Thursday, September 13, 2007

Berjualan di Negeri China

Richard Branson, pendiri dan pemilik kelompok usaha Virgin adalah sosok pengusaha yang tidak hanya sukses, namun juga sangat terkenal. Tidak heran kemanapun dia pergi, selalu ada saja yang minta foto bareng dengan dia. Suatu ketika, sewaktu sedang bersantai dalam liburannya di kepulauan Karibia, sepasang suami istri tua tampak tergopoh-gopoh mendekati Richard Branson dengan membawa kamera. Richard pun membatin, yah … dimintai foto bareng lagi deh. Demikian asumsi Richard, maklum dia kan sosok public figure yang cukup terkenal. Setelah dekat, Richard pun bersiap-siap pasang pose sambil tersenyum lebar dan merapikan rambut gondrong nya. Namun ternyata, sang suami malah menjulurkan kamera nya kearah Richard sambil berkata, "mas, bisa tolong fotoin kita berdua gak?"

Hehehe … Ternyata pasangan tadi kenal sama Richard Branson pun tidak. Asumsi Richard Branson ternyata salah. Dan demikianlah memang asumsi lebih sering salah. Dan kalau dalam bisnis kesalahan asumsi akan mendatangkan kesulitan. Tidak heran, di dalam bahasa Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".

Sementara kebanyakan pebisnis pemula teramat sering mengandalkan asumsi. Wajar, karena bisnis baru dimulai, sehingga segala perikiraan baru bersifat asumsi. Namun ada asumsi yang demikian naïf sehingga akhirnya malah membuka jalan menuju bangkrut. Gejala ini saya sebut sindrom "berjualan di negeri China" yang pernah diuraikan Guy Kawasaki di buku the Art of the Start. Singkatnya, karena di China jumlah penduduknya demikian besar, seolah-olah jualan apa saja pasti untung besar. Maka banyak perusahaan Amerika yang memulai bisnis disana dengan model asumsi seperti di bawah ini:

China berpenduduk 1,3 milyar, taruhlah 1% nya saja perlu akses internet, dan kita bisa memperoleh 10% saja dari yang 1% tadi, dimana setiap pelanggan bersedia membayar $240/tahun, maka pendapatan pertahun adalah= 1,3 milyar x 1% x 10% x $240 = $ 312 juta! Dahsyat bukan. Wah kalau gitu kita rame-rame bisnis internet di China saja. Kalau ini begitu mudah apa gak sudah jadi billionaire semua pengusaha internet di China. Nah disinilah Guy Kawasaki mengingatkan kita. Betapa asumsi tadi amat sangat menjebak. Karena pada kenyataanya, justru persoalannya adalah bagaimana memperoleh 10% dari 1% penduduk China tadi.

Dalam petualangan bisnis saya di masa lalu, saya juga sempat mengalami sendiri ke-naif an berasumsi. Bersama beberapa teman kami pernah berniat patungan menjadi distributor suatu PC local yang baru di launch. Seperti halnya sindrom "berjualan di negeri China" tadi, kalkulasi di atas kertasnya begitu indah. Dari sekitar 1 juta unit penjualan PC di Indonesia per tahun, kami mengincar 1% saja. Satu persen saja masa gak bisa sih, demikian waktu itu tim kami menyimpulkan dengan penuh semangat. Maka dengan harga sekitar Rp.5 juta per unit maka omzet akan mencapai Rp. 50 M, dengan profit margin 3% saja sudah laba 1.5 M per tahun. Enak ya, hitungan nya em-em an. Bahkan kami waktu itu sudah berhayal akan menyisihkan laba untuk membeli mobil para eksekutifnya, termasuk saya tentunya. Realisasinya? Hampir mustahil. Banyak sekali hal yang harus dibereskan sebelum yang 1% tadi bisa dipegang, mulai dari masalah cashflow hingga distribusi. Demikian hijau dang masih jauhnya perjalanan kami untuk mencapai asumsi 1% tadi, hingga kami tidak bisa menyelesaikan. Ungkapan yang pas adalah nafsu besar tenaga kurang. Petualangan bisnis saya yang nomor sekian ini pun mandek di jalan. Bahkan sedihnya, ini sempat membuat antar partner tidak akrab lagi.

Lalu apakah tidak boleh kita berasumsi? Tentu boleh, namun lakukan asumsi sesuai dengan kapasitas usaha kita. Cara terbaik adalah dengan melakukan asumsi bottom-up, bukan model top-down seperti di atas. Dalam hal ini model yang ditawarkan Brad Sugar jauh lebih masuk akal dan akan menghindarkan kita dari sindrom "berjualan di negeri China" tadi. Mulailah dengan menghitung berapa kemampuan Anda saat ini untuk mendatangkan calon pelanggan yang berminat (lead), kemudian berapa % kemampuan konversi dari lead menjadi pelanggan, berapa jumlah transaksi per pelanggan, berapa rata-rata belanja mereka, dan berapa profit margin. Peningkatan yang masuk akal bisa dilakukan dengan memberikan leverage untuk setiap aspek tadi. Misalnya, jika selama ini dengan 1 orang salesperson Anda hanya bisa mendatangkan 100 lead per bulan, maka dengan 2 salesperson Anda bisa berasumsi akan ada 200 lead per bulan. Perhitungan begini jauh lebih membumi daripada hitung-hitungan manis seperti asumsi a la "berjualan di negeri China" tadi.

Singkatnya, untuk berbisnis memang perlu bermimpi besar. Namun untuk memperoleh hasil yang realistis gunakan juga cara kalkulasi yang realistis. Paling tepat gunakan fakta, jangan sekedar tebakan, asumsi atau guessing. (FR).

2 comments:

puspabali said...

Yth. P' Fauzi...
Terimakasih banyak telah berbagi, karena tulisan-tulisan bapak di milis TDA sangat-sangat bermanfaat...
dan mengenai berjualan di negeri china ini, sungguh membuat saya belajar banyak, semoga sukses P' Fauzi dan selamat menunaikan Ibadah Puasa, semoga Tuhan selalu melimpahkan Rahmat untuk Bapak sekeluarga
http://puspabali.blogspot.com

mentari said...

cina negeri besar yang penuh misteri, begitu juga dengan bisnis ya pak..