Tuesday, May 27, 2008

Benar Benar Mabok

Dari minggu lalu, inbox email dan messenger saya terisi dengan banyak pertanyaan yang sama dari sesama pemilik usaha. Bagaimana nih, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik. Saya, biasanya menjawab singkat dengan sedikit bercanda, Alhamdulillah di Bandung bensin dan elpiji masih terbeli. Salah satu teman baik langsung menelpon saya dan dengan sewot menguliahi, bahwa saya tidak sensitif dengan beban penderitaan rakyat miskin akibat kenaikan BBM ini. Bahkan saya dinilai pro pemerintah yang pro kepentingan perusahaan minyak asing. Hehehe … siapalah saya ini, Alhamdulillah kalau dikira kenal orang pemerintahan atau perusahaan minyak asing.

Apakah kenaikan BBM berpengaruh terhadap bisnis saya? Sudah tentu. Menurut saya semua bisnis pasti akan terkena dampak kenaikan BBM, entah besar atau kecil, baik langsung atau tidak langsung. Kenaikan BBM jelas mendorong inflasi dan akan mempengaruhi daya beli. Namun, menurut saya pertanyaan pentingnya bukanlah ada atau tidaknya pengaruh kenaikan BBM, namun bagaimana para pemilik usaha kecil dan menengah seperti saya ini dapat terus bertahan setelah BBM naik. Nah, kalau ini pertanyaannya, penting untuk dijawab. Berikut 3 tips supaya Anda tidak Benar-Benar Mabok akibat kenaikan BBM:

Menerima

Kenaikan BBM sudah terjadi. Kalau saya, memilih untuk menerima dan tidak membuang energy dan emosi saya untuk menolak kenaikan ini. Hehehe … jujur saja saya langsung didamprat teman saya ketika mengatakan ini. Bukan, saya bukan pro pemerintah, partai berkuasa atau apapun. Saya pro dengan kedamaian hati saya sendiri. Saya yakin Menteri Keuangan dan seluruh staff ahli nya jauh lebih pintar dari saya, dan pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Bagaimana dengan alternative lain selain menaikkan BBM? Mungkin saja ada. Saya yakin jika alternative tersebut bisa diterapkan, tidak sekedar wacana dan hitungan di atas kertas, pada saatnya pasti akan diterapkan. Namun saya tidak mau berandai-andai. Fakta nya hari ini adalah, kenaikan harga BBM masih menjadi pilihan terbaik yang mungkin di jalankan. Dan saya belajar menerima kenyataan tadi.

Saya juga menaruh hormat terhadap rekan-rekan yang melakukan segala daya upaya untuk membuat pemerintah merevisi keputusan menaikkan harga BBM. Saya paham sepenuhnya pendapat mereka, dan menghargai niat baik mereka. Sebagai konsumen BBM, tentu saya juga lebih senang kalau harga BBM murah. Tapi kenyataannya BBM adalah produk yang harga nya dapat mengalami fluktuasi di manapun di dunia ini. Dan saya memilih untuk siap ketika harga nya meningkat.

Saya juga tentu prihatin dengan dampak kenaikan harga bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun saya juga yakin pemerintah sudah memikirkan, dan memiliki program untuk mengurangi dampak tersebut. Saya sendiri tentu juga bisa berkontribusi dengan memperbanyak sedekah, daripada berteriak-teriak "membela" mereka.

Fokus Pada Peluang

Kenaikan BBM memang menimbulkan "persoalan". Namun kalau kita amati "persoalan" tadi sebagian besar baru pada tahap potensial. Ada rekan yang menyampaikan pada saya, bahwa setelah BBM naik, pasti pembeli berkurang, pasti toko nya sepi. Saya tanya kembali, sudah sepi belum toko nya hari ini? Teman saya tadi ketawa nyengir. Hehehe … gak sih Pak, kalau hari ini malah ramai. Tapi kan nanti pasti sepi. Wah, ya nanti saja kita bahas kalau sudah beneran sepi.

Saya paham bahwa rekan tadi bermaksud untuk antisipatif terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Ini bagus. Namun jangan sampai kita berkutat pada "persoalan" sehingga melupakan peluang yang muncul. Kalau Anda cukup lama di dunia marketing pasti tahu bahwa kemampuan membeli atau daya beli bukanlah satu-satu nya faktor pendorong terjadi nya pembelian.

Misalnya, beberapa waktu lalu saya membaca keberhasilan sebuah produsen alat-alat kesehatan yang sukses menjual produknya di kota-kota kecil. Produknya berupa ikat pinggang ajaib, hingga kasur ajaib. Harga nya luar biasa mahal menurut saya. Anehnya pembeli nya juga bukan dari kalangan mampu. Tinggal di kota kecil lagi. Hebatnya lagi, pembeli nya belum tentu benar-benar membutuhkan alat tersebut. Karena, alat-alat tadi sifatnya hanya "menjaga kesehatan", "melancarkan peredaran darah", "memperbaiki metabolisme", dsb. Boro-boro mikirin metabolisme, lha untuk makan saja mungkin pas-pas an. Kalau dihitung-hitung dari daya beli masyarakat di kota-kota kecil tadi, ini tidak masuk akal. Tapi itulah dunia usaha, tidak selalu masuk akal.

Daripada memikirkan "persoalan" daya beli masyarakat di kota kecil yang menjadi target, produsen alat kesehatan tadi memilih untuk melihat peluang untuk memasarkan produk secara lebih kreatif di kota-kota kecil tadi. Kita juga bisa seperti itu.

Kesempatan Belajar

Dulu sewaktu krisis moneter menghantam Asia Pasifik tahun 1997, saya masih menjadi karyawan. Tugas kami lumayan berat, karena harus menjual solusi software ke industri perbankan yang pada waktu itu mulai kolaps. Belum lagi nilai tukar dollar yang melambung tinggi, sementara produk kami dijual dalam dollar. Secara logika mungkin mendingan tutup warung saja. Hanya satu hal yang membuat kami terus bertahan, bahwa kami percaya apabila kami berhasil melewati krisis tersebut, kami dapat melewati tantangan apapun.

Krisis selalu menawarkan peluang untuk belajar. Pola pikir "business as usual" harus diuji kembali dengan adanya tantangan baru. BBM naik? Harga bahan baku naik? Ongkos transportasi naik? Biaya karyawan naik? Itu adalah seri mata kuliah wajib di universitas pengusaha yang sesungguhnya. Kali ini tidak hanya di text book. Namun Anda langsung praktek di dunia nyata. Dan ketika Anda lulus ujian. Dapat dipastikan Anda satu langkah lebih baik dari kemarin.

Semoga setelah kenaikan BBM ini Anda semua menjadi Benar-Benar Mampu. (Fauzi Rachmanto)

No comments: