Monday, November 20, 2006

The Emperor's coming here?

Jaman dahulu kala, nun jauh di galaksi. Seluruh penjuru galaksi telah jatuh kecengkeraman Emperor Palpatine. Namun, sekalipun stabilitas galaksi relatif terjaga berkat politik tangan besi yang dijalankan oleh Darth Vader tangan kanan sang Emperor, sekelompok pemberontak masih saja menyebarkan teror disana-sini. Dan untuk menumpas habis teroris pemberontak, sang Emperor pun memerintahkan pembangunan stasiun angkasa pemusnah, Death Star, yang jauh lebih besar dari Death Star pertama yang pernah dihancurkan pemberontak. Pembangunan Death Star kedua pun dikebut, begitu seriusnya, bahkan sang Emperor sendiri direncanakan datang ke lokasi. Persiapan pun dilakukan dengan begitu serius untuk menyambut kedatangan sang Emperor. Pasukan clone berbaris rapih, bersenjata lengkap, dengan diinspeksi langsung oleh sang komandan tertinggi Darth Vader. Ketakutan terlihat mencekam para komandan lapangan, seolah tidak ingin terjadi kesalahan sekecil apapun yang dapat membuyarkan acara kunjungan sang Emperor. Adegan yang saya ingat adalah dialog komandan Death Star dengan Darth Vader:

The Emperor's coming here?
That is correct, Commander, and he is most displeased with your apparent lack of progress.
We shall double our efforts.
I hope so, Commander, for your sake. The Emperor is not as forgiving as I am.


Saya menjadi teringat adegan dalam film Star Wars episode VI diatas ketika menyaksikan persiapan penyambutan kedatangan George W. Bush. Saya bahkan membayangkan George Bush akan datang memakai jubah dan tudung kepala a la Emperor Palpatine, karena tanpa make up pun kebetulan tampangnya mirip! Bukan cuma tampangnya, kelakuan Bush pun buat saya banyak kemiripan dengan Emperor Palpatine. Kalau Emperor Palpatine punya proyek Death Star, Emperor Bush punya proyek “War Against Terror“ (WAT). Seperti halnya Death Star yang mampu meluluh-lantak kan satu planet merdeka yang menolak bergabung dengan sang Emperor. War Against Terror juga mampu menaklukkan suatu negara bebas, menggulingkan kepala negara yang sah, membubarkan birokarasi dan sistem keamanan, dan menciptakan kekacauan dan pembunuhan sipil. Bahkan Bush dan Emperor, keduanya menggunakan bahasa yang sama: “You're either with us or against us!” Kalau gak ngedukung berarti ngelawan.

Kalau kita ikuti episode-episode prequel Star Wars, Palpatine sebelum menjadi emperor digambarkan penuh kelicikan. Berpura-pura lemah, membuat drama penyerangan dan penculikan, sebelum akhirnya punya alasan menyerang balik seluruh pihak yang berseberangan dengan legitimasi yang akhirnya memungkinkan Palpatine menjadi penguasa tunggal. Termasuk memusnahkan para Jedi, pengawal republic yang loyal. Ini mengingatkan saya pada “prequel” yang mendahului War Against Terror. Semula Bush bukanlah apa-apa. Banyak yang setuju Bush adalah produk kecelakaan berdemokrasi. Sering salah ngomong, Bush waktu itu sering digambarkan sebagai Presiden AS yang lemah, bodoh, dan menang dengan sedikit keberuntungan karena adanya kontroversi penghitungan suara. Namun kemudian datanglah peristiwa 9/11 yang memberi segala alasan bagi Bush untuk tampil dan menggelar proyek WAT. Dan kisah selanjutnya kita ketahui bersama. Dua negara diserbu. Dua pemerintahan ditumbangkan. Pendudukan militer yang berkepanjangan. Wilayah konflik baru. Menjamurnya para teroris amatir yang tak terorganisasi. Bush makin populer dan terpilih lagi. Dan dunia yang semakin tidak aman.

Tentu ada perbedaan antara Bush dan Emperor Palpatine. Jika segala tindakan Emperor dilatarbelakangi oleh “the dark-side of the force”. Sementara menurut Bush, seperti dalam sebuah pernyataan yg dilansir BBC, bilang: “I'm driven with a mission from God”. Karena dari Tuhan, misi Bush begitu mulia: menumbangkan tiran, menumpas teroris langsung ke sarangnya, memerdekakan wanita Afghan dari burqa, menghabiskan stok senjata dan bom untuk menghidupkan industri senjata, memberikan mega proyek buat perusahaan2 raksasa AS yang menyokongnya, dan memberi akses baru kepada sumber minyak. Ah, tapi itu kan kata teori konspirasi?

Yang bukan teori konspirasi mungkin adalah hitung2 an biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah AS. Dari anggaran sekitar US$ 200 milyar, melihat kekacauan di Irak yang tak kunjung usai, banyak yang memperkirakan biaya pendudukan akan mencapai US$ 500 - 600 milyar, ini ditambah biaya tak langsung, misalnya untuk tunjangan prajurit yang cacat, maka angka US$ 1 trilyun bahkan akan terlewati. Satu trilyun dolar dan apa yang kita dapat? Sebagai wirausaha di bidang IT saya langsung ngebayangin, kalau dibeliin PC harga 100 - 200 dollar-an, seluruh penduduk dimuka bumi dari bayi yang baru lahir sampai Aki-Nini dapet satu orang satu! Atau kalau dijadikan modal buat bank semacam Garmeen Bank, penduduk miskin diseluruh dunia akan lebih diberdayakan. Dan kalau itu yang dilakukan, Bush kalau mau diberi hadiah Nobel setiap tahun, sepuluh tahun berturut-turut, kita semua akan dukung.

Yang lebih memprihatinkan adalah berita kutipan NY Times 11 Oktober 2006 di bawah ini:
BAGHDAD, Oct. 10 — A team of American and Iraqi public health researchers has estimated that 600,000 civilians have died in violence across Iraq since the 2003 American invasion, the highest estimate ever for the toll of the war here.
600,000 nyawa! Untuk apa? Anak-anak yang mati atau menjadi cacat itu bahkan kenal Bush pun tidak. Belum termasuk nyawa 3000 an prajurit Amerika sendiri. Dan ribuan lain di Afghanistan. Barangkali Bush juga sependapat dengan kata2 Stalin (yang kalau gak kumisan mirip Palpatine juga!): “Death of an individual is a tragedy; the death of a million is a statistic”.

Apapun, Bush bukanlah Emperor Palpatine. Kekuasaanya sebagai eksekutif kini serba terbatas, dan dalam dua tahun toh akan barakhir. Setuju tidak setuju dia ingin mampir. Tentu kita juga berhak menunjukkan kesukaan (atau ketidak sukaan kita). Toh Bush di demo bukan cuma disini. Kemanapun pergi, hampir selalu Presiden AS kini disambut demo. Proyek War Against Terror nya ternyata telah melahirkan generasi-generasi baru pembenci Amerika Serikat. Bahkan mungkin dalam skala yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Seperti halnya proyek Death Star sang Emperor yang malah melahirkan pemberontak semacam Luke Skywalker, yang kelak menumbangkannya.

Dan entah apa yang besok akan dibisikkan Bush ke telinga pemimpin kita. Saya kok masih kebayang Bush pake jubah dan tudung kepala, dan berbisik dengan suara parau: “Do not under estimate the power of the dark side of the force...”.

Wednesday, November 08, 2006

Cracked Clark

Beberapa hari yang lalu saya “nyasar” ke bekas pangkalan militer Amerika Serikat airport Clark, sekitar 80 km dari Manila. Sebetulnya saya bermaksud mampir ke Manila sebelum pindah pesawat ke Singapore setelah menghadiri suatu konferensi di Cebu, namun berhubung yang bisa saya booking lewat internet adalah “budget airlines” yang tidak lewat Manila, jadilah terdampar di Clark. Meskipun fisik bangunan nya masih sangat bergaya militer, Clark kini sudah menjadi lapangan terbang sipil. Tapi rupanya kejadian tadi ada hikmahnya juga. Melihat-lihat fisik landasan dan bangunan airport Clark, saya jadi teringat perang Vietnam. Clark sejak tahun 60-an adalah pangkalan utama Amerika di asia tenggara yang menjadi tulang-punggung dalam operasi penyerbuan AS ke Vietnam.

Pada waktu itu pemerintah Amerika Serikat sangat berkepentingan untuk menjadikan Filipina menjadi “etelase demokrasi” di Asia Tenggara. Apalagi mereka sudah gagal di Vietnam. Entah sudah berapa milyar dollar dihamburkan oleh pemerintah AS untuk Filipina. Demi untuk menunjukkan kepada negara-negara di kawasan ini, bahwa menjadi sekutu AS adalah pilihan terbaik. Tidak hanya membangun pangkalan militer Angkatan Laut di Subic dan Angkatan Udara di Clark, AS juga membentuk negara tetangga kita tersebut menjadi “mini AS” lengkap dengan demokrasi ala Amerika. Dan sudah barang tentu, gaya hidup Amerika.

Namun sejarah membuktikan, kehadiran AS di Asia Tenggara lebih banyak membawa mudharat daripada manfaat. Selain menyebarkan kebinasaan kepada rakyat Vietnam melalui dua pangkalan tersebut, kehadiran tentara AS turut berperan merubah wajah masyarakat Filipina. Yang paling menonjol misalnya adalah industri pemuas syahwat yang menjamur disekitar dua pangkalan tersebut. Kota Angels yang berdekatan dengan Clark misalnya, dipenuhi dengan bar, kasino dan pelacuran untuk menyalurkan nafsu tentara AS. Di airport Clark, selebaran dan iklan untuk menawarkan bar dan kasino hingga kemarin masih sangat terlihat. Seolah tidak ada pilihan bagi Clark dan kota Angels, selain mengembangkan ekonomi melalui industri hiburan. Subic pun tidak jauh beda, bahkan konon lebih parah lagi karena tentara US Navy yang lebih banyak melaut, konon lebih haus akan hiburan. Dan setelah menerapkan seluruh resep dari guru nya AS, apakah kini Filipina berhasil menjadi negara yang maju? Dari penilaian sekilas selama disana, saya berkesimpulan bahwa secara ekonomi dan sosial pencapaian mereka masih dibawah bangsa kita.

Dengan segala keperkasaannya tersebut, pada waktu itu tidak terbayang jika suatu saat AS harus angkat kaki dari dua pangkalan strategisnya tadi. Protes negara-negara ASEAN ataupun dari negara besar disekitarnya seperti RRC dan Russia dianggap angin lalu. Namun toh akhirnya pangkalan kebanggaan AS dan Filipina tadi pada tahun 1991 harus gulung tikar. Dan siapakah yang mampu membuat sang adidaya tersebut angkat kaki? Tahun 1991, gunung berapi Pinatubo yang terletak tidak jauh dari Clark menggeliat bangkit dari tidur panjangnya selama 500 tahun. Pada waktu itu, serangkaian ledakan Pinatubo yang bahkan disebut-sebut termasuk paling dahsyat setelah Krakatau telah menghembuskan awan abu seluas asia tenggara dan banjir lava yang menghancurkan seluruh sarana dan infrastruktur yang dilewati. Termasuk beberapa bagian utama pangkalan Clark dan kota Angels. Beberapa hari sebelum ledakan terbesar Pinatubo terjadi, AS pun akhirnya memutuskan untuk menutup pangkalan Clark untuk selama-lamanya. Kemarin dari udara saya bahkan masih bisa melihat dengan jelas bekas-bekas kedahsyatan ledakan Pinatubo dan jalur banjir lava yang diciptakannya. Dan melihat sisa-sisa daya rusaknya, tidak heran militer AS memutuskan hengkang dari Filipina. Rupanya, dihadapkan pada kekuatan alam yang dahsyat, si negara superpower harus mengakui siapakah Sang Adi Daya yang sesungguhnya. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. (fr)

Wednesday, November 01, 2006

Mudik

Kemarin setelah Lebaran, saya mudik – Pulang ke “udik”. Atau lebih tepatnya pulang kampung. Saya pernah berdialog panjang soal mudik ini dengan teman saya yang tidak memiliki budaya mudik. Mengapa harus mudik? Mengapa harus waktu lebaran? Bagi yang tidak memiliki budaya mudik, mengherankan memang, mengingat begitu susah nya prosesi mudik yang harus dijalani oleh jutaan manusia di Indonesia setiap tahun nya. Tidak terhitung berapa jumlah rupiah yang harus dikeluarkan demi mudik, sekian hari waktu yang harus disediakan untuk mudik, bahkan korban jiwa yang setiap tahun terus bertambah. Tapi mudik buat banyak orang, termasuk saya, itu harus.

Mudik bagi kami para perantau adalah saat untuk kembali kepada asal-usul kami. Setelah sekian waktu berusaha untuk mewujudkan cita-cita, bekerja keras dan membuat pencapaian, maka sungguh tenang dan nikmat untuk sejenak berada pada titik nol. Titik dimana dulu kita memulai segala sesuatu. Apalagi di titik nol tadi kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang kita cintai. Yang selalu mencintai dan mendukung kita di titik manapun kita berada. Maka kembali pada titik nol tadi InsyaAllah akan memberikan energi yang luar biasa untuk kembali menjalani aktivitas di tempat kita berkarya. Simbol dari titik nol tadi buat saya adalah saat saya dan seluruh keluarga berkumpul di rumah orang tua kami, dan bersimpuh dihadapan mereka yang dulu telah melahirkan dan membesarkan kita. Sehebat apapun pencapaian kita, dihadapan Ibu yang melahirkan dan mengasuh kita, dan Ayah yang dulu berjuang mencukupi nafkah kita, kita kembali menjadi nol. Kosong.

Mudik memang melelahkan. Dari “arus mudik” hingga “arus balik” sungguh merupakan perjuangan yang berat. Melewati kepadatan dan kemacetan lalu-lintas yang demikian luar biasa butuh kesabaran dan ketenangan tersendiri. Mudik ke Jawa Tengah, buat saya mirip Pilgrimage nya Paulo Coelho. Berat untuk dilalui namun sarat akan makna. Yang utama buat saya adalah kebersamaan bersama anak2 dan istri saya. Selama sekitar 12 jam bersama-sama di dalam kendaraan merupakan moment yang tidak pernah bisa tergantikan. Buat kami, bersama-sama dalam kendaraan, mendiskusikan peta dan nama tempat, memperdebatkan tempat berhenti, permainan dan pembicaraan untuk mengusir kebosanan, adalah moment2 yang selalu kami nantikan dan rindukan setiap tahun nya.

Hebat nya lagi, mudik yang kita alami setiap tahun, selalu memberikan sesuatu yang berbeda. Bagi orang yang tidak memiliki budaya mudik, kadang mereka bertanya apakah tidak bosan dari tahun ke tahun begitu2 saja? Sesungguhnya tidak begitu2 saja. Kalau buat saya, selalu ada yang baru. Misalnya untuk tahun ini, entah apa maksud Tuhan, saya banyak bertemu dan dihubungi kembali oleh teman2 lama. Teman2 masa kecil hingga SMA yang pernah berbagi suka dan duka sewaktu saya belum meninggalkan kampung. Bayangkan, saya sudah tidak berhubungan lagi dengan beberapa teman SMA selama 18 tahun, dan kemarin tiba2 saja dengan mudah kami dapat saling berhubungan kembali. Saya yakin hal2 seperti itu tidak ada yang kebetulan, dan pasti ada himkah nya.

Selain menyambungkan kembali tali silaturahmi, mudik buat saya adalah semacam “pilgrimage” yang mencerahkan dan memperkaya batin. Mudik memberikan makna bagi kehidupan banyak orang. Banyak orang2 yang bekerja keras selama 11 bulan dengan satu alasan, mencari bekal buat mudik kelak. Ini sekaligus memberikan satu hikmah, bagaimana seharusnya kita hidup di “perantauan dunia” ini. Yaitu demi mencari bekal untuk “mudik besar” kita nanti.