Wednesday, November 01, 2006

Mudik

Kemarin setelah Lebaran, saya mudik – Pulang ke “udik”. Atau lebih tepatnya pulang kampung. Saya pernah berdialog panjang soal mudik ini dengan teman saya yang tidak memiliki budaya mudik. Mengapa harus mudik? Mengapa harus waktu lebaran? Bagi yang tidak memiliki budaya mudik, mengherankan memang, mengingat begitu susah nya prosesi mudik yang harus dijalani oleh jutaan manusia di Indonesia setiap tahun nya. Tidak terhitung berapa jumlah rupiah yang harus dikeluarkan demi mudik, sekian hari waktu yang harus disediakan untuk mudik, bahkan korban jiwa yang setiap tahun terus bertambah. Tapi mudik buat banyak orang, termasuk saya, itu harus.

Mudik bagi kami para perantau adalah saat untuk kembali kepada asal-usul kami. Setelah sekian waktu berusaha untuk mewujudkan cita-cita, bekerja keras dan membuat pencapaian, maka sungguh tenang dan nikmat untuk sejenak berada pada titik nol. Titik dimana dulu kita memulai segala sesuatu. Apalagi di titik nol tadi kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang kita cintai. Yang selalu mencintai dan mendukung kita di titik manapun kita berada. Maka kembali pada titik nol tadi InsyaAllah akan memberikan energi yang luar biasa untuk kembali menjalani aktivitas di tempat kita berkarya. Simbol dari titik nol tadi buat saya adalah saat saya dan seluruh keluarga berkumpul di rumah orang tua kami, dan bersimpuh dihadapan mereka yang dulu telah melahirkan dan membesarkan kita. Sehebat apapun pencapaian kita, dihadapan Ibu yang melahirkan dan mengasuh kita, dan Ayah yang dulu berjuang mencukupi nafkah kita, kita kembali menjadi nol. Kosong.

Mudik memang melelahkan. Dari “arus mudik” hingga “arus balik” sungguh merupakan perjuangan yang berat. Melewati kepadatan dan kemacetan lalu-lintas yang demikian luar biasa butuh kesabaran dan ketenangan tersendiri. Mudik ke Jawa Tengah, buat saya mirip Pilgrimage nya Paulo Coelho. Berat untuk dilalui namun sarat akan makna. Yang utama buat saya adalah kebersamaan bersama anak2 dan istri saya. Selama sekitar 12 jam bersama-sama di dalam kendaraan merupakan moment yang tidak pernah bisa tergantikan. Buat kami, bersama-sama dalam kendaraan, mendiskusikan peta dan nama tempat, memperdebatkan tempat berhenti, permainan dan pembicaraan untuk mengusir kebosanan, adalah moment2 yang selalu kami nantikan dan rindukan setiap tahun nya.

Hebat nya lagi, mudik yang kita alami setiap tahun, selalu memberikan sesuatu yang berbeda. Bagi orang yang tidak memiliki budaya mudik, kadang mereka bertanya apakah tidak bosan dari tahun ke tahun begitu2 saja? Sesungguhnya tidak begitu2 saja. Kalau buat saya, selalu ada yang baru. Misalnya untuk tahun ini, entah apa maksud Tuhan, saya banyak bertemu dan dihubungi kembali oleh teman2 lama. Teman2 masa kecil hingga SMA yang pernah berbagi suka dan duka sewaktu saya belum meninggalkan kampung. Bayangkan, saya sudah tidak berhubungan lagi dengan beberapa teman SMA selama 18 tahun, dan kemarin tiba2 saja dengan mudah kami dapat saling berhubungan kembali. Saya yakin hal2 seperti itu tidak ada yang kebetulan, dan pasti ada himkah nya.

Selain menyambungkan kembali tali silaturahmi, mudik buat saya adalah semacam “pilgrimage” yang mencerahkan dan memperkaya batin. Mudik memberikan makna bagi kehidupan banyak orang. Banyak orang2 yang bekerja keras selama 11 bulan dengan satu alasan, mencari bekal buat mudik kelak. Ini sekaligus memberikan satu hikmah, bagaimana seharusnya kita hidup di “perantauan dunia” ini. Yaitu demi mencari bekal untuk “mudik besar” kita nanti.

No comments: