Tuesday, November 25, 2008

Bukan Kimi

“Kacamata nya Kimi Raikkonen yang mana Mas?” tanya saya di sebuah toko kacamata di Bandung. Si Mas langsung mengambilkan sebuah kacamata dari tempat yg terkunci rapih. Sebuah kacamata bergagang merah yg sangat bagus diserahkan dengan hati-hati ke saya. Saya langsung mencoba, dan bercermin. Hmm ... sepertinya ada yang aneh. Saya melirik ke poster Kimi di samping saya, tersenyum manis dengan kacamata yg sama. Ganteng sekali juara dunia Formula-1 tahun 2007 itu. Saya bercermin lagi, hmm ... tetap aneh. Kacamatanya seperti kesempitan. Wajah saya terlalu bulat, dan gagang-nya yg melengkung indah itu serasa tidak pas di telinga saya. Saya lirik Kimi lagi. Masih tetap ganteng. Saya bercermin lagi. Duh, tetap saja aneh. Kacamata saya copot, saya nyerah. Ah, saya memang bukan Kimi.

Memang manusia diciptakan sungguh unik. Dari sekian milyar penduduk bumi, kok ya tidak ada yang sama persis. Bahkan mereka yang terlahir kembar, konon tetap memiliki perbedaan. Apalagi antara saya dan Kimi Raikkonen, jelas beda sekali. Perbedaan-perbedaan yg cukup ekstrim juga saya temukan antara saya, Brad Pitt, Nico Rosberg ataupun Zac Efron, hehehe ... ya iya laah, masa ya iya doong.

Jadi sepertinya percuma saja saya pakai kacamata Kimi Raikkonen, gak akan ngaruh apa-apa di wajah saya. Apalagi pengaruh ke skill mengemudi. Kacamata seperti punya Kimi tidak akan menjadikan saya menjadi pembalap. Saya ya saya, Kimi ya Kimi. Kami berdua, seperti juga Anda, adalah individu yang masing-masing unik. Tidak ada dua nya di dunia.

Tapi justru keunikan masing-masing individu ini yang membuat dunia ini begitu indah. Coba bayangkan kalau seluruh laki-laki di dunia diciptakan berwajah Brad Pitt semua. Atau seluruh wanita di dunia diciptakan seperti Angelina Jolie semua. Pasti sangat membosankan, membingungkan, bahkan sedikit menakutkan. Apalagi kalau cara bicara, gaya, perilaku dan kemampuan-nya dibuat sama semua. Pasti sangat menakutkan.

Alhamdulillah Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing. Ada yang jago balap, ada yang pandai membuat mobil, ada yang pandai menjual, ada yang pandai memasak, bahkan ada juga yang jago makan. Masing-masing punya keunikan dan kelebihan. Keunikan ini yang membuat dunia ini “berputar”. Saling melengkapi dengan indah-nya. Si jago masak, sepandai apapun, akan membutuhkan para jago makan. Si jago balap, percuma membalap kalau tidak ada yg mengemas olah-raga balapan dalam bisnis yang melibatkan jutaan penonton. Inilah indahnya kehidupan. Terdiri dari keunikan-keunikan yang saling melengkapi.

Kalau kita demikian unik, mengapa kita harus mengabaikan keunikan diri kita dengan mencoba menjadi orang lain?

Mihaly Csikszentmihaly, pencetus gagasan “Flow” dalam bekerja dan berbisnis, bahkan menyebut bahwa menemukan keunikan diri kita adalah salah satu pilar kebahagiaan. Saking unik-nya kita, maka konon dipastikan masing-masing kita sebenarnya menyimpan potensi luar biasa untuk melakukan “sesuatu” dengan cara yang lebih baik dari orang kebanyakan.

Orang-orang seperti Kimi Raikkonen, Fernando Alonso, Michael Schumacher atau Lewis Hamilton tahu persis bahwa mereka memiliki keunikan, yaitu kemampuan menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, jauh dari rata-rata kebanyakan orang. Demikian juga dengan orang-orang seperti Bill Gates, Donald Trump atau Warren Buffet memiliki keunikan dalam melakukan bisnis.

Namun, pertanyaannya pentingnya adalah, bagaimana kita bisa menemukan keunikan kita? Berikut beberapa tips yang bisa saya share:

Pertama: Mulailah dari “passion” Anda.

Passion adalah energi yang Anda rasakan meluap-luap ketika Anda melakukan sesuatu. Energi yang demikian membakar dari dalam diri Anda untuk melakukan sesuatu yang demikian Anda sukai. Anda tidak perlu diminta untuk melakukan, Anda dengan senang hati akan melaksanakan. Kimi Raikkonen, Lewis Hamilton atau Schumacher, dari kecil sudah memiliki passion yang kuat pada olah raga balap mobil. Donald Trump, memiliki passion yang kuat dalam mengembangkan bisnis. Itu mereka. Lalu, kalau Anda, apa passion Anda? Coba tulis saja.

Masih belum bisa? Coba jawab pertanyaan ini: Apa yang akan anda lakukan dengan senang hati sebagai pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, seandainya uang bukan masalah. Seandainya, apapun yang Anda lakukan, hidup Anda akan berkelimpahan.

Hmmm ... Masih belum bisa? Atau bagaimana kalau Anda memiliki banyak passion? Tidak apa-apa, tulis saja semua passion Anda tadi. Misalnya: Passion saya adalah: menulis, mengembangkan bisnis, public speaking, dan berwisata.

Hmmm ... Masih belum bisa? Wah, Anda sepertinya kurang-gairah ... Hehehe ... Pasti bisa, karena setiap orang pasti punya hasrat terpendam dalam diri-nya.

Kedua: Merangkai Passion Anda.

Jika Anda memiliki banyak passion. Dan kenyataanya hampir semua orang memiliki banyak Passion. Maka tentukanlah dahulu passion utama Anda. Ini adalah yang paling membuat Anda bergairah, dibandingkan passion yang lain. Misalnya, dari passion saya: menulis, mengembangkan bisnis, public speaking, dan berwisata, saya memilih passion utama saya adalah Menulis. Karena saya sangat bersemangat ketika menulis. Karena saya bisa bangun tidur dan langsung kepengen menulis dengan penuh semangat. Mungkin sama bersemangatnya dengan Lewis Hamilton kecil selalu ingin membalap go-kart.

Lalu bagaimana nasib passion-passion yang lain? Dibuang? Sabar, jangan dibuang dulu. Passion-passion yang lain ini justru akan menjadi faktor penentu keunikan kita. Jadi mari kita rangkai saja. Karena saya senang menulis dan mengembangkan bisnis, bagaimana kalau saya kombinasikan dua passion: menulis tentang pengembangan bisnis? Karena saya suka menulis dan public speaking, bagaimana kalau saya menulis buku dan menyampaikannya dalam seminar-seminar? Ah, atau bagaimana kalau saya menulis buku pengembangan bisnis, mengadakan seminar tentang buku saya, diselenggarakan di tempat-tempat wisata bisnis? Wow ... mau meledak otak saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan-nya.

Ini baru dari empat passion yang saya identifikasikan. Bagaimana kalau saya rangkai dengan passion-passion terpendam saya yang lain? Pasti luar biasa!

Dan ini akan menjadi sesuatu yang unik. Sesuatu yang “Gue banget”, karena berawal dari sesuatu yang benar-benar saya sukai.

Anda juga harus mencobanya. Karena keunikan Anda, pada akhirnya akan membedakan hasil karya Anda dengan orang lain. Ini adalah dasar dari marketing yang sebenarnya.

Jadi, ternyata benar, saya adalah saya. Kimi adalah Kimi. Tidak perlu memakai kacamata Kimi Raikkonen, toh saya sudah menemukan sesuatu yang luar biasa. Sesuai keunikan yang saya miliki. Anda juga sudah menemukan keunikan Anda? (FR)

Tuesday, November 18, 2008

Outliers

Pernahkah Anda memikirkan, apa yang membedakan Bill Gates dengan ribuan pengusaha IT lainnya? Apa yang membedakan Beatles dengan ribuan band dari Inggris? Apa yang membedakan Joe Flom – seorang pengacara korporat terkemuka, dengan ribuan pengacara lain di Amerika? Gates, Flom dan juga the Beatles adalah Outliers. Dalam statistik, outliers adalah hasil observasi yang tidak bisa dikelompokkan dalam kelompok utama karena sangat berbeda dengan kelompok utama. Dalam buku terbaru Malcolm Gladwell yang berjudul “Outliers: The Story of Success”, Gladwell yang juga penulis buku “Tipping Point” dan “Blink” mengungkapkan dengan sangat cerdas peran lingkungan sosiologis yang memunculkan para Outliers yang sukses luar biasa itu.

Jika selama ini kita membaca biografi orang-orang sukses dan kisah-kisah heroik mereka, kesan yang melekat adalah bagaimana mereka telah berhasil mewujudkan keberhasilan mereka dari nol, perjuangan tidak kenal menyerah yang mereka lakukan, dsb. Seolah-olah segala keberhasilan mereka adalah semata dari diri mereka sendiri. Dalam Outliers, Gladwell justru memberikan penyeimbang, bahwa selain faktor kemampuan diri mereka sendiri, ada faktor-faktor sosiologis di luar diri mereka yang berperan penting dalam kesuksesan mereka. Faktor-faktor inilah yang telah membuat mereka menjadi para Outliers.

Sukses instan vs aturan 10,000 Jam

Banyak orang yang membaca biografi Bill Gates secara salah. Mereka hanya melihat moment dimana Bill Gates memutuskan keluar dari Harvard dan mendirikan Microsoft bersama Paul Allen. Seolah modal Bill Gates waktu itu hanyalah tekad dan semangat saja. Padahal jauh sebelum itu, Bill Gates sudah mempersiapkan diri nya dengan “berlatih” menulis program selama lebih kurang 10,000 jam. Tidak percaya? Bill Gates sudah menulis program sejak di sekolah menengah, berkat perkumpulan orang tua murid sekolahnya yang berpikir kedepan dengan membelikan komputer “time sharing” yang terhitung mahal. Dan selepas sekolah menengah, Gates yang tinggal di dekat University of Washington dapat menggunakan komputer mereka yang nganggur antara jam 03 – 06 pagi. Berapa kira-kira total waktu “berlatih” Bill Gates sebelum memulai Microsoft? Bisa jadi sekitar “10,000 jam”.

Bagaimana dengan the Beatles? Band paling sukses di dunia hingga hari ini. Banyak yang melihat Beatles hanya pada saat mereka tenar dengan album-album legendaris seperti “Sgt. Peppers Lonely Hard Club Band” atau “White Album”. Tapi sesungguhnya, jauh sebelum mereka memperoleh kontrak rekaman pertama mereka, mereka telah menjalani latihan maraton yang panjang dan sulit. Selama 1960 – 1962 Beatles bermain untuk klub di Hamburg Jerman dan harus bermain selama 8 jam sehari, hingga 7 hari seminggu lamanya. Durasi yang panjang menyebabkan mereka harus memeras kreatifitas, memainkan bermacam genre lagu, memodifikasi lagu lama, hingga menciptakan lagu sendiri. Jika tidak, maka penonton bakal berteriak-teriak karena bosan. Masa-masa “10,000 jam” di Hamburg ini lah yang telah menempa John Lennon, Paul McCartney dan George Harrison dengan skill yang mereka butuhkan, menumbuhkan chemistry di antara mereka, dan kreatifitas nyaris tanpa batas yang kelak akan menjadikian musik Beatles memiliki spektrum yang sangat luas.

Kesimpulannya, Gates, Beatles dan juga para olahragawan professional, memiliki peluang yang lebih baik, karena mereka juga telah mengasah kemampuan mereka lebih lama dari orang kebanyakan. Gladwell memberikan ilustrasi yang sangat teliti, bagaimana pemain Hockey professional kebanyakan lahir pada bulan-bulan tertentu. Semata karena pada saat direkrut di usia dini, mereka beberapa bulan lebih tua dari pesaing-pesaingnya. Akibatnya mereka dianggap lebih mampu, memperoleh keistimewaan selama sekolah, dan berlatih lebih lama dibanding rekan-rekan seusianya. Merekapun memperoleh 10,000 jam nya secara lebih cepat dibanding orang lain.

Jenius Saja Tidak Cukup

Apakah Bill Gates jenius? Apakah John Lennon seorang jenius? Bisa jadi. Tapi bisa jadi juga tidak. Yang jelas Christopher Langan adalah manusia paling jenius dewasa ini. IQ nya mencapai 190. Bayangkan, Albert Einstein saja hanya 150. Untuk menguji kejeniusan Langan bahkan tidak cukup dengan test IQ standard, namun harus dengan test khusus untuk IQ sangat tinggi. Kecerdasan Langan sangat luar biasa. Bicaranya teratur dan runut, pengetahuan umumnya sangat luas, ingatannya sangat kuat, memecahkan soal matematika dengan mudah, dan sebagainya. Menurut Anda apakah profesi Langan saat ini? Ahli membuat roket? Bukan, dia adalah pengelola peternakan kuda.

Kejeniusan Langan nyaris tidak berarti apa-apa, karena sepanjang sekolah kegagalan demi kegagalan dialaminya. Berbeda dengan Bill Gates yang didukung keluarga dan teman-temannya. Langan menjalani masa remaja nya sendirian. Dan berusaha keras masuk ke perguruan tinggi yang disukainya, sendirian. Dan Langan tidak pernah berhasil. Ternyata para jenius tadi untuk berhasil juga butuh dukungan. Dalam bahasa Gladwell: “no one--not rock stars, not professional athletes, not software billionaires, and not even geniuses--ever makes it alone."

Christopher Langan memiliki keuntungan dibanding orang kebanyakan. Yaitu kecerdasannya. Namun kecerdasan tadi tidak membawanya menjadi orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Tentu saja, kita semua membutuhkan tingkat intelegensi yang cukup untuk mencapai keberhasilan. Namun intelegensi yang mampu membawa Anda lulus sekolah sebenarnya sudah cukup. Jika IQ Anda di atas rata-rata teman sekolah Anda, itu adalah advantage, jika Anda bisa memanfaatkan. Sebagaimana Bill Gates memanfaatkan komputer di sekolah mahal nya waktu itu, atau the Beatles memanfaatkan peluang bermain di Hamburg.

Sukses Orang Pinggiran

Bagaimana jika kita tidak seberuntung Bill Gates yang orang tua nya “kebetulan” kaya, atau the Beatles yang “kebetulan” tinggal di Liverpool?

Joseph Flom adalah keturunan imigran Yahudi dari Eropa Timur yang tinggal di New York. Sangat cerdas, Flom lulus dari sekolah hukum Harvard pada tahun 1948 dengan cum laude. Tapi apakah mudah masuk ke firma hukum terkemuka bagi seorang keturunan Yahudi? Tidak. Bahkan kenyataanya tidak bisa. Pada waktu itu firma hukum terkemuka di AS hanya menerima pengacara muda dari kalangan kulit putih. Jika diterima Flom akan menjadi “makhluk aneh” ditengah-tengah pengacara yang sudah “seragam” dalam budaya. Joe Flom pun akhirnya masuk ke firma baru yang baru didirikan, dan belum memiliki klien ,Skadden & Arps. Waktu Flom menanyakan firma tadi berspesialisasi dalam kasus apa saja, pemilik firma menjawab, “kasus apa saja yang masuk dari pintu depan itu ...”

Begitulah, akhirnya Flom mengerjakan kasus apa saja. Utamanya kasus-kasus yang tidak akan ditangani firma besar: Proxy fights. Proxy fights adalah langkah yang dapat diambil pemegang saham perusahaan, yang meminta pemegang saham lain untuk menunjuk dia sebagai proxy untuk mengambil langkah tertentu, misalnya pergantian manajemen, dsb. Ini adalah “dirty jobs” yang tidak dikerjakan firma besar. Flom adalah jagoan dalam bidang ini, karena tanpa pesaing. Dan seiring dengan maraknya hostile takeover, reputasi Flom semakin berkibar. Memasuki tahun 1970-an, merger dan akuisisi mulai banyak terjadi di Wall-street. Pada saat itu, maka hanya satu nama yang dikenal cukup memiliki pengalaman: Joseph Flom.

Joseph Flom adalah Yahudi yang terpinggirkan di komunitas hukum Amerika Serikat. Namun justru hal ini membuatnya “terpaksa” berspesialisasi pada hal yang tidak dikerjakan oleh orang lain. Dan ketika kesempatan yang lebih besar datang, ia sudah berada disana. Ia adalah Outliers.

Warisan Leluhur

Gladwell juga tidak menyangkal, bahwa ada “warisan-warisan leluhur” yang melekat pada budaya kita yang dapat sangat mempengaruhi keberhasilan.

Korea Air (KAL) adalah salah satu maskapai penerbangan yang terkenal dengan safety yang tinggi. Merupakan member dari aliansi SkyTeam, sejak 1999 KAL tidak memiliki catatan buruk keselamatan. Bahkan tahun 2006 menerima Phoenix Award atas transformasi yg dilakukannya. Padahal sebelumnya Korea Air dikenal sebagai penerbangan dengan tingkat kecelakaan yang tinggi. Yang paling terkenal adalah crash Penerbangan KAL 801 di Guam pada tahun 1997. KAL sukses melakukan transformasi dengan mengevaluasi dan melakukan perubahan segala penyebab yang mungkin atas tingginya kecelakaan, dan salah satu point yang sangat krusial adalah: Budaya.

Pesawat terbang modern di desain untuk diterbangkan oleh lebih dari satu orang. Karenanya, Pilot akan dibantu oleh co-Pilot dan Flight engineer. Apa hubungannya dengan budaya? Dalam budaya Korea, adalah pantang membantah seorang pemimpin. Karenanya, seorang co-pilot akan patuh dan tidak berani menentang sang Pilot. Kalaupun menentang, mereka tidak berani menyampaikan secara to the point, namun dalam ungkapan yang ambigu. Dalam crash penerbangan 801, dari rekaman pembicaraan di cockpit jelas terdengar bahwa co-pilot tidak berani menyampaikan opini nya. Pada saat Pilot memutuskan untuk melakukan pendaratan secara visual, flight engineer hanya berani berkomentar bahwa “Kapten, radar cuaca sangat membantu kita”. Alih-alih menyatakan:” Kapten sebaiknya kita tidak melakukan pendaratan secara visual”.

KAL membuktikan, budaya memang bisa sangat mempengaruhi keberhasilan. Namun, kita juga bisa melakukan perubahan atas budaya yang tidak kondusif bagi pencapaian keberhasilan.

Apakah dengan demikian budaya Asia secara umum tidak mengkondisikan ke arah keberhasilan? Tentu saja tidak demikian. Bahkan saat ini dunia sangat mengakui kemampuan orang Asia. Paling tidak dalam Matematika. Ya, dalam setiap kontes dan olimpiade Matematika, siswa-siswa Asia bisa dipastikan jauh lebih unggul dari siswa-siswa negara barat. Ini juga salah satu imbas dari warisan leluhur: Budaya Pertanian.

Petani Padi di Asia, ribuan tahun lamanya bekerja dengan cara berbeda dibandingkan bangsa Eropa. Di negara empat musim, praktis petani hanya dapat bertani pada 2 musim, dan sisa nya adalah menganggur. Demikian juga di negara-negara dengan malam yang lebih panjang, petani bekerja lebih singkat. Tidak demikian dengan petani di Asia. Para penanam Padi adalah orang-orang dengan ketekunan yang sangat tinggi, yang sanggup bekerja dari subuh hingga petang, sepanjang tahun. Ketekunan dan juga bahasa yang lebih akrab terhadap angka adalah kunci penguasaan orang Asia dalam Matematika. Coba saja bandingkan cara pengucapan bilangan belasan dan puluhan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Bahasa Inggris memiliki lebih banyak ketidak-teraturan dalam pengucapan.

Ketekunan para Petani Padi yang kental dalam budaya bangsa Asia, merupakan sumber yang akan membawa kemajuan Asia di masa mendatang. Seperti pepatah lama China yang dikutip oleh Gladwell: “No one who can rise before dawn, 360 days a year, fail to make his family rich ...” (FR)

Monday, October 13, 2008

The Dip

Jumat minggu lalu menjadi hari yang sedikit menegangkan. Setelah puas berlibur selama Lebaran, ternyata urat syaraf harus langsung tegang. Bagaimana tidak, nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS terus mengalami depresiasi hingga sempat menembus batas psikologis Rp.10,000 per dollar AS. Beberapa rekan sesama pengusaha IT terang-terang-an menyatakan kekhawatirannya. Apalagi bagi mereka yang fokus bermain di penjualan hardware. Kenaikan nilai tukar Dollar jelas akan mempengaruhi harga jual produk mereka. Bahkan diantara teman saya ada yang sudah terlanjur memegang kontrak pembelian dari customer dengan nilai Rupiah. Bisa dibayangkan, kenaikan dollar seperti ini jelas memunculkan potensi kerugian yang tidak sedikit.

Berita menegangkan dari Pasar Uang tadi dilengkapi dengan kondisi yang setali tiga uang di Pasar Modal. Bursa Efek Indonesia minggu lalu di suspensi oleh otoritas karena didera aksi jual hingga Indeks Harga Saham Gabungan mengalami kejatuhan hingga lebih dari 10%. Mau tidak mau, dua kejadian tadi menyisakan sebuah pertanyaan besar: Apakah kita diambang krisis ekonomi?

Saya kembali terkenang dengan masa-masa krisis sepuluh tahun lalu. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dipicu oleh krisis moneter, dan akhirnya merembet ke krisis politik dan krisis multi dimensi, yang bahkan hingga hari ini belum tuntas kita atasi. Terbayang kembali masa-masa sepuluh tahun lalu yang dipenuhi dengan berita penutupan bank, perusahaan yang gulung tikar, dan PHK besar-besar-an. Kembali pertanyaan besar tadi mengganggu pikiran saya: Akankah kita dihantam krisis kembali? Haruskah terjadi gelombang PHK lagi? Dan yang lebih penting lagi, dapatkah usaha-usaha kecil dan menengah, seperti usaha saya, terus bertahan? Haruskah usaha-usaha kecil dan menengah yang beberapa tahun lalu mulai bermekaran di Republik ini harus terhempas oleh badai krisis?

Padahal beberapa tahun ini, benar-benar merupakan tahun keemasan bagi kami pelaku usaha kecil. Usahawan-usahawan muda bermunculan dengan semangat dan gairah baru. Iklim usaha yang kondusif. Situasi politik relatif stabil, suku bunga terjaga dalam level yang rendah, dan nilai tukar Rupiah tidak sangat fluktuatif. Meski harga BBM sempat mengalami kenaikan, namun secara umum bisnis berjalan dengan baik. Dan kemudian, terjadilah krisis keuangan di pusat ekonomi dunia, Amerika Serikat. Krisis yang mau tidak mau akan dirasakan dampaknya oleh semua pelaku ekonomi di planet ini.

Ibarat sedang berjalan melintasi dataran yang landai dan nyaman, dan tiba-tiba di depan ternyata ada sebuah jurang besar menghadang. Rupanya inilah moment yang oleh Seth Godin disebut sebagai fenomena sebuah “cekungan” (The Dip). Sebuah moment yang akan menentukan, apakah kita akan berhenti, atau bertahan. The Dip adalah sebuah batas, yang akan menentukan, apakah kita akan menjadi yang terbaik, atau menjadi yang kebanyakan, berhenti dan meratap di tepian The Dip.

Bagaimana jika krisis ekonomi benar-benar terjadi? Bahkan dengan tingkat yang sama atau lebih parah dari krisis sebelumnya? Akankah saya berhenti atau bertahan? Kalau saya pribadi, ternyata ada lebih banyak alasan untuk maju terus melewati The Dip, seberapa dalam pun cekungan ini nanti akan terjadi.

Alasan Pertama: Semua pihak akan mengalami Krisis. Bukan hanya kita sendirian yang akan menghadapi krisis. Kalau krisis hanya kita alami sendirian, sementara kompetitor tidak mengalami, maka ini akan memberikan advantage bagi kompetitor kita. Krisis ekonomi global tidak akan menyisakan ruangan bagi siapapun. Ibarat hujan besar yang mengguyur sebuah permainan sepakbola dan membuat seluruh pemain di lapangan menjadi basah. Semua pemain akan menghadapi tantangan yang sama. Dalam posisi seperti ini, tidak ada pihak yang akan menjadi lebih unggul karena krisis. Kecuali kalau kita memutuskan berhenti atau melambat karena krisis, maka sama artinya dengan memberikan advantage bagi kompetitor kita.

Alasan Kedua: Dampak Krisis paling dirasakan oleh mereka yang besar. Pengalaman selama Krisis 1998, justru para pemain besar-lah yang akan merasakan dampak krisis dengan lebih berat. Perusahaan-perusahaan besar, memiliki transaksi-transaksi, hutang-piutang, termasuk pinjaman-pinjaman, menggunakan mata uang asing dalam jumlah besar. Mereka adalah pihak-pihak pertama yang akan merasakan dampak dari fluktuasi nilai tukar mata uang. Mereka juga sangat tidak fleksibel dalam melakukan langkah-langkah penghematan. Untuk menyusun ulang budget, ada langkah-langkah birokratis yang harus dilalui. Demikian juga dalam membuat keputusan dalam reorganisasi, keputusan melakukan diversifikasi produk, pasar, dsb. bukanlah keputusan-keputusan yang bisa dibuat dalam waktu cepat. Usaha kecil, sebaliknya, sangat fleksibel. Reorganisasi, ganti produk, bahkan ganti pasar, diputuskan sendiri oleh owner dan bisa langsung diimplementasikan saat itu juga. Tidak heran, di era Krisis pada masa lalu, sektor usaha informal seperti industri rumah tangga dan para penjual lapak di kaki lima, justru mampu bertahan. Fleksibilitas yang menjadi advantage usaha kecil inilah yang akan saya manfaatkan sebaik-baiknya.

Alasan Ketiga: Krisis selalu memunculkan peluang. Jika produk atau jasa yang kita tawarkan adalah sebuah kebutuhan, maka sebenarnya pasar tidak akan pernah pergi meninggalkan kita. Hanya pergeseran-pergeseran yang akan terjadi. Dari kacamata usaha, peluang-nya bisa jadi sama manis nya. Orang yang biasa membeli baju seharga Rp. 1 juta, pada saat krisis, mungkin akan turun kelas membeli baju seharga Rp. 100 ribu. Ini peluang bagi mereka yg menjual baju seharga 100 ribu. Mereka yg biasa memakai parfum asli, mungkin akan mencari parfum refill. Yang biasa memakai mobil, mungkin akan membeli motor, yang biasa makan di resto mungkin akan mencari kafe tenda pinggir jalan, yang biasa nonton di bioskop, mungkin akan menyewa DVD, yang biasa liburan di luar negeri, mungkin akan memilih liburan di dalam negeri yang tidak kalah eksotis. Dan seterusnya.

Pergeseran-pergeseran ini yang membuat saya yakin, The Dip yang akan membentang di depan kita akan dapat kita lewati. Pasti melewatinya tidak dengan mudah. Namun bukan sesuatu yang mustahil. Dan ketika Anda kelak berhasil melewatui The Dip, dan berdiri di seberang sana, Anda telah membuktikan diri bahwa Anda sudah menjadi yang lebih baik. Bahkan mungkin yang terbaik di bidang yang Anda tekuni. (FR).

Tuesday, August 26, 2008

C.E.M.

“Pak maaf hari ini saya tidak masuk, motor saya rusak”
“Pak maaf kemarin saya tidak dapat hadir di meeting, saya mendadak sakit perut”
“Maaf Bu laporan belum selesai, laptop saya tiba-tiba rusak”
“Maaf saya terlambat Pak, tadi jalanan macet berat”

Apakah kalimat-kalimat di atas terdengar akrab di telinga Anda? Mungkin ada rekan Anda yang senang mengucapkan kalimat-kalimat sakti tadi? Atau jangan-jangan Anda sendiri sering mengucapkan kalimat di atas dan sejenisnya? Kalau ya, maaf ya, hehehe ... tulisan kali ini memang khusus buat Anda.

Kalimat-kalimat di atas adalah contoh kalimat “excuse” alias beralasan. Pada dasarnya semua orang punya sisi “si pembuat alasan” dalam dirinya masing-masing. Coba Anda ingat-ingat, dalam satu kesempatan, pasti Anda pernah melontarkan excuse. Entah alasan tidak datang ke kantor, alasan menunda pekerjaan, atau alasan terlambat pulang ke rumah. Saya sendiri juga pernah. Atau sering ya? Hehehe ...

Excuse ini manusiawi. Karena merupakan bagian dari mekanisme manusia dalam mempertahankan diri nya. Pada dasar nya manusia selalu ingin melindungi diri nya, karena nya, ketika sang “ego” merasa “diserang”, maka muncul naluri untuk bertahan. Diantaranya dengan mengemukakan alasan. Namun, Anda harus berhati-hati. Membuat excuse yang terlalu sering dapat membuat Anda mengidap penyakit yang saya sebut “Chronic Excuse Making” (pengidap penyakit membuat alasan yang kronis). Ini yang gawat.

Pengidap Chronic Excuse Making (C.E.M) ini akan selalu berlindung di balik alasan-alasan, untuk menutupi hal-hal yang tidak mau atau tidak mampu ia kerjakan. Seolah-olah, dengan menyampaikan excuse, maka kewajiban yang harus dilaksanakan sudah terselesaikan. Jadi jika ada suatu pekerjaan yang tidak terselesaikan, maka excuse lah yang akan dikedepankan. Mengapa datang terlambat? Kan ... macet. Mengapa tidak selesai? Kan ... saya sakit. Mengapa tidak datang? Kan ... tadi hujan. Dst.

Padahal kita semua tahu, yang namanya excuse tidak akan mengubah apa-apa. Kalau tidak selesai ya artinya tidak selesai. Apapun excuse nya. Kalau tidak datang ya artinya tidak datang, apapun alasan yang kita berikan. Pengidap C.E.M kadang melupakan hal ini, karena terjebak dalam alasan-alasan yang dikemukakan.

Never trade results for excuses.
Dalam buku “Winning Habits”, Dick Lyles bertutur tentang kisah Admiral John P.J. Farragut, seorang purnawirawan Angkatan Laut Amerika Serikat yang sangat sukses baik dalam karir militer maupun karir pasca dinas militernya. Dalam buku fiksi tersebut dikisahkan Admiral Farragut mengungkap rahasia suksesnya kepada pasangan muda bernama Albert dan Jennifer. Salah satu rahasia sukses sang Admiral diperoleh selama pendidikan militer-nya. Rahasia tadi berbunyi: “Never trade results for excuses”.

Dalam pendidikan militer US Navy yang penuh disiplin, ketika seorang calon perwira ditanya seniornya, dan ia tidak tahu jawabannya, maka tidak ada jawaban “I don't know”. Yang ada hanyalah “I'll find out, Sir!” Betapapun sulitnya pertanyaan tadi. Bisa dibayangkan, jika kelak mereka bertugas di sebuah kapal, dalam situasi genting, jika ada persoalan yang harus dipecahkan, maka “I don't know” memang sama sekali bukan jawaban. Padahal, selama pendidikan, mereka akan sangat disibukkan dengan berbagai program belajar yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk berlama-lama menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan seniornya. Dan ketika sang calon perwira tidak berhasil menemukan jawaban, maka hanya ada satu alasan yang dapat disampaikan: “No excuse, Sir!” Ya, tidak ada excuse. Karena excuse apapun yang dikemukakan tidak dapat menggantikan jawaban yang seharusnya disampaikan.

Para calon perwira US Navy tadi belajar, bahwa excuse, bagaimanapun adalah alasan bahwa kita gagal memenuhi komitmen yang telah kita sampaikan. Betul, bahwa kadangkala ada hambatan yang menghalangi. Namun orang-orang sukses adalah mereka yang terbukti selalu bisa mengatasi hambatan yang menghalangi komitmen yang telah mereka berikan, dan tidak menyerah dengan mudah oleh alasan-alasan sederhana.

Push it to your limit.
Dulu, sewaktu masih menjadi karyawan, saya sering menerima “mission impossible”. Salah satu yang saya masih ingat adalah tugas untuk mengikuti tender di sebuah perusahaan yang berlokasi di luar Jawa. Sebenarnya ini tugas biasa. Namun kali ini dengan waktu untuk menyiapkan proposal dan dokumen tender yang sangat singkat. Hanya dua hari kerja. Biasanya butuh waktu paling cepat dua minggu untuk menyiapkan dokumen yang sama. Namun kali ini tidak ada ampun, saya hanya punya waktu dua hari saja. Hari pertama praktis habis untuk menyiapkan dokumen pendukung, mengcopy nya dan memasukkan dalam folder-folder yang akan dibawa ke tender. Di hari pertama saya pulang jam 12 malam. Hari kedua, saya baru selesai membuat proposal teknis tepat jam 12 malam, sementara jam 6 pagi saya harus sudah ada di Bandara. Dan susahnya waktu itu saya tinggal di daerah Bekasi, lebih dari 1 jam perjalanan dari kantor saya.

Rasanya nyaris tidak mungkin pagi harinya saya bisa ikut tender. Saya hampir menyerah. Sendirian, jam 12 malam, di kantor yang gelap dan gerah (di kawasan Sudirman overtime untuk lampu dan AC sangat mahal), belum makan malam, dan membayangkan teman-teman dan atasan saya waktu itu yang semua sudah lelap tertidur. Hampir saya memutuskan untuk menyerah. Saya sudah siap membuat alasan. Mulai dari mendadak laptop saya crash, mendadak radiator mobil saya bocor, mendadak sakit perut, tiba-tiba meriang, dst. Apapun bisa saya sebutkan supaya besok ada alasan tidak datang di tender tadi. Dan mendadak juga saya jadi kreatif sekali membuat alasan. Namun, semakin banyak alasan yang saya karang, semakin saya tersadar, bahwa: Tidak ada gunanya membuat excuse. Excuse apapun yang saya buat, tidak akan pernah menjadi penggati dari fakta yang akan saya terima besok: bahwa saya gagal ikut tender. Ini yang saya tidak bisa terima. Dan saya mentertawakan kebodohan saya.

Waktu itu saya segera memutuskan membawa pulang semua folder kerumah, merapikan folder dan amplop di rumah, mencari-cari meterai dan segel jam 02 pagi (dan ajaibnya dapat), memasukkan semua amplop kedalam travel bag, mandi, ganti baju, dan langsung ke Bandara. Saya berhasil berada di lokasi tender tepat jam 08.30 pagi, 30 menit sebelum tender dimulai. Saya puas. Perjuangan saya selama dua hari tidak sia-sia.

Namun saya kalah dalam tender tersebut. Padahal dokumen yang saya siapkan tanpa cela. Apa boleh buat, solusi yang kami tawarkan secara komersial kurang kompetitif. Meskipun kalah, tentu saja saya pribadi masih untung. Lho, kok untung? Bukan, bukan untung uang SPJ. Perusahaan tempat saya bekerja tidak mendapatkan projectnya, tapi saya tetap beruntung memperoleh pengalaman yang sangat berharga. Bahwa ternyata saya bisa memenuhi komitmen yang saya berikan, tanpa harus memberikan excuse apapun, ketika saya berusaha hingga limit saya.

Jadi kalau Anda mulai merasakan gejala-gejala C.E.M, segera coba dua resep tadi: (1) Ingatlah, bahwa excuse tidak dapat menggantikan hasil akhir, dan (2) Cobalah sampai limit Anda dahulu, sebelum menyampaikan excuse. Semoga dengan demikian kita semua (termasuk saya) bisa terhindar dari penyakit C.E.M. (fr)

Thursday, August 07, 2008

6 Agustus

6 Agustus, pukul 08.15 pagi. 63 tahun yang lalu. Kilatan cahaya sangat menyilaukan tiba-tiba menerangi langit. Dan sesaat kemudian sebuah asap cendawan raksasa memayungi Hiroshima. Seluruh bangunan, manusia, tumbuhan dan hewan di bawahnya, hancur seketika. Bom Atom pertama di dunia telah dijatuhkan di Horoshima.

Adalah presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S. Truman yang memutuskan untuk menggunakan bom bertenaga atom untuk mengakhiri perlawanan Jepang. Sebuah keputusan yang telah merenggut ratusan ribu jiwa rakyat sipil Jepang. Namun juga adalah keputusan yang terbukti dapat mengakhiri Perang Dunia yang berlarut-larut dan menhindari korban lebih besar. Sebuah keputusan yang sesungguhnya juga tidak mudah, bahkan bagi seorang pemimpin sekelas Truman.

Ketika militer Amerika Serikat menyatakan mereka berhasil menciptakan Bom Atom, tidak semua orang mendukung penggunaan Bom Atom untuk mengakhiri perang. Bahkan ilmuwan Albert Einstein, Jenderal Dwight Eisenhower hingga Jenderal Douglas MacArthur pada waktu itu telah menyatakan bahwa Bom Atom tidak diperlukan untuk mengakhiri perang. Sehingga Presidan Truman dihadapkan pada pilihan yang berat, dengan konsekuensi yang sama berat nya. Namun toh keputusan harus dibuat. Sang pemimpin harus tegas membuat keputusan, apakah Bom Atom akan digunakan atau tidak. Dan Truman akhirnya membuat keputusan yang konon adalah sebuah keputusan yang paling berpengaruh di abad lalu.

Membuat keputusan adalah salah satu kualitas dari seorang Pemimpin. Seandainya kita dalam posisi Truman waktu itu, sanggupkah kita membuat keputusan?

Dalam kehidupan sehari-hari kita juga harus selalu membuat keputusan, meskipun keputusan yang harus kita buat nilai penting nya jauh di bawah keputusan yang pernah dibuat oleh Presiden Truman. Terlebih dalam kehidupan para pemimpin dan pemilik bisnis. Keputusan penting yang dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha setiap saat harus dibuat. Haruskah kita menjalankan program marketing yang mahal ini atau tidak? Haruskah karyawan yang bermasalah ini dipertahankan atau diberi kesempatan lagi? Haruskah kita meneruskan kerjasama dengan supplier ini atau mencari supplier baru? Dan banyak lagi keputusan yang harus dibuat dalam time-frame yang sangat singkat.

Menunda keputusan hampir dapat dipastikan malah akan menimbulkan masalah baru. Karena berikutnya akan mengantri masalah-masalah lain yang harus segera diputuskan.

Menjadi indecisive (sulit membuat keputusan) adalah penyakit yang dapat membahayakan diri Anda dan keseluruhan organisasi. Dan penyakit ini saya amati kadang demikian kronis pada diri seseorang. Anda dapat mengamati sikap indecisive ini dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan untuk hal-hal sangat penting, untuk hal-hal sepele seperti memilih mau makan siang dimana, atau mau makan siang apa, bagi pribadi yang indecisive, bisa menjadi cerita yang panjang. Penyakit ini harus dicegah. Karena bisa kronis. Awalnya mungkin hanya indecisive dalam hal memilih menu makanan, memilih baju, atau mau pergi kemana akhir pekan nanti. Namun setelah menjadi kebiasaan, bisa-bisa kita akan selalu indecisive dalam banyak keputusan yang lebih penting.

Jika Anda memutuskan untuk menjadi Pemimpin. Maka Anda harus lebih mengasah diri Anda untuk menjadi pribadi yang decisive. Caranya? Nah, ini harus dilatih, secara terus menerus. Beberapa metode praktis yang saya gunakan adalah sebagai berikut:

Gunakan bahasa yang decisive
Apakah Anda termasuk orang yang sering menggunakan kata-kata “bagaimana lagi ...”, “terpaksa ...”, “sepertinya ...”, “mungkin ...” secara berlebihan dan tidak pada tempatnya?. Hati-hati, jangan-jangan Anda sedang mengekspresikan sesuatu yang indecisive. Misalnya ketika diundang di sebuah acara. Seringkali kita menjawab dengan “sepertinya saya tidak bisa datang ...”. Ini sebenarnya aneh. Kok sepertinya? Mengapa kita tidak memutuskan saja, bisa datang atau tidak. Jika bisa, akan datang jam berapa, dst. Jika tidak bisa, nyatakan saja tidak bisa. Atau dalam sebuah meeting, ketika akan menyampaikan saran, seringkali orang menyampaikan “mungkin ... saya ada sedikit saran.” Lho kok mungkin? Jadi mau menyampaikan saran atau tidak. Dulu saya punya seorang sopir yang tinggal di daerah yang setiap musim hujan selalu banjir. Dan setiap kebanjiran selalu mengeluh. Saya heran, dan bertanya mengapa dia tinggal disana. Jawabannya adalah “bagaimana lagi Pak ...” Lho, memangnya kita tidak bisa memutuskan untuk tetap tinggal atau pindah mencari tempat tinggal baru. Seorang teman pernah menyampaikan pada saya bahwa “sepertinya saya akan resign dari pekerjaan ...” Nah, kok sepertinya? Jadi mau resign atau tidak? Bagaimana seandainya Presiden Truman waktu diminta keputusan akan menggunakan Bom Atom atau tidak menjawab dengan “hmmm ... mungkin ...” Kira-kira bagaimana reaksi bawahannya?

Orang-orang yang decisive menggunakan bahasa yang mengekspresikan keputusan atau preferensi nya. Bukan bahasa yang mengambang dan ragu-ragu. Apa yang kita ucapkan dapat membentuk diri kita. Jadi mulai sekarang, perhatikan ucapan Anda, apakah decisive atau indecisive.

Dapatkan informasi yang lengkap
Seringkali penyebab kita sulit membuat keputusan adalah informasi yang tidak lengkap. Misalnya kita diundang ke sebuah acara, yang lokasinya kita tidak tahu dimana, atau waktu nya tidak jelas. Tentu akan sulit membuat keputusan. Atau kita diminta memutuskan untuk jadi membeli mobil atau tidak, sementara warna dan harga nya kita belum tahu, tentu sulit untuk memutuskan. Seorang yang decisive tidak akan membiarkan diri dalam ketidak tahuan informasi, namun berusaha mendapatkan informasi yang lebih lengkap, dan memutuskan berdasarkan informasi tersebut.

Seorang yang decisive akan menggali informasi lebih lengkap, misalnya: “Jam berapa acaranya, hari apa, dimana?” Dan memutuskan, misalnya: “OK kalau acaranya di Bandung Indah Plaza, hari Sabtu jam 12.00 saya bisa, saya akan datang.” Atau dalam hal membeli mobil misanya “Kalau ada yang warna nya hitam, dan harga nya bisa kurang dari 200 juta, saya beli”. Ketika akan memutuskan memberikan sanksi kepada karyawan yang bermasalah maka seorang yang decisive akan menggali informasi, kesalahan apa yang telah diperbuat, peraturan perusahaan mana yang dilanggar, sesuai ketentuan apa sanksi nya, dan memutuskan sanksi tanpa ragu.

Gunakan intuisi
Seringkali, meskipun informasi yang kita peroleh sudah cukup lengkap, kita masih ragu-ragu untuk memutuskan. Ini ibaratnya Anda harus memilih pasangan hidup yang sama baiknya, sama cantiknya, sama cerdasnya. Sudah di cek informasi bibit bebet bobot juga masih seimbang. Lalu bagaimana memutuskan? Ya gunakan saja intuisi. Apa kata hati Anda? Sayangnya intuisi tidak akan berkembang jika Anda tidak latih. Jadi harus sering digunakan. Percayalah, apapun keputusan yang Anda pilih nanti akan ada konsekuensi nya. Jadi percuma ada dalam posisi tidak memilih. Dengarkan intuisi Anda dan ambil keputusan, apapun konsekuensi nya ya nanti dihadapi saja.

Dalam kenyataanya di belakang hari kita akan sulit mengatakan apakah dulu kita membuat keputusan yang salah atau benar. Yang ada adalah bagaimana kita menghadapi konsekuensi dari keputusan kita. Contohnya ketika memutuskan resign dari pekerjaan dan memulai usaha sendiri, saya tidak melakukan kalkulasi berapa tabungan saya, bagaimana risiko usaha saya, dsb. Intuisi saya mengatakan saya harus resign hari itu, dan saya resign. Dan kemudian pada tahun pertama usaha saya nyaris kolaps. Saat itu tentu ada rasa sesal. Mengapa saya harus memutuskan resign, sehingga mengakibatkan saya kesulitan keuangan. Coba kalau tetap jadi karyawan tentu masih menikmati gaji dan hidup tenang. Apakah keputusan saya waktu itu salah? Saya tidak ada waktu untuk memikirkan apakah keputusan saya salah atau benar. Yang ada adalah mencurahkan pikiran dan tenaga supaya dapur keluarga tetap ngebul. Hingga usaha saya membaik dan membaik. Alhamdulillah hari ini saya tidak menyesal sudah membuat keputusan untuk memulai usaha sendiri.

Anda juga memutuskan untuk memulai menjadi orang yang decisive? Selamat mencoba 3 latihan di atas, dan nikmati konsekuensi keputusan Anda. Lagipula, Anda toh tidak sedang diminta memutuskan untuk menjatuhkan Bom Atom. (FR).

Monday, June 30, 2008

Surat Pengunduran Diri

Surat Pengunduran Diri! Lagi-lagi Surat Pengunduran Diri! Saya paling tidak suka dengan surat pengunduran diri dari karyawan saya. Memang tidak sering. Tapi ketika terjadi, mau tidak mau saya kesal, karena biasanya mendadak. Apalagi kalau terjadi disaat kami sedang menghadapi deadline beberapa project. Tiba-tiba salah seorang anggota team mengundurkan diri. Jelas kinerja team kami akan terpengaruh. Untuk mencari pengganti sebenarnya mudah. Karena jumlah pencari kerja di sektor IT cukup banyak. Namun, saya harus kembali berinvestasi waktu dan tenaga untuk melatih karyawan baru untuk menguasai produk kami. Belum waktu yang diperlukan untuk mengenalkan karyawan baru dengan tim dari klien kami. Dampak yang langsung terasa adalah kinerja kami untuk menyelesaikan project yang sudah terjadwal. Tapi inilah seni nya mengelola usaha. Biarpun tidak suka, saya harus jalani.

Nasib yang saya alami ternyata juga dialami oleh tokoh Marcus dalam buku “The Ship Builder” karya Jack Myrick. Marcus adalah seorang pembuat kapal di Athena, 2,500 tahun yang lalu. Ia adalah pemilik usaha dan pekerja keras yang membawahi belasan karyawan. Namun, kerja keras tidak cukup. Usaha Marcus nyaris guncang, karena hampir tidak dapat memenuhi deadline delivery kapal yang dipesan pelanggannya. Penyebabnya karena para karyawannya yang hampir tidak punya spirit. Jumlahnya terus menurun, hingga tinggal beberapa orang, itupun dengan skill yang tidak mencukupi. Padahal Marcus sudah berusaha memberikan fasilitas yang baik. Tapi mengapa para karyawan tidak mau bekerja sesuai dengan keinginannya. Kalau Marcus sampai gagal menyelesaikan project pembangunan kapalnya, apa kata dunia? Ini kedengarannya akrab di telinga saya.

Beruntung Marcus bertemu dengan Barnabas, seorang pembuat kapal paling sukses di Athena waktu itu. Untunglah Marcus tidak malu untuk bertanya. Dan dengan bijaksana Barnabas membagi ilmu nya. Yang ternyata dia peroleh dari lima keping sabak (tablet) yang berisi rahasia sukses dalam membangun imperium bisnis kapalnya. Saya tahu, pasti Anda juga ingin tahu rahasia nya kan? Oke, ini dia:

Buatlah mereka merasa dihargai

Kapankah terakhir Anda benar-benar menyatakan bahwa Anda menghargai karyawan Anda? Maksud saya menyatakan secara langsung, face to face. Saya kembali mengingat-ingat, ternyata saya jarang mengungkapkan penghargaan saya kepada tim saya. Ini yang harus saya koreksi. Biasanya kita hanya memberikan tugas dan perintah. Namun lupa memberikan apresiasi atas apa yang karyawan telah lakukan untuk usaha kita. Padahal betapa jerih payah mereka sedikit banyak telah memberikan kontribusi bagi usaha yang kita kelola.

Orang tua kita jaman dulu sebenarnya sudah banyak memberikan contoh, dengan selalu mengucapkan “tolong” ketika memberikan tugas, dan mengucapkan “terimakasih” ketika tugas selesai dilaksanakan. Ada baiknya hal sederhana ini akan saya terapkan kepada tim saya.

Lihat potensi mereka, bukan kekurangan mereka

Ini yang sulit. Sebagai pengusaha kita mau instan. Maunya kalau punya karyawan ya yang siap pakai, siap kerja. Kalau selama bekerja performance tidak sesuai dengan harapan ya kasih surat peringatan, kalau perlu dikeluarkan, ganti yang lebih bagus. Padahal ternyata sebuah permata bisa datang dari batu yang kita sangka batu biasa. Kalau kita berkutat pada kesalahan dan keburukan karyawan kita, bisa-bisa potensi yang sebenarnya tidak pernah terlihat.

Saya pernah mengalami hal ini. Salah seorang anggota tim saya, ketika baru bergabung betul-betul performance nya jauh di bawah harapan saya. Pengetahuannya baik tentang produk maupun pengetahuan umum IT nya sangat minimal. Saya sudah berniat akan menghentikannya setelah masa percobaan selesai. Ternyata, ketika masa percobaan hampir selesai, saya melihat sisi lain dari tim saya tadi, yaitu ketekunan dan kegigihan yang cukup bagus. Akhirnya saya pertahankan dan dia kian hari semakin maju.

Memimpinlah dengan otoritas, bukan kekuasaan


Otoritas berbeda dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan, kita dapat memerintahkan karyawan kita melakukan sesuatu yang kita minta. Dan kalau tidak melaksanakan kita berikan sanksi. Namun, justru seni nya adalah, bagaimana membuat karyawan melakukan sesuatu yang kita inginkan dengan sukarela, tanpa perlu kita perintahkan, itulah otoritas.

Otoritas datang dari integritas kita sebagai pemilik. Jika kata-kata kita bisa dipegang. Jika kita bisa memberikan contoh kepada karyawan bahwa kita melakukan apa yang kita ucapkan. Jika kita bisa “walk the talk”, maka otoritas akan dapat kita miliki. Kekuasaan bisa datang dan pergi, namun otoritas akan melekat pada pribadi.

Cintai mereka terlebih dahulu

Tentu kita ingin dicintai oleh karyawan. Namun cinta karyawan kita tidak dapat kita beli. Mereka baru akan mencintai kita, ketika kita mencintai mereka terlebih dahulu. Dan cinta adalah kata kerja, yang baru dapat dirasakan oleh karyawan, dengan tindakan kita. Cinta disini maksudnya adalah bagaimana kita memperlakukan karyawan dengan rasa hormat, sayang dan penuh kasih. Tentu saja maksudnya ke semua karyawan, bukan karyawan2 tertentu saja.

Buatlah mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang luar biasa

Mungkin usaha Anda memiliki visi luar biasa. Mungkin Anda bercita-cita membangun konglomerasi global. Mungkin Anda yakin suatu saat nanti usaha Anda akan menjadi nomor satu di Asia. Namun, apa guna nya cita-cita tersebut bagi karyawan kita, jika mereka tidak merasa menjadi bagian dari cita-cita besar tadi.

Disinilah tantangan untuk selalu memahami apa mimpi karyawan kita, dan mengkaitkan mimpi perusahaan dengan mimpi mereka. Ketika mimpi perusahaan adalah mimpi karyawan, maka kemajuan ada di tangan. Maka prinsip terakhir ini oleh Myrick disebut sebagai “unifying principle”.

Ah, semoga saya mampu melaksanakan lima prinsip dahsyat ini, supaya tim saya semakin maju dan tidak ada lagi Surat Pengunduran Diri mampir di meja saya. (FR).

Tuesday, May 27, 2008

Risalah Hati

Why set your heart on a piece of earth, simple one? Seek out the source which shines forever. -- Jalaluddin Rumi, Mathnawi II, 709.

Bayangkan sebuah ruang kamar. Di dalamnya ada sebuah lampu menempel di langit-langit. Lampu tadi ditutupi oleh tudung lampu yang terbuat dari kaca putih bening. Sudah terbayang? Kalau sudah kita lanjutkan. Lampu tadi menerangi seluruh isi kamar. Sangat terang. Seisi kamar pun terlihat jelas, berkat cahaya dari lampu, yang terpancar melewati tudung lampu yang bening.

Hingga kemudian ada debu kotor menempel di tudung kaca bening tadi. Debu tadi akan menghalangi cahaya. Jika dibiarkan, semakin banyak debu bertumpuk, semakin redup cahaya lampu. Hingga apabila tudung lampu tertutup penuh dengan debu hitam, pijaran cahaya akan tertutup. Cahaya pun tidak terlihat, dan kamar menjadi gelap.

Ah, mau membicarakan apa sih ini?

Sabar. Sabar. Saya sedang membuat analogi tentang hati. Bukan, bukan liver yang berwarna coklat kemerahan itu. Namun hati manusia yang tak berwujud, namun ada. Hati yang bisa membuat Anda mabuk kepayang, sekaligus bisa membuat Anda marah tujuh turunan. Hati yang membuat Anda ketakutan, namun hati yang sama bisa membuat Anda berani melawan segala rintangan. Hati yang dalam bahasa Arab disebut Qalbu.

Karena tidak berwujud makanya kita perlu model, perlu perumpamaan. Hati ibaratnya tudung lampu yang terbuat dari kaca putih bening di kamar yang saya ceritakan tadi. Ruang kamar tadi adalah Jiwa kita. Jiwa adalah aspek diri kita yang non-fisik. Anda pasti tahu, sebagai manusia kita memiliki aspek fisik dan aspek non-fisik. Aspek fisik adalah organ tubuh kita. Aspek non-fisik adalah jiwa kita. Tubuh fisik kita adalah kendaraan bagi jiwa kita. Hati dapat menerangi jiwa kita, sepanjang kita selalu menjaga hati kita tetap bersih.

Memangnya hati bisa kotor? Bisa, seperti halnya tudung lampu yang tertutup debu.

Di dalam jiwa (Nafs) kita ada komponen yang bernama pikiran (Aql) yang sesungguhnya netral. Pikiran adalah alat bantu kita dalam berinteraksi dengan dunia fisik. Berkat Pikiran kita dapat memahami dunia materi. Namun jika pikiran berpaling kepada dunia materi semata, kadang ia akan memandu kita ke arah yang salah. Pikiran akan mereferensikan setiap tindakan berdasarkan penguasaan atas materi. Yang berujung pada ketakutan akan kehilangan (fear). Ini adalah landasan dari sikap kikir, bakil, dengki, iri, sombong, dan sebagainya yang akan menciptakan debu kotor yang menempel pada kaca hati. Debu yang menumpuk akan menghalangi cahaya bagi jiwa kita.

Sebaliknya, pikiran juga bisa berpaling ke dalam. Pikiran yang berpaling ke dalam diri kita sendiri akan menemukan bahwa, dunia materi di "luar sana", sesungguhnya memiliki aspek-aspek yang sama dengan diri nya. Sama-sama ciptaan Tuhan, yang bahan baku nya sama. Karenanya pikiran akan sadar bahwa ia sudah memiliki segala yang ia cari. Tidak akan pernah merasa takut kekurangan. Tidak akan pernah merasa takut kehilangan. Tidak merasa lebih dari orang lain, dan tidak akan merasa di bawah orang lain. Inilah cinta (love) yang menjadi dasar dari sikap welas asih, ikhlas, syukur, dan sebagainya yang akan menghapuskan debu dari kaca hati. Bola kaca hati pun menjadi bening. Hati akan memancar terang, menerangi jiwa.

Tapi dari mana cahaya hati sesungguhnya berasal? Cahaya lampu itu tentu bukan berasal dari tudung kaca yang melingkupi lampu, namun berasal dari pijar lampu yang ada di dalam. Sumber cahaya itu adalah dari Ruh yang ditiupkan oleh Sang Pencipta sendiri ke dalam diri manusia. Cahaya yang berasal dari Sumber dari segala sumber. Bayangkan, betapa dahsyatnya apa yang ada dalam diri kita. Betapa terang sesungguhnya cahaya yang dapat kita pancarkan. Jika saja kita mengizinkan cahaya hati menerangi jiwa kita.

Namun sayangnya kita sering mengotori hati kita sendiri sehingga ruang jiwa kita demikian gelap, sehingga kita dapat dikelabuhi oleh cahaya semu dari dunia materi di luar sana. Ibarat penghuni gua, yang dalam gelap terpesona oleh bayangan dari luar pintu gua dan mengira bayangan tadi adalah realitas. Kita sering terjebak dalam ketakutan akan kekurangan. Sehingga terus mencari dan mencari, tanpa pernah merasa cukup. Atau terbuai dalam ilusi akan kenikmatan materi yang dikendalikan nafsu (syahwat), bukan cahaya dari hati.

Semangat jiwa yang berasal dari ketakutan atau syahwat, dapat datang dan pergi dengan mudah. Karena dipengaruhi oleh kondisi materi di luar sana. Namun jiwa yang diterangi oleh cahaya yang berasal dari hati, tidak akan terpengaruh oleh dunia luar. Dia akan terus terang, dan terang terus.

Maka, izinkanlah cahaya hati kita terpancar keluar, menerangi jiwa kita. Sehingga setiap tindakan adalah ekspresi dari terangnya cahaya agung yang berasal dari Ruh, yang telah ditiupkan sendiri oleh Sang Pencipta. Maka dengan demikian, sehat, bahagia dan makmur, akan kembali menjadi fitrah bagi kita semua. Amin. (Fauzi Rachmanto)

Benar Benar Mabok

Dari minggu lalu, inbox email dan messenger saya terisi dengan banyak pertanyaan yang sama dari sesama pemilik usaha. Bagaimana nih, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik. Saya, biasanya menjawab singkat dengan sedikit bercanda, Alhamdulillah di Bandung bensin dan elpiji masih terbeli. Salah satu teman baik langsung menelpon saya dan dengan sewot menguliahi, bahwa saya tidak sensitif dengan beban penderitaan rakyat miskin akibat kenaikan BBM ini. Bahkan saya dinilai pro pemerintah yang pro kepentingan perusahaan minyak asing. Hehehe … siapalah saya ini, Alhamdulillah kalau dikira kenal orang pemerintahan atau perusahaan minyak asing.

Apakah kenaikan BBM berpengaruh terhadap bisnis saya? Sudah tentu. Menurut saya semua bisnis pasti akan terkena dampak kenaikan BBM, entah besar atau kecil, baik langsung atau tidak langsung. Kenaikan BBM jelas mendorong inflasi dan akan mempengaruhi daya beli. Namun, menurut saya pertanyaan pentingnya bukanlah ada atau tidaknya pengaruh kenaikan BBM, namun bagaimana para pemilik usaha kecil dan menengah seperti saya ini dapat terus bertahan setelah BBM naik. Nah, kalau ini pertanyaannya, penting untuk dijawab. Berikut 3 tips supaya Anda tidak Benar-Benar Mabok akibat kenaikan BBM:

Menerima

Kenaikan BBM sudah terjadi. Kalau saya, memilih untuk menerima dan tidak membuang energy dan emosi saya untuk menolak kenaikan ini. Hehehe … jujur saja saya langsung didamprat teman saya ketika mengatakan ini. Bukan, saya bukan pro pemerintah, partai berkuasa atau apapun. Saya pro dengan kedamaian hati saya sendiri. Saya yakin Menteri Keuangan dan seluruh staff ahli nya jauh lebih pintar dari saya, dan pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Bagaimana dengan alternative lain selain menaikkan BBM? Mungkin saja ada. Saya yakin jika alternative tersebut bisa diterapkan, tidak sekedar wacana dan hitungan di atas kertas, pada saatnya pasti akan diterapkan. Namun saya tidak mau berandai-andai. Fakta nya hari ini adalah, kenaikan harga BBM masih menjadi pilihan terbaik yang mungkin di jalankan. Dan saya belajar menerima kenyataan tadi.

Saya juga menaruh hormat terhadap rekan-rekan yang melakukan segala daya upaya untuk membuat pemerintah merevisi keputusan menaikkan harga BBM. Saya paham sepenuhnya pendapat mereka, dan menghargai niat baik mereka. Sebagai konsumen BBM, tentu saya juga lebih senang kalau harga BBM murah. Tapi kenyataannya BBM adalah produk yang harga nya dapat mengalami fluktuasi di manapun di dunia ini. Dan saya memilih untuk siap ketika harga nya meningkat.

Saya juga tentu prihatin dengan dampak kenaikan harga bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun saya juga yakin pemerintah sudah memikirkan, dan memiliki program untuk mengurangi dampak tersebut. Saya sendiri tentu juga bisa berkontribusi dengan memperbanyak sedekah, daripada berteriak-teriak "membela" mereka.

Fokus Pada Peluang

Kenaikan BBM memang menimbulkan "persoalan". Namun kalau kita amati "persoalan" tadi sebagian besar baru pada tahap potensial. Ada rekan yang menyampaikan pada saya, bahwa setelah BBM naik, pasti pembeli berkurang, pasti toko nya sepi. Saya tanya kembali, sudah sepi belum toko nya hari ini? Teman saya tadi ketawa nyengir. Hehehe … gak sih Pak, kalau hari ini malah ramai. Tapi kan nanti pasti sepi. Wah, ya nanti saja kita bahas kalau sudah beneran sepi.

Saya paham bahwa rekan tadi bermaksud untuk antisipatif terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Ini bagus. Namun jangan sampai kita berkutat pada "persoalan" sehingga melupakan peluang yang muncul. Kalau Anda cukup lama di dunia marketing pasti tahu bahwa kemampuan membeli atau daya beli bukanlah satu-satu nya faktor pendorong terjadi nya pembelian.

Misalnya, beberapa waktu lalu saya membaca keberhasilan sebuah produsen alat-alat kesehatan yang sukses menjual produknya di kota-kota kecil. Produknya berupa ikat pinggang ajaib, hingga kasur ajaib. Harga nya luar biasa mahal menurut saya. Anehnya pembeli nya juga bukan dari kalangan mampu. Tinggal di kota kecil lagi. Hebatnya lagi, pembeli nya belum tentu benar-benar membutuhkan alat tersebut. Karena, alat-alat tadi sifatnya hanya "menjaga kesehatan", "melancarkan peredaran darah", "memperbaiki metabolisme", dsb. Boro-boro mikirin metabolisme, lha untuk makan saja mungkin pas-pas an. Kalau dihitung-hitung dari daya beli masyarakat di kota-kota kecil tadi, ini tidak masuk akal. Tapi itulah dunia usaha, tidak selalu masuk akal.

Daripada memikirkan "persoalan" daya beli masyarakat di kota kecil yang menjadi target, produsen alat kesehatan tadi memilih untuk melihat peluang untuk memasarkan produk secara lebih kreatif di kota-kota kecil tadi. Kita juga bisa seperti itu.

Kesempatan Belajar

Dulu sewaktu krisis moneter menghantam Asia Pasifik tahun 1997, saya masih menjadi karyawan. Tugas kami lumayan berat, karena harus menjual solusi software ke industri perbankan yang pada waktu itu mulai kolaps. Belum lagi nilai tukar dollar yang melambung tinggi, sementara produk kami dijual dalam dollar. Secara logika mungkin mendingan tutup warung saja. Hanya satu hal yang membuat kami terus bertahan, bahwa kami percaya apabila kami berhasil melewati krisis tersebut, kami dapat melewati tantangan apapun.

Krisis selalu menawarkan peluang untuk belajar. Pola pikir "business as usual" harus diuji kembali dengan adanya tantangan baru. BBM naik? Harga bahan baku naik? Ongkos transportasi naik? Biaya karyawan naik? Itu adalah seri mata kuliah wajib di universitas pengusaha yang sesungguhnya. Kali ini tidak hanya di text book. Namun Anda langsung praktek di dunia nyata. Dan ketika Anda lulus ujian. Dapat dipastikan Anda satu langkah lebih baik dari kemarin.

Semoga setelah kenaikan BBM ini Anda semua menjadi Benar-Benar Mampu. (Fauzi Rachmanto)

Friday, April 04, 2008

Butterfly

Secangkir kopi hitam, 2 potong lupis ketan, dengan taburan parutan kelapa dan gula merah cair. Pagi ini terhidang di depan saya. Saya sebenarnya sudah tidak minum kopi lagi. Tapi pagi ini setelah meeting di salah satu customer saya, tiba-tiba saya ingin nostalgia di kantin di dekat tempat parkir ini. Lima tahun lalu saya sering berada di kantin ini. Waktu itu perusahaan saya adalah perusahaan OMAC (One Man Army Corp). Saya adalah direktur, salesman, implementor, merangkap bagian penagihan. Lima tahun lalu, saya bolak-balik presentasi, melakukan implementasi dan menagih pembayaran, dengan segala dokumentasinya yang suka bikin senewen. Dan kantin ini adalah tempat mangkal saya.

Kopi nya masih hitam kental. Saya cuma berani menyeruput sedikit. Dan rasanya masih mantap. Lupis nya jangan tanya. Legit dan gurih. Lima tahun lalu, lupis ini adalah sarapan rutin saya kalau sedang ke customer saya ini. Tapi suasana dalam kantin sudah sangat berubah. Dulu kantin ini kecil, sempit, pengap dan gerah. Sekarang sudah diperluas, lega, dan jendela kaca nya besar. Cat nya pun bagus dan menarik. Lengkap degan musik yang mengalun pelan dari sound system sederhana. Lebih mirip kafe. Ah, rupanya sang pemilik kantin paham betul dengan adagium: "Change is the only constant". Satu-satu nya hal yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Lingkungan di seputar gedung customer saya itupun sudah berubah. Semakin banyak karyawan yang mampir ke kantin tadi. Dan kantin tadi menyambut perubahan tadi dengan perubahan.

Bahkan perusahaan saya yang dulu OMAC pun sudah berubah. Kini saya bisa duduk santai makan lupis, sementara staff saya masih di dalam melakukan tindak lanjut hasil meeting tadi pagi. Dulu, harus saya sendiri yang melakukan semuanya. Saya hirup sedikit lagi kopi saya. Sudah lebih dari 2 bulan saya tidak minum kopi. Kafein segera terserap dan merambat ke otak saya. Rasanya segar dan nikmat sekali. Alhamdulillah. Saya mengucapkan syukur kepada yang memberi saya kehidupan. Saya merasa tenang dan bersyukur.

Pandangan saya tertuju ke pot tanaman di depan jendela kantin. Tanaman sejenis bougenvile itu lima tahun lalu masih kecil. Tapi kini sudah besar. Pot nya terlalu kecil sehingga pecah, tidak sanggup menahan desakan akar tanaman. Tanahnya berserakan kemana-mana. Pohon itu berubah. Pot nya tidak bisa berubah. Pot tanaman pun pecah, karena tidak bisa menanggapi perubahan dengan perubahan.

Di pucuk tanaman tadi saya lihat ada kupu-kupu indah terbang melintas. Tiba-tiba kantin terasa senyap dan dingin. Musik pelan terdengar mengalun, sebuah lagu baru yang saya kurang familiar terdengar. Dari soundtrack film mungkin. Ah, penyanyinya Melly Goeslaw. Sebait lirik tertangkap di telinga "Butterfly fly away so high, As high as hopes I pray …" Oh, saya tahu judulnya Butterfly. Kupu-kupu. Tepat ketika saya mengamati seekor kupu-kupu. Adakah sebuah pertanda? Adakah ini isyarat yang harus saya tangkap maknanya? Tuhan memang suka bermain teka-teki. Saya merinding. Dan buru-buru menyeruput kopi lagi.

Kupu-kupu adalah makhluk luar biasa. Bayangkan, dari ulat yang menjijikkan, mampu bertransformasi menjadi makhluk yang demikian indah. Dari binatang yang hanya bisa bergerak lamban. Menjadi makhluk yang lincah terbang kesana kemari. Kupu-kupu adalah simbol perubahan yang positif. Perubahan menjadi yang lebih baik. Perubahan. Adakah saya siap dengan perubahan? Mata saya beralih ke interior kantin yang sudah berubah. Saya menatap pot yang pecah karena tidak berubah. Perubahan. Saya harus siap dengan perubahan.

Saya tidak selalu siap dengan perubahan. Anak pertama saya mulai beranjak remaja. Sikap dan perilaku nya tidak seperti waktu dia masih anak-anak. Sekarang dia sudah berani memiliki pendapat sendiri, berani mengutarakan keinginan sendiri, berani menentukan pilihan sendiri. Tidak jarang kami berbeda pendapat. Kadang saya bertanya, dimana bayi manja yang dulu saya gendong-gendong itu? Tapi itulah hidup. Anak saya berubah. Saya juga harus berubah. Kalau tidak bisa pecah seperti pot tanaman di depan kantin tadi.

Customer saya juga berubah. Organisasi mereka juga tumbuh. Tuntutan nya sudah berbeda dengan jaman saya masih OMAC dulu. Mereka kini menuntut layanan yang sangat lengkap dan professional. Saya harus mengandalkan tim untuk melayani mereka. Tidak bisa one man show lagi. Perusahaan saya harus ikut berubah, atau ditinggalkan oleh customer kami.

Kadang-kadang perubahan terjadi terlalu tiba-tiba, atau tidak menyenangkan kita. Unexpected change ini paling sering terjadi di dunia bisnis. Di bisnis software juga sering terjadi. Principal yang tiba-tiba merger dan tidak bekerjasama dengan kita lagi. Revisi harga secara tiba-tiba, sementara kita masih menawarkan ke customer dengan harga lama. Dan sebagainya. Bagaimana menyikapinya? Kalau saya dengan berusaha mencari sisi baiknya. Awan yang gelap selalu memiliki "silver lining". Saya pernah "bercerai" dengan suatu principal. Awalnya memang saya tidak terima, karena merasa di-zalimi. Tapi rupanya perceraian tadi adalah jalan bagi saya untuk bertemu dengan principal yang lebih baik. Kadang perubahan adalah jawaban dari doa-doa kita di waktu malam. Meskipun cara nya tidak selalu kita pahami.

Dua potong lupis sudah saya habiskan. Saya tidak berani nambah lagi. Kupu-kupu cantik di luar sana terbang mendekat ke jendela seperti hendak menyapa. Saya tersenyum. Terimakasih inspirasinya, bisik saya. Kupu-kupu tadi terbang menjauh, dan hilang dari pandangan. (Fauzi Rachmanto).

Thursday, April 03, 2008

Kritik dan Keripik

Pada waktu meeting, saya sering mendapat kritik dari karyawan saya. Biasanya tentang cara saya menjalankan perusahaan. Terus terang saya kesal. Coba bayangkan, saya yang sudah belasan tahun di bisnis IT, yang merupakan pendiri sekaligus pemilik perusahaan, masa di ajarin bagaimana mengelola perusahaan sama "anak kemaren sore" yang baru kerja 3 tahun. Yang makan dari gaji yang saya bayarkan lagi. Apa gak kesal. Tahu apa mereka soal usaha yang saya bangun dengan susah payah ini. Jadi ketika mendengar kritik dari karyawan saya, meskipun wajah saya tetap tersenyum dan manggut-manggut, dalam hati saya kadang geram juga. Awas aja lu, gw pecat. Begitu kadang saya membatin.

Kritik yang lain kadang saya terima dari pelanggan. Ini lebih menyebalkan lagi. Pelanggan memberikan kritik lebih tajam dan tanpa tedeng aling-aling. Kalau karyawan masih ada takut2nya, nah kalau pelanggan nggak ada takutnya sama sekali. Wong mereka yang bayar saya. Jadi meskipun pilihan kata nya menyakitkan, saya terpaksa harus tetap tersenyum dan bilang "ya pak, ya pak, ya pak" terus. Persis CD rusak. Apa lagi kalau yang mengkritik itungan nya masih junior. Wah, kebanggaan diri saya langsung kena. Kurang asem, diceramahin sama keroco nih. Gak tau apa saya ini owner. Demikian kadang saya membatin.

Mungkin saya memang tidak tahan kritik. Dalam tes kepribadian yang pernah saya ikuti, saya ini tergolong tipe dominan. Salah satu ciri nya ya ini, saya sensi sekali dengan kritik.

Bukan pembenaran, tapi kesal karena di kritik menurut saya manusiawi. Namanya manusia, ingin nya ya perbuatannya dipuji orang lain. Pastinya kesal atau bahkan marah kalau perbuatannya disalahkan pihak lain. Apalagi kalau di kritik oleh orang yang menurut kita tidak lebih pandai dari kita. Siapa lu, ngritik gue? Mungkin demikian perasaan kebanyakan orang.

Meskipun kesal, namun saya tidak pernah marah kalau di kritik. Malah biasanya saya diam saja. Bukan apa2, saya sadar kok kalau kritik itu bermanfaat buat saya. Bahkan, jujur saja, saya memulai usaha saya dulu karena kritik. Ceritanya begini. Dulu sejak masih jadi karyawan memang saya sudah senang membicarakan berbagai peluang usaha. Karena saya bekerja di perusahan IT, biasanya ide usaha yang saya lontarkan masih seputar bisnis IT. Ide-ide usaha ini biasanya saya sampaikan dan diskusikan dengan kawan-kawan dekat saya. Suatu hari saya sedang asyik menyampaikan suatu ide usaha di sebuah kafe dengan seorang teman. Teman tadi tiba2 mengambil buku saku, membuka nya dan geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Kenapa? Tanya saya. Setengah mencibir dia berkata, bahwa saya punya lebih dari 30 ide bisnis (dia mencatat semua), dan tidak ada satu pun yang sudah saya jalankan. Plak! Rasanya saya seperti ditampar.

Saya waktu itu memang tipe pemikir. Bukan pelaku. Dan ide usaha yang saya "telor" kan ternyata cukup banyak. Saya sampai terkaget-kaget. Dan ironisnya, tidak satu pun yang saya jalankan. Saya asli omdo (omong doang) dan nato (no action think only). Kritik ini yang membuat saya malu sama teman saya, dan akhirnya mencoba merealisasikan salah satu ide bisnis saya tadi. Dan jadilah saya seorang pengusaha.

Jadi kritik meskipun menyebalkan, tapi buat saya perlu. Bahkan pujian malah membuat kita terlena, dan lupa memperbaiki diri. Sementara kritik akan menggugah kita dan membuat kita menjadi lebih baik. Ya, tapi kan harus "kritik yang membangun" . Tidak juga. Kritik ya kritik, mau disampaikan setajam pisau silet atau yang lunak enak di telinga, itu terserah pengkritik. "Membangun" nya itu terserah kita. Pilih mana? Kritik pedas yang membuat hidup Anda berubah total menjadi lebih baik, atau kritik setengah hati, yang membuat Anda tidak berubah dari keadaan sekarang? Ya, tapi tolong kritik disampaikan dengan solusi. Ini juga tidak wajib. Kritik ya kritik, terserah pengkritik nya. Solusi nya terserah kita. Apalagi orang-orang yang suka mengkritik biasanya memang gak bakat memikirkan solusi. Coba saja tanya orang-orang yang suka demo. Pasti tidak bisa memberikan solusi konkret. Biarkan saja. Mari kita belajar memikirkan solusi nya sendiri. Jadi nya kan yang makin pinter kita.

Pelaku itu ibarat pemain bola, dan peng-kritik itu ibarat penonton. Dua-dua nya perlu. Pertandingan bola tanpa penonton ya gak seru. Penonton tanpa ada pemain bola, mau nonton apa?

Karena sensi sama kritikan. Saya jadinya termasuk malas meng-kritik. Pertama, karena saya memang gak bakat ngasih kritikan. Kata orang saya kalau mengkritik malah jadi kaya orang marah-marah, padahal maksud saya bukan begitu, jadinya suka bikin salah paham. Daripada salah paham, lebih baik saya menyampaikan sesuatu yang baik, atau diam.

Kedua, saya sedang mencoba belajar menerapkan prinsip "non-judgement". Prinsip ini saya pelajari dari Deepak Chopra dalam "7 Spiritual Laws of Success". Inti nya, belajar untuk tidak "menghakimi" peristiwa, kejadian, maupun orang. Karena keterbatasan kita sebagai manusia, sesungguhnya kita tidak tahu "big picture" dari peristiwa yang kita hakimi tadi. Siapalah kita ini menghakimi peristiwa yang sudah digariskan Yang Maha Tahu. Apalagi menghakimi kesempurnaan ciptaan Yang Maha Sempurna. Saya tidak berani.

Lantas bagaimana kalau saya lagi kesal sama orang, atau ada peristiwa yang menurut saya tidak benar? Dari pada menyampaikan kritik saya lebih suka makan keripik. Ok .. Ok .. Ok .. Kesan nya "maksa" ya? Tapi ini beneran. Saya suka sekali makan keripik kentang (yang rasa plain), atau keripik singkong (yang plain juga). Rasa nya renyah dan keasyikan mengunyahnya bisa melupakan saya untuk mengkritik.

Tulisan ini menyebalkan Anda? Anda ingin mengkritik? Silakan … silakan, sampaikan kritik Anda, saya mau ambil keripik singkong dulu. (Fauzi Rachmanto)

Monday, March 24, 2008

Memilih

"Our lives are a sum total of the choices we have made." -- Dr. Wayne Dyer

Alangkah beruntungnya manusia. Tuhan memberi kesempatan untuk menjalani setiap detik dalam hidup kita dengan pilihan. Dari bangun tidur, sampai kita tidur lagi, kita dapat memilih. Begitu bangun di pagi hari, Anda dapat memilih untuk langsung bangun dan beraktifitas, atau memilih untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Di pagi hari, Anda dapat memilih untuk menyapa anak, istri dan keluarga di rumah dengan semangat dan senyuman, atau cemberut dan mengomel bahwa Anda kesiangan. Sambil sarapan, Anda dapat memilih untuk berbicara dengan anak Anda tentang sekolahnya, membaca berita buruk di koran, atau nonton gossip artis di TV. Di kantor, Anda dapat memilih untuk memulai menyelesaikan pekerjaan Anda, atau sekedar chatting dengan teman-teman Anda di kantor lain. Dan seterusnya. Pendek kata: Anda memiliki pilihan.

Dahsyatnya kekuatan pilihan, dapat Anda lihat dari kehidupan orang-orang sukses. Dunia teori fisika tidak akan diperkaya dengan "radiasi Hawking" seandainya Stephen Hawking memilih untuk menyerah ketika mendapati dirinya lumpuh akibat amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Entah bagaimana wajah industri software komputer saat ini, kalau saja Bill Gates memilih untuk melanjutkan kuliah dan membuang mimpinya merintis perusahaan perangkat lunak bersama Paul Allen. Mungkin tim balap Formula 1 dan produsen mobil sport terkemuka Ferrari tidak akan pernah ada, kalau saja Enzo Ferrari memilih untuk cukup puas menjadi karyawan Alfa Romeo.

Lalu apakah dengan demikian kita harus menunggu untuk membuat sebuah keputusan besar sebagaimana Hawking, Gates atau Ferrari? Tidak. Mereka tidak serta merta membuat sebuah keputusan besar. Namun melalui hidupnya dengan pilihan-pilihan kecil yang membentuk keputusan besar mereka dikemudian hari. Bill Gates tidak serta merta memutuskan untuk mendirikan Microsoft. Namun jauh sebelumnya, Gates muda telah memilih untuk mengikuti "ekskul" komputer di SMA nya. Memilih untuk "hang out" dengan Paul Allen dan kawan-kawan untuk mengutak-atik program komputer, memilih untuk berbisnis di usia muda dengan membuatkan program untuk produsen Altair, kemudian IBM PC, dan seterusnya. Pilihan-pilihan kecil yang kemudian membentuk seluruh hidupnya.

Setiap detik adalah pilihan. Dan setiap pilihan, sekecil apapun, menentukan masa depan kita.

Namun, apakah kita sudah benar-benar memahami bagaimana caranya memilih? Sebagai contoh, ketika ada peluang usaha ditawarkan kepada kita, apakah kita memilih untuk serta merta menolak, atau mencoba mempelajarinya dahulu? Di sebuah acara formal, ketika kita melihat ada orang yang dapat memberikan pengaruh positif kepada kita, apakah kita memilih untuk berkenalan, atau malah menunduk malu dan menghindar? Ketika anak kita tidak mengikuti kemauan kita, apakah akan kita hardik dengan amarah, atau coba ajak bicara? Pilihan-pilihan kecil. Namun bisa berdampak besar.

Ya, tapi bagaimana cara memilih? Mengapa kita sering ada dalam situasi yang sepertinya "salah pilih". Apakah ada teknik untuk membantu dalam memilih. Ada. Salah satunya yang menurut saya sangat efektif digunakan di banyak bidang kehidupan adalah teknik H-O-W yang diajarkan oleh David Freemantle dalam buku-nya "How to Choose". Teknik H-O-W ini terdiri dari tiga bagian:

Hesitate (Pertimbangan)

Langkah pertama adalah untuk selalu melakukan pertimbangan sebelum Anda memberikan reaksi. Melakukan pertimbangan berarti tidak memberikan reaksi spontan yang seringkali hanya didorong emosi. Contohnya ketika karyawan Anda ada yang melakukan sebuah kesalahan fatal yang merugikan bisnis Anda, apakah yang akan Anda lakukan: memaki, menampar atau langsung memecat. Itu kalau Anda tidak menggunakan pertimbangan. Pertimbangkanlah. Anda punya pilihan. Diamlah sejenak, untuk masuk ke tahap memilih berikutnya.

Outcomes (Hasil)

Sudahkah Anda memikirkan hasil yang akan Anda peroleh. Dan yang lebih penting lagi, hasil apakah yang Anda inginkan dari pilihan yang akan Anda ambil? Ketika raport anak Anda di sekolah demikian jeleknya, mungkin Anda ingin memarahi Anak Anda habis-habisan hingga ia menangis, terluka hatinya, dan hilang rasa percaya dirinya. Itukah hasil yang Anda inginkan? Atau Anda menginginkan anak yang bahagia, optimis, percaya diri, dan buahnya nanti adalah prestasi yang baik? Pikirkan dulu hasilnya, sehingga Anda dapat masuk ke tahap memilih yang ketiga.

Ways (Cara)

Kalau sudah ketahuan hasilnya, Anda bisa memperluas pemikiran Anda ke cara-cara yang dapat Anda tempuh. Jika hasil yang ingin dicapai adalah karyawan yang tidak melakukan kesalahan, mungkin Anda bisa mulai menulis aturan perusahaan yang lebih tegas, melakukan pelatihan kembali, atau mungkin sistem dan prosedur perlu dibenahi. Jika anak yang sehat lahir batin, bahagia, optimis, bertanggung-jawab dan percaya diri yang ingin Anda peroleh, maka mungkin Anda bisa mulai memberi kepercayaan, tanggung-jawab dan bimbingan untuk anak Anda. Cara ini dapat Anda kembangkan seluas-luasnya, dan dapat Anda jalankan secara parallel.

Saya menggunakan teknik H-O-W ini dalam berbagai hal. Yang sederhana misalnya dalam menggunakan email. Saya sangat sering menerima email dari mitra kerja yang isinya kadang tidak enak dibaca. Sebelum menggunakan teknik H-O-W ini, saya akan bereaksi spontan. Kata-kata pedas saya balas dengan kata yang lebih pedas lagi. Akibatnya pernah saling berbalas email tak berkesudahan terjadi, dan hubungan kami menjadi renggang. Kini saya memilih menggunakan teknik H-O-W: Melakukan pertimbangan, memikirkan hasil yang ingin saya peroleh dari reply email saya, dan memilih cara penyampaiannya. Hasilnya jauh lebih baik.

Ah, tapi hidup adalah pilihan. Menerapkan teknik ini atau tidak, adalah pilihan Anda. Selamat membuat pilihan yang lebih baik. (FR)

Tuesday, March 11, 2008

Semut dan Gajah

Pernahkah Anda merasakan, betapa Anda sudah bekerja keras siang malam untuk mewujudkan apa yang Anda inginkan, namun sepertinya nasib malah membawa Anda ke arah yang berlawanan? Anda sudah bekerja keras untuk mewujudkan impian-impian Anda, namun sepertinya Anda malah dibawa menuju ke tempat lain, yang jauh dari mimpi Anda? Jika YA, maka nasib Anda sama dengan nasib seekor semut yang hidup dipunggung seekor gajah. Bayangkan saja, sang semut sudah capek-capek berjalan menuju timur, kalau gajahnya berjalan menuju barat, maka sama saja semut tadi akan menuju barat, bukan timur. Analogi ini saya temukan di buku mungil yang ditulis dengan sangat indah oleh Vince Poscente, berjudul "The Ant and the Elephant" yang di edisi bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Tuntunlah Sang Gajah". Vince Poscente adalah seorang mantan atlet Olimpiade, entrepreneur dan ahli strategi bisnis.

Buku yang ditulis dalam bentuk fabel (cerita tentang binatang) ini mengisahkan perjalanan Adir sang semut, dan Elgo sang Gajah. Adir adalah semut kecil dengan cita-cita besar. Setelah terhempas badai dan terpisah dari koloni nya. Adir menemukan tujuan hidupnya, yaitu Oase. Mengapa Oase? Karena bagi Adir Kehidupan haruslah menjadi perjalanan yang bermakna, bukan sekedar perjuangan untuk bertahan hidup. Bagi Adir Oase lah yang akan membuat hidupnya bermakna. Namun, pada awalnya Adir tidak menyadari bahwa ia tinggal dipunggung Elgo, jadi kemanapun ia melangkah, akan sia-sia saja jika Elgo tidak menuju ke arah yang sama dengan tujuan Adir. Beruntunglah Adir bertemu dengan Brio, sang burung hantu cerdas yang menyadarkan Adir bahwa keberhasilannya untuk mencapai Oase akan sangat tergantung pada kemampuannya untuk berkomunikasi dan menuntun Elgo, menuntun sang Gajah.

Adir dan Elgo dalam kisah ini adalah perlambang dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar kita. Kekuatan pikiran sadar kita, dibandingkan dengan kekuatan pikiran bawah sadar kita, memang bagaikan semut dengan gajah. Ini bukan analogi yang mengada-ada. Vince mengutip penelitian Dr. Lee Pulos yang mengungkapkan bahwa dalam setiap detik, pikiran sadar kita menggunakan 2000 neuron, dan pikiran bawah sadar menggunakan 4 milyar neuron. Bayangkan, keputusan sadar dihasilkan oleh hanya 2000 neuron, sementara keputusan yang dibuat oleh pikiran bawah sadar menggunakan 4 milyar neuron. Jadi jelas siapa mengendalikan siapa. Gajahlah yang ternyata membawa kemana semut pergi, bukan sebaliknya.

Jadi, jika selama ini "semut" Anda yang cerdas itu mungkin sudah merumuskan visi hidup Anda dengan jelas, sudah merancang strategi berbisnis dengan rinci, dan sudah mengambil langkah-langkah berani, misalnya resign dari pekerjaan, sampai pinjam uang mertua segala, namun kok bisnis Anda sepertinya masih jauh dari visi yang Anda angankan, mungkin disini jawabannya. Barangkali Anda belum berbicara dengan "Gajah" Anda. Ya jangan heran, kalau Anda sudah take action ke utara tapi kok malah menuju ke selatan, mungkin Gajah Anda yang membawa kesana. Lalu bagaimana menuntun Gajah kita ini?

Kata kunci nya adalah emosi. Dalam kisah Adir dan Elgo dikisahkan bahwa Elgo hanya dapat mendengar Adir hanya melalui emosi. Emosi Adir tentang Oasis yang sangat kuat, yang dapat ditangkap oleh Elgo dan membuatnya mulai melangkah menuju Oasis. Beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca kisah seorang anak kecil yang mampu berlari beberapa puluh kilometer, di malam hari, sendirian, demi mencari pertolongan bagi Ayahnya yang tidak dapat bergerak di mobil mereka yang mengalami kecelakaan. Jika anak itu diminta melakukan lagi hal yang sama, mungkin sudah tidak sanggup. Jangankan anak kecil, orang dewasapun mungkin tidak mampu. Namun emosi yang sangat kuat untuk menyelamatkan nyawa sang Ayah, telah menggerakkan "Gajah" nya yang luar biasa kuat.

Demikian pula para pebisnis sukses. Umumnya mereka punya emosi yang sangat kuat untuk mewujudkan apa yang mereka cita-citakan. Mereka memiliki "burning desire" yang mampu menggerakkan sang Gajah. Mungkin Anda perlu merenungkan lagi apa yang ingin Anda wujudkan, dan kali ini rasakan emosi Anda. Adakah emosi meledak-ledak disana? Adakah air mata Anda tiba-tiba meleleh membayangkan kebahagiaan dan kelimpahan yang akan Anda alami bersama istri dan Anak Anda? Jika YA, selamat! Besar kemungkinan Gajah Anda mulai mendengar, dan siap melangkah menuju Oasis Anda. Selamat menuntun Gajah Anda, dan sampai ketemu di Oasis!. (FR)

Monday, February 04, 2008

Menjual Tanpa Berjualan

Beberapa minggu lalu saya sempat melakukan hal yang saya sebenarnya tidak saya sukai. Saya mengusir dua orang salesman produk investasi keuangan yang memaksa menjelaskan produk mereka di kantor saya. Akhir-akhir ini memang saya sering ditawari berbagai macam produk investasi. Entah dapat informasi dari mana, sepertinya mereka kok tahu saja kalau saya sedang banyak duit, hehehe … Dari awal dihubungi lewat telepon, Saya sebenarnya sudah menyatakan tidak berminat dengan produk mereka. Bukan saya tidak open-minded, namun sebagai mantan investment analyst, saya tahu persis risiko produk investasi yg mereka tawarkan, dan tipe investasi mereka tidak sesuai dengan profil dan karakter saya. Namun, karena kantor kami berdekatan, dua sales ini memaksa sekali untuk datang ke kantor ketika saya sedang berada di kantor. Akhirnya, saya memberikan waktu sepuluh menit kepada mereka untuk menjelaskan apa keuntungan bagi saya jika saya berinvestasi pada produk yang mereka tawarkan.

Dan ternyata sepuluh menit tadi menjadi sepuluh menit yang sangat menjengkelkan. Bukannya to the point meyakinkan saya soal keuntungan investasi, risiko dan penanggulangan risiko, namun dua salesman tadi malah menceramahi saya bahwa produk mereka tidak haram, produk mereka adalah produk legal, dan seterusnya. Hingga sepuluh menit berlalu masih belum jelas apa yang dijual dan apa untungnya buat saya. Sebagai sesama penjual, saya bersimpati kepada mereka, maka saya bantu mereka dengan pertanyaan yang mengarahkan: jika saya memiliki USD 10 ribu, berapa yang saya dapat?. Masih tidak terjawab juga. Kembali saya diceramahi bahwa produk mereka berbeda dengan investasi valuta asing, dst. Akhirnya dengan berat hati, saya mengucapkan terimakasih, dan meminta mereka meninggalkan ruangan saya. Ini mengagetkan mereka. Semoga pengusiran saya menjadi pelajaran dan menjadikan mereka penjual-penjual tangguh di masa depan.

Saya juga seorang penjual, dan saya selalu bersimpati dengan para penjual. Namun saya sangat prihatin dengan masih digunakannya teknik-teknik penjualan yang tingkat keberhasilannya sangat minim seperti itu. Teknik penjualan produk investasi tadi menggunakan teknik "Cold Call" sebagai basis. Calon pelanggan akan dihubungi oleh telemarketer untuk membuat janji, kemudian apabila calon pelanggan bersedia, akan ada salesman yang berkunjung dan mencoba merayu Anda untuk membeli produk mereka. Saya juga menggunakan teknik yang sama bertahun-tahun yang lalu ketika menjual produk software di sebuah perusahaan software asing. Prinsipnya sederhana, dari sekian ratus orang yang ditelpon, ada sekian persen yang akan mau didatangi salesman, dari sekian puluh orang yang mau didatangi salesman, akan ada sekian persen yang mau membeli. Jadi kalau target sales Anda tidak tercapai, Anda harus menelpon lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi. Dan percayalah, ini sangat melelahkan.

Teknik "Cold Call" membuat seorang penjual harus berburu mengejar-ngejar calon pembeli, entah mereka membutuhkan atau tidak. Dan ini dapat sangat mengganggu calon pembeli. Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari ditawari sesuatu yang tidak kita butuhkan. Teknik "Cold Call" tidak peduli itu. Teknik ini juga tidak mempertimbangkan betapa tidak nyaman nya di telpon atau tiba-tiba dikunjungi orang yang tidak dikenal, dan kemudian orang tidak dikenal tadi memaksa kita mengikuti kemauan mereka. Mungkin Anda pernah merasakan ditempel para penjual kartu kredit di mall-mall yang nyerocos tanpa mempedulikan kerepotan Anda membawa belanjaan, atau tiba-tiba rumah Anda kedatangan tamu penjual alat sedot debu yang memaksa demo, sementara Anda sedang ingin beristirahat bersama keluarga. Teknik "Cold Call" kurang peduli pada calon pelanggan. Teknik "Cold Call" membuat calon pembeli membenci penjual, dan sudah menciptakan jarak sejak awal. Lalu apakah ada alternatifnya?

Tentu ada. Frank J. Rumbauskas Jr. dalam buku nya "Never Cold Call Again!" menyebutkan "Self Marketing" sebagai alternatif yang jauh lebih sesuai dengan perkembangan jaman. Untuk memahami Self Marketing, Anda dapat membayangkan seorang dokter ahli yang laris manis. Yang reputasi nya sudah sangat diakui, dan mungkin untuk mendapatkan jasa nya Anda harus daftar dan antri berjam-jam. Perlukah dokter tadi menelpon calon pasien, untuk menawarkan jasa nya? Tidak perlu. Namun, mengapa orang rela antri berjam-jam? Karena nama dokter tadi sudah menjual diri nya sendiri. Bahkan jika Anda tidak tahu alamat dan nomor telpon dokter tadi, Anda akan bertanya kesana kemari atau googling di internet. Anda sebagai calon pembeli yang akan aktif mendatangi sang dokter, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, jika Teknik "Cold Call" adalah "cara menjual, penjual aktif", maka teknik "self-marketing" adalah "cara menjual, pembeli aktif".

Self Marketing tidak akan merendahkan Anda sebagai penjual, karena calon pembeli yang akan aktif mendatangi Anda. Dan yang lebih penting lagi, calon pembeli yang menghubungi Anda adalah orang yang tepat. Orang yang memang membutuhkan produk atau jasa Anda. Mereka tidak akan merasa terganggu, justru akan senang berbicara panjang lebar dengan Anda. Tapi bagaimana menerapkan Self Marketing?

Jadilah Sang Ahli

Untuk dapat benar-benar melakukan Self Marketing, Anda harus menjadi ahli dalam bidang Anda, karena yang akan dijual adalah reputasi Anda. Misalnya Anda menjual software akuntansi, maka Anda memang harus dikenal sebagai orang yang ahli dalam software akuntansi. Orang dapat bertanya segala hal tentang akuntansi dan metoda pencatatan dalam komputer kepada Anda. Kalaupun Anda sendiri tidak mampu menjadi ahli, Anda dapat merekrut orang-orang yang benar-benar ahli, dan menjadikan mereka sebagai tim yang ahli. Track record Anda di masa lalu juga dapat menjadi referensi ke-ahli-an Anda.

Pesan Yang Jelas

Anda harus memiliki "pesan" yang jelas bagi para calon pelanggan Anda. Calon pelanggan haruslah dengan mudah memahami bidang apa yang Anda kuasai, dan solusi apa yang dapat Anda berikan untuk masalah mereka. Coba Anda teruskan kalimat saya berikut ini: "Ingat beras, ingat …….". Besar kemungkikan Anda akan langsung menyebut sebuah merk produk-produk elektronik yang berhasil memposisikan diri mereka sebagai produk untuk beras. Pesan mereka selama ini sangat jelas, sehingga menempel di benak kita semua. Nah bayangkan, jika Anda berhasil memiliki pesan yang jelas seperti itu sehingga orang akan selalu mengasosiasikan nama Anda dengan keahlian tertentu.

Gunakan Pengungkit

Semakin banyak orang yang mengetahui keahlian Anda, maka semakin banyak calon pelanggan untuk Anda. Teknik Cold Call memiliki kelemahan dimana hubungan selalu tercipta secara one to one. Anda hanya bisa menelpon satu orang setiap saat. Dengan Self Marketing, Anda dapat menggunakan pengungkit (leverage) untuk menciptakan lebih banyak calon pelanggan. Teknik yang dapat digunakan dapat memanfaatkan banyak media. Anda dapat membuat event yang mengukuhkan keahlian Anda, misalnya dengan seminar gratis tentang bidang keahlian Anda. Media masa juga dapat dimanfaatkan, misalnya dengan membuat artikel tentang keahlian Anda dan memuatnya di majalah. Teknik Cold Call dikembangkan sebelum ada internet. Leverage yang dapat diberikan oleh internet dalam Self Marketing sangat luar biasa. Misalnya dengan membuat blog tentang keahlian Anda, sehingga orang menjadikan blog Anda sebagai referensi, menciptakan mailing-list tentang bidang keahlian Anda sehingga Anda bisa terus berkomunikasi dengan market potensial Anda, memberikan email newsletter gratis untuk mengupdate calon pelanggan Anda dengan hal-hal terbaru, hingga memanfaatkan search engine optimization untuk membuat nama Anda mudah dicari melalui search engine.

Ciptakan Sistem

Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana membangun sistem untuk menjamin supply calon pelanggan. Pengungkit yang Anda gunakan haruslah menjadi bagian dari sistem yang idealnya berjalan secara "otomatis". Dengan teknologi internet hal ini semakin mudah, misalnya dengan memanfaatkan search engine untuk memandu pencari kata kunci tertentu ke website Anda, kemudian menyediakan download brosur, whitepaper, atau file gratis di website Anda, namun sekaligus Anda melakukan tracking siapa yang berminat terhadap produk Anda. Sehingga bukan Anda yang harus mengejar-ngejar calon pelanggan, namun sistem yang akan melakukan.

Dengan demikian, Self Marketing akan membuat orang semakin mengenal Anda meskipun Anda tidak sedang aktif melakukan penjualan. Anda akan dapat melakukan penjualan, tanpa berjualan. (FR)

Thursday, January 10, 2008

Sebatang Paku

Karena sebatang paku terlepas, lepaslah sepatu kuda;

Karena sepatu terlepas, terjatuhlah kuda;

Karena kuda terjatuh, pesan tidak terkirim ke garis depan;

Karena pesan tidak terkirim, pasukan kalah perang;

Karena kalah perang, jatuhlah sebuah negara!

Untaian kalimat bijak di atas adalah sebuah ungkapan lama, yang konon aslinya dari cerita Jepang. Mungkin Anda juga pernah membaca dalam berbagai versinya. Pertama kali mendengar saya langsung terkesan dan kemudian terus teringat. Bagaimana mungkin sebatang paku bisa menjatuhkan sebuah Negara? Bagaimana sebuah hal "sepele" ternyata membawa konsekuensi yang demikan besar?

Pada tahun 1994 ketika Rudy Giuliani mulai menjadi walikota New York City, angka kriminalitas di NYC sangat tinggi. Pada kurun waktu 1994 hingga 2001, statistik menujukkan bahwa angka kriminalitas di NYC menurun sangat drastis. Bagaimana Rudy Giuliani melakukannya? Apakah dengan melakukan operasi perburuan kriminal besar-besaran a la film Hollywood? Bukan. Giuliani dan tim kepolisian NYPD berhasil menurunkan tingkat kriminalitas dengan memperbaiki "jendela pecah". Ini serius. Inilah yang oleh kriminolog disebut teori "broken windows".

Asumsi nya begini, jendela pecah yang dibiarkan menimbulkan kesan bahwa sebuah rumah sudah tidak ada yang mengurus atau tidak ditinggali. Ini akan mendorong vandalisme dan tindakan anarki berikutnya. Misalnya memecah jendela yang lain, dinding yang dicoreti graffiti, hingga akhirnya lingkungan menjadi tempat nongkrong berandalan, dan seterusnya. Ini yang secara akumulatif menjadikan angka kriminalitas demikian tinggi. Sehingga untuk menurunkan kriminalitas harus dimulai dari hal kecil, seperti memperbaiki jendela pecah tadi. Menurut Giuliani: "You had to pay attention to small things, otherwise they would get out of control and become much worse." Giuliani memperhatikan hal kecil, memperhatikan "paku di sepatu kuda" nya supaya tidak lepas.

Para pengusaha sukses umumnya juga dikenal sebagai orang-orang yang sangat memperhatikan hal kecil. Pengembang waralaba McDonald's Ray Kroc terkenal memiliki obsesi yang luar biasa terhadap kecepatan dan kebersihan. Anda boleh berdebat soal rasa burger McDonald's, tapi siapapun pasti terkesan dengan kecepatan pelayanan dan kebersihan restoran McDonald's. Howard Schultz, orang yang berhasil mengembangkan Starbuck menjadi kedai kopi terbesar di dunia juga sangat memperhatikan detail. Tahun lalu Schultz, sebagai chairman, menulis memo nya yang mengkritik para eksekutif Starbuck yang kurang memperhatikan hilangnya "Starbuck Experience", misalnya mesin expresso yang menghilangkan keakraban dengan customer, packaging biji kopi yang mengutamakan kesegaran namun menghilangkan aroma, hingga desain outlet. Tahun ini Schultz kembali menjadi CEO, dan kita akan lihat apa gebrakannya. Pendiri Apple, Steve Jobs mungkin adalah satu-satu nya pemimpin perusahaan teknologi beromset milyaran dollar, yang masih ikut mendesain sendiri rancangan tangga pada outlet-outlet Apple. Perhatiannya pada hal detail yang sering dianggap sepele sangat luar biasa. Hingga hari ini, kalau membicarakan produk Apple, entah itu komputer, iPod hingga iPhone, mau tidak mau Anda akan mengakui desainnya yang sangat inofatif, efisien, stylish dan elegan.

Dengan menyadari bahwa hal kecil dapat berdampak besar, kita juga dapat mulai belajar untuk menjadi seperti Giuliani, Ray Kroc, Howard Schultz ataupun Steve Jobs. Sekalipun usaha atau organisasi kita belum sebesar mereka. Ada empat hal sederhana yang dapat kita terapkan:

Segera Perbaiki

Teori "broken windows" sangat relevan dalam kehidupan kita sehari-hari. Coba perhatikan seisi rumah Anda. Adakah keran air yang bocor tapi belum diperbaiki? Adakah lampu yang mati tapi belum diganti? Adakah atap yang bocor belum diperbaiki? Adakah selokan yang mampet belum dibersihkan? Dst. Kalau menurut teori "broken windows", maka kerusakan kecil seperti itu harus segera diperbaiki, karena dapat mendorong kerusakan yang lebih besar. Yang ujung-ujung nya biaya yang lebih besar. Seringkali rantai kerusakannya diluar dugaan kita. Misalnya, kebocoran keran air ternyata memicu kerusakan pompa air, kerusakan pompa air memicu hubungan pendek dan listrik mati, listrik mati mendadak memicu rusaknya kulkas, dst. Lho kok lancar ya menceritakannya? Soalnya ini pengalaman pribadi, hehehe …

Kalau dalam bisnis, kerusakan kecil yang tidak diperbaiki juga menggambarkan kondisi organisasi Anda. Pernahkah Anda datang ke sebuah kantor atau toko yang lampu neonnya terus berkedip-kedip dan tidak diperbaiki, atau plafond atapnya sudah jebol namun dibiarkan. Bagaimana perasaan Anda? Pasti sangat tidak nyaman berada disana. Orang akan berpikir, memperbaiki hal-hal kecil saja tidak bisa, apalagi hendak berurusan dengan hal-hal yang lebih besar.

Ciptakan Standar

Sebagai penggemar makanan enak, saya memiliki beberapa tempat makan favorit. Beberapa diantaranya sudah menjadi langganan saya sejak saya masih kuliah. Beberapa waktu yang lalu saya mampir di salah satu warung sate langganan saya dulu. Ternyata rasa nya sudah sangat berubah. Saya amati memang generasi yang mengurus warung tadi juga sudah berganti. Dan generasi penerus rupanya tidak mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pelopornya dahulu. Seperti halnya dalam "process industry", menciptakan makanan enak yang konsisten itu ada standar baik dalam bahan atau prosesnya. Sama-sama membuat sate, tapi dengan mengganti merk kecap, mengganti arang dengan pemanggang lain, atau menambah waktu memanggang sedikit saja, hasil akhirnya bisa jauh berbeda.

Untuk menghidari perubahan-perubahan kecil yang dapat berdampak besar, maka diperlukan standar. Standar tadi tidak cukup hanya di mulut saja, namun sebaiknya di dokumentasi kan dengan baik, supaya dapat menjadi referensi tetap. Tidak perlu dokumentasi yang canggih-canggih, yang penting standar pekerjaan terdokumentasi dan dapat dikomunikasikan dengan mudah. Perusahaan yang sudah mewaralabakan usaha nya, sangat pandai dalam hal ini. Tidak hanya standar dalam pembuatan produknya sendiri, namun hingga standar kebersihan dan standar perilaku karyawan. Semua sudah diatur berapa kali lantai harus dipel, berapa kali toilet harus dibersihkan dsb, hingga bagaimana cara menyapa pelanggan. Di beberapa perusahaan yang sangat memperhatikan pelanggan, bahkan diatur berapa kali harus menyapa pelanggan dengan sebutan nama.

Semua Terlibat

Memastikan bahwa tidak ada "paku yang terlepas" bukan hanya pekerjaan satu orang saja. Namun butuh keterlibatan semua pihak, dari pemilik usaha hingga anggota tim terbawah. "Ignorance" adalah awal dari terjadinya paku yang terlepas. Jika ada yang menemukan kerusakan atau kejadian diluar standar, siapapun orangnya, harus segera mengambil tindakan. Mentalitas "ah cuma begitu doang" harus dibuang. Biasanya pemilik usaha adalah pihak paling rewel karena rasa memiliki yang besar. Ray Kroc semasa hidupnya mengepel sendiri restorannya. Saya pernah melihat pemilik usaha travel terbesar di Bandung, yang memiliki ratusan karyawan, pagi-pagi sedang merapikan counter. Tapi pemilik usaha tidak selamanya bisa berada di lokasi usaha. Jadi anggota tim di semua lini harus memiliki keterlibatan yang sama.

Terbuka Terhadap Kritik

Kritik, baik dari diri kita sendiri, sesama anggota tim, apalagi dari pelanggan, merupakan cara terbaik mengetahui adanya "paku yang akan lepas". CEO Starbuck Howard Schultz memberi contoh otokritik yang sangat baik. Saya pernah mendapat kritik tajam dari salah satu klien kami, karena panggilan ke support center kami (kebetulan) di angkat oleh seorang office boy. Hal tersebut tidak dapat diterima, karena seharusnya operator yang menerima telpon adalah orang yang mengetahui persoalan, dan dapat melakukan tindak lanjut. Hal ini masuk akal. Kritik tersebut menjadi masukan yang sangat berharga bagi kami dalam meningkatkan mutu layanan kami, sebelum kejadian yang sama membuat klien lain merasa tidak nyaman.

Bagaimana dengan Anda? Apakah ada sebatang paku di sepatu kuda Anda yang hampir terlepas? Ayo segera perbaiki! (FR)

Monday, January 07, 2008

Simple-ology

Berapa di antara Anda yang pernah punya keinginan memiliki perusahaan IT yang sukses? Saya duga cukup banyak. Saya termasuk diantaranya. Apalagi sewaktu boom dot com pertengahan 90 an dulu, hampir setiap anak kuliahan terinspirasi untuk menjadi seperti Bo Peabody, founder Tripod.Com yang pada tahun 1997 sukses menjual perusahaanya senilai $ 58 juta (hebatnya lagi Tripod waktu itu belum pernah untung).

Namun kalau kita perhatikan, dari mungkin sekian juta orang di dunia yang ingin memiliki perusahaan (berbasis) IT yang sukses, maka hasilnya bisa sangat berbeda, misalnya:

  • Pertama, ada yang tidak pernah memulai membuat perusahaan IT sama sekali.
  • Kedua, ada yang kemudian membuat perusahaan IT, namun tidak berhasil, dan berhenti.
  • Ketiga, ada yang malah menekuni dan mengerjakan hal-hal lain. Dan setiap malam merenung, kenapa saya tidak memiliki perusahaan IT yang sukses.
  • Keempat, ada yang betul-betul membangun perusahaan berbasis IT, sukses besar dan kaya raya seperti Bill Gates (Microsoft), Jeff Bezos (Amazon), Larry Page & Sergey Brin (Google), dsb.

Dari satu keinginan yang sama, yaitu membangun perusahaan IT yang sukses. Ternyata hasilnya akhirnya bisa berbeda-beda. Mengapa?

Mark Joyner memberikan cara pandang menarik dalam bukunya yang sangat luar biasa: "Simple-ology: The Simple Science of Getting What You Want". Sederhana nya begini, menurut Joyner, kita seringkali tidak berhasil mewujudkan apa yang kita inginkan karena mengabaikan hukum pertama dari simple-ology, yaitu: "jarak terdekat dari dua titik adalah sebuah garis lurus".

Dalam teori sungguh simple bukan? Namun dalam praktek, kenyataanya memang kita sering melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan utama yang ingin kita capai. Ibaratnya bukannya membuat garis lurus yang tegas diantara dua titik, kita seringkali malah membuat garis berbelok-belok, memutar kesana kemari tidak menentu. Ketidak-sederhana-an ini yang seringkali akhirnya membuat kita lupa tujuan kita sebenarnya.

Saya punya teman yang sedang membangun usaha jasa konsultan. Bersama tim mereka yang terdiri dari sejumlah pakar bergelar Doktor, Master dengan sertifikasi professional yang berderet, saya nilai usahanya cukup potensial. Apalagi knowledge yang dimiliki teman saya tadi tergolong sangat dicari perusahaan-perusahaan besar dewasa ini. Sayangnya usahanya hingga lebih dari satu tahun kurang berkembang. Yang membuat saya heran, setiap saya bertemu dengan teman saya tadi, topik pembicaraan yang dibicarakan selalu itu-itu saja: masalah ruangan untuk kantor. Rupanya, bagi teman saya tadi, membangun perusahaan jasa konsultan berarti memiliki ruangan kantor yang representatif dan nyaman di lokasi strategis. Sehingga, selalu saja masalah ruangan kantor menjadi "topic of the month" di perusahaan mereka. Mulai dari mencari lokasi, memilih diantara berbagai alternative lokasi, kemudian masalah renovasi, memilih furniture, warna cat yang sesuai corporate color, dsb. Hal-hal yang menurut saya jauh dari relevan dengan upaya menjual jasa mereka.

Padahal kalau mau menjual jasa konsultasi menurut saya ya straight to the point saja: Berjualanlah ke calon klien yang butuh dan punya uang. Dapatkan kontraknya. Kerjakan projectnya. Kemudian tagih uangnya. Mission accomplished. Simple. Bagaimana dengan ruang kantor? Siapa yang butuh ruang kantor kalau sebagaian besar waktu kita habiskan di lokasi klien. Bagaimana dengan alamat yang representative? Haloo … kemana saja?, apakah Anda belum pernah mendengar "virtual office" yang siap disewa di lokasi-lokasi terbaik di Jakarta? Bagaimana kalau mau meeting? Ini lebih mudah lagi, percayalah, klien lebih senang meeting di kantornya. Wah jadi tidak usah investasi bangunan, ruangan, peralatan kantor?. Lha kok enak? Ya memang jadi konsultan itu enak, bayarannya gede lagi, hehehe …

Point nya adalah, dengan berpikir menurut "prinsip garis lurus" tadi, hal-hal yang tidak secara langsung relevan dengan bagaimana menghasilkan uang kita kesampingkan dulu. Meskipun contoh di atas adalah usaha jasa konsultan, prinsip ini umum, sehingga Anda bisa aplikasikan dalam model bisnis Anda sendiri.

Anda dapat menyederhanakan banyak hal, dengan mengacu pada 3 kesederhanaan (simplicity) berikut ini:

Simplicity in Purpose

Anda dapat meninjau kembali tujuan Anda. Jangan-jangan tujuan Anda sendiri sudah njlimet. Analogi paling mudah adalah program komputer. Setiap program komputer yang terinstal di komputer Anda ditulis dengan tujuan tertentu. Misalnya, MS Word untuk word-processing, MS Excel untuk spreadsheet, MS PowerPoint untuk membuat presentasi dan MS Internet Explorer untuk membaca blog saya, (hehehe ... tentu boleh juga kalau mau dipakai untuk sekedar browsing). Setiap baris kode program-program tadi ditulis sesuai dengan tujuan pembuatan program tadi. Bagaimana jika tujuan-tujuan tadi mencoba ditumpuk bersama? Bisa dibayangkan penulisan programnya harus banyak berkompromi dengan berbagai tujuan tadi, sehingga yang dihasilkan adalah program yang tidak "lean" dan tidak efisien.

Simplicity in Method

Mungkin tujuan Anda sebenarnya cukup sederhana: Pergi ke dari Jakarta ke Bandung. Namun banyak cara menuju Bandung. Anda bisa menggunakan mobil lewat jalan tol Cipularang, menggunakan kereta api lewat stasiun Gambir, menggunakan pesawat terbang lewat Bandara Soekarno-Hatta. Hmmm … karena sekarang sudah tidak ada flight Jakarta – Bandung, maka Anda bisa gunakan flight Jakarta – Surabaya, dan Surabaya – Bandung. Metoda mana yang paling simple? Anda pasti bisa menjawabnya.

Simplicity in Execution

Katakanlah tujuan Anda sudah cukup sederhana. Metoda yang Anda pilih juga adalah yang paling sederhana. Namun, masih ada satu jebakan lagi, yaitu kerumitan dalam eksekusinya. Bertahun-tahun yang lalu, saya (yang waktu itu masih berusia 20 tahun) pernah menjadi seksi perlengkapan dalam sebuah acara di kampus. Kami ingin membuat acara yang sederhana. Dengan panggung sederhana, dan backdrop sederhana dengan sebuah tulisan yang sederhana. Jenis huruf dan bahan pun sangat sederhana. Kami membuat huruf-huruf dari karton yang digunting. Simple dan cepat sekali bikinnya. Yang tidak sederhana ternyata adalah bagaimana melekatkan tulisan2 tadi di dinding belakang panggung! Ternyata susah sekali. Saya bahkan masih melekatkan huruf-huruf terakhir ketika tamu-tamu mulai berdatangan. Rasa malu nya betul-betul tidak sederhana.

Mark Joyner masih memiliki 4 prinsip lagi dalam Simple-ology. Tapi yang paling penting adalah "prinsip garis lurus" di atas. Lagipula tulisan ini pun saya maksudkan untuk sederhana. Sehingga meskipun masih banyak yang ingin saya sampaikan, terpaksa harus saya akhiri supaya tetap sederhana. Ah, jangan berlama-lama membaca, silakan mencoba menerapkan Simple-ology. (FR).