Tuesday, September 18, 2007

Genetika Pengusaha

George Bernard Shaw adalah penulis besar kelahiran Irlandia. Kecerdasannya sangat luar biasa, sehingga Shaw pernah memperoleh hadiah Nobel untuk karya sastra, sekaligus penerima Piala Oscar untuk karyanya yang diangkat ke layar perak. Demikian mengagumkannya kecerdasan seorang George Bernard Shaw, sehingga konon dia pernah dilamar oleh seorang aktris cantik. Dengan maksud, supaya kelak menghasilkan keturunan yang rupawan seperti ibunya, dan cerdas seperti ayahnya. Namun, Shaw kemudian menjawab, "Lalu bagaimana kalau kita memiliki anak dengan otak seperti Anda, dan wajah seperti saya?".

Ya demikianlah menurut ilmu genetika. Bahwa banyak hal kita warisi secara turun temurun dari orang tua kita. Kulit kita yang sawo matang, rambut kita yang hitam, hidung kita yang tidak mancung. Hingga ke hal-hal yang sifatnya non fisik seperti misalnya sifat atau bakat tertentu. Maka banyak anak penyanyi yang kemudian menjadi penyanyi, anak jenderal jadi tentara, dan anak pedagang jadi pedagang. Maklum, bakat dari orang tua nya mengalir deras di darah mereka.

Ini yang kadang membuat saya sedikit iri dengan rekan-rekan saya yang berasal dari keluarga pebisnis. Sangat wajar jika mereka kemudian juga menekuni bisnis. Bahkan tidak jarang mereka bisa langsung mulai belajar berbisnis dengan meneruskan usaha yang telah dirintis orang tuanya. Ini jauh berbeda dengan saya, karena keluarga saya sama sekali bukan keluarga pebisnis.

Karena tidak memiliki "darah pedagang" ini, sewaktu mulai berbisnis terus terang saya sempat ragu. Benarkah jalan yang saya ambil? Bukankah saya sama sekali tidak memiliki bakat? Saya sudah cek silisilah keluarga saya dari Ayah ataupun Ibu, kalau dirunut ke atas semua adalah pegawai pemerintah. Jadi sudah yakin, pasti, 100%, positif, tidak ada gen pedagang di tubuh saya. Kalau bakat seni, mungkin sedikit-sedikit masih ada karena kedua orang tua saya menyukai seni musik. Bakat menjadi pembicara, mungkin saja ada menetes sedikit, karena Kakek saya pemimpin kampung dan pembicara yang baik sekali. Tapi berbisnis? berdagang? jual beli? Tidak ada sama sekali.

Maka ketika usaha pertama saya tidak berjalan lancar, saya kemudian mengingatkan diri saya. "Tuh kan gagal, wong tidak ada bakat dagang …"

Saya bahkan sempat percaya bahwa bakat berdagang memang diwariskan. Dan mencoba menerima kenyataan bahwa saya bukan salah seorang yang mewarisi bakat tadi. Namun, kemudian pelan-pelan saya mengamati, ternyata banyak teman-teman saya yang meskipun orang tuanya pengusaha sukses, toh juga bisa mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Ini sedikit membuka wawasan saya. Wah, ternyata sama saja, yang punya "bakat" dagang toh juga bisa gagal. Bukan bermaksud "nyukurin", tapi ini sedikit membuka harapan saya, bahwa jangan-jangan bakat bukan faktor penentu untuk menjadi pengusaha sukses.

Atau, mungkinkah bakat seseorang memang bisa berubah?

Adalah Prof. Kazuo Murakami, seorang ahli genetika, dalam bukunya The Divine Message of The DNA yang kemudian membuka wawasan saya lebih luas. Ternyata menurut ilmu genetika memang betul, segala sesuatu yang merupakan "bakat" ditentukan oleh kode genetis yang ada dalam DNA kita. Sebagai gambaran, setiap kilogram tubuh kita terdiri dari sekiar 1 trilyun sel. Jadi seorang bayi yang baru lahir sudah memiliki sekitar 3 trilyun sel. Padahal awalnya kita hanyalah satu buah sel yang sudah dibuahi. Yang kemudian membelah menjadi 2, 2 menjadi 4, 4 menjadi 8 dan seterusnya hingga trilyunan tadi. Setiap sel memiliki inti sel (nucleus) yang mengandung DeoxyriboNucleic Acid (DNA). DNA inilah yang menyimpan kode genetis yang menjadi cetak biru tubuh kita. Jadi akan menjadi seperti apa kita, seolah sepertinya sudah terprogram dalam DNA tadi.

Lalu jika dalam setiap sel tubuh kita terdapat DNA yang sama, bagaimana sebuah sel tahu bahwa ia adalah bagian dari rambut, misalnya, dan kapan rambut mulai tumbuh, dsb. Menurut pakar genetika, ternyata terdapat mekanisme "nyala/padam" pada DNA tadi. Sebagai contoh, gen yang menentukan sifat kelamin laki-laki (berkumis, bersuara berat, dsb) yang semula "padam" akan "menyala" pada saat pubertas.

Bahkan, lebih jauh lagi. Proses nyala/padam tadi ternyata dapat terjadi sebagai respon lingkungan yang berubah. Dua ilmuwan dari Institut Pasteur mengamati hal ini. Bakteri E.Coli yang hanya mengkonsumsi glukosa, ternyata ketika ditempatkan pada lingkungan yang hanya ada laktosa, mampu merubah diri menjadi pemakan laktosa. Mekanisme internalnya sangat ajaib, karena bakteri adalah makhluk satu sel. Sehingga perubahan menjadi pemakan laktosa seolah-olah seperti menyalakan sebuah kemampuan yang semula tidak nampak.

Dan ini membawa konsekuensi luar biasa. Karena jika benar gen pembawa sifat tadi memiliki mekanisme nyala-padam seperti itu. Kita tidak pernah tahu potensi apa dalam diri kita yang saat ini belum kita nyalakan. Jangan-jangan saya juga memiliki bakat bermain saksofon sebagus Dave Koz, hanya saat ini belum dinyalakan saja. Atau jangan-jangan ada bakat bisnis sehebat Donald Trump yang masih terpendam dalam diri saya, dan menunggu dinyalakan?

Dan memang demikianlah menurut Prof. Murakami. Bahwa bakat seseorang dapat muncul pada umur berapapun. Banyak sekali contoh pemusik atau olahragawan yang semula hanya memperlihatkan "bakat" yang biasa-biasa, namun kemudian tumbuh secara luar biasa seiring dengan disiplin dan latihan yang dilakukan. Atau seorang yang hari ini dikenal sebagai ilmuwan genius, padahal teman SD nya mengenal dirinya dulu sebagai anak yang kurang pandai. Atau seseorang yang hari ini dikenal sebagai politisi dan orator hebat, sementara dulunya anak yang kuper. Jadi kalau anak Anda hari ini kurang pandai matematika, sumbang kalau bernyanyi, atau kurang berprestasi dalam orahraga. Anda tidak perlu buru-buru frustrasi sambil berteriak "Ah, dasar gak bakat". Siapa tahu, gen positif pembawa bakatnya saja yang belum menyala.

Faktor penting yang akan dapat mengaktifkan gen positif Anda adalah lingkungan. Jadi yang membuat seorang Ananda Mikola pandai mengemudi mobil balap bukan semata karena ayahnya adalah pembalap. Namun karena lingkungan yang sangat mengkondisikan dia menjadi pembalap. Kalau hanya mengandalkan bakat keturunan saja, maka pembalap Formula 1 paling fenomenal hari ini, Lewis Hamilton, akan menjadi pekerja di jawatan Kereta Api seperti kakeknya, atau jadi konsultan IT seperti ayahnya. Namun, bakat membalap Lewis ternyata menyala ketika ayahnya memberikan Go Kart sebagai hadiah natal. Dan semakin berkobar ketika diasuh Ron Dennis, bos tim McLaren.

Jadi, Anda yang tidak memiliki "bakat pedagang" seperti saya tidak perlu khawatir. Gen pembawa bakat dagang Anda dapat menyala belakangan. Dan Anda yang merasa memiliki "bakat dagang", selamat … Anda sudah punya modal awal. Namun tetap hati-hati, tanpa dukungan lingkungan dan sikap yang benar, gen pembawa bakat Anda dapat saja padam.

Thursday, September 13, 2007

Berjualan di Negeri China

Richard Branson, pendiri dan pemilik kelompok usaha Virgin adalah sosok pengusaha yang tidak hanya sukses, namun juga sangat terkenal. Tidak heran kemanapun dia pergi, selalu ada saja yang minta foto bareng dengan dia. Suatu ketika, sewaktu sedang bersantai dalam liburannya di kepulauan Karibia, sepasang suami istri tua tampak tergopoh-gopoh mendekati Richard Branson dengan membawa kamera. Richard pun membatin, yah … dimintai foto bareng lagi deh. Demikian asumsi Richard, maklum dia kan sosok public figure yang cukup terkenal. Setelah dekat, Richard pun bersiap-siap pasang pose sambil tersenyum lebar dan merapikan rambut gondrong nya. Namun ternyata, sang suami malah menjulurkan kamera nya kearah Richard sambil berkata, "mas, bisa tolong fotoin kita berdua gak?"

Hehehe … Ternyata pasangan tadi kenal sama Richard Branson pun tidak. Asumsi Richard Branson ternyata salah. Dan demikianlah memang asumsi lebih sering salah. Dan kalau dalam bisnis kesalahan asumsi akan mendatangkan kesulitan. Tidak heran, di dalam bahasa Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".

Sementara kebanyakan pebisnis pemula teramat sering mengandalkan asumsi. Wajar, karena bisnis baru dimulai, sehingga segala perikiraan baru bersifat asumsi. Namun ada asumsi yang demikian naïf sehingga akhirnya malah membuka jalan menuju bangkrut. Gejala ini saya sebut sindrom "berjualan di negeri China" yang pernah diuraikan Guy Kawasaki di buku the Art of the Start. Singkatnya, karena di China jumlah penduduknya demikian besar, seolah-olah jualan apa saja pasti untung besar. Maka banyak perusahaan Amerika yang memulai bisnis disana dengan model asumsi seperti di bawah ini:

China berpenduduk 1,3 milyar, taruhlah 1% nya saja perlu akses internet, dan kita bisa memperoleh 10% saja dari yang 1% tadi, dimana setiap pelanggan bersedia membayar $240/tahun, maka pendapatan pertahun adalah= 1,3 milyar x 1% x 10% x $240 = $ 312 juta! Dahsyat bukan. Wah kalau gitu kita rame-rame bisnis internet di China saja. Kalau ini begitu mudah apa gak sudah jadi billionaire semua pengusaha internet di China. Nah disinilah Guy Kawasaki mengingatkan kita. Betapa asumsi tadi amat sangat menjebak. Karena pada kenyataanya, justru persoalannya adalah bagaimana memperoleh 10% dari 1% penduduk China tadi.

Dalam petualangan bisnis saya di masa lalu, saya juga sempat mengalami sendiri ke-naif an berasumsi. Bersama beberapa teman kami pernah berniat patungan menjadi distributor suatu PC local yang baru di launch. Seperti halnya sindrom "berjualan di negeri China" tadi, kalkulasi di atas kertasnya begitu indah. Dari sekitar 1 juta unit penjualan PC di Indonesia per tahun, kami mengincar 1% saja. Satu persen saja masa gak bisa sih, demikian waktu itu tim kami menyimpulkan dengan penuh semangat. Maka dengan harga sekitar Rp.5 juta per unit maka omzet akan mencapai Rp. 50 M, dengan profit margin 3% saja sudah laba 1.5 M per tahun. Enak ya, hitungan nya em-em an. Bahkan kami waktu itu sudah berhayal akan menyisihkan laba untuk membeli mobil para eksekutifnya, termasuk saya tentunya. Realisasinya? Hampir mustahil. Banyak sekali hal yang harus dibereskan sebelum yang 1% tadi bisa dipegang, mulai dari masalah cashflow hingga distribusi. Demikian hijau dang masih jauhnya perjalanan kami untuk mencapai asumsi 1% tadi, hingga kami tidak bisa menyelesaikan. Ungkapan yang pas adalah nafsu besar tenaga kurang. Petualangan bisnis saya yang nomor sekian ini pun mandek di jalan. Bahkan sedihnya, ini sempat membuat antar partner tidak akrab lagi.

Lalu apakah tidak boleh kita berasumsi? Tentu boleh, namun lakukan asumsi sesuai dengan kapasitas usaha kita. Cara terbaik adalah dengan melakukan asumsi bottom-up, bukan model top-down seperti di atas. Dalam hal ini model yang ditawarkan Brad Sugar jauh lebih masuk akal dan akan menghindarkan kita dari sindrom "berjualan di negeri China" tadi. Mulailah dengan menghitung berapa kemampuan Anda saat ini untuk mendatangkan calon pelanggan yang berminat (lead), kemudian berapa % kemampuan konversi dari lead menjadi pelanggan, berapa jumlah transaksi per pelanggan, berapa rata-rata belanja mereka, dan berapa profit margin. Peningkatan yang masuk akal bisa dilakukan dengan memberikan leverage untuk setiap aspek tadi. Misalnya, jika selama ini dengan 1 orang salesperson Anda hanya bisa mendatangkan 100 lead per bulan, maka dengan 2 salesperson Anda bisa berasumsi akan ada 200 lead per bulan. Perhitungan begini jauh lebih membumi daripada hitung-hitungan manis seperti asumsi a la "berjualan di negeri China" tadi.

Singkatnya, untuk berbisnis memang perlu bermimpi besar. Namun untuk memperoleh hasil yang realistis gunakan juga cara kalkulasi yang realistis. Paling tepat gunakan fakta, jangan sekedar tebakan, asumsi atau guessing. (FR).

Monday, September 10, 2007

Mengail di Kolam Kecil

Banyak rekan saya yang heran dengan bisnis saya. Ngaku nya bisnis IT, tapi ditanya harga bikin portal web saja gak bisa jawab. Ditanya apakah menyediakan aplikasi ERP, Akunting, hingga HR, selalu geleng kepala. Apalagi dimintai informasi soal perangkat jaringan atau harga notebook, desktop atau server, pasti buru-buru saya suruh tanya saja ke paman Google. Sampai-sampai ada rekan saya yang meragukan bahwa saya beneran bisnis IT. Karena kalau beneran bisnis IT, semestinya dapat menyediakan layanan yang saya sebut di atas. Harusnya kan "PALU GADA", apa Lu mau Gua ada, begitu kata rekan saya tadi. Jadi one stop shopping, segala keperluan IT pelanggan bisa saya sediakan.

Celakanya bisnis saya memang betul-betul tidak PALU GADA. Perusahaan yang saya kembangkan saat ini hanya menyediakan solusi bagi perusahaan yang ingin menerapkan manajemen layanan IT yang baik dan benar, sesuai best practice pengelolaan IT yang banyak diterapkan perusahaan di negara maju. Kalau bicara soal solusi IT Service Management atau IT Asset Management, maka saya dapat menyediakan tools dan orang-orang terbaik. Tapi di luar itu, wah maaf, mungkin bisa tanya ke toko sebelah saja.

Saya sadar sepenuhnya bahwa ceruk yang kami ambil amat sangat sempit. Ibarat memancing, maka kami seperti mengail di kolam yang sangat kecil. Tentu ini ada untung rugi nya. Meskipun jujur saja proses menemukan ceruk ini tidak secara sadar kami lakukan dari awal. Namun terbentuk dan terjadi secara alamiah (baca: kebetulan). Jadi awalnya kami mau nya juga PALU GADA, namun ternyata belakangan kami menemukan bahwa memancing di kolam kecil lebih cocok bagi kami. Berikut beberapa alasan saya, mengapa memancing di kolam kecil lebih masuk akal:

Mengatasi Keterbatasan

Alasan utama untuk bermain di ceruk yang terbatas sebenarnya adalah masalah keterbatasan kami sendiri. Saya sadar sepernuhnya bahwa perusahaan kami bukanlah raksasa yang memiliki resources yang melimpah. Justru sebaliknya, sumber daya kami sangat terbatas. Bayangkan kalau kami harus masuk ke berbagai segmen sekaligus. Biaya operasional akan membengkak besar sekali, melebihi kemampuan kami. Menyediakan resource IT, baik itu orang, hardware ataupun software, itu tidak mudah dan kadang juga cukup mahal. Perusahaan yang lebih besar dan PALU GADA dengan mudah dapat merekrut dan menyediakan SDM dengan berbagai keahlian. Kami tidak. Setiap pengeluaran yang tidak memberikan hasil akan terasa sekali dampak nya. Jadi lebih masuk akal kalau membatasi diri pada market yang kami sudah lebih dahulu kuasai.

Perbedaan ini saya rasakan sekali misalnya waktu berkompetisi dalam berbagai tender. Sewaktu melakukan presentasi ataupun beauty contest para "big brothers" biasanya datang mirip rombongan sirkus. Minimal ada sales, engineer dan project manager. Kadang jumlahnya sampai 5 – 7 orang datang bersama. Sementara karena keterbatasan resource, biasanya saya tampil berdua dengan engineer saya. Bahkan sering saya datang sendirian. Pertanyaan "sendirian aja Pak?" sudah biasa saya dengar. Nah, kalau opportunity nya di luar kota bisa dibayangkan repotnya kalau saya juga harus membawa rombongan sirkus. Para big brothers tadi dengan mudah menginap di hotel berbintang, buka 3 atau 4 kamar tidak masalah. Kalau saya, karena sendirian, bisa menginap di mana saja. Yang jelas saya sudah menang irit.

Menjadi yang Terbaik

Karena menekuni satu macam solusi software saja, maka para engineer saya tumbuh menjadi spesialis yang sulit dicari tandingannya. Mereka dari bangun tidur sampai tidur lagi, hanya memikirkan satu solusi software itu-itu saja. Sehingga peluang kami untuk menjadi yang terbaik di bidang yang kami tekuni jauh lebih besar, misalnya dibandingkan jika kami harus memikirkan berbagai solusi yang satu sama lain tidak ada hubungannya. Bahkan, enaknya lagi adalah, problem yang dihadapi klien kami pada umumnya adalah generic. Itu-itu saja. Dan pemecahan nya juga itu-itu saja. Bagi mereka yang tidak menekuni bidang kami, problem tadi akan begitu kompleks. Namun bagi kami, menjadi sangat sederhana. Bahkan kami dapat bekerja lebih cepat dan mudah dengan berbagai template solusi yang sudah kami kembangkan.

Membangun Benteng

Sesungguhnya banyak sekali godaan untuk masuk ke ceruk lain. Dan jujur saja bukan saya tidak tergoda. Bahkan saya sempat beberapa kali mencoba opportunity di area yang diluar ceruk kami. Dan sejauh ini selalu menghasilkan keuntungan berupa "pengalaman" saja. Namun belakangan saya teringat dengan nasehat Guy Kawasaki di buku nya "The Art of the Start", bahwa sangat penting untuk menguasai ceruk yang terbatas lebih dahulu dan membangun benteng yang kokoh, sebelum mulai masuk ke ceruk yang lain. Microsoft misalnya, memang hari ini sudah menjadi supermarket untuk system operasi, berbagai aplikasi bisnis , hiburan, game hingga aplikasi mobile. Namun ingat, mereka awalnya hanya mengerjakan pemrograman BASIC. Begitu banyak peluang kemudian tercipta setelah Microsoft memiliki benteng kokoh berupa system operasi untuk PC.

Menekuni satu ceruk buat saya adalah upaya membangun benteng tadi. Setelah benteng ini cukup kokoh, maka saya dapat masuk ceruk lain (bahkan bisnis lain) dengan relative lebih aman. Jika upaya memperluas wilayah belum berhasil, saya selalu dapat kembali ke benteng untuk berlindung.

Jadi, menurut saya tidak ada salahnya kita mengail di kolam kecil. Apalagi kalau ternyata di kolam kecil tadi ikan nya gemuk-gemuk.

Saturday, September 08, 2007

Kucing Bisa Terbang

Apa reaksi Anda kalau saya bilang ada kucing yang bisa terbang?

Dugaan saya, ada tiga kemungkinan reaksi Anda:

Pertama, Anda langsung tertawa terbahak-bahak, menganggap saya pembohong, atau bahkan sedikit tidak waras. Karena menurut logika Anda, dan menurut seluruh fakta masa lalu yang Anda miliki, belum pernah ada kucing bisa terbang. Dan tidak akan mungkin ada kucing bisa terbang. Ini wajar. Anda adalah seorang yang logis, yang cenderung menggunakan logika. Anda tidak percaya sebelum ada bukti. Anda akan langsung skeptis dan menginterogasi saya dengan pertanyaan dimana saya melihat, kapan, berapa ekor, tahun berapa? Dst.

Kedua, Anda akan mengkerutkan kening sambil mengatupkan bibir rapat2, karena tergelitik rasa penasaran. Bagaimana mungkin membuat seekor kucing bisa terbang? Apakah dipasang pesawat jet dipunggungnya, atau sudah ada teknologi rekayasa genetik untuk menumbuhkan sayap dipunggung seekor kucing? Anda akan langsung mencecar saya dengan pertanyaan bagaimana caranya kucing yg saya ceritakan bisa terbang.

Ketiga, Anda akan mengerutkan kening sejenak, melihat mata saya dalam2, tersenyum-senyum, kemudian tertawa terbahak2 bersama saya. Mungkin karena Anda teringat sosok kucing gendut yang terbang dengan baling2 bambu di kepala nya. Yang jelas, Anda segera berbagi cerita dengan saya tentang sosok kucing yang bisa terbang. Tidak penting apakah kucing tadi beneran bisa terbang, atau sekedar saya lempar dari jendela, yang jelas Anda bisa melihat bahwa akan sangat menarik jika kucing terbang tadi bisa dipopulerkan. Mungkin bisa dibuat film kartun nya, buku komik, boneka, kaos anak, selimut, wah banyak lagi. Makanya Anda tertawa senang dengan ide kucing bisa terbang tadi.

Nah, berjualan teknologi itu mirip sekali dengan menjual cerita bahwa ada kucing yang bisa terbang. Nyaris mustahil?

Disinilah perlunya kejelian melihat dengan siapa kita membicarakan teknologi yang kita jual. Terlebih lagi kalau teknologi yang Anda tawarkan tergolong baru. Kalau kebetulan orang-orang yang kita temui adalah para pelaksana di lapangan. Mereka akan cenderung memiliki reaksi yang pertama. Tidak percaya. Mereka mungkin bertahun-tahun bekerja dengan alat dan cara yang sama. Maka ketika mendengar sesuatu yang baru, mereka akan skeptis dan menuntut Anda untuk bisa membuktikan apa yang Anda sampaikan. Bahasa mereka adalah "tolong di demo kan". Padahal sudah capek2 di demo kan, belum tentu dibeli juga. Maklum para penuntut bukti ini juga kebetulan bukanlah pembuat keputusan akhir dalam proses pembelian. Jadi sebetulnya nyaris percuma menjual cerita Anda kepada mereka.

Kelompok kedua lain lagi. Mereka sangat penasaran dengan bagaimana teknologi Anda bisa bekerja. Mereka biasanya minta Anda menyediakan segala dokumentasi teknologi yang Anda tawarkan untuk mengetahui bagaimana teknologi tadi dibuat. Biasanya mereka adalah kalangan level manager. Bahasa nya adalah "tolong disediakan dokumentasi system nya". Mungkin mereka memang ingin tahu, atau mungkin saja penasaran, jangan2 bisa bikin sendiri dan tidak perlu jasa Anda. Meskipun mereka lumayan punya pengaruh dalam proses pembelian, namun tetap saja mereka bukan pembuat keputusan sebenarnya.

Nah, kelompok terakhir, yang bisa menghayalkan kucing bisa terbang menggunakan baling-baling bambu di kepalanya, ini lah yang harus Anda incar. Maksudnya begini. Perusahaan, seperti halnya individu, juga membangun dongeng masa depan mereka. Akan menjadi seperti apa mereka kelak, berapa market share yang akan mereka kuasai, dst. Kalau Anda perhatikan kebanyakan semuanya baru "akan", bukan realitas hari ini, jadi lebih mirip "dongeng" daripada fakta. Nah, kalau cerita "kucing terbang" Anda bisa masuk dalam dongeng mereka, maka kemenangan sebenarnya sudah ditangan. Apalagi mereka umumnya adalah para pembuat keputusan puncak. Yang mampu melihat potensi teknologi yang Anda tawarkan untuk mewujudkan dongeng masa depan mereka. Merekalah yang akan membeli teknologi yang Anda tawarkan.

Tiga kelompok tadi mau tidak mau harus kita hadapi dalam suatu siklus penjualan. Seringkali secara berurutan kita bertemu dahulu dengan pelaksana, para manager, baru pembuat keputusan. Namun tidak jarang, kita harus meyakinkan pembuat keputusan dahulu sebelum bertemu dengan kelompok-kelompok di bawahnya.

Dari pengalaman saya, kesalahan yang umum dilakukan dalam berjualan teknologi adalah terlalu berpaku pada proses penjualan di tahap pertama dan kedua. Kita sebagai penjual disibukkan dengan usaha keras untuk membuktikan bahwa ada kucing bisa terbang, dan bahwa kita bisa membuat kucing bisa terbang. Sementara proses paling penting, yaitu membuka mata pembuat keputusan bahwa si kucing terbang akan berperan penting bagi perusahaan di masa mendatang, lebih sering terabaikan.

Saya juga pernah melakukan kesalahan ini. Dulu, ketika menjual sistem untuk melakukan transaksi saham secara online, saya keasikan berbicara tentang betapa canggihnya teknologi yang kami tawarkan. Proses penjualan biasanya kami lalui dengan instalasi proof of concept yang mahal dan makan waktu. Waktu itu saya terjebak untuk membuktikan bahwa saya memang punya kucing terbang, bukan berusaha meyakinkan pembuat keputusan bahwa kucing terbang ini penting bagi mimpi mereka. Bahkan sejujurnya saya tidak pernah berusaha memahami apa mimpi calon pelanggan saya waktu itu.

Padahal berbicara dengan para pembuat keputusan tentang mimpi2 mereka bisa jadi lebih mudah. Dalam perjumpaan pertama Anda bisa segera mengenali impian dan obsesi apa yang sedang mereka miliki untuk perusahaan mereka di masa mendatang. Dan ketika Anda bisa menciptakan dongeng menarik tentang bagaimana teknologi Anda tawarkan nyambung dengan impian para bos tadi, bisa saya pastikan Anda akan memenangkan hati mereka.

Jadi, setelah membaca tulisan ini, semoga Anda bisa berjualan gajah terbang sekalipun.