Akhir-akhir ini saya sering memperhatikan beberapa acara guyon di beberapa saluran TV Indonesia. Salah satu wajah yang sering muncul adalah superstar lawak Indonesia: Jojon. Atau mungkin lebih tepatnya saya menyebut Pak Jojon, megingat usia beliau yang tentu tidak muda lagi. Masih dengan gaya nya yang khas: kumis ala Charlie Chaplin, dan celana kebesaran yang diangkat sampai perut. Dan tentu masih lucu.
Saya tak habis pikir. Jojon hadir menghibur kita sejak saya masih SD hingga sekarang anak2 saya sudah SD. Jojon waktu itu ngetop setelah masa Bagyo cs. Salah satu superstar lawak yang lain. Bahkan sempat kedua group melakukan "duel meet" dengan tampil sepanggung. Pada masa jayanya, Jojon cs sangat ditunggu-tunggu kemunculannya di layar TVRI, satu-satunya saluran waktu itu. Bagaikan hidangan istimewa, oleh TVRI waktu itu biasanya Jojon cs juga dihadirkan pada saat2 istimewa, misalnya pada saat "panggung lebaran". Salah satu celetukan khas yang waktu itu sangat diingat oleh pemirsa adalah bagaimana Jojon dan Cahyono saling memanggil.
Yang diperlihatkan Jojon adalah persistensi dan dedikasi pada pekerjaan yang demikian luar biasa. Di usia nya yang tidak muda lagi, energi nya dalam bekerja sulit ditandingi yuniornya. Pada masa ramadhan saja, saya perhatikan Jojon tampil live di dua saluran yang berbeda, menjelang buka dan menjelang sahur. Jojon yang saya saksikan sekarang, masih sama seperti Jojon dulu yang tampil apa ada nya sebagai pelawak yang sadar akan tugas nya untuk melucu. Termasuk dengan trik-trik "pelecehan" fisik yang dilakukan yunior nya kepada Jojon.
Ini berbeda dengan beberapa pelawak generasi sekarang yang ketika sudah berhasil eksis tak mau lagi disebut pelawak. Malah ada yang barangkali risih dengan sebutan pelawak, menamakan diri sebagai "pengusaha tawa". Terbuai dengan gaya "profesional" semu, dengan kerumitan kantor2an, sekretaris, tim manajemen dan sebagainya. Pelawak yang mustinya melawak tadi malah akhirnya terjebak dalam atribut2 eksekutif, dengan berjas-berdasi selalu tampil bak eksekutif perusahaan. Dan malah tidak lucu lagi. Mungkin lupa dengan kerja kreatif yang harus dilakukan: melawak. Padahal pelawak adalah profesi sebagaimana profesi lain seperti dokter, insinyur atau pengacara. Tugasnya pun jelas: menghadirkan kelucuan bagi konsumen nya.
Dalam keseharian kita pun sering menyaksikan bagaimana kita tidak profesional dengan melupakan profesi kita sebenarnya. Olahragawan yang maunya diperlakukan seperti artis sinetron. Karyawan yang bersikap seperti owner perusahaan. Guru yang lebih senang jualan buku. Dokter yang ngomongnya jadi mirip lawyer. Pejabat pemerintah yang lebih mirip pengusaha. Anggota DPR yang maunya kerja nya mirip eksekutif. dll. Kepada Jojon mereka seharusnya berguru tentang persistensi dan dedikasi kepada pekerjaan.(fr)
No comments:
Post a Comment