Thursday, February 17, 2011

Pengumuman Penting

Terimakasih kepada teman-teman yang berkunjung ke blog ini. Supaya lebih nyaman bagi teman-teman semua, saya telah membuatkan tempat baru yang lebih baik. Untuk selanjutnya silakan kunjungi http://fauzirachmanto.com/ untuk terus mengikuti tulisan-tulisan terbaru saya.

Salam,

Fauzi Rachmanto

Tuesday, March 09, 2010

Choose Your Customers, Choose Your Destiny

“Maaf Pak, solusi yang kami miliki tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan Bapak, namun demikian saya akan referensikan nama Bapak kepada teman saya yang menyediakan jasa yang lebih sesuai dengan kebutuhan Bapak …” demikian saya sampaikan kepada calon pelanggan di depan Saya, sesopan mungkin, sambil mengemasi alat tulis saya. Mata beliau terbelalak, mulut nya terbuka, seolah ingin berkata-kata tapi sulit keluar. Saya paham beliau dilanda kebingungan teramat dahsyat. Sudah gila apa orang di depan saya ini. Menolak pelanggan? Bukankah seharusnya perusahaan IT seperti SDGI ini mencari dan mengejar pelanggan?

Oh ya, jangan salah paham, kami tentu juga butuh pelanggan. Namun pelanggan yang seperti apa? Itu yang kami juga harus selektif. Wah, kenapa harus menyeleksi pelanggan? Bukankah seharusnya kita yang diseleksi pelanggan? Nah, ini yang harus diluruskan. Menurut saya, penjual juga harus menyeleksi pembeli nya.

Profil pembeli yang tidak sesuai dengan jualan Anda akan merepotkan. Bayangkan, jika Anda adalah pemilik butik yang menyediakan baju-baju pesta “high-end” dengan harga berjuta-juta. Lalu kemudian datang serombongan remaja ABG datang dan mencari T-Shirt dan Jeans murah meriah untuk nongkrong di Kafe. Tentu akan ada ketidaknyamanan disana. Karena profil ABG yang masuk ke butik Anda tidak sesuai dengan produk yang Anda tawarkan. Model mutakhir butik Anda yang rancangan designer ternama bisa-bisa malah jadi bahan tertawaan calon pelanggan Anda. Belum lagi, harga nya bisa-bisa membuat calon pelanggan ABG Anda pingsan berdiri.

Karenanya jangan heran kalau outlet butik-butik ternama akan menyesuaikan diri dengan profil pelanggan yang diharapkan akan datang. Bangunan dan desain interiornya umumnya dibuat sangat mewah dan “angker”. Sehingga kalau “orang biasa” yang uangnya pas-pas an, mau masuk saja akan takut dan gemetar. Ini memang disengaja, karena orang yang keuangannya pas-pas an tidak diharapkan menjadi pelanggan mereka, inilah proses seleksi pelanggan.
Apakah seleksi awal untuk menyelaraskan profil pelanggan dan produk atau jasa kita sudah cukup? Belum. Ini baru tahap awal. Selanjutnya kita juga bisa melakukan seleksi atas pelanggan-pelanggan yang memberikan kontribusi positif lebih banyak kepada usaha kita.

Seperti kita tahu, tidak semua pelanggan memberikan kontribusi yang sama. Ada pelanggan yang rewel, banyak meminta, jarang beli, kalaupun beli nawarnya minta ampun, sudah begitu bayarnya susah. Sebaliknya ada pelanggan “ideal”, yang penggemar fanatik produk kita, tidak banyak menuntut, sering beli, gak pakai nawar, sudah begitu aktif mempromosikan produk kita pada teman-teman nya. Anda pilih punya pelanggan yang mana? Tentu yang ideal. Nah, misi kita adalah memperbanyak pelanggan tipe ideal, dan mengurangi yang tidak ideal. Caranya?

Pertama. Tetapkan Kriteria Pelanggan Ideal Anda.
Jika Anda belum punya, buat. Pelanggan ideal yang seperti Apa yang ingin Anda miliki? Kalau mereka individu, dari kelompok umur berapa? Apa profesinya? Berapa besar pendapatannya? Bagaimana mereka membelanjakan uangnya untuk produk Anda? Kalau mereka perusahaan, di industi apa mereka berkiprah? Seberapa besar assetnya? Berapa jumlah karyawannya? Bagaimana metoda pembelian barang dan jasa mereka? Bagaimana mereka membayar Anda?

Kriterianya tidak usah banyak-banyak dan sederhana saja. Misalnya, kriteria pelanggan ideal saya adalah: 1. Perusahaan atau lembaga dengan karyawan minimal 1,000 orang, 2. Menggunakan IT sebagai pendukung operasi usaha nya, 3. Memiliki infrastruktur IT tersebar di lebih dari 5 kantor cabang, 4. Memiliki anggaran belanja IT dan siklus pembelian yang jelas, 5. Memiliki prosedur pembayaran tagihan yang jelas.

Memang ada banyak calon pelanggan di luar sana, dengan berbagai profilnya. Namun, kali ini Anda memilih profil pelanggan yang ideal menurut Anda, yang profilnya selaras dengan produk atau jasa yang Anda tawarkan, dan akan memberikan kontribusi lebih besar bagi usaha Anda.

Kedua. Buat Kelompok Pelanggan Anda.
Sekarang lihatlah database existing pelanggan Anda. Oh ya, meskipun Anda menjual produk retail, sebaiknya Anda memiliki database pelanggan. Kalau belum, coba buat data sampling pelanggan yang membeli produk Anda.

Lalu cocokkan dengan Kriteria Pelanggan Ideal yang sudah Anda buat. Misalnya saja Anda memiliki 5 kriteria Pelanggan Ideal, mungkin ada pelanggan yang dapat memenuhi ke-5 kriteria tadi, atau mungkin ada perusahaan yang hanya memenuhi 3 kriteria, 2 kriteria, dst. Dari sini Anda akan memiliki kelompok-kelompok Pelanggan. Misalnya Kelompok Pelanggan A (memenuhi 5 kriteria), Kelompok B (memenuhi 4 kriteria), Kelompok C (memenuhi 3 kriteria atau kurang). Ini hanya contoh, silakan gunakan kreatifitas Anda sendiri.

Tujuannya adalah untuk mengetahui, berapa banyak pelanggan Ideal yang sudah Anda miliki. Apakah usaha Anda sudah menarik pelanggan ideal, atau malah kebanyakan pelanggan Anda, ternyata bukanlah pelanggan ideal. Informasi ini menentukan langkah kita selanjutnya.

Ketiga. Undang Pelanggan Ideal Anda.
Nah kini saatnya “mengundang”. Pelajari dengan baik. Mengapa “Pelanggan Ideal” Anda membeli produk Anda. Apa yang sebenarnya mereka cari? Mengapa mereka memilih produk Anda? Logikanya, jika ada pelanggan dengan kriteria seperti itu memilih produk Anda, di luar sana masih banyak lagi pelanggan seperti itu yang sedang haus akan produk Anda. Kepada merekalah kita akan memusatkan perhatian kita.

Langkah pertama dalam “mengundang” pelanggan ideal adalah dengan menyesuaikan cara komunikasi kita dengan mereka. Dan komunikasi mencakup komunikasi verbal dan non-verbal. Misalnya kalau Anda menjual tas wanita sekelas Louis Vuitton, sudah barang tentu Anda harus sesuaikan komunikasi verbal dan non-verbal toko dan karyawan Anda dengan orang-orang yang akan datang mencari tas sekelas LV tadi. Mulai dari tampilan toko, busana dan penampilan karyawan, hingga cara mereka berperilaku dan berbicara.

Kemudian, materi “kampanye” Anda juga harus ditujukan untuk kelompok pelanggan Ideal tadi. Dengan mengetahui alasan pelanggan ideal membeli produk Anda, kita dapat membangun tema promosi yang sejalan dengan alasan tadi. Misalnya, jika produk Anda dibeli karena pelanggan ideal puas dengan mutu, corak dan warna nya. Maka sebaiknya tema ini yang digeber dalam promosi.

Keempat. Pelihara Pelanggan Ideal Anda.
Pelanggan Ideal Anda harus dipertahankan. Ciptakan program-program sesuai harapan mereka, yang akan membuat mereka bertahan menjadi pelanggan. Seseorang dengan profil tertentu, biasanya bergaul dengan orang-orang dengan profil yang sama. Sehingga pelanggan ideal Anda akan melakukan “getok tular” kehebatan produk Anda kepada pelanggan potensial, yang juga ideal.
Bagaimana untuk pelanggan perusahaan? Percayalah, getok tular juga terjadi. Pejabat yang berwenang memutus pembelian produk Anda, juga berinteraksi dengan pejabat dari perusahaan lain, dan dapat menjadi “evangelist” produk Anda.

Lalu bagaimana dengan “pelanggan tidak ideal” yang sudah terlanjur menjadi pelanggan kita. Apa dibuang saja? Hehehe … tidak perlu seekstrim itu. Berfoksulah pada Pelanggan Ideal, maka jumlah pelanggan ideal akan bertambah, entah itu dari pelanggan baru, atau bisa jadi pelanggan lama ternyata berevolusi menjadi pelanggan ideal. Atau pelanggan tidak ideal yang rontok sendiri terkena seleksi alam.

Dengan empat langkah tadi, Anda sudah bisa mulai memilih pelanggan. Karena saya percaya, masa depan usaha kita, tergantung pada siapa pelanggan kita. Anda bermimpi Usaha Anda menjadi perusahaan World Class?, maka jadilah perusahaan World Class. Layani pelanggan World Class. (FR).

Break, Turn … Accelerate !

Kalau Anda ditanya mobil apakah yang paling kencang di dunia? Mungkin yang pertama terlintas di benak Anda adalah mobil Formula 1. Tidak salah memang, karena balapan Formula 1, yang sering dijuluki sebagai “jet darat” itu konon adalah puncak pencapaian teknologi mobil yang ada saat ini. Ketika digeber di berbagai sirkuit dunia, dalam sebuah balapan resmi sebuah mobil F-1 mampu mencapai kecepatan puncak (top speed) sekitar 300 – 330 Km/Jam. Bahkan di beberapa sirkuit dengan karakter “low downforce” seperti Monza – Italia, tercatat bisa mencapai 360 Km/Jam, meskipun sangat jarang terjadi.

Tapi kecepatan seperti itu sebenarnya bukan hanya monopoli mobil F1. Mobil road car yang masuk kategori mobil sport seperti Ferrari Enzo atau Lamborghini Murcelago memiliki top speed lebih dari 330 Km/Jam. Bahkan mobil berkategori “super car” seperti Bugatti Veyron mampu dikebut mendekati angka 400 Km/Jam.

Lalu dimana hebatnya sebuah mobil F1? Kehebatan mobil F1 sebenarnya bukan melulu soal kemampuan nya untuk melaju di jalur lurus. Namun justru kehebatan dalam melibas tikungan. Seperti Anda tahu, sebuah sirkuit balap, tidak hanya terdiri dari jalur lurus, namun justru sebagian besar terdiri dari tikungan. Dan disinilah persoalan utama sebuah mobil balap.

Ketika menikung dengang kecepatan tinggi, sebuah mobil akan menerima gaya lateral (menyamping) yang cukup tinggi. Sebagai ilustrasi, ketika melibas tikungan dengan kecepatan di atas 200 Km/Jam, maka sebuah mobil balap bisa menerima gaya menyamping sebesar 3 kali gaya gravitasi (3g). Sementara, sebuah mobil sport car seperti Ferrari Enzo hanya mampu menahan gaya lateral sekitar 1g, karena mengandalkan mechanical grip dari roda-roda nya. Mobil F1? Nah disini hebatnya. Dengan bentuknya yang aerodinamis, Mobil F1 dirancang untuk memiliki downforce yang mampu menahan gaya lateral hingga 5 – 6g . Seperti ketika melibas tikungan “Copse” di Silverstone dengan kecepatan mendekati 300 Km/Jam. Maka tidak heran, kalau mobil F1 diadu di sirkuit dengan Super Car, akan jauh sekali selisih waktu per lap nya.

Lha terus apa hubungannya dengan bisnis? Hehehe … oh ya, hampir saya lupa, keasyikan bicara soal mobil. Pelajaran yang bisa kita ambil dari keunggulan mobil F1 adalah, bahwa untuk menjadi yang terbaik, ternyata bukan hanya soal seberapa cepat Anda bisa berpacu di jalur lurus, tapi justru sebagian besar tergantung pada seberapa baik Anda mampu menghadapi tikungan tajam.
Jalur lurus dalam bisnis adalah saat-saat semuanya serba kondusif dan mendukung bagi usaha Anda. Momentum nya demikian tepat. Pasar sedang tumbuh, permintaan akan produk Anda sedang tinggi. Produk Anda terjual demikian mudah, dengan “effortless ease”. Sementara, Anda juga didukung oleh orang-orang yang demikian mumpuni, capable, penuh dedikasi. Pelanggan mendapat pelayanan prima dari tim Anda. Pembayaran dari pelanggan juga lancar, dan kas perusahaan benar-benar sehat. Tinggal injak gas dalam-dalam usaha Anda pun dapat melaju dengan kencang.

Namun bagaimana apabila saat melaju kencang di depan tiba-tiba ada tikungan tajam? Seperti apa tikungan dalam bisnis. Wah … Banyak. Bisa jadi berupa Pelanggan yang tiba-tiba berpaling dari produk Anda karena muncul produk sejenis yang lebih disukai. Pelanggan yang karena pergeseran prioritas menunda keputusan membeli produk-produk Anda. Supplier Anda yang tiba-tiba memberikan harga baru, mengganti spek produk, atau bahkan ekstrimnya berhenti berproduksi! Atau, ada regulasi baru yang tidak sesuai dengan usaha Anda. Atau, pelanggan setia yang menunda pembayaran tagihan-tagihan Anda. Hingga, kenaikan harga bahan baku, biaya bahan bakar, listrik, yang membuat produk Anda tidak lagi kompetitif di pasar. Kalau dalam situasi seperti ini Anda tetap melaju kencang, maka ibarat mobil F1, Anda bisa menabrak dinding pembatas sirkuit!

Lalu apa yang dilakukan seorang pengendara mobil F1 ketika memasuki tikungan?
Yang pertama adalah “Break”. Atau menginjak rem untuk mengurangi kecepatan, untuk menyesuaikan keadaan tikungan di depan kita. Seperti mobil, bisnis juga harus memiliki rem. Ada kalanya kita harus menginjak rem karena situasi nya memang bukan jalur lurus yang siap dilibas dengan kecepatan penuh. Kalau daya serap pasar terhadap produk kita sedang turun, tentu saja tidak logis kalau kita malah menginjak gas dengan meningkatkan produksi, merekrut tim baru, menambah stok bahan baku, dan seterusnya. Lebih logis apabila kita kurangi produksi kalau memang daya serapnya tidak ada.

Break itu tidak apa-apa. Demi keselamatan usaha. Seringkali ego seorang pengusaha mencegah untuk melakukan break. Padahal semua pembalap juga akan melakukan pengereman kalau didepan terbentang potensi bahaya. Ingat break ini bukan untuk selamanya, tapi karena sedang memasuki tikungan. Sebuah mobil, dilengkapi dengan rem bukan untuk menghambat mobil tersebut. Tapi justru untuk memastikan bahwa Anda aman disaat melaju dengan kecepatan maksimal. Kalau Anda masih belum yakin situasi nya, Anda juga bisa melakukan “late breaking”, menginjak rem sedikit terlambat seperti yang sering dilakukan pembalap dalam mempertahankan posisinya ketika akan disalip pembalap lain.

“Break”, bukan langkah utama dan satu-satunya. Setelah menyesuaikan kecepatan, maka seorang pembalap akan melakukan langkah kedua yaitu “Turn”. Menyesuaikan arah mobilnya untuk melewati tikungan. Kita juga harus menyesuaikan kemudi usaha kita untuk melewati tikungan bisnis yang kita hadapi. Sesuai hasil evaluasi atas penurunan usaha yang terjadi, proses “Turn” bisa mencakup banyak hal. Bisa jadi kita harus merevisi produk kita, menghentikan produk tertentu, mengeluarkan varian produk baru. Mengevaluasi, mereposisi, mengganti atau bahkan mengurangi tim kita. Mencoba mengeksplorasi pasar baru. Dan sebagainya.

Mobil F1 mampu melakukan “turn” dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari mobil road car, berkat rancangan aerodinamisnya. Bisnis pun juga begitu. Ada organisasi bisnis yang demikian gemuk dan birokratis, sehingga sulit melakukan “turn”. Maka, pastikan design organisasi bisnis Anda efisien untuk mengantisipasi ketika harus melakukan “turn”.

Namun “Turn” juga bukanlah langkah terakhir. Kalau hanya berorientasi pada penyesuaian arah, seorang pembalap bisa-bisa hanya berputar-putar saja. Namun setelah arah sesuai dengan jalan yang terbentang di depan, pada satu titik maka pembalap akan kembali melakukan “Accelerate”. Menginjak kembali pedal gas untuk menambah laju kendaraan. Bisnis Anda juga harus kembali digeber, pada saat sudah menemukan kembali arah yang tepat. Ini tidak mudah, karena bisa jadi di depan sudah menghadang tikungan lagi, atau arah bisnis Anda belum benar-benar tepat. Disinilah pengalaman dan intuisi seorang pengemudi bisnis berperan. Adakalanya keputusan melakukan “Accelerate” bukan keputusan terbaik pada saat itu, dan bisnis Anda malah “spin” dan terpental dari sirkuit. Tapi semakin lama Anda menekuni bisnis, Anda akan tahu kapan saat yang tepat.

Tiga langkah, dan hanya tiga langkah itulah yang dilakukan oleh seorang pembalap ketika menghadapi tikungan. Tapi justru tiga langkah ketika memasuki tikungan ini, yang dapat memastikan apakah mobil akan berhasil sampai di garis finish dengan selamat.

Ayo geber usaha Anda !, jangan takut memasuki tikungan, lakukan maneuver dan selamat memasuki garis finish kesuksesan.

Thursday, February 18, 2010

Lima Penyebab Kegagalan Pebisnis Pemula

Bagi pelaku usaha pemula terkadang sulit untuk menerima kenyataan bahwa rencana usaha yang telah disusun dengan matang tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sikap demikian wajar karena pelaku usaha pemula, biasanya belum kenal dengan “kegagalan”. Sebagai pengusaha, kegagalan adalah peristiwa yang harus kita “akrabi”, sehingga ketika terjadi reaksi kita bukan frustrasi, namun dapat menganalisa penyebabnya dan mampu menyusun ulang strategi tepat untung mengatasinya. Penyebab kegagalan pebisnis pemula yang wajib diketahui, untuk dapat diantisipasi adalah sebagai berikut:

Penyebab pertama: Alasan yang salah dalam memulai usaha.
Banyak pengusaha pemula, memulai usaha dengan alasan yang tidak tepat. Misalnya, memulai usaha dengan alasan menghindari kerja keras di tempat kerja, tidak bahagia di tempat kerja, dan sebagainya. Karena alasan nya adalah menghindari kerja keras, maka pebisnis pemula tadi akan cepat sekali merasa frustrasi ketika dalam mengelola bisnis ternyata perlu usaha yang jauh lebih keras.
Kerja keras adalah hal biasa, baik di tempat bekerja maupun ketika mengelola usaha, justru bagaimana supaya bisa melengkapi dengan kerja cerdas dan kerja ikhlas, disitulah pekerjaan rumah nya. Kebahagiaan dapat hadir kapan saja, baik saat menjadi pekerja, maupun ketika menjadi pengusaha. Justru bagaimana dapat selalu menghadirkan semangat dan kebahagiaan di hati kita, dalam situasi apapun, disitu tantangannya.
Ketika alasan yang dipilih tidak tepat, maka frustrasi dan kegagalan akan mudah sekali menghampiri.

Penyebab kedua: Tidak berhasil menarik pelanggan.
Euphoria ketika memulai usaha, seringkali membutakan kita dengan hal-hal yang sangat prinsipil dalam bisnis, misalnya bagaimana mendatangkan pelanggan dan menciptakan transaksi yang menguntungkan. Karena sangat bersemangat memulai usaha, kadang pelaku usaha pemula lupa untuk melakukan mengenali pasar, apakah produk yang diciptakannya memiliki kebutuhan yang nyata pada pasar yang menjadi sasarannya. Produk yang luar biasa inovatif, desain menarik, tetap saja akan berpotensi gagal apabila memang tidak ada kebutuhan riil. Misalnya, jika pasar sasaran kita adalah para petani di desa, tentu produk yang cocok adalah perangkat pertanian yang mereka butuhkan, bukan perangkat perkantoran canggih yang dibutuhkan kaum professional di kota besar.
Dalam kasus lain, kita sudah menciptakan produk inovatif yang luar biasa, dan memang ada kebutuhan kuat dari masyarakat akan produk tersebut, namun kalau tidak dilakukan marketing yang baik, maka potensi gagal juga akan besar. Karena suatu produk yang baik, baru akan sukses, jika kita komunikasikan dengan cara yang tepat, kepada orang yang tepat, secara masal.

Penyebab ketiga: Biaya operasional terlalu besar.
Banyak pengusaha pemula yang gagal tinggal landas, karena besar pasak daripada tiang. Misalnya usaha sudah dapat mendatangkan hasil yang baik. Memiliki produk yang inovatif, pasar yang potensial, dengan kebutuhan yang terdefinisikan dengan baik. Strategi pemasaran pun dapat dijalankan dengan baik. Namun apabila untuk itu semua diperlukan biaya yang lebih besar dari pendapatan, maka dalam jangka panjang usaha tersebut akan sulit dipertahankan.
Seringkali biaya operasional yang besar tersebut datang dari “jebakan kemewahan korporat” belaka. Hal-hal yang sesungguhnya jika dikaji ulang tidak perlu. Misalnya, kantor yang mewah, sementara tidak pernah ada customer yang perlu datang ke kantor kita. Perangkat komunikasi dan komputer mobile yang canggih, sementara kita jarang perlu menggunakan di luar kantor. Kendaraan yang mahal sementara kita jarang memerlukan, dan sebagainya.

Penyebab keempat: Manajemen hutang yang buruk.
Karena terlalu bersemangat dalam berusaha, seringkali pelaku usaha mengabaikan prinsip dasar berhutang. Seringkali mereka menggunakan hutang untuk hal-hal yang tidak terkait langsung dengan memperbesar hasil usaha. Akibatnya adalah jebakan hutang, yang ditutup dengan hutang yang lain, kemudian ditutup dengan hutang yang lain, dan seterusnya. Tidak jarang pengusaha pemula, berakhir usaha nya dalam kondisi terjebak hutang yang sudah sulit diurai ujung pangkal nya.
Prinsip dasar manajemen hutang adalah kita menggunakan hutang untuk mengungkit usaha kita. Kita mengambil hutang karena usaha kita dapat mendatangkan pendapatan, memiliki keuntungan yang cukup, yang akan menjadi sumber pengembalian hutang. Bukan semata karena ada jaminan berupa harta tetap (fixed asset).

Penyebab kelima: Tim yang tidak solid.
Tidak jarang usaha yang awalnya berjalan baik, kemudian harus bubar karena tim yang didalamnya memutuskan untuk berpisah. Terlebih apabila usaha tersebut dibangun secara bersama-sama. Potensi “pecah kongsi” dapat menjadi sumber kegagalan.
Umumnya ini terjadi karena tidak adanya “trust”, rasa percaya diantara anggota tim. Ketiadaan trust datang dari keinginan untuk dipercaya, tapi tidak dapat membuktikan diri bahwa kita layak dipercaya. Kepercayaan adalah sesuatu yang harus kita raih, kita buktikan melalui tindakan nyata. Bukan sesuatu yang diberikan begitu saja oleh orang lain.
Selain itu, pecah kongsi sering terjadi karena satu pihak merasa lebih unggul atau lebih berjasa dari pihak lain. Tidak menyadari bahwa setiap orang punya kekuatan dan kelemahan. Sikap seperti ini akan menjadi sumber perpecahan. Kalau memang ingin membangun usaha dengan partner, maka toleransi terhadap kelemahan partner lain menjadi kata kunci.

Demikianlah lima penyebab kegagalan yang harus kita antisipasi. Seorang pengusaha sejati, tidak hanya siap untuk menerima keuntungan, tidak hanya terbius dengan angka-angka proyeksi keuntungan. Namun juga siap, jika hasilnya adalah sebaliknya. Pengusaha sejati akan menjadikan kegagalan tadi sebagai umpan balik, menyusun ulang strategi, dan bangkit kembali. (FR).

Monday, November 02, 2009

Keranjang Jebol

Salah satu berkah menjadi wirausaha, dan lantas “diduga” memiliki banyak uang, adalah banyaknya kenalan dan saudara baru. Ada yang sekedar ingin berteman, ada yang ingin bersahabat dan sekaligus menawarkan “peluang investasi”. Tidak apa-apa tentu nya. Malah saya berterimakasih sudah diperkenalkan kepada rupa-rupa peluang investasi. Dan rupanya semakin maju peradaban, makin beraneka ragam “peluang investasi” tadi. Mulai dari yang sering kita dengar seperti saham, valuta asing, emas, pompa bensin, properti, dan sebagainya, hingga yang meski tidak pasti usahanya apa, namun pasti dalam menjanjikan keuntungan sekian persen per bulan.

Contohnya, ada tawaran investasi yang menjamin keuntungan 60% per tahun. Dan modal pokoknya dijamin kembali dalam setahun. Menarik bukan?

Kalau mau lebih cerdas, saya bisa pinjam uang di bank dengan bunga pinjaman katakanlah 15% per tahun, dan saya investasikan, maka saya sudah untung 45% per tahun. Wow, bayangkan kalau properti saya dijaminkan ke bank, dan dapat pinjaman Rp. 500 juta saja, setiap tahun saya bisa terima bersih Rp.225 juta. Tanpa keluar uang dari kocek sendiri. Properti masih utuh, plus kas masih utuh seandainya pinjaman mau dilunasi. Apalagi kalau keuntungan diinvestasikan kembali. Dahsyat. Bisa cepat bebas finansial dong. Mau?

Tunggu dulu. Dari semua tawaran investasi tadi, jarang sekali saya mau ambil. Atau malah tidak pernah ya? Oh, berarti tidak punya uang … hehehe. Bukan, itu mungkin salah satu faktor, tapi pasti bukan alasan utama.

Melakukan investasi kata orang seperti menaruh telur dalam keranjang. Maka kita harus memastikan keranjang seperti apa yang akan menjadi alat investasi kita.

Saya beruntung, sebelum terjun ke dunia usaha pernah bekerja sebagai analis investasi, jadi sedikit banyak masih memiliki kepekaan dalam menimbang risiko investasi. Jadi setiap peluang investasi, pasti akan melewati lima meja screening saya, dan sebagian besar memang tidak lolos. Lima meja? Iya, lima meja imajiner yg saya gunakan dalam menimbang sebuah tawaran investasi:

Pertama, Kenali diri Anda.

Lho masa sih sama diri sendiri tidak kenal? Nama, tanggal lahir, alamat sampai nomor KTP saja kan hapal. Maksudnya, kenali betul Anda ini sebenarnya siapa? Apakah Anda seorang pegawai yang ingin mengembangkan tabungan Anda supaya lebih banyak lagi melalui investasi. Atau barangkali Anda seorang pengusaha yang sedang ingin menikmati membangun bisnis lengkap dengan suka duka nya. Ataukah Anda seorang pengusaha sukses yang sudah melewati fase mengelola usaha, dan kini ingin “beternak uang”?

Lalu apa tujuan Anda berinvestasi? Apa yang Anda inginkan dari investasi yang akan Anda lakukan. Apakah Anda memang ingin menjadi investor? Atau Anda sedang ingin mengoptimalkan aset Anda untuk mendukung pengembangan usaha?

Kemudian apa target Anda dalam berinvestasi? Hasil cepat dalam jangka pendek, karena Anda sekedar memanfaatkan dana menganggur sebelum dana digunakan untuk hal lain? Atau Anda memang sedang ingin mencapai akumulasi kapital yang besar, dan siap dengan permainan investasi jangka panjang?

Berapa dana yang siap Anda gunakan untuk investasi? Berapa lama Anda sanggup menahan dana tersebut dalam wahana investasi yang Anda pilih?

Berapa besar risiko yang sanggup Anda tanggung seandainya investasi tidak berjalan sesuai rencana?
Anda jawab dulu pertanyaan-pertanyaan di atas, sebelum masuk ke meja kedua.

Kedua, Kenali mitra investasi Anda

Anda sudah kenal calon mitra investasi Anda? Nama, alamat, nomor telpon, email, jenis usaha, kegiatan sehari-hari, account facebook? Tidak cukup. Oh, jangan khawatir Anda mungkin mengenal calon mitra Anda dari komunitas terpercaya, atau bahkan kenal dari aktivitas keagamaan. Atau barangkali, calon mitra Anda terkenal, sering muncul di koran dan majalah bisnis. Sayangnya semua itupun tidak cukup.

Anda akan mempercayakan dana investasi Anda. Maka Anda harus mengenal betul mitra Anda.
Bukan sekedar mengenal pribadi nya. Tapi Anda harus tahu betul dana Anda akan diinvestasikan kembali dalam kegiatan usaha apa. Dan bagaimana mitra Anda menjalankan usaha tersebut. Baguskah pengelolaannya? Baguskan manajemen nya? Pengalaman dan track recordnya? Dan terutama baguskah hasilnya?

Misalnya dana Anda akan diinvestasikan kembali dalam usaha agrobisnis? Maka Anda harus terjun melakukan observasi sendiri bagaimanan kegiatan agrobisnis akan dilakukan. Apa risiko-risiko nya, dan bagaimana mitra Anda mampu menangani risiko tadi. Apakah ada pengalaman sebelumnya yang membuktikan mitra Anda mampu menangani risiko. Properti? Anda harus tahu dimana lokasinya? Bagaimana prospeknya? Kemampuannya menyelesaikan proyek, dan sebagainya. Industri telekomunikasi? Pertambangan? Pelayaran? Penerbangan? Sama saja. Jangan ragu dan malu bertanya, daripada nanti menyesal. Jangan sampai mitra usaha Anda belakangan sekedar berdalih "maaf, saya ditipu orang" hanya karena ketidaktahuan mereka dalam bisnis yang akan dimasuki.

Ketiga: Berhitunglah Sendiri

Percayalah, semua hitungan dalam proposal investasi sudah pasti indah adanya. Kalau saya, pasti saya hitung kembali. Dengan asumsi saya sendiri. Karena seringkali asumsi nya over-optimistic dan tidak realistis. Cara terbaik adalah dengan melakukan cross-check dengan dunia nyata. Misalnya jika calon mitra mengaku usaha tersebut revenue perbulannya sekian milyar, maka coba cek usaha sejenis, apa betul angka tadi masuk akal. Dengan sedikit survey, maka Anda akan memiliki perhitungan yang lebih masuk akal.

Perhitungan yang luar biasa khayal biasanya menyangkut proyeksi pertumbuhan per tahun. Wah, bisa sangat indah. Tumbuh sekian puluh persen per tahun, BEP dalam sekian tahun. Dan seterusnya. Ingat, semua adalah berdasarkan asumsi. Hasilnya bisa sama sekali berbeda ketika asumsi berubah.

Keempat: Bicaralah dengan Mr. Spock dan Dr. Mc.Coy

Di film Star Trek, Kapten Kirk punya dua penasehat: Dr. Mc.Coy yang emosional, dan Mr. Spock yang logis. Ketika membuat keputusan Kirk sering bertanya kepada keduanya, untuk mendapat masukan yang balance.

Dalam berinvestasi Anda juga harus bertanya pada Spock dan Mc.Coy. Jangan hanya karena faktor emosi, Anda membuat keputusan investasi. Misalnya, karena memiliki ikatan batin atau terpesona kharisma mitra investasi, Anda rela melepas ratusan juta.

Atau Anda melakukan investasi hanya karena teman lain sudah melakukan. Anda tidak kuasa membayangkan teman Anda nanti akan kaya raya dari investasi yang ditawarkan, dan Anda takut ketinggalan miskin sendirian. Kata-kata “Yang lain sudah ambil nih, tinggal kamu saja ...” terngiang di telinga. Maka karena perasaan Anda tidak mau kalah, keputusan investasi diambil dengan cepat. Sebenarnya ini tidak salah, karena emosi manusia memang sesungguhnya membantu. Tapi tolong tanya juga Mr.Spock yang ada dalam diri Anda sendiri. Apakah investasi ini memang layak dilakukan? Apakah keuntungan yang ditawarkan masuk akal? Apakah risiko yang mungkin terjadi sepadan dengan dana yang akan Anda keluarkan?

Terlebih kalau mitra investasi Anda menghimpun dana dari orang banyak. Tanyakan ke Spock, bagaimana dengan likuiditasnya? Bayangkan, calon mitra investasi Anda mengumpulkan uang dari banyak investor. Kemudian menginvestasikan dana yang terkumpul kedalam berbagai bentuk usaha dan investasi. Dan dapat dipastikan sebagian besar nvestasi yang dilakukan tidak likuid. Karena yang likuid (mudah menjadi kas kembali) paling hanya rekening bank, deposito dan investasi surat berharga yang marketabel dan dijual di pasar modal dan pasar uang.

Jadi misalnya 20% saja dari dana investor ditarik pada hari yang sama, mitra investasi Anda akan kolaps. Kenapa? Karena uang sudah menjadi asset tidak likuid, yang perlu waktu untuk kembali menjadi cash kembali. Bagaimana kalau yang menarik dana sebanyak 50%, 80%? Wah, bisa saya pastikan mitra investasi Anda akan mendadak sulit ditemui. Bukan karena soal itikad baik, namun memang secara logis, ada siklus “asset conversion cycle”, yang membuat kas tidak bisa ditarik begitu saja dengan cepat, apalagi dalam jumlah banyak.

Kelima: Miliki “Exit Strategy”

Semua investasi pada prinsipnya harus memiliki strategi untuk “keluar pada keadaan darurat”. Mirip pintu darurat pada pesawat terbang atau gedung-gedung perkantoran. Jika terjadi risiko yang tidak dikehendaki, melalui jalan mana Anda akan keluar dari investasi Anda. Investasi saham dan valas, punya pintu exit berupa batas untuk cut-loss. Misalnya kalau harga terus turun, di titik tertentu harus berani melepas supaya kerugian tidak semakin besar. Dalam hal ini exit strategy nya mudah, yaitu jual.

Property, emas, dsb, juga exit strategy nya adalah melepas dan memperoleh kembali kas, meskipun tidak 100% karena dipotong “realized loss”.

Bahkan bank, ketika memberikan pinjaman kepada debitur, selalu meminta kolateral untuk memback-up pinjaman yang diberikan. Kalau debitur tidak mampu membayar, maka exit strategy nya adalah dengan mengeksekusi kolateral.

Anda bisa menilai sendiri, apakah investasi yang Anda lakukan memiliki exit strategy? Bagaimana jika mitra investasi tidak mampu membayar hasil investasi yang dijanjikan. Atau malah lebih gawat lagi tidak mampu membayar pokok investasi nya? Apa yang dapat dilakukan untuk memperoleh kembali kas yang Anda tanam?

Investasi yang tanpa exit strategy sama saja dengan pesawat tanpa pintu darurat.

Kalau setelah melewati lima meja di atas, Anda yakin investasi Anda layak dilaksanakan, maka lakukan saja. Banyak yang mengatakan bahwa dalam berinvestasi, jangan menaruh telur di keranjang yang sama. Itu betul. Namun tidak cukup. Lima langkah di atas saya maksudkan untuk memastikan bahwa kita tidak menaruh telur di keranjang yang sama, dan pastinya bukan keranjang yang jebol. (FR)

Friday, October 09, 2009

The Art of The Start: 8 Hal yang Harus Anda Perhatikan Ketika Memulai Usaha

Saya memulai membangun usaha pada tahun 2002. Waktu itu saya merasa sudah cukup menjalani karir di bidang perbankan dan kemudian teknologi informasi. Dengan penuh rasa percaya diri, penuh keyakinan, dengan restu orang tua, dukungan istri, dukungan keluarga, teman dan segenap handai taulan, berdirilah perusahaan saya. Yang kemudian ternyata “failure to launch”.

Ya, ibarat mencoba meluncurkan Apollo ke Bulan, boro-boro sampai bulan. Mesin nya saja gak langsung nyala. Masih untung gak sampai meledak.

Tapi itu dulu … Alhamdulillah sekarang usaha IT yang saya tekuni relatif berjalan dengan baik. Ini yang membuat saya sering ditodong berbagi pengalaman. Tentu banyak sekali pengalaman yang bisa dibagikan. Baik pengalaman yang indah maupun tidak indah untuk dikenang. Kalau mau diceritakan satu persatu, mungkin bisa jadi novel. Hari ini, saya ingin share 8 hal yang menurut saya harus diperhatikan oleh siapapun yang sedang memulai usaha nya sendiri. Ini bukan dari teori, bukan dari buku, tapi saya ambil dari pengalaman saya sendiri.

1. Ide Harus Besar, Tapi Tetap Membumi
Sewaktu memulai usaha, terus terang saya dan rekan-rekan saya memiliki segudang ide besar. Yang mungkin saking besar nya, tidak cukup realistis dengan kenyataan di pasar. Produk yang kami bawa memang bagus secara teknologi, tapi hampir-hampir tidak bisa dijual. Memiliki ide besar boleh, tapi jangan sampai melupakan realitas pasar, karena ujung-ujung nya kita harus menjual sesuatu.
Untuk tidak mengulang kesalahan semacam itu, paling tidak kita harus memperhatikan:

Pertama: Apa sebenarnya produknya? Menjawab ini saja bagi saya dulu, kadang sulit. Mungkin saking ingin menerapkan prinsip “apa lu mau gua ada”, sampai-sampai sosok “binatang” nya apa tidak jelas. Dari A – Z ingin di cover semua, sampai bingung sendiri kalau harus diceritakan ke calon pelanggan. Kalau kita saja bingung, gimana yang mau beli?

Kedua: Produk ini mau dijual kesiapa? Siapa yang memerlukan? Kadang-kadang kami di bidang IT saking asik nya menciptakan produk dengan teknologi terkini, sampai lupa siapa sebenarnya yang memerlukan produk ini. Kami mencipta karena kami bisa, bukan karena ada pihak yang memerlukan.

Ketiga: Kira-kira berapa nilai pasarnya? Wah, musti riset pasar? Iya, tapi bisa riset pasar kecil-kecilan, tanpa bayar konsultan. Artinya, secara sederhana kita bisa mengukur sendiri, pihak yang memerlukan produk yang kita jual, sebenarnya bersedia membayar berapa. Jangan-jangan butuh sih butuh, tapi kalau disuruh beli tidak mau. Dan selanjutnya kita juga perlu tahu ada berapa banyak potensi pelanggan di area yang jadi sasaran kita.

Keempat: Bagaimana persaingannya? Siapa saja pemain lama yang lebih dulu ada. Seberapa banyak mereka menguasai pasar yang jadi sasaran tadi. Apakah pasarnya tetap, berkembang, atau malah sedang menyusut.

Kelima: Mengapa produk kita lebih baik dibanding produk pesaing? Apa keunikan-nya? Apa kelebihannya? Apa USP nya? dsb. Bagaimana strategi kita untuk membawa produk kita ke pasar tadi. Apa irresistible sensational offer yang ingin kita sampaikan ke pelanggan potensial kita?

Kelima hal tadi kalau Anda tulis, sudah sama isinya dengan rencana pemasaran. Memang tidak canggih, tapi cukup untuk membumikan ide besar kita.

2. “Isi” Lebih Penting dari “Bungkusan”
Lho bukannya sudah jelas? Kalau makan Duren, mending isinya apa kulitnya? Ya tentu isi nya. Untuk kasus Duren sepertinya jelas. Nah, tapi bagi para pebisnis pemula, godaannya justru seringkali adalah bagaimana memiliki bungkusan yang bagus, entah ada isi nya atau tidak.

Sewaktu baru mendirikan usaha, saya memiliki pemahaman, bahwa yang namanya usaha, kantor, harus langsung dilengkapi infrastruktur yang lengkap. Sekalipun baru berdiri. Yang penting bungkusnya dulu.

Tidak ada yang salah sebenarnya, apabila usaha nya berjalan dengan baik. Tapi dalam kasus saya dulu, karena revenue tak kunjung tiba, sementara “tongkrongan” kantor sudah terlanjur keren, kemana-mana pake jas. Malah jadi mirip main kantor-kantor-an … hehehe.

Saya belajar bahwa ternyata percuma buang-buang resources demi “bungkusan”, kalau tidak ada isi nya. Jangan sampai perusahaan seolah menjadi bungkusan besar, padahal isi nya tidak ada. Kantor nya bagus, karyawan banyak, bos nya naik mercy semua. Tapi revenue nya secara konsisten selalu kecil. Ya percuma. Sebaliknya, tanpa memaksakan diri untuk “main kantor-kantoran”, bungkusan toh akan membesar sendiri ketika isi nya memang sudah besar. Tanpa perlu kita paksakan.

3. Modal tidak Selalu Berupa Uang
Pertanyaan klasik yang selalu disampaikan dalam setiap diskusi yang pernah saya lakukan adalah: “Bagaimana memulai usaha, sementara saya tidak punya modal.” Atau “Bagaimana mau memulai, Saya tidak punya uang?”

Setelah menjalani usaha, Anda akan paham bahwa modal awal tidak selalu berupa uang. Dalam pengalaman saya, ketika saya mencoba menginvestasikan segenap sumber-daya keuangan yang saya miliki, sampai habis-habis an, ternyata usaha yang saya rintis malah tidak menghasilkan. Mungkin karena sebagian besar habis untuk main kantor-kantoran tadi. Tapi justru pada saat saya kehabisan sumber-daya uang, dan tinggal mengandalkan sumber-daya ide dan jaringan kerja, usaha saya malah mulai berjalan.

Jadi menurut saya modal utama yang harus dimiliki adalah idea atau gagasan. Dan ide ini diproduksi oleh otak kita sendiri, gratis. Kalau Anda saat ini belum punya ide, tidak apa2. Masih punya otak kan? Karena selama masih punya otak, ide nanti akan dating sendiri, tentunya kalau kita stimulasi terus menerus melalui baca buku, diskusi dan brainstorming dengan teman-teman. Kalau setelah di cek ternyata otak juga sudah tidak punya, nah itu soal lain.

Saya percaya kalau sebuah ide terbukti dapat menghasilkan uang, maka dengan sendiri nya akan menarik hal-hal lain untuk mendukungnya. Termasuk menarik pemilik modal berupa uang yang kita perlukan.

Nah, dengan demikian kita juga harus punya skill untuk menjual gagasan. Ide atau gagasan tadi harus kita sampaikan kepada orang yang tepat, dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat. Jadi kalau mau mulai usaha harus terbiasa menyampaikan gagasan secara lisan, tertulis ataupun melalui demo. Ini skill yang tidak mudah, tapi bisa dilatih dan dipelajari.

4. Anda Bukan Superman
Mungkin saja, di tempat kerja sebelumnya kita dikenal memiliki keahlian teknis yang baik. Bisa jadi kita adalah engineer dengan segudang keahlian dan sertifikasi di tangan. Tapi seorang teknisi yang baik, seandainya kemudian diminta untuk duduk di jajaran management, belum tentu akan menjadi manager yang baik.

Sebagai manager, bukan lagi skill teknis yang harus dikuasai, namun lebih banyak strategi dan taktik bagaimana bisa mendapat hasil melalui orang lain. Namun, manager yang baik belum tentu bisa menjadi pewirausaha yang baik juga. Karena sebagai pewirausaha, tidak lagi bagaimana mengurus hari ini, tapi harus berorientasi masa depan, lebih banyak berurusan dengan visi, mau dibawa kemana perusahaan.

Programmer yang hebat, tidak selalu adalah seorang project manager yang hebat juga, project manager yang sukses dalam berbagai implementasi, belum tentu akan menjadi pewirausaha handal. Ketiganya adalah sosok berbeda. Dan jika Anda tidak bisa menjadi ketiganya, maka Anda butuh orang lain untuk menjadi partner usaha Anda. Kalau Anda jago dibidang pengembangan, dan hanya mau bekerja dalam hal pengembangan, maka Anda butuh partner yang menguasai pengelolaan sumber daya, pemasaran, keuangan, dsb.

Berpartner dalam usaha tidak mudah. Usaha pertama saya, yang didirikan oleh empat partner, tidak berjalan dengan baik. Kami memutuskan berpisah di depan. Karena sungguh sulit menyatukan ide 4 kepala.

Untuk bisa berjalan dengan baik, kata kunci nya adalah adanya rasa saling percaya (“trust”), dan toleransi. Toh kita bukan Superman. Kita bukan manusia sempurna, maka kita juga harus bisa menerima ketidak-sempurnaan partner kita.

5. Manfaatkan Jaringan
Yang saya lupakan pada tahap awal membangun usaha adalah kedekatan dengan jaringan kerja. Padahal, dikemudian hari terbukti, jaringan adalah modal yang sangat berharga.

Pertama, kita harus mengenal komunitas pelanggan kita. Kalau perlu hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka, jika ada. Berinteraksi dengan intens dengan mereka. Supaya kita dapat memahami “what’s hot” dan dapat segera merespon dengan produk atau solusi yang kita tawarkan.

Kedua, kita juga harus dikenal dikalangan usaha sejenis. Penting untuk eksis dan dikenal oleh perusahaan-perusahaan sejenis, terutama yang sudah lebih dulu maju. Kita harus bersikap kooperatif, bukan kompetitif. Kalau keahlian kita sudah dikenal, jangan heran, seringkali pekerjaan-pekerjaan penting bisa datang dari kerjasama dengan perusahaan sejenis.

Ketiga, kita juga harus eksis dimata pemilik modal. Apakah itu bank, lembaga keuangan, ataupun pribadi-pribadi yang punya uang tapi bingung mau bisnis apa. Track record kita dimata mereka harus baik. Pada masa pertumbuhan, dukungan mereka akan penting.

Keempat, kita juga harus dekat dengan pihak-pihak yang berpotensi membantu pemasaran produk kita. Apakah itu sebagai partner, agent atau reseller.

Kelima, kalau kita memerlukan produk dari pihak ketiga, maka kita harus dekat dengan jaringan supplier. Jika ada, maka bagus lagi masuk dalam komunitas supplier, sehingga kita tidak bergantung pada satu pihak saja.

6. Jangan Malu Untuk “Narsis”
Banyak teman pelaku usaha IT yang saya tahu sangat hebat dalam menciptakan produk. Sayangnya mereka terlalu “malu-malu kucing”. Nah, kalau sudah menjadi pewirausaha, saatnya untuk “narsis-narsis macan”.

Bagaimana orang tahu Anda punya produk hebat, kalau Anda simpan untuk diri sendiri. Tampilkan diri Anda dan produk Anda, supaya dikenal. Dengan demikian Anda sudah membantu mempermudah hidup orang yang sedang mencari produk Anda.

Tidak perlu iklan yang mahal. Rajin-rajin lah berbagi tentang apa yang Anda sukai. Baik secara offline maupun online. Rajinlah menulis, berkomentar di milis, dan berbicara tentang topik yang Anda kuasai, terkait bisnis Anda. Bagikan ilmunya secara gratis, tidak usah terlalu memikirkan uangnya dulu. Setelah Anda mendapatkan atensi dan reputasi, maka uang akan mengikuti.

7. Tetap fleksibel
Selama perjalanan Anda dalam berbisnis, tetaplah fleksibel. Memang Anda disarankan untuk merumuskan tujuan yang jelas, sehingga tahu persis aksi apa yang harus dilakukan. Namun tujuan bukanlah peta mati yang membatasi gerak Anda. Lebih sesuai kita sebut tujuan tadi adalah kompas yang menunjuk kemana Anda akan menuju. Jika di tengah jalan ada kejutan? Ya, improvisasi-lah.

Pada waktu memulai usaha IT, saya berniat berjualan system untuk remote trading. Eh ternyata gagal. Kemudian, sempat membangun visi untuk menjadi penyedia solusi mobile. Kurang greng. Memposisikan sebagai web application developer, lumayan, tapi sedikit “kurang gizi”. Maklum baru nyari bentuk. Ketika ada peluang masuk ke market IT Service Management dan IT Asset Management, dan kita coba. Ternyata berjalan. Dan segala rintisan yang sudah dijalani pun seperti menemukan momentum.

Bisnis memang lebih banyak kejutan, dibanding peristiwa “sesuai scenario”. Coba kalau saya “fanatik” hanya mau jualan solusi remote trading, misalnya. Demi visi, cita-cita, dan tujuan sakral yang tdk boleh diganggu gugat misalnya. Entah apa yang akan terjadi. Saya memutuskan tujuan menjadi guide saya, tanpa menolak peluang yang hadir ditengah perjalanan.

8. Think Big – Start Small – Act Now.
Punya rencana besar kalau tidak dilaksanakan percuma. Saya dulu sempat dikenal sebagai tukang bikin rencana. Mudah sekali saya memunculkan ide-ide bisnis. Yang tidak satupun saya kerjakan.

Sampai suatu hari ada teman mengingatkan. Stop berwacana. Kerjakan. Nah, ini yang bikin bingung. Memang kalau mau dikerjakan semua jadi bingung. Maka cita-cita besar kita harus coba dipecah dalam rencana-rencana kecil. Dan yang kecil-kecil ini dulu yang kita kerjakan.

Ingin punya online store buku nomer satu di Indonesia? Sebuah cita-cita besar. Tapi langkah pertamanya apa? Karena online store Anda tidak bisa tiba2 muncul begitu saja. Anda bisa pecah dalam “start small”. Menyusun catalog buku yang akan dijual? Merancang tampilan? Memilih aplikasi online store yang cocok? Membeli domain? Memesan hosting? Dan sebagainya. Ketika dipecah menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil, semua jadi masuk akal untuk dikerjakan.

Nah, kapan mulainya? Ya sekarang! Semua bisa dikerjakan sekarang. Belum punya uang untuk beli domain, bisa merancang tampilan dulu. Belum bisa aplikasi online store, bisa belajar dulu, dsb. Jadi, Think Big – Start Small – Act Now!

Lalu, mengapa masih membaca tulisan saya ini. Ayo mulai kerjakan sekarang!

(*) Tulisan ini adalah rangkuman materi yang saya sampaikan pada Seminar penutupan Program Pemagangan untuk SDM IT yang diselenggarakan RICE dan PT.INTI di Bandung 8 Oktober 2009.

Wednesday, October 07, 2009

Gratiskan Jualan Anda !

“Cara jualan kamu kuno !” Demikian kata seorang pengusaha senior kepada saya ketika kami sedang berbuka puasa bersama, bulan Ramadan lalu. Saya tergagap. Wah, baru kali ini ada yang mengatakan demikian tentang model bisnis saya. Tapi berhubung beliau jauh … jauh … jauh … lebih berpengalaman dibanding saya, dengan usaha yang skala nya ratusan kali lipat usaha saya, saya tidak punya pilihan lain selain mendengar kritikan beliau. Saya menahan nafas menunggu kalimat beliau berikutnya.

Beliau menambahkan, “Kalau kamu bisnis IT, nyuruh pelanggan beli produk, itu bisnis jaman dulu”. Saya mulai paham. Karena beberapa pelanggan saya ada yang memang menggunakan pola pembayaran bulanan atau sewa. Tidak mau kalah saya langsung berkomentar: “Kalau sewa atau bayar biaya bulanan bagaimana Pak?” Beliau menjawab: “Itu lebih baik. Tapi itu sekarang juga sudah kuno!” Nah ini bikin saya kaget lagi. “Yang gak kuno gimana dong Pak?”, saya makin penasaran. “Yang gak kuno itu kalau pelanggan gak usah bayar !.” Nyaris saya lompat dari kursi. Gratis? Musti bayar gaji karyawan dari mana? Beliau hanya tertawa-tawa, membuat saya makin penasaran.

Seolah “Law of Attraction” bekerja keras untuk saya. Dua minggu kemudian tanpa sengaja saya nemu buku baru karya salah satu penulis favorit saya Chris Anderson, judulnya: “Free: The future of radical price”. Ya, pengusaha senior tadi ternyata benar! Masa depan ternyata ada pada harga nol, alias gratis. Pelanggan gak usah bayar.

Semua Serba Gratis
Tidak dapat disangkal, virus gratis memang sudah menjalar kemana-mana. Kita sekarang bisa dengan mudah mengakses internet di mall-mall melalui infrastruktur hot-spot gratis. Saya menggunakan laptop dengan OS Linux Ubuntu yang dibagi-bagikan gratis oleh Canonical, mengetik dengan word-processor OpenOffice yang disediakan gratis oleh Sun Microsystem, menggunakan browser Firefox yang gratis, menggunakan layanan email gratis dari Google, chatting gratis melalui Yahoo Messenger dan mengakses jaringan seperti Facebook secara gratis. Malah kalau online nya di bandara, kopi yang menemani saya online pun gratis, komplimen dari lounge yang disponsori penerbit kartu kredit yg saya pakai. Chris Anderson malah mengetik seluruh isi buku nya melalui aplikasi Google Docs, word processing gratis yang disediakan online oleh Google.

Tunggu … kenapa yang gratis hanya layanan-layanan yang terkait dengan internet? Oh tidak. Diluar itu Anda juga dengan mudah menemukan produk atau layanan gratis atau sangat murah. Memang tidak semua sudah tersedia di Negara kita. Beberapa tahun lalu, kalau ingin pasang antenna parabola di rumah, kita harus membayar cukup mahal. Sekarang antenna parabola “dipinjamkan” oleh provider layanan siaran TV melalui satelit. Modem bisa kita peroleh gratis jika kita berlangganan broadband. Hampir semua penerbit kartu kredit sudah menggratiskan iuran tahunan-nya. Low cost airlines telah merevolusi dan mempelopori penjualan tiket pesawat terbang sangat murah atau bahkan gratis. Di Negara-negara maju, daftar produk gratis ini semakin banyak. Anda dapat memiliki handphone dengan gratis, tentu dengan kontrak berlangganan tertentu. Memiliki laptop gratis, dengan berlangganan akses broadband. Singkat kata semua ada versi gratis nya, bahkan mobil gratis pun ada. Kalau majalah gratis sudah sangat biasa, Di Tokyo, malah ada toko yang menyediakan 5 item gratis untuk setiap pengunjungnya, mulai dari lilin, mie instan, sampai krim wajah.

Makan Siang Gratis Memang (Pernah) Ada
Anda tentu pernah mendengar ungkapan “tidak ada makan siang gratis”. Ungkapan ini sebenarnya berasal dari jaman Cowboy di Amerika Serikat. Pada waktu itu banyak Saloon, tempat nongkrong orang Amerika jaman dulu, yang menyediakan makan siang gratis untuk menarik pengunjung. Makan siang nya memang benar-benar gratis. Tapi pengunjung harus bayar mahal untuk yang lain-lain, seperti minuman, permainan kasino, sewa kamar, dsb.
Bagi-bagi produk gratis juga awalnya dilakukan oleh King Gillette, pencipta silet cukur pertama di dunia. Jaman dahulu pria bercukur dengan pisau cukur lipat yang tidak praktis, harus sering di asah, dsb. Ide menggunakan pisau cukur super tipis yang tidak perlu diasah, tapi dibuang jika sudah tumpul, adalah ide baru yang awalnya sulit dipahami. Gillette pun membagikan secara gratis sebagai marketing gimmick produk lain, dengan harapan pengguna baru yang menyukai ide ini selanjutnya akan membeli. Misalnya bekerjasama dengan bank, pisau baru Gillette dijadikan bonus bagi pembuka rekening tabungan. Dan Gillette benar, lambat laun pisau cukur Gillette dikenal dan kemudian mendunia hingga hari ini.

Jell-O, dessert paling popular di Amerika juga awalnya sulit untuk dijual. Peter Cooper, penemu makanan dari gelatin ini kesulitan memperkenalkan produk baru nya. Baru setelah produk ini dipasarkan oleh genius pemasaran dan orator Francis Woodward, Jell-O menemukan tempatnya di pasar. Woodward bukan membagikan produk ini secara gratis. Namun mencetak dan membagikan buku resep gratis untuk memberi ide kepada calon pelanggan, bahwa Jell-O sangat praktis dan dapat disajikan dengan berbagai variasi. Woodward yang membeli lisensi Jell-O hanya seharga $450 sukses besar.

Dari Kelangkaan Menuju Keberlimpahan
Model gratis a la Saloon, Gillette dan Jell-O adalah model-model gratis abad lalu, yang hingga sekarang masih sering digunakan. Namun, abad 21 telah menciptakan model bisnis gratis baru. Model bisnis yang digerakkan oleh kemudahan dan teknologi.

Plastik pada awalnya dirancang sebagai produk eksklusif. Riset dan produksinya memerlukan biaya mahal. Plastik juga lebih kuat dan tahan lama disbanding kayu. Jadi sudah selayaknya produk dari plastic dijual mahal. Namun, kita lihat hari ini, plastic demikian berlimpah ada dimana-mana. Plastik pada akhirnya menjadi komoditas yang berlimpah dan murah.

Barang elektronik modern tumbuh pesat setelah transistor ditemukan. Pada awalnya transistor adalah barang langka yang mahal. Tahun 1961 harga 1 buah transistor adalah $ 10. Kurang dari 10 tahun harga nya sudah tinggal $1 sen. Dan hari ini, sebuah microchip yang setara dengan 2 milyar transistor hanya dijual $ 300, atau 0.000015 sen per transistor. Hal yang sama terjadi juga untuk kapasitas penyimpanan disk dan juga bandwidth, yang semakin lama semakin murah. Inilah yang kemudian memicu revolusi digital yang merubah cara pandang pengusaha dalam mencari revenue.

Ketika sebuah produk telah menjadi komoditi yang “terlalu murah untuk dihargai”, maka kita tidak lagi bisa mengandalkan harga produk sebagai sumber revenue kita. Harga sangat terkait dengan kelangkaan, sementara yang kita hadapi adalah keberlimpahan.

Gratis? Dari Mana Uangnya?
Menjalankan usaha memang tetap harus berorientasi pada profit, yang sumber nya adalah revenue dikurangi cost. Model bisnis gratis pada dasarnya melakukan kreatifitas pada sumber revenue, bukan menghilangkan revenue. Jika semula revenue semata dari harga jual, maka dengan prinsip keberlimpahan, kita coba mencari revenue dari sumber lain. Beberapa model bisnis yang ada adalah:

Subsidi Silang Langsung
Ini model generasi pertama. Revenue dari sumber lain memberikan subsidi silang untuk item yang sengaja dibuat lost. Misalnya, gratis handphone, tapi bayar talktime. Gratis antenna parabola, bayar biaya langganan. Gratis software, bayar hardware. Dsb. Termasuk model bisnis yang digunakan Canonical yang membagikan OS Ubuntu Linux secara gratis. Software nya memang gratis, tapi jika perusahaan kemudian butuh jasa konsultasi, training dan implementasi Ubuntu resmi dari Canonical, perusahaan tersebut harus membayar mahal.

Subsidi Pihak Ketiga
Ini model bisnis yang digunakan Radio, TV dan Majalah Gratis. Pelanggan gratis, tapi pemasang iklan bayar. Digunakan juga oleh penerbit kartu kredit yang menggratiskan iuran, tapi memberikan charge yang mahal ke merchant. Diskotik juga menjadi pelopor model ini melalui program “ladies night”. Gratis untuk pengunjung wanita, tapi pengunjung pria membayar.

Freemium
Ini model yang sering digunakan perusahaan konsultan dan teknologi informasi. Gratis untuk versi yang generic, tapi membayar untuk versi premium. Bisa juga divariasikan dengan modul. Untuk modul terbatas gratis, modul yang lebih lengkap bayar. Gratis untuk konsultasi awal, bayar untuk jasa konsultasi yang lebih lengkap. Gratis untuk overview seminar, bayar untuk training yang lebih lengkap.

Nonmonetary
Ini yang 100% gratis. Jasa yang diberikan sama sekali gratis. Imbalan yang diterima penyedia jasa adalah perhatian dan reputasi. Dan dengan reputasi yang semakin meningkat, dikenal dimana-mana, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendatangkan revenue. Musisi yang memberikan karya nya secara gratis dan memperoleh reputasi dan perhatian, dapat menghasilkan revenue dari konser-konser ataupun penjualan merchandise nya.

Sebelum Menggratiskan Jualan Anda
Oke … oke, mungkin kedengarannya masih menakutkan untuk menggratiskan begitu saja jualan Anda. Memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum Anda menggratiskan jualan Anda:

Pertama, Sesuaikan dengan model bisnis yg ada sekarang. Anda harus analisa baik-baik dari mana sumber revenue Anda. Secara umum menggratiskan jualan Anda dimaksudkan untuk memperbesar revenue, bukan mengurangi revenue. Kalau Anda jualan baju dan membagi-bagikan begitu saja produk terbaru Anda, sulit dibayangkan untuk mendapat revenue yang lebih besar. Tapi jika Anda member subsidi pada asesoris dan membagikan gratis sebagai gimmick untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak, jauh lebih masuk akal. Atau mungkin yang bisa digratiskan adalah catalog, newsletter atau buku kecil tentang bagaimana memanfaatkan produk Anda secara maksimal.

Kedua, gratis akan efektif jika sifatnya masal, melibatkan crowd yang besar. Karena dengan biaya yang sudah ditetapkan, maka semakin besar pelanggan terlibat, biaya per pelanggan akan semakin kecil hingga nyaris nol. Membagikan software gratis kepada 100 orang atau 1 juta orang akan sangat berbeda. Maka Canonical dengan Ubuntu nya rajin mengirim CD gratis. Dalam ekonomi digital eksistensi produk kita di pasar akan sangat tergantung pada atensi dan reputasi. Gratis adalah senjata untuk mencapai dua hal tersebut.

Saya menutup buka bersama dengan pengusaha senior yang saya ceritakan di depan dengan perasaan puas. Beliau menceritakan dengan detil “resep rahasia” menggratiskan layanan IT beliau, dan tetap memperoleh revenue dari tempat lain. Sebelum kami berpisah, beliau mengucapkan kalimat: “Oh ya, kalau semua sudah gratis, gratis pun jadi kuno. Harusnya pelanggan gak usah bayar, malah dibayar!” Waduh …. (FR)

Wednesday, June 24, 2009

Percayalah ...

“Kamu harus percaya pada ku Ma ...” Kata seorang suami memelas di depan istri nya yang marah sambil memegang kemeja kantor dengan cap lipstik di kerah nya.

“Percayalah, meski pergi jauh, aku akan kembali dan melamarmu ...” kata seorang pemuda, sesaat sebelum meninggalkan pacarnya untuk pergi merantau.

“Kalau proyek ini dipercayakan kepada kami, saya yakin akan selesai sesuai anggaran dan jadwal yang Bapak tetapkan ...” kata seorang konsultan kepada klien nya.

“Rakyat tidak lagi percaya dengan pemerintah yang sekarang ...”, demikian kata seorang politisi yang ingin dipilih rakyatnya.

Contoh pernyataan-pernyataan di atas berbicara tentang “ke-percaya-an” (trust). Untuk menghindari kerancuan, saya menggunakan istilah trust, karena “kepercayaan” dalam Bahasa Indonesia dapat juga berarti “beliefs” atau “faith”. Jadi apa sesungguhnya trust itu? Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, darimana datangnya trust?

Semua sepakat bahwa trust itu penting. Pernikahan, dibangun di atas trust yang tumbuh di antara antara suami dan istri. Organisasi, berdiri karena ada trust di antara anggota nya. Perusahaan, berdiri karena ada trust antara pemilik usaha, pelanggan, pekerja dan mitra kerjanya. Transaksi bisnis, terjadi karena ada trust antara penjual dan pembeli. Negara, berdiri karena masih ada trust di antara warga negara dan penyelenggara pemerintahan-nya. Tanpa trust, tanpa ke-percaya-an, maka ikatan-ikatan tadi akan runtuh. Trust adalah “The one thing that changes everythings” demikian kata Stephen Covey dalam buku The Speed of Trust.

Terlebih lagi dalam bisnis. Trust diakui memiliki korelasi yang erat dengan biaya dan kecepatan. Pada interaksi bisnis yang dijalankan dengan trust yang tinggi, maka kecepatan akan tinggi, dan biaya akan rendah. Sebaliknya, trust yang rendah akan menyebabkan biaya yang tinggi dan kecepatan yang rendah. Misalnya, ketika kita menjual barang pada orang yang kita percayai, maka biasanya eksekusi nya akan lebih cepat, bahkan bisa dibayar kemudian. Sebaliknya, kalau pembeli belum dipercaya maka kita akan menerapkan prosedur yang lebih ketat, ada biaya dimuka, dsb.

Meskipun mengakui betapa pentingnya trust, namun sangat jarang kita memikirkan apa dan bagaimana trust bisa dikembangkan. Akibatnya seringkali kita membina hubungan bisnis maupun hubungan sosial, dengan trust yang rendah, yang mengakibatkan biaya tinggi dan kecepatan rendah tadi.

Membangun trust tidak semudah mengucapkan kata-kata “Percayalah ...” seperti rayuan pemuda kepada pacarnya. Namun, meski tidak mudah, bisa dipelajari. Berikut beberapa catatan saya dalam mengembangkan trust.

Trust harus diraih, bukan diberikan.

Seringkali orang berharap akan dapat memiliki trust ketika berinteraksi dengan seseorang yang merupakan anggota dari kelompok tertentu yang ia percayai. Dan hampir dipastikan ia akan kecewa. Misalnya, ketika kita berinteraksi dengan seseorang dengan gelar keagamaan tertentu, atau anggota kelompok keagamaan tertentu, seringkali kita langsung memiliki “trust”.

Namun trust yang demikian seringkali hanya bersifat semu, kerena belum teruji oleh perbuatan. Pada akhirnya konsistensi perbuatan-perbuatan pribadi tersebut yang akan membuat kita memiliki trust atau tidak, bukan gelar yang dimiliki, bukan karena keturunan seseorang yang hebat, atau bukan karena anggota organisasi yang besar dan terkenal.

Dalam bisnis dan kehidupan, trust adalah sesuatu yang harus diraih melalui proses, bukan sesuatu yang secara instan bisa diberikan atau diwariskan begitu saja. Kalau saja trust bisa diwariskan atau dihibahkan kepada anggota-anggota organisasi yang “terpercaya”, betapa mudahnya pekerjaan bank-bank kita dalam menyalurkan kredit. Kenyataannya tidak demikian.

Semua berawal dari “self-trust”

Seringkali kita mendengar keluhan-keluhan tentang rendahnya trust dari pelanggan, rendahnya trust dari kolega kita. Atau tidak adanya trust diantara anggota masyarakat kita. Kita mencoba mencari-cari solusi untuk organizational trust, market trust atau societal trust tadi. Akan sulit selama kita belum menyentuh akar sebenarnya yaitu “self-trust”. Trust dari pribadi kita sendiri. Membangun self-trust, tidak lepas dari: karakter dan kemampuan kita.

Bagian terpenting dari karekter adalah integritas. Yaitu bagaimana kita menjalani nilai-nilai yang kita anut secara konsisten. Sekedar berkata “jujur” tidak cukup. Namun juga harus dibuktikan dengan perbuatan yang kongruen dengan perkataan tadi. Serta dihiasi dengan sikap berani sekaligus rendah hati. Berani menyatakan pendapat, mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, namun rendah hati dengan tidak arogan menganggap dirinya pasti benar dan orang lain pasti salah. Inilah landasan integritas yang merupakan modal pertama dalam membangun trust.

Integritas tanpa kemampuan belum cukup untuk membangun trust. Maka selain menjadi pribadi yang penuh integritas, kita juga harus terbukti mampu. Dikenal sebagai pribadi yang ber-integritas akan membuat orang mengenal Anda sebagai “orang baik”, namun belum tentu dipercaya, jika Anda tidak memiliki catatan bahwa Anda memiliki kemampuan. Kemampuan tidak hanya diukur dari seberapa banyak Anda tahu, namun menyeluruh, mencakup: Talents (bakat), Attitude (sikap), Skills (keahlian), Knowledge (pengetahuan) dan Style (gaya atau sentuhan personal Anda).

Selain itu, karakter dan kemampuan kita harus dibuktikan dengan hasil (result). Ibarat pohon, karakter adalah akar, kemampuan adalah batang dan daun, namun tetap saja, buah adalah yang akan dilihat dan dinikmati. Karakter yang baik, kemampuan yang mumpuni, harus dibuktikan dengan result yang nyata. Dengan tiga modal tadi, maka self-trust dapat kita tumbuhkan.

Trust bisa naik, dan turun.

Memiliki hubungan sosial ataupun bisnis dengan trust yang tinggi, dapat membuat kita lengah. Seringkali kita berasumsi bahwa trust adalah abadi. Padahal fakta nya tidak demikian. Trust bisa saja naik, atau turun, bahkan hilang.

Trust yang meningkat harus menjadi agenda kita. Trust yang menurun, sedapat mungkin kita cegah. Penurunan trust biasanya terjadi apabila kita tidak menjaga “self-trust” kita masing-masing. Mungkin integritas yang mulai luntur, atau kemampuan yang tidak relevan lagi di masa sekarang, atau bisa jadi result yang tidak lagi terbukti. Kesemuanya dapat mempengaruhi trust.

Demikian catatan saya. Jika diniatkan, saya yakin kita semua dapat belajar membangun trust secara konsisten. Percayalah ...