Terakhir, pelajaran yang paling penting untuk diingat adalah, bagi Anda yang masih diam belum berani mencoba berbisnis. Ingat prinsip inersia. Semakin Anda diam, semakin berat nanti Anda untuk menggerakkan bisnis Anda. Dan ketika Anda sudah mencoba, maka gerak sekecil apapun akan membuat gerak bisnis berikutnya menjadi lebih mudah. (FR)

Tuesday, November 13, 2007

Detachment

"Habis Gue …. " Demikian ungkap salah seorang teman saya sambil tertunduk lesu. Maklum, usaha nya sedang mengalami banyak cobaan. Saya bertanya, "Yang habis, Lu apa bisnis Lu?". Teman tadi langsung menjawab galak "Apa beda nya … !!". Ya, apa beda nya? Bagi seorang pengusaha, apalagi kelas pemula seperti kami, memang sulit memisahkan antara kami sebagai pemilik bisnis, dengan bisnis yang kami kelola. Bisnis yang kami bangun adalah mimpi yang dari nol kami perjuangkan mati-matian. Kami bukan hanya sebagai pemilik, namun juga sekaligus tenaga penjualan, bagian delivery, pelayanan pelanggan, hingga bagian keuangan. Dari bangun tidur sampai tidur lagi hanya bisnis ini yang kita pikirkan dan kerjakan. Bagaimana mungkin memisahkan kami dengan bisnis kami?

Demikian melekatnya sang pemilik bisnis kepada usahanya. Umumnya yang paling gampang dilihat adalah, uang bisnis adalah uang pemilik, utang bisnis pun adalah utang pemilik. Makanya tidak heran, ketika usaha nya sedang sehat pemilik ikut sehat, namun sebaliknya ketika usahanya sakit, pemiliknya ikutan sakit. Nah ini yang jadi sedikit merepotkan. Karena memang yang namanya bisnis, fluktuasi sering terjadi. Akhirnya, jika maksud menjalankan bisnis sendiri adalah untuk mencapai kebebasan waktu, kebebasan keuangan, bebas dari stress pekerjaan, dsb. Akhirnya malah tidak bebas waktu, tidak bebas keuangan, bahkan hidup menjadi "stress-full".

Tentu bukan hal seperti itu yang kita inginkan. Bisnis seharusnya justru mencerahkan dan membawa kebahagiaan. Dalam hal ini ada satu prinsip dasar dalam mengelola bisnis dengan bebas-stress yang sering dilupakan, yaitu prinsip "bebas dari keterikatan" (detachment).

Anda Bukan Bisnis Anda

Ini prinsip dasar yang harus Anda pegang. Bahwa Anda bukanlah bisnis Anda. Anda juga bukan pekerjaan Anda. Mengidentifikasikan diri Anda dengan bisnis atau pekerjaan Anda seperti mengidentifikasikan pemain sepak bola dengan seragam tim-nya. Seragam tim bisa berganti-ganti, namun seorang pemain bola yang baik akan selalu menjadi pemain bola yang baik. Demikian pula diri Anda yang sejati adalah mulia, bahagia dan berkelimpahan. Bisnis hanyalah salah satu sarana untuk mengalami keberlimpahan Anda. Bisnis bisa naik dan turun, bisa rame bisa sepi, bisa datang dan pergi. Namun diri Anda yang sejatinya selalu berbahagia dan berkelimpahan itu, tidak akan pernah tergoyahkan.

Lihatlah para konglomerat yang bisnisnya babak-belur selama krisis moneter. Bisnisnya bisa bangkrut, disita bank, dilikuidasi, dsb. Namun mereka tidak pernah "habis". Karena mereka bukanlah bisnis mereka. Mereka sudah mengenali diri mereka yang sejati. Yang tidak tergoyahkan, dan mampu bangkit memulai bisnis yang lain lagi.

Menjaga Jarak

Menjaga jarak dengan bisnis Anda merupakan dasar untuk selalu bersikap obyektif. Karena sangat terlibat dan melekat dengan bisnis, seringkali kita sebagai pemilik usaha sulit bersikap obyektif terutama ketika masalah membelit bisnis kita. Misalnya, jumlah hutang yang sudah tidak masuk akal dibanding dengan hasil usaha, kita justifikasi dengan "kalau mau sukses ya harus berani berhutang". Dan ketika masalah terjadi, tiba-tiba saja kita tidak sanggup lagi mengurai benang kusut, dari mana mulai nya dan bagaimana nanti ujungnya. Karena subyektif, biasanya yang dikemukakan adalah opini dan ungkapan emosional. Misalnya, bahwa "ini perlu untuk usaha", "kalau mau sukses ya harus siap berkorban", dsb. Dan bukan fakta-fakta obyektif yang dapat menyelamatkan usaha Anda. Bahkan ada teman saya yang nyata-nyata usaha nya merugi dan aktifitasnya menggerus cash-flow setiap bulan, masih melakukan hal yang sama tanpa upaya perbaikan. "This is my way ...!" demikian kalau diingatkan.

Dengan menjaga jarak, kita mengamati usaha kita sebagai orang lain. Bayangkan saja kita adalah orang lain yang sedang melihat fakta-fakta usaha secara obyektif. Berapa revenue nya, berapa besar cost nya, berapa profit nya, berapa kewajiban hutangnya, berapa prospek yang datang per bulan, berapa customer yang dapat di tangani per bulan, dst. Dari fakta-fakta obyektif tadi akan lebih mudah bagi kita untuk merencanakan perubahan, pertumbuhan usaha, ataupun penyelesaian masalah.

It's Just a Business

Pada akhirnya, ... ini hanya bisnis kok. Hanya alat bagi kita untuk memberi dan menerima di dunia yang fana ini. Anda tidak perlu meratapi ketika ia pergi. Tidak perlu juga pongah dan menepuk dada ketika dia datang. Mirip permainan. Tidak perlu nangis garuk-garuk aspal kalau kalah, tidak perlu juga terbahak-bahak sampai lemas kalau menang. Hanya bisnis saja. Jadi kalah atau menang bersikap biasa-biasa saja. Hari ini kalah, besok masih bisa menang di permainan yg lain. Bisnis adalah permainan yang luar biasa mengasyikkan, apalagi jika dijalani dengan prinsip yang bebas stress. Jadi, tunggu apa lagi: Ayo main yang bagus !! (FR).

Friday, October 26, 2007

Creative Mind

Konon, di jaman kisah seribu-satu malam, Abunawas pun pernah memutuskan untuk menjadi wirausaha. Abunawas tidak mau lagi menjadi si "Tangan di Bawah", dan bertekad bulat menjadi mereka yang dalam posisi "Tangan di Atas" alias pengusaha. Tidak tanggung-tanggung, Abunawas memutuskan untuk membuka toko pakaian di sebelah toko pakaian Nasarudin yang sudah sangat terkenal di kota Baghdad. Pada hari pertama buka, toko Abunawas pun ramai dikunjungi pembeli. Nasarudin yang sudah menjadi pedagang pakaian selama 25 tahun itu pun dibuat gundah gulana. Maka supaya tidak kehilangan pelanggan, Nasarudin pun memasang papan di depan toko nya, bertuliskan: "Toko Nasarudin: sudah melayani rakyat Baghdad sejak 25 tahun lalu". Tidak mau kalah, keesokan harinya Abunawas pun memasang papan di depan toko nya, dengan tulisan: "Toko Abunawas: Baru buka kemarin, tidak menjual stok lama". Nah, toko Abunawas pun makin rame!

Sesungguhnya dalam berbisnis yang namanya kehadiran pesaing adalah hal yang sangat lumrah. Malah aneh kalau ada bisnis yang gak ada pesaingnya. Namun rupanya dalam kisah di atas, Nasarudin merespon kehadiran pesaing bisnisnya dengan sikap yang berlandaskan pola berpikir "competitive mind". Pikiran yang berdasarkan pada paham kelangkaan (scarcity). Bahwa sumber-daya itu langka, makanya kita harus melakukan kompetisi habis-habisan untuk menguasainya.

Paham ini sungguh kuat berakar dalam otak kita semua. Lihat saja definisi ilmu ekonomi yang banyak ditulis di buku-buku teks misalnya, kita akan menemukan definisi seperti: "allocation of scarce resources to satisfy unlimited wants", atau "study of the choices people make to cope with scarcity", atau "study of how to use our limited resources to satisfy our unlimited wants", dan sebagainya. Kata kunci nya adalah, "keterbatasan sumber daya" dan "kebutuhan yang tidak terbatas". Jadi dapat dibayangkan, dengan paham seperti ini, maka dorongan berkompetisi yang muncul adalah dorongan untuk mengalahkan lawan, atau nanti tidak kebagian. Yang pada akhirnya hanya akan memunculkan ketakutan, keresahan, kekhawatiran, dan sebagainya. Kalau Anda sudah paham prinsip Law of Attraction, bisa dibayangkan vibrasi yang akan terpancar dari pikiran seperti ini.

Sebetulnya ada alternatif yang lebih baik dari pola pikir "competitive mind" yang berlandaskan pada rasa takut (fear) dan kelangkaan (scarcity) ini. Yaitu pola pikir "creative mind", yang berlandaskan pada paham kelimpahan (abundance), bahwa bahwa alam semesta menyediakan sumber daya yang melimpah-ruah. Yang justru tidak akan pernah ada habisnya jika manusia mampu melakukan eksplorasi. Jika competitive mind membatasi diri untuk memperebutkan hal-hal yang sudah ada dan tersedia, maka creative mind justru mendorong kita untuk menciptakan hal-hal yang baru yang mungkin sebelumnya belum pernah ada. Kalau Anda ingin berhasil mengembangkan usaha, maka justru menggunakan "creative mind" ini adalah salah satu rahasia penting, seperti diungkapkan oleh Wallace Wattles dalam bukunya Science of Getting Rich: "…man must pass from the competitive to the creative mind; otherwise he cannot be in harmony with the Formless Intelligence, which is always creative and never competitive in spirit."

Jika kita amati, orang-orang yang sukses luar biasa dalam bisnisnya terbukti menggunakan prinsip ini. Mereka memasuki bisnis dengan "menciptakan" sesuatu yang baru. Menciptakan hal-hal yang sebelumnya belum pernah terpikirkan, dan kemudian sukses. Sebut saja Henry Ford, Colonel Sanders atau Bill Gates sebagai contoh. Anda juga bisa mencari contoh sendiri di sekitar Anda. Sebaliknya pebisnis yang menggunakan "competitive mind", umumnya terjebak pada penyakit "me-too" yang kronis. Ketika orang ramai mendirikan bank, mereka ikut mendirikan bank. Ketika ramai orang mendirikan maskapai penerbangan, semua bikin maskapai penerbangan. Karena tidak terdorong untuk menciptakan hal yang baru, ujung-ujungnya adalah perang tariff, mengorbankan kualitas, dan akhirnya sama-sama kehilangan bisnis.

Bahkan tidak cukup dengan perang harga, di beberapa lingkungan bisnis, tidak jarang kompetisi dilakukan dengan cara yang sudah tidak mengindahkan etika bisnis lagi. Sabotase, mata-mata, pencurian ide, penjiplakan, dsb. Semuanya dilakukan karena ketakutan bahwa jika tidak melakukan hal demikian nanti kalah dari competitor dan tidak kebagian. Karena paham kelangkaan tadi.

Penganut "competitive mind" juga umumnya enggan bekerjasama. Mereka selalu takut "pihak lain" akan merebut kue rejeki yang di mata mereka sudah sempit itu. Sebaliknya, penganut "creative mind" umumnya sangat terbuka untuk melakukan kerjasama. Karena yakin, dengan kerjasama akan tercipta hal-hal baru yang akan mendatangkan bisnis lebih banyak lagi.

Tentu tidak ada salahnya memasuki bisnis yang sudah banyak pemainnya, dan kemudian berkompetisi. Karena kompetisi sendiri tidak akan bisa kita elakkan. Namun bisnis Anda akan lebih dahsyat lagi ketika Anda menggunakan "creative mind", bukan "competitive mind". Dengan dorongan untuk menciptakan hal yang baru, maka Anda tinggalkan rasa takut bahwa Anda akan dikalahkan kompetitor. Anda akan selalu yakin bahwa masih banyak peluang yang menunggu di eksplorasi. Anda akan selalu terbuka bekerjasama dengan siapapun. Sehingga vibrasi yang memancar dari diri Anda adalah vibrasi positif yang harmonis dengan vibrasi alam semesta yang pada dasarnya selalu kreatif itu. Dan semoga dengan demikian, keberhasilan akan semakin cepat Anda raih. (FR)

Thursday, October 25, 2007

Menikmati Perjalanan

Waktu lebaran kemarin saya mudik. Bersama istri dan kedua anak saya, kami menempuh lebih dari 10 jam perjalanan bermobil untuk menuju rumah orang tua saya. Banyak teman saya di Jakarta dan Bandung merasa heran dengan agenda tahunan saya ini. Apakah tidak buang-buang waktu dan tenaga? Kenapa tidak pakai pesawat terbang saja biar cepat?, atau kenapa tidak pulang kampung di hari lain saja?. Ya, saya mengerti, bagi mereka yang tidak pernah mengalami mudik memang yang terbayang adalah macet dan lelahnya perjalanan mudik. Namun buat saya perjalanan mudik itu begitu indah dan menyenangkan. Karena saya menikmati perjalanannya. Jika Anda tidak bisa menikmati perjalanannya, maka perjalanan apapun akan terasa berat.

Perjalanan mudik bahkan kadang saya analogikan seperti perjalanan menuju tujuan yang kita cita-citakan. Dalam perjalanan mudik kita sering melewati jalur-jalur yang tidak mudah dilalui, kemacetan luar biasa, tanjakan yang padat merayap, hujan deras, jalan longsor, belum kalau ban bocor, ditabrak motor dari belakang, air radiator tiba-tiba habis, anak nangis terus, anak pipis di mobil, dan sebagainya. Tidak kita kehendaki memang, namun peristiwa-peristiwa tadi adalah hal-hal yang kemudian terjadi, dan mau tidak mau kita nikmati. Peristiwa-peristiwa tadi adalah asam-garamnya perjalanan yang justru menambah indahnya perjalanan.

Anda mungkin pernah menonton film "Click" (2006). Di film tersebut tokoh utama yang dibintangi komedian luar biasa Adam Sandler, memiliki "universal remote control" yang dapat digunakan untuk mengendalikan peristiwa di sekitarnya. Persis menggunakan remote control di DVD player, Michael Newman yang diperankan Adam Sandler bisa dengan mudah menghentikan, memundurkan, dan memajukan segala peristiwa disekitarnya. Jadilah Michael yang tidak sabar untuk menjadi CEO di perusahaan tempatnya bekerja keasyikan mempercepat peristiwa-peristiwa yang semestinya terjadi tapi tidak ingin dialami. Namun, sekalipun kemudian berhasil menjadi CEO, ternyata Michael mendapati ujung kehidupannya penuh kehampaan dan penyesalan. Ia kehilangan moment-moment penting yang seharusnya dialaminya. Ia tidak ada ketika anjing kesayanganya mati, tidak hadir ketika ayahnya meninggal, dan mendapati hubungan dengan istri nya berakhir dengan perceraian, dan anak-anak yang lebih dekat dengan suami baru istri nya. Michael mencoba mencapai tujuan dengan melewati prosesnya. Dan ternyata dia kehilangan begitu banyak hal yang memang hanya akan diperoleh jika ia mau menikmati prosesnya, bukan sekedar hasil akhirnya. Michael mencoba untuk menghindari perjalanan, namun ternyata justru peristiwa-peristiwa dalam perjalanan yang membuat hasil akhir menjadi indah.

Demikian juga banyak teman saya, sesama pemilik bisnis baru, yang sering mengeluhkan betapa berat perjalanan menjadi pengusaha. Mulai dari keluhan bahwa ternyata untuk menjadi pengusaha harus bekerja lebih keras dan lebih sibuk dibanding saat menjadi pegawai, kehabisan cash untuk gaji karyawan hingga susu anak sendiri tidak terbeli, kartu kredit yang dulu waktu jadi karyawan tdk pernah dipakai kini mentok semua, hingga cicilan mobil dan rumah sudah jatuh tempo sementara cash-inflow dari bisnis tidak ada. Padahal mimpi sudah ditulis besar-besar: Punya asset senilai 11 digit pada tahun sekian. Yang tak kunjung tercapai. Sementara istri mulai complaint karena kebutuhan rumah tangga ternyata tidak bisa dipenuhi dengan selembar "daftar impian", foto Mercy dua pintu impian, dan gambar rumah mewah impian. Seandainya ada "universal remote control" seperti yang dimiliki Adam Sandler, pasti enak sekali bisa menekan tombol Fast-Forward untuk melewati berbagai peristiwa saat ini yang terasa begitu berat. Tinggal klik, beres. Langsung nyampai target 11 digitnya, ditambah Mercy plus rumah mewah. Sayangnya remote control tadi cuma ada di film. Dan lagipula, Anda pasti tidak mau kehilangan moment-moment perjalanan yang sesungguhnya bisa begitu indah tadi.

Percayalah, semua pengusaha pernah mengalami bagian perjalanan yang berat tadi. Anda bisa baca di semua biografi pengusaha sukses. Bahkan hingga sudah mencapai sukses luar biasa pun, tantangan demi tantangan berat masih terjadi. Dan moment-moment tadi akan terasa indah ketika Anda menghadapi dan berhasil melampauinya. Tidak akan pernah menjadi moment yang indah ketika Anda memutuskan untuk lari, menyerah atau berhenti. Ibarat perjalanan mudik yang terkendala jalanan yang macet. Puas rasanya ketika mencoba jalur alternative dan berhasil sampai di tujuan lebih cepat. Namun Anda tidak akan menikmati kepuasan tadi jika memutuskan untuk berputar arah dan kembali pulang, hanya karena satu kemacetan.

Bagi saya, memutuskan untuk menjalankan bisnis sendiri adalah seperti memulai sebuah perjalanan. Di tengah jalan tentu banyak peristiwa yang terjadi, ada kejutan-kejutan, ada tujuan yang berhasil tercapai, ada yang tidak, ada peristiwa yang tidak saya kehendaki namun ternyata positif buat bisnis saya, ada juga yang negatif.Tapi ya dinikmati saja. Seperti menikmati perjalanan mudik. Rangkul dan akrabi penderitaan, kalau kata Om Bob Sadino. Ojo gumunan (jangan mudah terkejut oleh peristiwa baru), kalau kata Pak Harto dulu. (hehehe … kok sedikit gak nyambung ya?) Peristiwa yang positif buat bisnis, sudah tentu kita syukuri dan rayakan. Yang negatif, ya kita cari jalan keluarnya, dan nanti ketika berhasil mengatasinya, kita syukuri dan rayakan juga. Kalau gak berhasil mengatasi?, tetep kita syukuri pengalamannya. Jadi apapun peristiwanya, bersyukur dan nikmati terus. InsyaAllah perjalanan panjang tidak terasa, dan ternyata kita sudah sampai tujuan. (FR).

Tuesday, September 18, 2007

Genetika Pengusaha

George Bernard Shaw adalah penulis besar kelahiran Irlandia. Kecerdasannya sangat luar biasa, sehingga Shaw pernah memperoleh hadiah Nobel untuk karya sastra, sekaligus penerima Piala Oscar untuk karyanya yang diangkat ke layar perak. Demikian mengagumkannya kecerdasan seorang George Bernard Shaw, sehingga konon dia pernah dilamar oleh seorang aktris cantik. Dengan maksud, supaya kelak menghasilkan keturunan yang rupawan seperti ibunya, dan cerdas seperti ayahnya. Namun, Shaw kemudian menjawab, "Lalu bagaimana kalau kita memiliki anak dengan otak seperti Anda, dan wajah seperti saya?".

Ya demikianlah menurut ilmu genetika. Bahwa banyak hal kita warisi secara turun temurun dari orang tua kita. Kulit kita yang sawo matang, rambut kita yang hitam, hidung kita yang tidak mancung. Hingga ke hal-hal yang sifatnya non fisik seperti misalnya sifat atau bakat tertentu. Maka banyak anak penyanyi yang kemudian menjadi penyanyi, anak jenderal jadi tentara, dan anak pedagang jadi pedagang. Maklum, bakat dari orang tua nya mengalir deras di darah mereka.

Ini yang kadang membuat saya sedikit iri dengan rekan-rekan saya yang berasal dari keluarga pebisnis. Sangat wajar jika mereka kemudian juga menekuni bisnis. Bahkan tidak jarang mereka bisa langsung mulai belajar berbisnis dengan meneruskan usaha yang telah dirintis orang tuanya. Ini jauh berbeda dengan saya, karena keluarga saya sama sekali bukan keluarga pebisnis.

Karena tidak memiliki "darah pedagang" ini, sewaktu mulai berbisnis terus terang saya sempat ragu. Benarkah jalan yang saya ambil? Bukankah saya sama sekali tidak memiliki bakat? Saya sudah cek silisilah keluarga saya dari Ayah ataupun Ibu, kalau dirunut ke atas semua adalah pegawai pemerintah. Jadi sudah yakin, pasti, 100%, positif, tidak ada gen pedagang di tubuh saya. Kalau bakat seni, mungkin sedikit-sedikit masih ada karena kedua orang tua saya menyukai seni musik. Bakat menjadi pembicara, mungkin saja ada menetes sedikit, karena Kakek saya pemimpin kampung dan pembicara yang baik sekali. Tapi berbisnis? berdagang? jual beli? Tidak ada sama sekali.

Maka ketika usaha pertama saya tidak berjalan lancar, saya kemudian mengingatkan diri saya. "Tuh kan gagal, wong tidak ada bakat dagang …"

Saya bahkan sempat percaya bahwa bakat berdagang memang diwariskan. Dan mencoba menerima kenyataan bahwa saya bukan salah seorang yang mewarisi bakat tadi. Namun, kemudian pelan-pelan saya mengamati, ternyata banyak teman-teman saya yang meskipun orang tuanya pengusaha sukses, toh juga bisa mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Ini sedikit membuka wawasan saya. Wah, ternyata sama saja, yang punya "bakat" dagang toh juga bisa gagal. Bukan bermaksud "nyukurin", tapi ini sedikit membuka harapan saya, bahwa jangan-jangan bakat bukan faktor penentu untuk menjadi pengusaha sukses.

Atau, mungkinkah bakat seseorang memang bisa berubah?

Adalah Prof. Kazuo Murakami, seorang ahli genetika, dalam bukunya The Divine Message of The DNA yang kemudian membuka wawasan saya lebih luas. Ternyata menurut ilmu genetika memang betul, segala sesuatu yang merupakan "bakat" ditentukan oleh kode genetis yang ada dalam DNA kita. Sebagai gambaran, setiap kilogram tubuh kita terdiri dari sekiar 1 trilyun sel. Jadi seorang bayi yang baru lahir sudah memiliki sekitar 3 trilyun sel. Padahal awalnya kita hanyalah satu buah sel yang sudah dibuahi. Yang kemudian membelah menjadi 2, 2 menjadi 4, 4 menjadi 8 dan seterusnya hingga trilyunan tadi. Setiap sel memiliki inti sel (nucleus) yang mengandung DeoxyriboNucleic Acid (DNA). DNA inilah yang menyimpan kode genetis yang menjadi cetak biru tubuh kita. Jadi akan menjadi seperti apa kita, seolah sepertinya sudah terprogram dalam DNA tadi.

Lalu jika dalam setiap sel tubuh kita terdapat DNA yang sama, bagaimana sebuah sel tahu bahwa ia adalah bagian dari rambut, misalnya, dan kapan rambut mulai tumbuh, dsb. Menurut pakar genetika, ternyata terdapat mekanisme "nyala/padam" pada DNA tadi. Sebagai contoh, gen yang menentukan sifat kelamin laki-laki (berkumis, bersuara berat, dsb) yang semula "padam" akan "menyala" pada saat pubertas.

Bahkan, lebih jauh lagi. Proses nyala/padam tadi ternyata dapat terjadi sebagai respon lingkungan yang berubah. Dua ilmuwan dari Institut Pasteur mengamati hal ini. Bakteri E.Coli yang hanya mengkonsumsi glukosa, ternyata ketika ditempatkan pada lingkungan yang hanya ada laktosa, mampu merubah diri menjadi pemakan laktosa. Mekanisme internalnya sangat ajaib, karena bakteri adalah makhluk satu sel. Sehingga perubahan menjadi pemakan laktosa seolah-olah seperti menyalakan sebuah kemampuan yang semula tidak nampak.

Dan ini membawa konsekuensi luar biasa. Karena jika benar gen pembawa sifat tadi memiliki mekanisme nyala-padam seperti itu. Kita tidak pernah tahu potensi apa dalam diri kita yang saat ini belum kita nyalakan. Jangan-jangan saya juga memiliki bakat bermain saksofon sebagus Dave Koz, hanya saat ini belum dinyalakan saja. Atau jangan-jangan ada bakat bisnis sehebat Donald Trump yang masih terpendam dalam diri saya, dan menunggu dinyalakan?

Dan memang demikianlah menurut Prof. Murakami. Bahwa bakat seseorang dapat muncul pada umur berapapun. Banyak sekali contoh pemusik atau olahragawan yang semula hanya memperlihatkan "bakat" yang biasa-biasa, namun kemudian tumbuh secara luar biasa seiring dengan disiplin dan latihan yang dilakukan. Atau seorang yang hari ini dikenal sebagai ilmuwan genius, padahal teman SD nya mengenal dirinya dulu sebagai anak yang kurang pandai. Atau seseorang yang hari ini dikenal sebagai politisi dan orator hebat, sementara dulunya anak yang kuper. Jadi kalau anak Anda hari ini kurang pandai matematika, sumbang kalau bernyanyi, atau kurang berprestasi dalam orahraga. Anda tidak perlu buru-buru frustrasi sambil berteriak "Ah, dasar gak bakat". Siapa tahu, gen positif pembawa bakatnya saja yang belum menyala.

Faktor penting yang akan dapat mengaktifkan gen positif Anda adalah lingkungan. Jadi yang membuat seorang Ananda Mikola pandai mengemudi mobil balap bukan semata karena ayahnya adalah pembalap. Namun karena lingkungan yang sangat mengkondisikan dia menjadi pembalap. Kalau hanya mengandalkan bakat keturunan saja, maka pembalap Formula 1 paling fenomenal hari ini, Lewis Hamilton, akan menjadi pekerja di jawatan Kereta Api seperti kakeknya, atau jadi konsultan IT seperti ayahnya. Namun, bakat membalap Lewis ternyata menyala ketika ayahnya memberikan Go Kart sebagai hadiah natal. Dan semakin berkobar ketika diasuh Ron Dennis, bos tim McLaren.

Jadi, Anda yang tidak memiliki "bakat pedagang" seperti saya tidak perlu khawatir. Gen pembawa bakat dagang Anda dapat menyala belakangan. Dan Anda yang merasa memiliki "bakat dagang", selamat … Anda sudah punya modal awal. Namun tetap hati-hati, tanpa dukungan lingkungan dan sikap yang benar, gen pembawa bakat Anda dapat saja padam.

Thursday, September 13, 2007

Berjualan di Negeri China

Richard Branson, pendiri dan pemilik kelompok usaha Virgin adalah sosok pengusaha yang tidak hanya sukses, namun juga sangat terkenal. Tidak heran kemanapun dia pergi, selalu ada saja yang minta foto bareng dengan dia. Suatu ketika, sewaktu sedang bersantai dalam liburannya di kepulauan Karibia, sepasang suami istri tua tampak tergopoh-gopoh mendekati Richard Branson dengan membawa kamera. Richard pun membatin, yah … dimintai foto bareng lagi deh. Demikian asumsi Richard, maklum dia kan sosok public figure yang cukup terkenal. Setelah dekat, Richard pun bersiap-siap pasang pose sambil tersenyum lebar dan merapikan rambut gondrong nya. Namun ternyata, sang suami malah menjulurkan kamera nya kearah Richard sambil berkata, "mas, bisa tolong fotoin kita berdua gak?"

Hehehe … Ternyata pasangan tadi kenal sama Richard Branson pun tidak. Asumsi Richard Branson ternyata salah. Dan demikianlah memang asumsi lebih sering salah. Dan kalau dalam bisnis kesalahan asumsi akan mendatangkan kesulitan. Tidak heran, di dalam bahasa Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".

Sementara kebanyakan pebisnis pemula teramat sering mengandalkan asumsi. Wajar, karena bisnis baru dimulai, sehingga segala perikiraan baru bersifat asumsi. Namun ada asumsi yang demikian naïf sehingga akhirnya malah membuka jalan menuju bangkrut. Gejala ini saya sebut sindrom "berjualan di negeri China" yang pernah diuraikan Guy Kawasaki di buku the Art of the Start. Singkatnya, karena di China jumlah penduduknya demikian besar, seolah-olah jualan apa saja pasti untung besar. Maka banyak perusahaan Amerika yang memulai bisnis disana dengan model asumsi seperti di bawah ini:

China berpenduduk 1,3 milyar, taruhlah 1% nya saja perlu akses internet, dan kita bisa memperoleh 10% saja dari yang 1% tadi, dimana setiap pelanggan bersedia membayar $240/tahun, maka pendapatan pertahun adalah= 1,3 milyar x 1% x 10% x $240 = $ 312 juta! Dahsyat bukan. Wah kalau gitu kita rame-rame bisnis internet di China saja. Kalau ini begitu mudah apa gak sudah jadi billionaire semua pengusaha internet di China. Nah disinilah Guy Kawasaki mengingatkan kita. Betapa asumsi tadi amat sangat menjebak. Karena pada kenyataanya, justru persoalannya adalah bagaimana memperoleh 10% dari 1% penduduk China tadi.

Dalam petualangan bisnis saya di masa lalu, saya juga sempat mengalami sendiri ke-naif an berasumsi. Bersama beberapa teman kami pernah berniat patungan menjadi distributor suatu PC local yang baru di launch. Seperti halnya sindrom "berjualan di negeri China" tadi, kalkulasi di atas kertasnya begitu indah. Dari sekitar 1 juta unit penjualan PC di Indonesia per tahun, kami mengincar 1% saja. Satu persen saja masa gak bisa sih, demikian waktu itu tim kami menyimpulkan dengan penuh semangat. Maka dengan harga sekitar Rp.5 juta per unit maka omzet akan mencapai Rp. 50 M, dengan profit margin 3% saja sudah laba 1.5 M per tahun. Enak ya, hitungan nya em-em an. Bahkan kami waktu itu sudah berhayal akan menyisihkan laba untuk membeli mobil para eksekutifnya, termasuk saya tentunya. Realisasinya? Hampir mustahil. Banyak sekali hal yang harus dibereskan sebelum yang 1% tadi bisa dipegang, mulai dari masalah cashflow hingga distribusi. Demikian hijau dang masih jauhnya perjalanan kami untuk mencapai asumsi 1% tadi, hingga kami tidak bisa menyelesaikan. Ungkapan yang pas adalah nafsu besar tenaga kurang. Petualangan bisnis saya yang nomor sekian ini pun mandek di jalan. Bahkan sedihnya, ini sempat membuat antar partner tidak akrab lagi.

Lalu apakah tidak boleh kita berasumsi? Tentu boleh, namun lakukan asumsi sesuai dengan kapasitas usaha kita. Cara terbaik adalah dengan melakukan asumsi bottom-up, bukan model top-down seperti di atas. Dalam hal ini model yang ditawarkan Brad Sugar jauh lebih masuk akal dan akan menghindarkan kita dari sindrom "berjualan di negeri China" tadi. Mulailah dengan menghitung berapa kemampuan Anda saat ini untuk mendatangkan calon pelanggan yang berminat (lead), kemudian berapa % kemampuan konversi dari lead menjadi pelanggan, berapa jumlah transaksi per pelanggan, berapa rata-rata belanja mereka, dan berapa profit margin. Peningkatan yang masuk akal bisa dilakukan dengan memberikan leverage untuk setiap aspek tadi. Misalnya, jika selama ini dengan 1 orang salesperson Anda hanya bisa mendatangkan 100 lead per bulan, maka dengan 2 salesperson Anda bisa berasumsi akan ada 200 lead per bulan. Perhitungan begini jauh lebih membumi daripada hitung-hitungan manis seperti asumsi a la "berjualan di negeri China" tadi.

Singkatnya, untuk berbisnis memang perlu bermimpi besar. Namun untuk memperoleh hasil yang realistis gunakan juga cara kalkulasi yang realistis. Paling tepat gunakan fakta, jangan sekedar tebakan, asumsi atau guessing. (FR).

Monday, September 10, 2007

Mengail di Kolam Kecil

Banyak rekan saya yang heran dengan bisnis saya. Ngaku nya bisnis IT, tapi ditanya harga bikin portal web saja gak bisa jawab. Ditanya apakah menyediakan aplikasi ERP, Akunting, hingga HR, selalu geleng kepala. Apalagi dimintai informasi soal perangkat jaringan atau harga notebook, desktop atau server, pasti buru-buru saya suruh tanya saja ke paman Google. Sampai-sampai ada rekan saya yang meragukan bahwa saya beneran bisnis IT. Karena kalau beneran bisnis IT, semestinya dapat menyediakan layanan yang saya sebut di atas. Harusnya kan "PALU GADA", apa Lu mau Gua ada, begitu kata rekan saya tadi. Jadi one stop shopping, segala keperluan IT pelanggan bisa saya sediakan.

Celakanya bisnis saya memang betul-betul tidak PALU GADA. Perusahaan yang saya kembangkan saat ini hanya menyediakan solusi bagi perusahaan yang ingin menerapkan manajemen layanan IT yang baik dan benar, sesuai best practice pengelolaan IT yang banyak diterapkan perusahaan di negara maju. Kalau bicara soal solusi IT Service Management atau IT Asset Management, maka saya dapat menyediakan tools dan orang-orang terbaik. Tapi di luar itu, wah maaf, mungkin bisa tanya ke toko sebelah saja.

Saya sadar sepenuhnya bahwa ceruk yang kami ambil amat sangat sempit. Ibarat memancing, maka kami seperti mengail di kolam yang sangat kecil. Tentu ini ada untung rugi nya. Meskipun jujur saja proses menemukan ceruk ini tidak secara sadar kami lakukan dari awal. Namun terbentuk dan terjadi secara alamiah (baca: kebetulan). Jadi awalnya kami mau nya juga PALU GADA, namun ternyata belakangan kami menemukan bahwa memancing di kolam kecil lebih cocok bagi kami. Berikut beberapa alasan saya, mengapa memancing di kolam kecil lebih masuk akal:

Mengatasi Keterbatasan

Alasan utama untuk bermain di ceruk yang terbatas sebenarnya adalah masalah keterbatasan kami sendiri. Saya sadar sepernuhnya bahwa perusahaan kami bukanlah raksasa yang memiliki resources yang melimpah. Justru sebaliknya, sumber daya kami sangat terbatas. Bayangkan kalau kami harus masuk ke berbagai segmen sekaligus. Biaya operasional akan membengkak besar sekali, melebihi kemampuan kami. Menyediakan resource IT, baik itu orang, hardware ataupun software, itu tidak mudah dan kadang juga cukup mahal. Perusahaan yang lebih besar dan PALU GADA dengan mudah dapat merekrut dan menyediakan SDM dengan berbagai keahlian. Kami tidak. Setiap pengeluaran yang tidak memberikan hasil akan terasa sekali dampak nya. Jadi lebih masuk akal kalau membatasi diri pada market yang kami sudah lebih dahulu kuasai.

Perbedaan ini saya rasakan sekali misalnya waktu berkompetisi dalam berbagai tender. Sewaktu melakukan presentasi ataupun beauty contest para "big brothers" biasanya datang mirip rombongan sirkus. Minimal ada sales, engineer dan project manager. Kadang jumlahnya sampai 5 – 7 orang datang bersama. Sementara karena keterbatasan resource, biasanya saya tampil berdua dengan engineer saya. Bahkan sering saya datang sendirian. Pertanyaan "sendirian aja Pak?" sudah biasa saya dengar. Nah, kalau opportunity nya di luar kota bisa dibayangkan repotnya kalau saya juga harus membawa rombongan sirkus. Para big brothers tadi dengan mudah menginap di hotel berbintang, buka 3 atau 4 kamar tidak masalah. Kalau saya, karena sendirian, bisa menginap di mana saja. Yang jelas saya sudah menang irit.

Menjadi yang Terbaik

Karena menekuni satu macam solusi software saja, maka para engineer saya tumbuh menjadi spesialis yang sulit dicari tandingannya. Mereka dari bangun tidur sampai tidur lagi, hanya memikirkan satu solusi software itu-itu saja. Sehingga peluang kami untuk menjadi yang terbaik di bidang yang kami tekuni jauh lebih besar, misalnya dibandingkan jika kami harus memikirkan berbagai solusi yang satu sama lain tidak ada hubungannya. Bahkan, enaknya lagi adalah, problem yang dihadapi klien kami pada umumnya adalah generic. Itu-itu saja. Dan pemecahan nya juga itu-itu saja. Bagi mereka yang tidak menekuni bidang kami, problem tadi akan begitu kompleks. Namun bagi kami, menjadi sangat sederhana. Bahkan kami dapat bekerja lebih cepat dan mudah dengan berbagai template solusi yang sudah kami kembangkan.

Membangun Benteng

Sesungguhnya banyak sekali godaan untuk masuk ke ceruk lain. Dan jujur saja bukan saya tidak tergoda. Bahkan saya sempat beberapa kali mencoba opportunity di area yang diluar ceruk kami. Dan sejauh ini selalu menghasilkan keuntungan berupa "pengalaman" saja. Namun belakangan saya teringat dengan nasehat Guy Kawasaki di buku nya "The Art of the Start", bahwa sangat penting untuk menguasai ceruk yang terbatas lebih dahulu dan membangun benteng yang kokoh, sebelum mulai masuk ke ceruk yang lain. Microsoft misalnya, memang hari ini sudah menjadi supermarket untuk system operasi, berbagai aplikasi bisnis , hiburan, game hingga aplikasi mobile. Namun ingat, mereka awalnya hanya mengerjakan pemrograman BASIC. Begitu banyak peluang kemudian tercipta setelah Microsoft memiliki benteng kokoh berupa system operasi untuk PC.

Menekuni satu ceruk buat saya adalah upaya membangun benteng tadi. Setelah benteng ini cukup kokoh, maka saya dapat masuk ceruk lain (bahkan bisnis lain) dengan relative lebih aman. Jika upaya memperluas wilayah belum berhasil, saya selalu dapat kembali ke benteng untuk berlindung.

Jadi, menurut saya tidak ada salahnya kita mengail di kolam kecil. Apalagi kalau ternyata di kolam kecil tadi ikan nya gemuk-gemuk.

Saturday, September 08, 2007

Kucing Bisa Terbang

Apa reaksi Anda kalau saya bilang ada kucing yang bisa terbang?

Dugaan saya, ada tiga kemungkinan reaksi Anda:

Pertama, Anda langsung tertawa terbahak-bahak, menganggap saya pembohong, atau bahkan sedikit tidak waras. Karena menurut logika Anda, dan menurut seluruh fakta masa lalu yang Anda miliki, belum pernah ada kucing bisa terbang. Dan tidak akan mungkin ada kucing bisa terbang. Ini wajar. Anda adalah seorang yang logis, yang cenderung menggunakan logika. Anda tidak percaya sebelum ada bukti. Anda akan langsung skeptis dan menginterogasi saya dengan pertanyaan dimana saya melihat, kapan, berapa ekor, tahun berapa? Dst.

Kedua, Anda akan mengkerutkan kening sambil mengatupkan bibir rapat2, karena tergelitik rasa penasaran. Bagaimana mungkin membuat seekor kucing bisa terbang? Apakah dipasang pesawat jet dipunggungnya, atau sudah ada teknologi rekayasa genetik untuk menumbuhkan sayap dipunggung seekor kucing? Anda akan langsung mencecar saya dengan pertanyaan bagaimana caranya kucing yg saya ceritakan bisa terbang.

Ketiga, Anda akan mengerutkan kening sejenak, melihat mata saya dalam2, tersenyum-senyum, kemudian tertawa terbahak2 bersama saya. Mungkin karena Anda teringat sosok kucing gendut yang terbang dengan baling2 bambu di kepala nya. Yang jelas, Anda segera berbagi cerita dengan saya tentang sosok kucing yang bisa terbang. Tidak penting apakah kucing tadi beneran bisa terbang, atau sekedar saya lempar dari jendela, yang jelas Anda bisa melihat bahwa akan sangat menarik jika kucing terbang tadi bisa dipopulerkan. Mungkin bisa dibuat film kartun nya, buku komik, boneka, kaos anak, selimut, wah banyak lagi. Makanya Anda tertawa senang dengan ide kucing bisa terbang tadi.

Nah, berjualan teknologi itu mirip sekali dengan menjual cerita bahwa ada kucing yang bisa terbang. Nyaris mustahil?

Disinilah perlunya kejelian melihat dengan siapa kita membicarakan teknologi yang kita jual. Terlebih lagi kalau teknologi yang Anda tawarkan tergolong baru. Kalau kebetulan orang-orang yang kita temui adalah para pelaksana di lapangan. Mereka akan cenderung memiliki reaksi yang pertama. Tidak percaya. Mereka mungkin bertahun-tahun bekerja dengan alat dan cara yang sama. Maka ketika mendengar sesuatu yang baru, mereka akan skeptis dan menuntut Anda untuk bisa membuktikan apa yang Anda sampaikan. Bahasa mereka adalah "tolong di demo kan". Padahal sudah capek2 di demo kan, belum tentu dibeli juga. Maklum para penuntut bukti ini juga kebetulan bukanlah pembuat keputusan akhir dalam proses pembelian. Jadi sebetulnya nyaris percuma menjual cerita Anda kepada mereka.

Kelompok kedua lain lagi. Mereka sangat penasaran dengan bagaimana teknologi Anda bisa bekerja. Mereka biasanya minta Anda menyediakan segala dokumentasi teknologi yang Anda tawarkan untuk mengetahui bagaimana teknologi tadi dibuat. Biasanya mereka adalah kalangan level manager. Bahasa nya adalah "tolong disediakan dokumentasi system nya". Mungkin mereka memang ingin tahu, atau mungkin saja penasaran, jangan2 bisa bikin sendiri dan tidak perlu jasa Anda. Meskipun mereka lumayan punya pengaruh dalam proses pembelian, namun tetap saja mereka bukan pembuat keputusan sebenarnya.

Nah, kelompok terakhir, yang bisa menghayalkan kucing bisa terbang menggunakan baling-baling bambu di kepalanya, ini lah yang harus Anda incar. Maksudnya begini. Perusahaan, seperti halnya individu, juga membangun dongeng masa depan mereka. Akan menjadi seperti apa mereka kelak, berapa market share yang akan mereka kuasai, dst. Kalau Anda perhatikan kebanyakan semuanya baru "akan", bukan realitas hari ini, jadi lebih mirip "dongeng" daripada fakta. Nah, kalau cerita "kucing terbang" Anda bisa masuk dalam dongeng mereka, maka kemenangan sebenarnya sudah ditangan. Apalagi mereka umumnya adalah para pembuat keputusan puncak. Yang mampu melihat potensi teknologi yang Anda tawarkan untuk mewujudkan dongeng masa depan mereka. Merekalah yang akan membeli teknologi yang Anda tawarkan.

Tiga kelompok tadi mau tidak mau harus kita hadapi dalam suatu siklus penjualan. Seringkali secara berurutan kita bertemu dahulu dengan pelaksana, para manager, baru pembuat keputusan. Namun tidak jarang, kita harus meyakinkan pembuat keputusan dahulu sebelum bertemu dengan kelompok-kelompok di bawahnya.

Dari pengalaman saya, kesalahan yang umum dilakukan dalam berjualan teknologi adalah terlalu berpaku pada proses penjualan di tahap pertama dan kedua. Kita sebagai penjual disibukkan dengan usaha keras untuk membuktikan bahwa ada kucing bisa terbang, dan bahwa kita bisa membuat kucing bisa terbang. Sementara proses paling penting, yaitu membuka mata pembuat keputusan bahwa si kucing terbang akan berperan penting bagi perusahaan di masa mendatang, lebih sering terabaikan.

Saya juga pernah melakukan kesalahan ini. Dulu, ketika menjual sistem untuk melakukan transaksi saham secara online, saya keasikan berbicara tentang betapa canggihnya teknologi yang kami tawarkan. Proses penjualan biasanya kami lalui dengan instalasi proof of concept yang mahal dan makan waktu. Waktu itu saya terjebak untuk membuktikan bahwa saya memang punya kucing terbang, bukan berusaha meyakinkan pembuat keputusan bahwa kucing terbang ini penting bagi mimpi mereka. Bahkan sejujurnya saya tidak pernah berusaha memahami apa mimpi calon pelanggan saya waktu itu.

Padahal berbicara dengan para pembuat keputusan tentang mimpi2 mereka bisa jadi lebih mudah. Dalam perjumpaan pertama Anda bisa segera mengenali impian dan obsesi apa yang sedang mereka miliki untuk perusahaan mereka di masa mendatang. Dan ketika Anda bisa menciptakan dongeng menarik tentang bagaimana teknologi Anda tawarkan nyambung dengan impian para bos tadi, bisa saya pastikan Anda akan memenangkan hati mereka.

Jadi, setelah membaca tulisan ini, semoga Anda bisa berjualan gajah terbang sekalipun.

Wednesday, July 18, 2007

LOA Semudah 1,2,3

Banyak teman yang mengatakan pada saya, bahwa mereka umumnya sudah pernah mengalami sendiri berjalannya hukum Law of Attraction (LOA). Bahwa pikiran dan perasaan Anda, akan menarik hal-hal yang berkesuaian kedalam hidup Anda. Likes attract likes. Ini mungkin banyak yang sudah pernah mengalami. Dari sekedar Anda ingat seorang teman, tiba-tiba teman tadi menelpon. Hingga pada saat Anda berniat menjalankan bisnis, tiba-tiba ada kesempatan bisnis yang datang tidak terduga. Namun, hampir semua umumnya terjadi di luar kesadaran. Sementara untuk "menggunakan" LOA secara sadar, kelihatannya masih agak sulit.

Padahal menerapkan Law of Attraction (LOA) secara sadar, ternyata semudah 1,2,3. Paling tidak begitu kata Michael J. Losier. Beliau ini pengarang buku "Law of Attraction" (2006), yang pemikiran-pemikirannya banyak terinspirasi oleh Jerry dan Ester Hicks. Tidak hanya Losier, konsep yang diajarkan Joe Vitale pun banyak yang mirip dengan konsep dari Ester Hicks. Bahkan di Indonesia banyak praktisi LOA, pengajar, dan motivator yang sering mengajarkan ini. Namun sayangnya, karena buku dan tulisan yang banyak beredar di Indonesia jarang menyebut referensi nya dari mana, maka ketika ada beberapa detil yang hilang, jadi sedikit membingungkan. Selain itu, banyak teman saya yang mengalami kesulitan melakukan teknik-teknik visualisasi canggih seperti yang sering diajarkan. Saya juga begitu. Saya termasuk orang yang lebih mudah menulis daripada bervisualisasi. Jadi kadang niatnya saja bervisualisasi, tapi ujung-ujungnya malah ketiduran.

Nah, akan saya coba sampaikan 3 langkah mudah menerapkan LOA menurut Michael J. Losier, yang menurut saya cukup lengkap namun sederhana. Anda yang sudah mencoba LOA secara sadar silakan membandingkan dengan praktek Anda. Tiga langkah ini oleh Michael J. Losier disebut sebagai "Deliberate Attraction". Maksudnya proses attraction yang kita lakukan secara sadar. Ah, jangan kepanjangan, mari kita mulai saja.

Satu.

Kalau Anda pernah nonton film the Secret, Anda pasti ingat wajah Pak Tua Bob Proctor, yang dengan muka serius bertanya: "what do you really want?" Di sampul DVD asli nya bahkan ada selembar kertas kosong, dimana Bob meminta kita menuliskan, apa sebetulnya yang kita mau. Memang langkah awal ini penting. Michael J. Losier menyebut langkah pertama ini sebagai langkah mengidentifikasikan hasrat kita (identify your desire). Mengidentifikasikan apa yang sebetulnya kita inginkan. Nah, ini yang gampang-gampang susah. Biasanya ketika ditanya "jadi sebetulnya kamu mau apa?", mulut langsung terkunci, pikiran jadi blank. Atau sebaliknya, nyerocos tanpa henti dari A sampai Z, sampai gak jelas mau apa. Nah, supaya jelas gunakanlah "clarity through contrast worksheet".

Caranya? Pertama, tentukan dulu di "prominent area" apa Anda ingin identifikasikan hasrat Anda ini. Misalnya, dalam area karir, keuangan, kesehatan, keluarga atau asmara juga boleh, kalau mau. Katakan Anda akan membuat worksheet untuk keuangan, maka ambil selembar kertas, tulis judulnya: Kondisi Keuangan Idealku. Ini contoh saja, Anda bisa kreatif sedikit lah. Misalnya kalau soal asmara, tulis saja: Pacar Idealku, dsb.

Di bawah judul, buat tabel dua kolom. Kolom sebelah kiri sebut saja kolom "contrast". Di kolom ini cantumkan hal-hal yang Anda tidak mau terjadi. Karena manusia memang aneh. Ketika disuruh mengungkapkan hal-hal yang gak disukai biasanya lebih gampang. Tuliskan satu item untuk satu baris. Misalnya kalau dalam hal keuangan: 1. Selalu kekurangan uang, 2. Penghasilan pas-pas an, 3. Penghasilan gak naik-naik, 4. Cuma mengandalkan penghasilan dari satu sumber, 5. Penghasilan tidak cukup untuk menyekolahkan anak di sekolah terbaik, dst. Gampang kan? Sounds familiar? Hehehe … maaf ya, saya gak maksud nyinidir siapa2. Tuliskan sebanyak yang Anda mau.

Kemudian, baca setiap item. Dan kemudian tanyakan: "Jadi, apa yang kamu inginkan? Nah, lalu tulis jawabannya di kolom sebelah kanan, kita sebut saja kolom "clarity". Misalnya item 1: "Selalu kekurangan uang". Ini tidak Anda inginkan, jadi tanyakan: "Jadi, apa yang kamu inginkan?", nah tulis jawaban Anda, misalnya: "Selalu memiliki uang dalam jumlah yang stabil dan melimpah". Jawaban ini yang kita tulis di kolom clarity, dan kemudian jangan lupa coret kalimat di kolom contrast. Selesai satu item, ulangi untuk setiap item yang sudah Anda tulis.

Akhir dari langkah pertama ini, Anda akan memiliki daftar apa yang sebetulnya Anda inginkan. Anda bisa membuat beberapa worksheet sesuai prominent area yang sedang ingin Anda kerjakan.

Dua.

Nah, setelah jelas keinginan Anda. Langkah ke dua adalah memberi perhatian dan perasaan atas keinginan tadi, sehingga vibrasi nya akan semakin kuat. Michael J. Losier termasuk yang skeptis dengan efektifitas afirmasi tradisional, sehingga menganjurkan untuk memodifikasi. Alternatifnya? Dengan membuat "Desire statement". Nah, ambil kertas kosong lagi. Hehehe … saya lupa mengingatkan ya, Anda harus sediakan alat tulis dan kertas banyak2. Kemudian tulis desire statement Anda dalam tiga bagian. Alinea pertama, adalah opening sentence, tuliskan: "Saya sedang dalam proses menarik segala sesuatu yang perlu saya lakukan, ketahui, dan miliki untuk menarik …."Nah, titik2 nya silakan diisi sesuai judul prominent area yang sedang Anda kerjakan. Misalnya, dari contoh di atas adalah "situasi keuangan ideal saya".

Bagian kedua adalah batang tubuh (body) desire statement itu sendiri. Disini Anda mulai berikan perhatian dan perasaan. Anda tuliskan kembali poin-poin keinginan yang sudah Anda identifikasikan di clarity through contrast worksheet, kedalam kalimat-kalimat positif yang penuh emosi. Caranya dengan menggunakan kata-kata seperti: "Saya sangat senang, bahwa …", "Saya sangat bahagia dan bersemangat, mengetahui bahwa …". Dan semacam itu. Contoh? Misalnya: "Saya sangat bahagia dan bersemangat bahwa kondisi keuangan ideal saya memungkinkan saya selalu memiliki uang dalam jumlah yang stabil dan melimpah", dsb. Rasakan emosi nya sewaktu Anda menuliskan. Apalagi kalau sudah menyangkut keluarga. Misalnya, "Saya sangat berbahagia dan penuh semangat, bahwa kondisi keuangan ideal saya memungkinkan saya menyekolahkan anak saya di sekolah yang terbaik …". Bagian ini bisa terdiri dari beberapa alinea sesuai jumlah desire yang sudah Anda identifikasikan.

Bagian ketiga adalah penutup. Tuliskan satu alinea yang menjadi closing sentence, misalnya: "Law of Attraction bekerja dan menggerakkan apa yang perlu terjadi untuk terwujudnya hasrat saya". Oh ya, ini contoh saja dari Michael Losier. Anda mungkin kurang sreg dengan bunyi kalimatnya. Menurut saya, ya Anda harus sreg dengan apa yang Anda tuliskan, jadi silakan dimodifikasi sendiri. Point nya adalah memberi perhatian dan perasaan pada point2 yang sudah Anda identifikasikan.

Tiga.

Bagian ketiga adalah "allowing". Ya meskipun Anda memiliki hasrat yang membara, namun jika disertai dengan keraguan yang kuat, sama saja anda tidak membiarkan LOA bekerja. Umumnya yang membatasi adalah keraguan bahwa apa yang sudah Anda tulis akan ditarik kedalam hidup Anda. Tapi tenang, karena sekali lagi Losier memberikan kita cara praktis. Nah, kalau Anda masih punya cukup persediaan kertas, ambil selembar lagi, dan siaplah menulis "allowing statement". Tujuannya adalah menyingkirkan keraguan Anda.

Caranya? Pertama biarkan keraguan Anda muncul melalui pernyataan "tapi …" dan "karena …". Biasanya setelah membaca Desire Statament Anda muncul berbagai keraguan, tuliskan saja. Misalnya, keragan Anda adalah: "Tapi … saya saat ini tidak punya uang sama sekali, karena … saya nyaris bangkrut …". Tulis. Berapapun banyaknya keraguan Anda, tulis semua. Paling tidak selesai latihan ini, Anda jadi lebih pandai menulis, hehehe … Kemudian, atas pernyataan yang sudah Anda tulis, sampaikan pertanyaan: "Adakah di dunia ini orang yang (dalam kondisi seperti Anda), namun bisa mencapai (kondisi ideal Anda)?". Misalnya dalam contoh ini, maka pertanyaannya adalah: "Adakah di dunia ini, orang yang nyaris bangkrut, namun kemudian bisa memiliki kondisi keuangan yang stabil dan berlimpah?". Ingat baik-baik, apakah ada orang yang seperti itu. Saya yakin pasti ada. Nah, Jawab pertanyaan tadi secara tertulis. Misalnya, "Di dunia ini, banyak sekali orang yang pernah hampir bangkrut, namun bisa bangkit dan memiliki keuangan yang berlimpah …". Anda akan rasakan bahwa keraguan Anda tidak beralasan sama sekali, karena ada orang lain yang pernah dalam kondisi seperti Anda namun bisa mewujudkan hasrat yang Anda inginkan.

Demikian beberapa latihan yang pernah saya baca dari buku Law of Attraction nya Michael J. Losier. Tentu tidak sampai disitu saja, ada beberapa latihan praktis lagi yang akan semakin memperkuat vibrasi untuk menarik yang Anda inginkan. Misalnya dengan membuat "book of proof", dimana Anda catat semua kejadian yang menjadi bukti bahwa LOA yang Anda niatkan terjadi. Kemudian membuat "appreciation and gratitude statement", dimana setiap hari Anda menulis jurnal yang isinya rasa syukur dan apresiasi Anda atas kejadian-kejadian positif yang mulai terjadi pada diri Anda. Sekecil apapun.

Relatif mudah bukan? Nah kini Anda siap mencoba membuktikan LOA secara sadar. Selamat mencoba. (FR)

Tuesday, July 17, 2007

Menghadirkan Kebahagiaan

Wahai Anda para pencari kebahagiaan, ada ucapan tiga orang yang ingin saya kutip, dan mohon Anda baca dan renungkan baik-baik:

"Sekarang saya jauh lebih baik, secara fisik, finansial, mental dan hampir dalam segala hal …" (JW)

"Sebuah pengalaman yang luar biasa …" (MB)

"Saya belum pernah bisa menghargai orang lain seperti yang saya rasakan sekarang …" (CR)

Ucapan-ucapan yang luar biasa bukan? Ucapan yang pantas diucapkan oleh orang-orang yang telah mencapai puncak kebahagiaan. Anda mau menjadi seperti mereka? Jika saya katakan bahwa mereka bertiga mengucapkan kalimat di atas selepas mengikuti sebuah pelatihan, Anda mau mengikuti pelatihan tadi? Mau … ? Wah, banyak yang langsung menganggukkan kepala.

OK, mungkin perlu sedikit dijelaskan tentang siapa yang mengucapkan kutipan di atas. JW, adalah Jim Wright, mantan anggota House of Representative Amerika Serikat yang dipaksa mundur secara tidak hormat karena melanggar kode etik, MB adalah Moreese Bickham, mantan napi, kutipan diatas adalah ucapan selepas masa tahanannya, dan CR adalah Christopher Reeves, sang Superman yang mengucapkan kalimat di atas setelah terkena lumpuh. Semua mengucapkan ucapan di atas setelah menjalani "pelatihan" yang sangat berat dalam hidupnya. Nah, Anda mau mengikuti "pelatihan kebahagiaan" seperti mereka? Gak mau? Hehehe … kok sekarang gak mau?

Ya, Anda mungkin serentak menggelengkan kepala. Sekaligus mungkin jadi penasaran bagaimana mungkin orang dapat mengucapkan hal-hal yang demikian luar biasa, justru setelah mengalami musibah. Sementara Anda mungkin sudah mengikuti puluhan pelatihan motivasi dan melahap ratusan buku self help, dan belum mampu mengucapkan kalimat-kalimat seperti di atas.

Semua orang pasti menginginkan kebahagiaan. Tapi apakah kebahagiaan itu? Apakah pengertiaan kebahagiaan menurut "seorang" Lori dan Reba Schapel, pasangan kembar siam yang sangat berbahagia dan mampu berprestasi, yang hingga dewasa tidak pernah bersedia menjalani operasi pemisahan, sama dengan kebahagiaan seorang Paris Hilton yang rupawan dan mewarisi kerajaan bisnis Hilton, namun masih harus repot dengan urusan penggunaan obat terlarang?

Jadi, jika kebahagiaan begitu penting, lalu apakah kebahagiaan itu?

Siapakah yang lebih bahagia, George Eastman pelopor proses fotografi, salah satu pelopor prinsip manajemen modern, dan pendiri Kodak, yang penjualan kamera nya menguasai dunia itu, atau Adolph Fischer, anggota serikat buruh dalam sejarah Amerika Serikat yang ditangkap atas tindakan yang tidak pernah dilakukan, diadili dengan saksi bayaran, dan dihukum mati? Anda, dan juga saya, tentu yakin George Eastman lebih bahagia. Namun kenapa justru Fischer yang mengatakan "Ini saat paling membahagiakan dalam hidup saya …" beberapa detik sebelum tali gantungan merenggut nyawanya. Dan George Eastman, mati bunuh diri di kamar kerja nya!

Kutipan di atas saya ambil dari buku "Stumbling on Happiness " yang ditulis secara sangat cerdas oleh Daniel Gilbert. Buku yang merangkum pemikiran-pemikiran mutakhir tentang kebahagiaan dengan cara yang sangat humoris ini memang dalam banyak detilnya mampu mengguncang pengetahuan dan keyakinan kita tentang kebahagiaan. Sayangnya tidak ada jawaban instan dalam buku "Stumbling on Happiness". Kalau Anda penggemar cerita detektif dan punya rasa penasaran yang tinggi, Anda akan sangat menikmati tulisan Dan Gilbert yang akan membawa Anda memasuki lorong-lorong pemikiran tentang kebahagiaan. Sebaliknya jika Anda penggemar buku self-help yang berharap mendapat tips praktis, Anda akan kecewa, karena buku ini sama sekali bukan buku self-help. Justru Gilbert sepanjang bukunya menyisakan pertanyaan besar, mengapa manusia selalu gagal untuk memperkirakan hal-hal apa sajakah yang akan membuat diri nya merasa bahagia di masa mendatang.

Kebahagiaan demikian penting, hampir semua sepakat. Always "feel good" demikian pesan di ujung film the Secret nya Rhonda Byrne. Gunakan "the Power of Positive Feeling", demikian pesan Pak Erbe Sentanu dalam bukunya Quantum Ikhlas. Bahkan lebih lanjut beliau mengatakan bahwa kebahagiaan adalah fitrah manusia. Namun mengapa begitu sering kita tidak merasa bahagia. Padahal kita paham kalau dalam hukum Law of Attraction dikatakan "likes attract likes", bahwa perasaan bahagia akan menarik hal-hal yang akan membuat kita bahagia. Namun mengapa begitu sulit untuk selalu menghadirkan rasa bahagia di hati kita.

Kadang kita merasakan kebahagiaan yang meluap, ketika kita sedang berkumpul dan bercanda bersama keluarga. Namun perasaan itu bisa lenyap begitu saja, ketika kita sendirian. Kita merasa begitu bahagia ketika berhasil mewujudkan yang kita inginkan, namun tidak berapa lama rasa cemas dan khawatir kembali menyergap hati kita. Kalau diibaratkan hati kita sebagai rumah, kebahagiaan seringkali hanya mampir sebagai tamu, menginap sesaat, dan pergi lagi, namun masih enggan menetap menjadi penghuni di hati kita. Wah, kalau begini, bagaimana kita bisa selalu "feel good"?

Ada yang mencoba menghadirkan kebahagiaan melalui kepemilikan materi, uang yang banyak, rumah yang mewah, mobil yang bagus. Namun justru semakin tidak bahagia, karena selalu merasa kurang uang, mobilnya kurang bagus, dan rumahnya kurang mewah. Belum lagi kalau mengalami kehilangan materinya. Ada juga yang mencoba mewujudkan kebahagiaan dengan berbagai aktifitas. Mulai dari ikut pesta, berwisata ke luar negeri, hingga nonton konser atau pertandingan olahraga. Namun, rasa bahagia berakhir ketika pesta berakhir. Kebahagiaan pergi ketika mereka harus kembali pulang ke rumah, atau ketika konser atau pertandingan berakhir.

Karena semua yang ingin dimiliki atau dilakukan tadi, ternyata hanya sekedar menghadirkan kesenangan. Namun bukan kebahagiaan.

Jadi, bagaimana menghadirkan kebahagiaan?

Dalam buku "How We Choose To Be Happy" yang ditulis Rick Foster dan Greg Hicks pertanyaan ini menjadi tema sentral. Bagaimana kita bisa menghadirkan kebahagiaan yang terus menerus di hati kita? Ternyata menurut Foster dan Hicks, setelah meneliti orang-orang yang luar biasa bahagia, ada 9 choices yang selalu dilakukan oleh orang-orang tersebut. Jika Anda ingin menghadirkan kebahagiaan secara berkesinambungan dan berkesadaran, Anda bisa mencontoh choices mereka. Cukup panjang kalau dibahas semua. Namun, menurut saya, untuk memulai, paling tidak Anda bisa mencontoh dua hal:

Berniatlah Untuk Bahagia. Kedengarannya begitu sederhana, namun betapa jarang kita lakukan. Bisakah Anda mulai sekarang, setiap hari, meniatkan dan berjanji dalam hati, bahwa hari ini Anda akan merasakan kebahagiaan, apapun pengalaman yang akan Anda alami? Dan sepanjang hari, jaga kesadaran Anda bahwa Anda sudah memilih untuk bahagia, apapun peristiwa yang terjadi di depan Anda. Setiap pagi ketika akan memulai hari Anda, ingatlah lagi komitmen Anda ini.

Bertanggungjawablah. Anda sendiri yang bertanggungjawab atas kebahagiaan Anda. Jadi, mulai sekarang, apapun peristiwa yang Anda alami, pilihan untuk bahagia atau tidak bahagia, ada di tangan Anda. Jangan pernah menimpakan kesalahan ke orang lain. Hilangkan kalimat bahwa: "saya jadi tidak bahagia karena si … " Orang-orang yang luar biasa bahagia, selalu merasa in control, bukan korban atas perbuatan orang lain atau peristiwa yang tengah di alami. Mereka mengendalikan hidupnya secara sadar, dan selalu memilih untuk bahagia.

Dua pilihan yang begitu mudah dibaca, namun cukup menantang untuk dipraktekkan. Saya juga sedang berlatih. InsyaAllah dengan menjalankan dua pilihan orang-orang yang luar biasa bahagia tadi, semoga kebahagiaan dapat lebih betah singgah di hati Anda. Untuk kemudian menetap. Selamanya. (FR)

Thursday, July 05, 2007

Menjadi Jenderal

Betapa besar perbedaan cara kerja seorang Jenderal di masa perang modern dengan Jenderal di masa lampau. Jika Anda pernah menyaksikan film "Ike: The Countdown to D Day", yang dibintangi Tom Selleck sebagai Jenderal Dwight D. Eisenhower, Sang Supreme Commander pada waktu serangan besar-besaran pasukan sekutu ke Normandia, Anda akan bisa menyaksikan bahwa Jenderal Eisenhower bekerja dengan luar biasa melalui pemikiran, strategi dan keputusan yang dibuat dengan penuh perhitungan di war-room nya. Ini berbeda dengan aksi Jenderal Gaius Julius Caesar atau Jenderal Mark Anthony misalnya, yang dapat Anda saksikan di film serial "the Rome". Pada masa kerajaan Romawi tadi, para Jenderal tidak hanya memikirkan strategi dan membuat keputusan, namun juga langsung melakukan aksi fisik di medan pertempuran. Maka di film the Rome Anda dapat menyaksikan Jenderal Mark Anthony yang langsung turun bertempur dan ikut berdarah-darah. Sesuatu yang sulit kita bayangkan akan terjadi pada Jenderal Eisenhower, ataupun Jenderal Norman Schwarzkopf, misalnya.

Anda yang memiliki bisnis juga adalah Jenderal bagi bisnis Anda. Karena mengelola bisnis prinsipnya tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan para Jenderal tadi. Sebagai "Jenderal Bisnis" kita juga harus pandai menyusun strategi, mengalokasikan sumberdaya, dan membuat keputusan untuk mencapai tujuan. Kompetisi dengan para pesaing pada market yang terbatas juga mirip dengan pertempuran antar pasukan dalam memperebutkan wilayah tertentu. Dan konsekuensi dari keputusan yang dibuat oleh seorang jenderal bisnis pun bisa berupa kemenangan ataupun kekalahan. Hampir sama dengan hasil suatu peperangan. Idealnya, di jaman modern ini, seorang jenderal bisnis mampu bekerja seperti para Jenderal militer di masa modern seperti Eisenhower atau Schwarzkopf.

Buat saya ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Bagaikan Jenderal masa Romawi kuno, saya lebih sering ikut langsung dalam pertempuran-pertempuran di garis depan. Meskipun sudah berhasil untuk membatasi diri tidak terlibat langsung dalam delivery, namun hingga saat ini saya masih sangat terlibat dalam pemasaran dan penjualan. Ini yang kadang membuat saya mengalami kesibukan yang sedikit di luar batas. Dan ini saya akui sangat melelahkan. Seperti yang saya alami beberapa minggu ini. Kami mendapat begitu banyak opportunity yang sangat menantang. Tentu ini baik buat bisnis. Namun konsekuensinya, saya harus sering terjun langsung dalam mempelajari kebutuhan calon pelanggan, merumuskan konsep solusinya dalam bentuk proposal, hingga melakukan presentasi dan demo solusi yang kami tawarkan. Kadang hal ini memakan waktu yang tidak sedikit. Beberapa minggu ini saya selama beberapa malam hanya bisa tidur 2 – 3 jam, itupun besoknya harus segar kembali karena harus siap melakukan presentasi. Nah, presentasinya sendiri kadang bisa makan waktu seharian. Caaapee deh …

Ini mungkin sindrom pebisnis pemula seperti saya. Sebenarnya yang sekarang sudah lumayan, karena sebelumnya malah lebih parah lagi. Saya terlibat langsung di semua lini. Mulai dari proses jualan, proses delivery, hingga penagihan. Kalau istilahnya Brad Sugars, masih work in the business. Saya kemudian mulai untuk tidak terlibat dalam delivery, karena ini yang paling melelahkan, juga antara lain setelah terinspirasi oleh pemikiran Brad Sugars. Tapi rupanya di area penjualan, saya masih sering keasyikan bertempur.

Delegate !

Saya tahu, Anda pasti berpikir, kenapa saya tidak delegasikan tugas yang melelahkan tadi? Bukankah di berbagai bukunya Brad Sugars dengan jelas mengatakan, bangun system dan delegasikan ke tim. Bahkan kemampuan untuk melakukan pendelegasian ini oleh banyak pemikir seperti John C. Maxwell atau Jeffrey J. Fox dianggap sebagai ukuran kemampuan kepemimpinan seseorang. Jenderal Eisenhower sebelum "D Day" melakukan delegasi kewenangan yang jelas kepada pimpinan angkatan udara, angkatan laut dan angkatan darat yang akanmenjadi eksekutor keputusannya. Seorang Jenderal modern tahu persis, tidak mungkin ia melakukan semua sendirian, tanpa dukungan seluruh anggota tim. Singkatnya, seorang Jenderal bekerja dengan memberikan delegasi kepada tim.

Namun pelaksanaan pendelegasian tidak semudah teorinya. Saya sendiri juga masih terus mencoba. Dan mungkin saya termasuk orang yang sering gagal melakukan pendelegasian. Tapi tidak apa-apa, paling tidak saya jadi belajar. Dalam pengalaman saya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab tidak berjalannya pendelegasian:

Pendelegasian tanpa kepercayaan. Pendelegasian artinya memberikan kepercayaan penuh kepada tim Anda untuk melaksanakan. Mungkin seringkali kita "gemas" dengan cara tim kita melaksanakan tugas yang tadinya biasa kita kerjakan. Dan dorongan untuk mengambil alih kembali tugas tadi kadang demikian besar. Tapi apabila ini kita lakukan, maka delegasi yang kita coba jalankan akan berakhir. Ini godaan yang paling sering saya alami. Saya sudah delegasikan, namun saya juga gemas, karena saya tahu saya bisa melakukan dengan lebih baik. Tapi jika semua hal saya ambil alih kembali, kapan jadi Jenderal nya ya?

Pendelegasian tanpa pengarahan. Ini sering sekali dilakukan oleh para Jenderal bisnis pemula seperti saya. Memberikan delegasi kewenangan dengan pola "saya gak mau tahu" dan "pokoknya urusan kamu". Padahal sebagai Jenderal kita harus memberikan arahan apa yang akan dicapai, kenapa harus dicapai, dan bagaimana mencapainya. Pelaksanan tugasnya yang kemudian di delegasikan. Tanpa arahan, tim yang menerima delegasi akan tidak tahu arah.

Pendelegasian tanpa persiapan. Ini juga kerap terjadi. Delegasi diberikan tanpa persiapan atas tim nya sendiri. Belum ada struktur organisasi dan pembagian tugas yang jelas, belum ada prosedur yang jelas, langsung di delegasikan kewenangannya. Bahkan kadang belum jelas apakah anggota tim nya sudah siap atau belum. Kalau belum siap, ya harus disiapkan. Mungkin perlu dilakukan pelatihan, atau di re organisasi dulu tim nya. Memberikan delegasi tanpa persiapan anggota tim, sama saja dengan menciapkan chaos.

Pendelegasian tanpa pengendalian. Pendelegasian tanpa control kadang bagaikan menciptakan api dalam sekam. Kita sudah ciptakan sistemnya, siapkan orangnya, memberikan pengarahan, dan memberikan delegasi penuh kepada anggota tim kita. Dan semua kelihatan berjalan dengan baik. Namun tiba-tiba customer Anda menghubungi Anda untuk menyatakan memberhentikan jasa yang diberikan perusahaan Anda, dan Anda pun kebingungan dimana salahnya. Ini sangat mungkin terjadi jika dalam pemberian delegasi, Anda tidak punya metode yang baku untuk mengukur hasil yang dicapai oleh tim Anda.

Semoga Anda bisa memetik manfaat dari pengalaman saya. Tanpa delegasi, bisnis jadi tidak sehat. Seorang Jenderal tidak seharusnya ikut larut dalam pertempuran sehingga melupakan fungsi utama nya untuk memimpin pasukan mencapai tujuannya. Seorang Jenderal harus lebih sering meluangkan waktu nya untuk hal-hal yang strategis, berpikir tentang masa depan, sehingga bisnis nya memiliki masa depan yang baik. Ah, rupanya masih banyak yang harus saya pelajari. Semoga kita semua mampu menjadi Jenderal bisnis sejati. (FR)

Sunday, June 24, 2007

Something Happened On the Way To Heaven

Judul di atas adalah judul lagu Phil Collins, yang dinyanyikan di era solo karirnya setelah keluar dari supergrup Genesis. Kalau Anda terbiasa mendengarkan lagu-lagu Genesis pada masa Phil Collins masih menjadi drummer dengan lead vocal Peter Gabriel, mungkin Anda kurang suka lagu yang sedikit groovy tadi. Tapi memang harus diakui kemampuan Phil Collins untuk beradaptasi dengan selera pasar dan merangkul generasi yang lebih muda. Termasuk dalam lagu bertemakan cinta yang judulnya saya pinjam ini, Phil Collins mampu mengungkapkan dengan sangat baik, betapa dalam hidup kadang bisa saja terjadi bahwa segala sesuatu yang tampaknya berjalan dengan sangat baik, tiba-tiba berubah menjadi buruk. Perumpamaanya bagaikan perjalanan yang indah menuju surga. Namun tiba-tiba sesuatu terjadi, dan kita batal pergi ke surga. Dan tinggal kita merenung dan menyenandungkan lagu Phil Collins tadi, " how can something so good, go so bad … how can something so right, go so wrong …"

Dalam bisnis hal demikian juga seringkali terjadi. Paling tidak saya pernah mengalaminya. Ketika pertama kali terjun ke dunia bisnis. Saya memulai dengan mulus dan sempurna. Saya dan tim saya sudah memiliki impian yang luar biasa, kami sudah share impian kita dengan orang-orang terdekat , dan memperoleh dukungan yang luar biasa dari orang-orang tercinta. Modal uang yang tidak sedikit sudah disiapkan, rencana yang sangat matang sudah disusun dengan berbagai skenario, dan relasi bisnis sudah siap mendukung. Kami pun langsung take action. Kami menyewa kantor yang mahal, dan merekrut karyawan, dan langsung menggeber berbagai event dan seminar untuk memperoleh awareness. Keanggotaan club bisnis yang mahal juga kami jalani untuk berpromosi. Bahkan, event kami selalu memperoleh eksposure yang luar biasa dari koran dan majalah bisnis. Waktu itu tiada hari kami lalui tanpa seminar dan presentasi ke berbagai perusahaan besar. Selalu tampil berjas dan berdasi, menggelar berbagai seminar, segala tepuk tangan, wawancara, sorot kamera dan jepretan foto, membuat hati ini melambung, serasa "melayang menuju surga". Penjualan sepertinya akan melampaui rencana, dan keuntungan yang besar sudah membayang di depan mata. Kemudian "something happened on the way to heaven". Ada beberapa faktor regulasi baru yang akan menghambat penggunaan produk kami oleh prospek-prospek kami. Satu demi satu mereka pun menunda dan membatalkan untuk menggunakan produk kami. Bisa Anda tebak selanjutnya. Gak jadi deh ke surga nya … hahaha.

Dalam berbagai skalanya, "something happened on the way to heaven", mungkin juga pernah Anda alami. Entah itu bisnis yang semula bagus tiba-tiba memburuk, hubungan percintaan yang baik-baik saja, namun tiba-tiba memburuk, atau project yang sedang Anda kerjakan, yang semula sempurna, namun tiba-tiba berantakan. Jika Anda mengalaminya, menurut saya ada tiga hal yang bisa Anda lakukan:

Menerima Kenyataan.

Hal yang paling sulit adalah menerima kenyataan, bahwa apa yang sudah direncanakan tidak akan berjalan. Sehingga kadang kita malah membuang-buang waktu dan tenaga untuk mencoba membalik keadaan. Disini kita harus dapat berpikir jernih dan jujur. Kalau memang kapal sedang tenggelam, maka terima kenyataan bahwa kapal sedang tenggelam, bukan berpura-pura bahwa kapalnya baik-baik saja, dan terus dipaksa berlayar. Ini sangat penting, karena hanya dengan menerima kenyataan, maka kemudian kita bisa menentukan tindakan yang benar. Misalnya kapalnya sedikit lagi akan tenggelam, ya kita cepat-cepat menyelamatkan diri, bukan memaksa mengembangkan layar.

Menerima juga berarti tidak mengutuki apa yang sudah terjadi. Apalagi terjebak dalam frustrasi atau bahkan sampai ingin bunuh diri, aduh … amit-amit. Segala sesuatu terjadi pasti ada purpose nya. Mungkin saja, "perjalanan ke surga" Anda yang sekarang tertunda karena Tuhan sedang menyiapkan surga yang lebih besar lagi. Atau, mungkin ada pelajaran bagus yang harus Anda pelajari dalam perjalanan yang gagal kali ini, sehingga perjalanan-perjalanan Anda berikutnya akan lebih mudah dan menyenangkan.

Menerima berbeda dengan menyerah. Dalam hal ini kita menerima apa yang sudah terjadi. Karena percuma jika batin Anda terus memberontak atas apa yang sudah terjadi. Mau berteriak-teriak dan membenturkan kepala di tembok juga, apa yang sudah terjadi tidak akan bisa direvisi lagi. Kita hanya bisa berikhtiar, soal hasil adalah urusan Tuhan. Ini yang kita terima. Namun bukan berarti kemudian kita tidak melakukan usaha apa-apa lagi.

Dengan menolak, mungkin Anda akan meratapi atau menangisi kenyataan. Namun dengan menerima kenyataan, Anda bisa mulai tersenyum.

Ambil Manfaatnya.

Jika sesuatu yang tidak Anda kehendaki bisa menimpa bisnis Anda yang semula tampak begitu baik, artinya ada sesuatu yang tidak Anda pikirkan sebelumnya. Dan ini adalah hal baru yang bisa Anda pelajari. Dengan demikian, justru ketika menghadapi peristiwa yang tidak dikehendaki, maka Anda sedang dalam proses untuk menjadi semakin baik dan semakin baik. Tentu saja ini akan terjadi jika Anda mau jujur mengevaluasi hal-hal apa yang masih harus diperbaiki. Termasuk jujur menerima jika ternyata diri Anda sendirilah yang harus diperbaiki.

Pada dasarnya kita dapat mengambil manfaat yang baik dari setiap hal yang semula kita anggap buruk. Ketika menghadapi penjualan yang sepi, Anda bisa belajar untuk memiliki teknik promosi dan penjualan yang lebih baik. Ketika biaya operasional membengkak dan profit Anda sangat sedikit, Anda bisa belajar banyak dalam hal efisiensi. Ketika Anda kesulitan uang kas, pada dasarnya Anda bisa belajar berhemat … hehehe.

Lebih bagus lagi jika Anda mampu merubah hal yang semula Anda anggap buruk, menjadi sesuatu yang baik. Misalnya, seorang pembalap yang mengalami kecelakaan, daripada meratapi nasibnya, dia dapat menulis buku yang bagus tentang safety dalam balapan. Pengusaha yang nyaris bangkrut karena krisis moneter, mungkin bisa menjadi pembicara yang baik dalam hal menghadpai krisis keuangan. Saya juga pernah menghadapi hal semacam ini. Ketika pusing mencari jalan keluar membayar tagihan sewa ruang kantor yang menumpuk, saya mendapat ide untuk menawarkan barter biaya sewa dengan software yang kami buat.

Ini Belum Berakhir.

Yang terakhir, Anda harus ingat, bahwa tidak bisa melanjutkan "perjalanan ke surga" hari ini, bukan beratrti Anda tidak akan pernah bisa ke surga. Pernah nyaris bangkrut itu tidak berarti Anda selamanya akan bangkrut, belum laku itu tidak berarti bahwa produk Anda selamanya tidak akan laku. Salalu ada kesempatan berikutnya yang Anda dapat manfaatkan. Mundur selangkah tidak apa-apa, asal jangan lupa jujur melakukan evaluasi atas apa yang telah Anda lakukan, melakukan perbaikan, dan coba lagi.

Kalau kata lagunya Lenny Kravitz: It ain't over till its over! (FR)

Thursday, June 07, 2007

Kyai Tanpa Sarung

Anda pasti tahu Bob Sadino. Salah seorang figur pengusaha sukses di Indonesia yang mengawali karirnya dengan berjualan telur secara door-to-door, kemudian menjadi pelopor dalam industri peternakan unggas dan makanan olahan, hingga berhasil membangun kerajaan bisnisnya hingga saat ini. Kemarin saya diundang oleh Pak Budi Utoyo (Leha-Leha Spa), Pak Nyoman Londen (Edola Burger) dan Pak Dodi Mawardi (penulis) untuk berbincang-bincang langsung dengan Om Bob. Sebuah kesempatan langka buat saya pribadi, karena sudah sejak lama saya mengagumi salah satu fenomena bisnis Indonesia ini.

Jika Anda bertemu dan berdialog langsung dengan beliau, dan berharap akan memperoleh tips-tips bisnis instan a la Brad Sugars, besar kemungkinan Anda akan kecewa. Justru seluruh pola pikir Anda akan dijungkir-balik kan, dikocok-kocok, dibuyarkan, dan Anda pulang dalam kebingungan. Saya pun demikian. Namun, di perjalanan pulang, saya merenung, dan ternyata banyak hal yang semula tidak masuk akal, berhasil saya rangkai dalam otak saya menjadi sesuatu yang justru luar biasa jernih dan masuk akal. Betul-betul seperti berdialog dengan seorang Sufi. Nah, Anda tidak perlu ikut kebingungan, berikut catatan pertemuan saya dengan Om Bob, dari sudut pandang dan kesimpulan saya:

Menjadi Goblok

Betul, Anda tidak salah baca. Untuk menjadi pengusaha yang baik, Anda justru harus goblok. Ini bahasa beliau sendiri yang cara bertuturnya sangat khas orang "jalanan". Sekilas terdengar kasar dan mengada-ada. Bahkan Om Bob terkenal dengan ucapan beliau yang kemudian pernah dibukukan: "Kalau Mau Kaya, Ngapain Sekolah?". Ya, seolah-olah beliau sangat anti sekolah, anti belajar, anti membaca dan sebagainya. Padahal, di rumahnya, saya lihat rak buku beliau yang jauh lebih padat dari rak buku saya, jelas beliau makhluk pembelajar. Namun yang membedakan adalah, beliau lebih berorientasi pada tindakan dan belajar langsung dari kehidupan, bukan dari sekolah.

Dan kalau dicermati, justru "menjadi goblok" ini memiliki filosofi yang sangat mendalam. Dengan menjadi goblok, maka Anda sebenarnya selalu dalam posisi mengesampingkan "Mr. I Know" Anda dan terus belajar dan terus maju. Sebaliknya, mereka yang masuk kategori "orang pintar" kadang memiliki beberapa kelemahan yang akan menghambat proses menjadi pengusaha, misalnya:

  • Terlalu menggunakan logika, sehingga tidak berani bermimpi besar. Orang pintar mengandalkan logika, sehingga hanya berani bermimpi dalam batas logika mereka. Sementara orang goblok akan bermimpi jauh melampaui logika mereka.
  • Terlalu banyak menganalisis. Orang pintar melakukan berbagai perhitungan untung rugi dari berbagai metoda dan scenario, sehingga malah tidak berani segera mengambil tindakan. Orang goblok, sebaliknya mengambil keputusan dengan cepat dan berani, dan akan belajar dari kesalahan.
  • Orang pintar karena tahu banyak hal, cenderung ingin mengerjakan semuanya sendiri. Sebaliknya, orang goblok, karena keterbatasannya akan berpikir untuk melakukan rekrutmen dan delegasi kewenangan. Ini yang menyebabkan banyak orang pintar ketika memulai bisnis gagal membentuk tim, karena ingin berada di semua lini.
  • Orang pintar mengandalkan pengetahuan dan informasi dari masa lalu. Ibarat makanan, informasi di masa lalu sudah menjadi basi, sehingga kadang malah meracuni. Orang goblok justru selalu menggali informasi yang segar dan relevan dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang.

Manusia Tanpa Tujuan dan Tanpa Rencana

Nah, pasti Anda makin melotot, masa tanpa tujuan? Betul, berulangkali beliau mengatakan bahwa beliau tidak punya rencana dan tidak punya tujuan. Wah, bagaimana bisa? Bukankah selama ini kita diajarkan untuk memiliki tujuan yang jelas dan rencana yang detil untuk mencapai tujuan tersebut? Bagaimana mungkin usaha yang demikian besar dikembangkan tanpa rencana dan tujuan? Ya demikian kenyataannya, menurut Om Bob. Beliau tidak pernah terbebani oleh rencana dan tujuan.

Ada dua kata kunci yang saya tangkap dari Om Bob dalam menjalani hidup tanpa tujuan yang beliau istilahkan "mengalir" tadi. Pertama adalah: Proses. Dengan tidak berpaku kepada tujuan, maka kita akan lebih mengikuti prosesnya, menekuninya, dan memberikan yang terbaik. Kedua adalah: Enjoyment. Om Bob menekankan pada "kenikmatan" mengikuti prosesnya. Pahit dan getirnya menjalani proses, nikmati saja.

Prinsip ini sesuai benar dengan prinsip "goal free living" yang pernah ditulis Stephen Saphiro dalam bukunya yang terkenal itu. Dengan membebaskan diri dari tujuan yang kaku, kita malah akan selalu dapat melihat berbagai kesempatan dan peluang yang kadang tiba-tiba hadir dalam perjalanan kita. Orang-orang yang "goalaholic", seringkali melewatkan berbagai peluang dalam perjalanan hidup mereka karena terpaku pada "tujuan" mereka. Isn't that interesting?

Bebas dari Tiga Belenggu

Ada tiga belenggu yang menurut Om Bob dapat menghambat kita: Pertama: Belenggu Rasa Takut. Ini belenggu yang sangat kuat mencengkeram kita, seperti takut gagal, takut miskin, takut ditolak, dsb. Ini faktor penghambat yang sangat kuat dan harus dipatahkan. Kedua: Belenggu Harapan. Kadang kita berharap terlalu banyak, sehingga malah menjadi belenggu bagi diri sendiri. Belum-belum sudah berharap banyak, dan akhirnya kecewa karena harapan nya tidak tercapai. Dengan membebaskan diri dari harapan, maka Anda akan bebas dari kekecewaan. Menurut saya ini prinsip "detachment" (tidak melekat pada hasil) yang juga sangat dianjurkan oleh Deepak Chopra. Dan ketiga: Belenggu Jalan Pikiran. Ini yang sering menghinggapi "anak sekolahan", yang terbelenggu oleh jalan pikirannya sendiri, sementara realitas di kehidupan masyarakat jauh dari teori yang pernah dipelajari.

Modal Jadi Pengusaha

Dalam kesempatan kemarin, Om Bob membagi-bagikan modal kepada kami semua untuk menjadi pengusaha. Bukan, bukan modal duit. Modal untuk menjadi pengusaha menurut beliau bukanlah sekedar modal yang tangible seperti uang, barang, dsb. Namun justru ada 5 modal yang meskipun intangible namun sangat penting untuk dimiliki semua Pengusaha:

  • Kemauan. Untuk menjadi pengusaha syaratnya sungguh simple. Anda mau. Kalau Anda tidak memiliki kemauan yang tulus dan kuat untuk menjadi pengusaha, maka lupakan bahwa Anda akan menjadi pengusaha.
  • Tekad atau Determinasi. Yaitu tekad yang sangat kuat dan bulat, yang tidak akan tergoyahkan oleh keadaan apapun, untuk menjadi pengusaha.
  • Keberanian mengambil peluang. Menjadi pengusaha berarti berani ambil tindakan ketika peluang lewat didepan mata.
  • Tahan Banting dan Tidak Cengeng. Om Bob melukiskan bahwa, kesuksesan hanyalah titik kecil diatas gunung "kegagalan" atau penderitaan. Bagi beliau gagal itu baik, karena dengan gagal kita belajar dan menjadi lebih baik. Maka, seorang pengusaha harus tahan banting, dan tidak ada tempat untuk cengeng.
  • Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Ini yang sangat sering beliau ingatkan, bahwa kita harus selalu mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan YME. Syukuri segala yang telah dicapai selama ini.

Dari Hitam Putih menuju Ikhlas

Menurut saya, Om Bob ternyata adalah seorang spiritualis dengan tingkat pemahaman yang sudah melampaui kebanyakan orang. Beliau menyandarkan hidupnya total kepada Allah SWT. Menurut beliau, manusia tumbuh melalui beberapa tahap: Tahap pertama adalah tahap "hitam putih", dimana kita mengandalkan logika semata. Selalu berpikir dalam kacamata hitam atau putih, benar atau salah, dan 2 + 2 selalu 4. Tahap kedua adalah tahap "kearifan" atau "kebijaksanaan", dimana kita sudah bisa memberi makna dibalik yang hitam putih tadi. Bahwa dibalik hitam, kadang ada putihnya, pada sesuatu yg putih, kadang ada hitamnya. Nah, tahap yang ketiga adalah tahap "kosong", atau "total surrender", atau ikhlas. Dimana kita percaya sepenuhnya bahwa semua sudah diatur oleh Tuhan YME. Nah, silakan dinilai sendiri Anda nyampai tahap yang mana?

Dari sini kita paham. Mengapa beliau tidak punya rencana? Karena beliau memiliki Sang "master planner". Dan mengapa beliau tidak punya tujuan? Karena beliau tahu bahwa hidup beliau Tuhan yang menentukan. Karena yakin, maka beliau ikhlas menjalani kehidupan ini. Bahwa kemudian beliau memetik hasil seperti sekarang, semata hanyalah akibat dari tindakan yang terus menerus beliau lakukan.

Anda setuju? Kata Om Bob, terserah Anda untuk setuju atau tidak. Beliau memang tidak pernah memaksa orang sepaham dengan beliau. Menurut saya, beliau adalah contoh manusia yang sudah mencapai tahap "total surrender" tadi. Tidak berlebihan, jika atas usul salah seorang rekan, kami yang hadir kemarin sepakat bahwa Bapak Haji Bob Sadino ini pantas dijuluki sebagai "Kyai Tanpa Sarung". (FR)

Tuesday, May 29, 2007

Mata Ketiga

Konon, di dunia persilatan, orang yang linuwih, atau orang yang punya kemampuan melebihi kemampuan orang kebanyakan, mampu melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat mata orang biasa. Misalnya, mereka konon dapat melihat medan bio energi yang menyelimuti manusia, melihat makhluk-makhluk ghaib, bahkan dapat melihat peristiwa di tempat lain, ataupun peristiwa yang akan terjadi di masa depan, yang kalau dalam bahasa Jawa nya disebut "weruh sadurunge winarah". Singkatnya, kemampuan luar biasa yang sangat membantu mereka dalam menjalani kehidupan. Tentu saja, mereka memperoleh kemampuan tadi tidak dengan cara gampang. Mereka telah menempuh berbagai latihan dan disiplin untuk membuka "mata ketiga" mereka, sehingga pandangan mereka mampu menembus hal-hal yang tidak terlihat mata biasa tadi.

Seperti halnya di dunia persilatan, di dunia usaha pun sebetulnya Anda harus memiliki "mata ketiga" untuk dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat orang kebanyakan. Bukan, maksud saya ini bukan untuk melihat makhluk ghaib, namun untuk melihat peluang-peluang usaha yang lalu-lalang di depan mata, tapi selalu luput dari pandangan mata biasa kita. Makanya kita perlu disiplin dan latihan untuk membuka "mata ketiga" kita. Memang, ada beberapa orang tertentu yang dilahirkan dengan bakat untuk gampang melihat peluang bisnis. Namun, sesungguhnya semua orang memiliki kesempatan yang sama. Karena ada latihan-latihan sederhana yang jika Anda sering lakukan, akan membuat mata ketiga Anda semakin peka melihat peluang. Latihan yang akan saya paparkan sebaiknya Anda lakukan sendirian, dalam lingkungan yang tenang dan nyaman. Karena Anda harus banyak melakukan kerja otak, mirip-mirip mindstorming-nya Brian Tracy. Tentu, Anda perlu alat tulis untuk menuliskan latihan-latihan Anda. Berikut dua latihan yang ingin saya share:

Latihan yang pertama adalah latihan "Si Sukses". Caranya begini. Pikirkan dan tuliskan 20 benda yang ada disekitar Anda, dan kemudian di sebelahnya tuliskan minimal satu nama "si sukses", yaitu orang yang sukses menjalankan usaha terkait benda yang Anda tuliskan tadi. Bisa orang yang Anda kenal secara langsung, bisa juga tidak. Contoh: Komputer – Michael Dell (Dell); Kertas – Eka Cipta (Sinar Mas Group); Mi Instan – Anthony Salim (Indofood); Kopi – Howard Schultz (Starbuck); Kerudung – Nia Kurnia (Rabbani); Sepatu – Edo Edward Forrer; dst. Contoh yang saya tulis adalah figur pebisnis kelas nasional dan internasional. Namun, akan lebih bagus jika Anda mengganti dengan orang yang betul-betul Anda kenal dan dekat dengan Anda.

Awalnya mungkin sulit. Kadang-kadang Anda akan sedikit "hang" memikirkan siapa orang yang pernah sukses menjual benda yang Anda tulis. Namun, lama kelamaan Anda akan semakin mudah menemukan nama si sukses. Setelah Anda berhasil dengan latihan pertama, Anda bisa melakukan beberapa variasi latihan. Misalnya, Anda menulis 20 nama makanan dan si sukses dalam bidang makanan, 20 nama benda dan si sukses dalam bidang teknologi; dan lain-lain. Benda apa yang bisa Anda tulis? Apapun, mulai dari makanan, pakaian, peralatan, apa saja yang Anda lihat atau melintas di otak Anda. Jika Anda belum menemukan nama si sukses atas benda yang Anda tulis, skip saja dulu dan cari informasi ke teman, koran, majalah atau di internet. Karena pasti ada. Santai saja, Anda bisa mengulang latihan ini sebanyak yang Anda mau dengan variasi yang Anda sukai.

Apa makna latihan ini? Latihan ini akan membuktikan kepada Anda, bahwa untuk setiap benda yang Anda tulis, ternyata ada orang yang sukses luar biasa. Artinya, setiap benda yang Anda lihat, sebenarnya adalah prospek bisnis luar biasa yang melambai-lambai di depan mata Anda. Namun selama ini mungkin Anda abaikan, karena "mata ketiga" Anda belum terbuka.

Latihan yang kedua adalah latihan "Tantangan Satu Milyar". Dalam latihan ini Anda harus dapat menjawab tantangan: bagaimana membuat uang satu milyar rupiah, dari benda apa saja yang Anda pilih. Nama benda nya bisa Anda ambil dari salah satu yang ada di daftar latihan "si Sukses". Misalnya Anda memilih "Sepatu". Maka tantangan Anda adalah bagaimana membuat satu milyar dari benda yang bernama Sepatu ini. Ooh gampang, misalnya Sepatu nya seharga 100 ribu kalikan saja dengan 10 ribu, ketemu semilyar. Ya, tapi logika mengatakan akan sangat sulit menjual 10 ribu Sepatu dalam satu waktu. Lalu bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menggunakan "faktor kali". Sebagai contoh, faktor kali yang dapat Anda gunakan misalnya adalah:

  • Pertama, tentu harga produk. Misalnya adalah harga sepatu yang 100 ribu tadi.
  • Kedua, variasi produk, misalnya ada 5 jenis sepatu.
  • Ketiga, wilayah, misalnya Anda punya teman atau saudara di 4 kota, yang Anda bisa ajak memasarkan sepatu Anda
  • Keempat, reseller, misalnya di masing-masing kota, teman atau saudara Anda mengajak 5 orang rekannya untuk menjadi reseller
  • Kelima, penjualan per bulan, misalnya masing-masing reseller mendapat target menjual 10 pasang sepatu per bulan
  • Keenam, waktu, misalnya Anda berjualan selama 10 bulan

Maka, berapa uang yang Anda peroleh. Coba ambil kalkulator: 100,000 x 5 x 4 x 5 x 10 x 10 = 1000,000,000. Pas semilyar ! Selamat Anda sudah menghasilkan satu milyar. Sayangnya, baru di atas kertas, hehehe … Ya, karena latihannya baru di atas kertas, maka uang nya juga baru di atas kertas. Kalau mau uang beneran ya Anda harus take action di dunia nyata.

Anda dapat melakukan banyak variasi dari latihan ini. Misalnya ganti semilyar dengan sepuluh milyar, seratus milyar, dsb. Demikian juga dengan faktor kali nya, ciptakan faktor kali-faktor kali sendiri sesuai imajinasi Anda. Bisa Anda buktikan sendiri, semakin banyak faktor kali semakin masuk akal. Seorang reseller yang menjual 10 pasang sepatu perbulan selama sepuluh bulan, tentu lebih masuk akal dibanding menjual 10 ribu sepatu dalam satu hari.

Apa makna latihan ini? Bahwa ternyata menghasilkan satu milyar atau bahkan sepuluh milyar dari barang-barang di sekitar Anda itu sangat mungkin, jika Anda memanfaatkan faktor kali. Lakukan latihan ini sesering mungkin, sehingga setiap kali Anda melihat suatu benda, Anda bisa melihat uang satu milyar di dalamnya.

Dengan latihan-latihan tadi, insyaAllah "mata ketiga" bisnis Anda akan terbuka lebar, dan Anda bisa melihat peluang dimana-mana.

Wednesday, May 23, 2007

Mengatasi Masalah Dengan Masalah

Siapa yang pernah berhutang mohon tunjuk jari? Saya yakin hampir semua yang membaca tulisan ini akan tunjuk jari. Termasuk saya sendiri. Siapa yang pernah punya masalah dengan hutang harap tunjuk jari? Nah, sekarang banyak yang tidak tunjuk jari tapi malah senyum-senyum. Mungkin ada yang teringat pengalaman pribadinya, atau mungkin sulit untuk mengakuinya. Meski kadang kita malu mengakuinya, saya yakin banyak diantara kita yang pernah memiliki masalah dengan hutang. Entah dari sekedar terlambat membayar kartu kredit hingga tiap hari ditelpon petugas kartu kredit, hingga didatangi debt collector yang kasar dan serem.

Untuk apa kita berhutang? Umumnya hutang digambarkan sebagai "solusi atas masalah keuangan kita". Lihat saja iklan2 produk perbankan, semua menggambarkan hutang sebagai solusi. Hutang memang akan menjadi solusi ketika kita bisa mengelola nya dengan benar. Namun dapat menjadi masalah ketika tidak dikelola dengan baik. Dan yang lebih penting lagi, ketika hutang sudah menjadi masalah, bagaimana mengatasinya?

Bagi Anda yang pernah ada dalam posisi berhutang dan merasakan beratnya membayar hutang, pasti ingat alternatif apa yang kita pikirkan ketika hutang menjadi masalah. Ya, berhutang lagi. Hampir selalu begitu. Pengalaman saya bekerja di perbankan adalah demikian. Sebagian besar debitur yang bermasalah, akan mencoba mengatasi masalah dengan menambah hutang. Ini sama saja mengatasi masalah dengan masalah. Hasilnya ya masalah yang lebih besar.

Saya juga pernah dalam posisi berhutang, dan Alhamdulillah dapat mengatasinya. Bagaimana saya bisa menyelesaikan masalah saya dulu? Ternyata bukan dengan berhutang lagi. Masalah ternyata tidak dapat diselesaikan dengan masalah, namun harus diselesaikan secara tuntas dari dalam ke luar (inside-out). Ibarat pengobatan, harus dari dalam, baru manjur. Berikut sharing pengalaman saya:

Jangan menghindar. Mengalami masalah dalam berhutang itu wajar dan dapat diselesaikan. Jadi Anda jangan sampai menghindar dari pemberi hutang. Semakin Anda menghindar, masalah akan semakin besar. Hadapi dan ajak bicara baik-baik. Tawarkan solusi dan ajak diskusi. Mereka juga berkepentingan supaya Anda mampu membayar hutang. Anda juga tidak perlu merasa dalam posisi di bawah. Hubungan bisnis itu posisinya setara. Para konglomerat yang punya hutang trilyunan saja (dan nunggak bertahun-tahun!) kalau bernegosiasi dengan pejabat pemerintah tampil super pe-de. Jadi kalau hutang Anda masih puluhan atau ratusan juta ya santai aja.

Jangan membuat pikiran kita terpaku dengan memikirkan masalah hutang. Semakin dipikirkan, maka masalah akan semakin berat. Lagipula, suatu masalah tidak akan selesai dengan dipikirkan. Sebagai ganti nya, mulailah berpikir tentang peluang-peluang dan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh uang tambahan TANPA BERHUTANG. Kalau kita berpikiran bahwa solusi akan datang dengan cara mencari hutang lagi, maka itu yang akan terjadi. Jadi stop memikirkan bahwa kita akan menambah hutang untuk menutup hutang. Pikirkan peluang.

Mungkin Anda akan protes, walah susah nih, bagaimana caranya? Peluang apa? Hari ini mungkin Anda belum kepikiran, tapi InsyaAllah Tuhan akan memberikan pertolongan ketika Anda mulai berpikir tentang peluang. Perhatikan sekitar Anda, adakah peluang untuk menghasilkan uang tambahan secara halal dengan cepat? Saya yakin pasti ada. Ketika kita mulai berpikir tentang peluang, pintu rizki akan terbuka. Saya pernah membuktikannya.

Terus bersyukur. Ini yang paling berat. Mana mungkin dalam keadaan babak-belur "terjepit hutang" masih bersyukur. Justru disini tantangannya. Tuhan Maha Bijaksana. Pengalaman berhutang ini tentu ada maksudnya. Saya yakin maksud tadi adalah baik untuk Anda. Barangkali akan mengantarkan Anda pada posisi yang jauh lebih baik. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur. Tiap detik, tiap waktu, ucapkan rasa syukur di hati dan di bibir. Caranya dengan mengingat-ingat anugerah dari Tuhan yang sudah Anda terima. Anak Anda yang lucu-lucu, pasangan Anda yang baik, Pekerjaan Anda yang diperebutkan ribuan orang, bisnis Anda yang Alhamdulillah masih berjalan, dan banyak lagi. Ini penting untuk menjaga agar hati Anda selalu dalam keadaan "feel good". Peluang tidak akan datang kepada orang dengan pikiran yang suntuk dan hati yang terus menggerutu. Ganti isi pikiran dan hati Anda dengan rasa syukur yang mendalam.

Tetap berbahagia. Masalah serius yang saya amati dari orang yang menghadapi masalah hutang adalah mereka menjadi tidak bahagia. Mereka merasa jadi orang susah. "Aura" susah ini terpancar keluar dan akhirnya mereka canggung dalam berbisnis, akibatnya bisnis ya makin susah. Anda harus selalu berbahagia. Hutang Anda terjadinya di dunia "luar" Anda. Diri Anda yang ada di dalam Anda tidak terpengaruh apapun yg terjadi di luar sana. Kalau Anda mau bahagia, maka jadilah Anda bahagia SEKARANG, apapun keadaan Anda. Dengan selalu bahagia, "aura" bahagia Anda akan selalu terpancar, bahasa tubuh Anda akan enak, ngomong lancar, berbisnis pun lancar. Susah dipahami ya? Hehehe … kalau gitu praktekkan saja.

Ambil tindakan. Ketika ada peluang untuk mendapatkan rizki tambahan tanpa berhutang, segera ambil tindakan. Sekecil apapun itu. Kadang Tuhan bekerja dengan misterius. Hal-hal yg kelihatannya kecil dan sepele, kadang menjadi besar dan membawa berkah di masa depan. Jangan ada hari tanpa tindakan. Mulai setiap hari Anda dengan semangat, karena Anda tahu akan melakukan apa hari ini.

Pasrahkan. Dengan tetap berusaha, selalu pasrahkan pada Tuhan penyelesaian terbaiknya. Let it God. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana, pasti akan memberikan solusi yang terbaik. Kadang Tuhan membayarkan hutang Anda dengan cara yang unik, maka Anda harus selalu open-minded. Saya pernah melunasi hutang saya dengan cara barter. Hutang saya, ternyata dapat saya tukar dengan skill dan knowledge (software) yang zero cost buat saya. Peluangnya datang begitu tiba-tiba, ketika orang yang memberi hutang menanyakan dimana mencari vendor suatu software yang dia perlukan. Langsung saya sambar kesempatan ini dengan menyatakan bahwa saya bisa memberikan. Besoknya langsung saya majukan proposal. Dan ketika matanya terbelalak membaca angka di proposal saya, saya berbaik hati memberikan secara gratis, asal hutang saya dianggap nol. Kami langsung berjabat tangan.

Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Termasuk hutang. Bahkan masalah yang Anda hadapi mungkin adalah salah satu bagian dari pembelajaran Anda menjadi pebisnis besar. Kalau mengatasi hutang puluhan juta saja tidak bisa bagaimana nanti jadi konglomerat yang punya hutang ratusan milyar? Jadi bagi yang sedang punya masalah dengan hutang, tetap semangat, selalu bersyukur, dan selalu hadirkan kebahagiaan di hati. InsyaAllah semua akan beres. (FR)