Berapa di antara Anda yang pernah punya keinginan memiliki perusahaan IT yang sukses? Saya duga cukup banyak. Saya termasuk diantaranya. Apalagi sewaktu boom dot com pertengahan 90 an dulu, hampir setiap anak kuliahan terinspirasi untuk menjadi seperti Bo Peabody, founder Tripod.Com yang pada tahun 1997 sukses menjual perusahaanya senilai $ 58 juta (hebatnya lagi Tripod waktu itu belum pernah untung).
Namun kalau kita perhatikan, dari mungkin sekian juta orang di dunia yang ingin memiliki perusahaan (berbasis) IT yang sukses, maka hasilnya bisa sangat berbeda, misalnya:
- Pertama, ada yang tidak pernah memulai membuat perusahaan IT sama sekali.
- Kedua, ada yang kemudian membuat perusahaan IT, namun tidak berhasil, dan berhenti.
- Ketiga, ada yang malah menekuni dan mengerjakan hal-hal lain. Dan setiap malam merenung, kenapa saya tidak memiliki perusahaan IT yang sukses.
- Keempat, ada yang betul-betul membangun perusahaan berbasis IT, sukses besar dan kaya raya seperti Bill Gates (Microsoft), Jeff Bezos (Amazon), Larry Page & Sergey Brin (Google), dsb.
Dari satu keinginan yang sama, yaitu membangun perusahaan IT yang sukses. Ternyata hasilnya akhirnya bisa berbeda-beda. Mengapa?
Mark Joyner memberikan cara pandang menarik dalam bukunya yang sangat luar biasa: "Simple-ology: The Simple Science of Getting What You Want". Sederhana nya begini, menurut Joyner, kita seringkali tidak berhasil mewujudkan apa yang kita inginkan karena mengabaikan hukum pertama dari simple-ology, yaitu: "jarak terdekat dari dua titik adalah sebuah garis lurus".
Dalam teori sungguh simple bukan? Namun dalam praktek, kenyataanya memang kita sering melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan utama yang ingin kita capai. Ibaratnya bukannya membuat garis lurus yang tegas diantara dua titik, kita seringkali malah membuat garis berbelok-belok, memutar kesana kemari tidak menentu. Ketidak-sederhana-an ini yang seringkali akhirnya membuat kita lupa tujuan kita sebenarnya.
Saya punya teman yang sedang membangun usaha jasa konsultan. Bersama tim mereka yang terdiri dari sejumlah pakar bergelar Doktor, Master dengan sertifikasi professional yang berderet, saya nilai usahanya cukup potensial. Apalagi knowledge yang dimiliki teman saya tadi tergolong sangat dicari perusahaan-perusahaan besar dewasa ini. Sayangnya usahanya hingga lebih dari satu tahun kurang berkembang. Yang membuat saya heran, setiap saya bertemu dengan teman saya tadi, topik pembicaraan yang dibicarakan selalu itu-itu saja: masalah ruangan untuk kantor. Rupanya, bagi teman saya tadi, membangun perusahaan jasa konsultan berarti memiliki ruangan kantor yang representatif dan nyaman di lokasi strategis. Sehingga, selalu saja masalah ruangan kantor menjadi "topic of the month" di perusahaan mereka. Mulai dari mencari lokasi, memilih diantara berbagai alternative lokasi, kemudian masalah renovasi, memilih furniture, warna cat yang sesuai corporate color, dsb. Hal-hal yang menurut saya jauh dari relevan dengan upaya menjual jasa mereka.
Padahal kalau mau menjual jasa konsultasi menurut saya ya straight to the point saja: Berjualanlah ke calon klien yang butuh dan punya uang. Dapatkan kontraknya. Kerjakan projectnya. Kemudian tagih uangnya. Mission accomplished. Simple. Bagaimana dengan ruang kantor? Siapa yang butuh ruang kantor kalau sebagaian besar waktu kita habiskan di lokasi klien. Bagaimana dengan alamat yang representative? Haloo … kemana saja?, apakah Anda belum pernah mendengar "virtual office" yang siap disewa di lokasi-lokasi terbaik di Jakarta? Bagaimana kalau mau meeting? Ini lebih mudah lagi, percayalah, klien lebih senang meeting di kantornya. Wah jadi tidak usah investasi bangunan, ruangan, peralatan kantor?. Lha kok enak? Ya memang jadi konsultan itu enak, bayarannya gede lagi, hehehe …
Point nya adalah, dengan berpikir menurut "prinsip garis lurus" tadi, hal-hal yang tidak secara langsung relevan dengan bagaimana menghasilkan uang kita kesampingkan dulu. Meskipun contoh di atas adalah usaha jasa konsultan, prinsip ini umum, sehingga Anda bisa aplikasikan dalam model bisnis Anda sendiri.
Anda dapat menyederhanakan banyak hal, dengan mengacu pada 3 kesederhanaan (simplicity) berikut ini:
Simplicity in Purpose
Anda dapat meninjau kembali tujuan Anda. Jangan-jangan tujuan Anda sendiri sudah njlimet. Analogi paling mudah adalah program komputer. Setiap program komputer yang terinstal di komputer Anda ditulis dengan tujuan tertentu. Misalnya, MS Word untuk word-processing, MS Excel untuk spreadsheet, MS PowerPoint untuk membuat presentasi dan MS Internet Explorer untuk membaca blog saya, (hehehe ... tentu boleh juga kalau mau dipakai untuk sekedar browsing). Setiap baris kode program-program tadi ditulis sesuai dengan tujuan pembuatan program tadi. Bagaimana jika tujuan-tujuan tadi mencoba ditumpuk bersama? Bisa dibayangkan penulisan programnya harus banyak berkompromi dengan berbagai tujuan tadi, sehingga yang dihasilkan adalah program yang tidak "lean" dan tidak efisien.
Simplicity in Method
Mungkin tujuan Anda sebenarnya cukup sederhana: Pergi ke dari Jakarta ke Bandung. Namun banyak cara menuju Bandung. Anda bisa menggunakan mobil lewat jalan tol Cipularang, menggunakan kereta api lewat stasiun Gambir, menggunakan pesawat terbang lewat Bandara Soekarno-Hatta. Hmmm … karena sekarang sudah tidak ada flight Jakarta – Bandung, maka Anda bisa gunakan flight Jakarta – Surabaya, dan Surabaya – Bandung. Metoda mana yang paling simple? Anda pasti bisa menjawabnya.
Simplicity in Execution
Katakanlah tujuan Anda sudah cukup sederhana. Metoda yang Anda pilih juga adalah yang paling sederhana. Namun, masih ada satu jebakan lagi, yaitu kerumitan dalam eksekusinya. Bertahun-tahun yang lalu, saya (yang waktu itu masih berusia 20 tahun) pernah menjadi seksi perlengkapan dalam sebuah acara di kampus. Kami ingin membuat acara yang sederhana. Dengan panggung sederhana, dan backdrop sederhana dengan sebuah tulisan yang sederhana. Jenis huruf dan bahan pun sangat sederhana. Kami membuat huruf-huruf dari karton yang digunting. Simple dan cepat sekali bikinnya. Yang tidak sederhana ternyata adalah bagaimana melekatkan tulisan2 tadi di dinding belakang panggung! Ternyata susah sekali. Saya bahkan masih melekatkan huruf-huruf terakhir ketika tamu-tamu mulai berdatangan. Rasa malu nya betul-betul tidak sederhana.
Mark Joyner masih memiliki 4 prinsip lagi dalam Simple-ology. Tapi yang paling penting adalah "prinsip garis lurus" di atas. Lagipula tulisan ini pun saya maksudkan untuk sederhana. Sehingga meskipun masih banyak yang ingin saya sampaikan, terpaksa harus saya akhiri supaya tetap sederhana. Ah, jangan berlama-lama membaca, silakan mencoba menerapkan Simple-ology. (FR).
4 comments:
Pak,
Kapan acara ke Malang lagi, saya tunggu nih dengan rekan2 TDA Malang.
Salam,
Dyah
waduhh senangnya si Bos Guru udah balik nulis lagi...ditunggu tulisan2nya ya pak....tks juga doanya untuk moz5
Bu Dyah, insyaAllah dalam waktu dekat saya akan kesana, dan semoga kali ini jadwalnya memungkinkan untuk silaturahmi dengan teman2 di Malang. Saya akan info kan nanti. Bu Yulia, kapan ke Solo lagi? Sempat ketemu teman2 TDA Solo gak?
Yup benar pak, kadang kita memang malah mbulet-mbulet nyari sesuatu yang dikira adalah 'update' tapi nyatanya malah membelokkan garis kesederhanaan.. dan parah lagi kadang malah kita kehilangan garis terpendek kita karena terlalu banyak tambahan garis yang nyatanya selalu berbelok-belok....
siip, very inspiring...
OOT pak, kapan nih TDA Bandung ngadain acara cash flow game? temen-temen bandung yang kontak ma saya selalu jawab "Entar, nunggu pak Fauzi lagi sibuk banget" jika saya tanya gitu... hehehe, entah di terima atau nggak, kayaknya TDA Bandung ya iconnya pak Fauzi deh, Kalo nggak ada pak Fauzi nggak rame... keep writing Pak Guru...
Post a Comment