Pria itu menatap layar televisi yang menyiarkan kejadian terakhir di AS. Pemerintah darurat yang terbukti tidak efektif telah dibubarkan, konggres sudah lama bubar, dan bendera kebangsaan sedang diturunkan. Negara2 bagian sudah memutuskan untuk berdiri sendiri, dan masing2 sibuk mengklaim penguasaan atas sumber-daya sisa2 kebesaran AS. Perang saudara diambang pintu, terutama antar negara yang menguasai peralatan militer, termasuk senjata nuklir. Sudah hampir satu tahun kerusuhan dan penjarahan terjadi diseluruh AS, sejak nilai tukar Dollar AS mencapai titik 0. Tidak lebih berharga dari kertas toilet. Dan sejak perusahaan2 besar di AS mengalami kebangkrutan besar yang tidak dapat ditolong lagi yang memicu gelombang pengangguran yang terbesar dalam sejarah.
Pria itu menghela nafas panjang dan menghirup kopi nya. Semoga tidak terjadi perang dan korban jiwa lebih banyak. Dirinya teringat, betapa ide yang semula dianggap mengada2 kini telah mengubah sejarah. Ingatan nya kembali beberapa tahun silam, tentang diskusi nya dengan beberapa rekan dalam berbagai milis bahwa keruntuhan AS nantinya, bukan disebabkan oleh terorisme, tapi dari sistem moneter nya yang dari awal salah. Pria itu selalu mengungkapkan bahwa Dollar AS adalah sesuatu yang tidak real, karena nilai nya hanya ditopang oleh “persepsi” pengguna nya. USD juga tidak kebal terhadap penurunan persepsi atas nilai, dan secara teoritis sangat mungkin untuk tidak memiliki nilai lagi bagi pengguna nya.
Beberapa teman nya yang kini menjadi pakar di berbagai lembaga mulai mengadopsi ide yang dianggap konyol tadi. Dan entah bagaimana, tidak berapa lama di kalangan diplomatik ide tadi menjelma menjadi wacana untuk melepaskan dunia dari ketergantungan moneter terhadap USD. Pada masa itu AS mencapai puncak dominasi nya di dunia, dan dengan mudahnya menguasai wilayah2 kaya minyak di timur-tengah baik secara langsung mau pun tidak langsung. Karena sudah tidak memiliki lawan, isu sentral yang diusung untuk pembenaran kehadiran AS pada waktu itu adalah islamist terrorism.
Akhirnya setelah 2 tahun hanya menjadi wacana, OPEC yang mulai terganggu dengan dominasi AS di kawasan kaya minyak mulai mengadopsi paham baru “non-USD trade mechanism”. Perdagangan minyak tanpa USD. Sebagai gantinya OPEC membuat satuan mata uang yang berbasis cadangan minyak sebagai “jaminan”, yang disebut OBC (oil backed currency). Langkah ini segera menjadi angin segar bagi Euro yang semakin loyo. Negara2 Eropa pun akhirnya hanya menerima Euro sebagai alat transaksi. Satu tahun berjalan, trend “no USD” makin menguat. Negara2 Asia timur dengan dimotori China dan Jepang membentuk mata uang bersama “Asia”. Perdagangan intra kawasan praktis sudah tidak menggunakan USD lagi. Penurunan nilai tukar USD yang terus menerus telah memicu spekulan untuk menghabisi USD tanpa ampun. Pada tahun ke-3 sejak OBC diperkenalkan, akhirnya sistem moneter AS runtuh. Tidak ada lagi yang mau menerima USD diseluruh dunia, termasuk di AS. Perusahaan2 besar di AS sudah kesulitan sejak setahun terakhir satu demi satu dipailitkan. Pengangguran dimana2, dan AS terancam kekacauan besar.
Kepanikan akhirnya melanda pemerintah AS. Ancaman kekuatan militer pun tidak dapat digunakan lagi, karena kini AS menghadapi seluruh dunia. Puncaknya, kerusuhan di dalam negeri akhirnya membuat AS harus menarik angkatan bersenjatanya kembali pulang. Di dalam negeri public AS berulangkali menjatuhkan pemimpin nya, hingga akhirnya negara2 bagian memutuskan pemisahan diri.
Dan kini, negara yang dulu begitu berkuasa itu benar2 secara resmi dibubarkan. Pria itu berulang mengganti saluran berita di televisi nya. Berita yang sama. Direguknya lagi kopi pahitnya. Ada sedikit kesedihan di hati nya, mengingat korban yang mungkin timbul, dan kekacauan yang lebih luas. Ah, aku hanya orang sederhana nun jauh di Bandung sini. Apakah betul “kepak sayap kupu2” di Bandung sini dapat menjadikan angin topan di ujung dunia sana. Dibuka nya laptop nya, dibacanya kembali blog nya lima tahun lalu, tentang Hari Terakhir sebuah negara besar bernama Amerika Serikat. (fr)
No comments:
Post a Comment