Gelombang booming dot com sekitar kurun waktu 1995 - 2001 tak pelak membuat para pelaku bisnis IT waktu itu terpacu adrenalin nya. Bayangkan, hampir setiap hari kita mendengar cerita sukses dari anak-anak muda yang dengan mudah meraup jutaan dollar hanya bermodal kantor seadanya, bahkan, yang paling sering diekspos adalah: dari garasi rumah. Mulai meluasnya penggunaan internet pada waktu itu membuat hampir setiap pelaku IT berpikir bahwa revolusi telah tiba, dan semua hal bisa di “e-commerce” kan. Saya ingat waktu itu berbagai majalah bisnis memuat wajah-wajah muda dengan senyum mengembang, berhasil menjadi jutawan dollar baru karena dot com company nya berhasil listed di NASDAQ.
Saya dan teman-teman di Jakarta pada waktu itu juga sempat merasakan gairah yang sama. Apalagi perusahaan tempat saya bekerja waktu itu baru saja diakuisisi oleh sebuah perusahaan IT baru dari Australia, dipimpin seorang CEO nya yang masih sangat muda. Kami terkagum-kagum. Berkat kejelian sang CEO untuk masuk bursa saham Australia, perusahaan baru tadi dalam sejekejap sanggup memborong perusahaan-perusahaan IT di Asia Pasifik untuk memperluas jaringan nya. Saatnya anak muda!, saatnya ekonomi baru! itulah semangat yang kami rasakan waktu itu, seiring dengan reformasi politik yang waktu itu sedang berlangsung.
Ada teman saya yang demikian terinspirasi dengan gelombang dot-com di Amerika Serikat, hingga meniru mentah-mentah apa yang terjadi disana dengan merombak garasi rumah nya menjadi kantor! Untung istri nya setuju. Padahal rumah nya buesaar dan banyak ruangan di dalam. Sekelompok programmer tiap hari siang malam nongkrong di garasi tadi untuk membuat aplikasi-aplikasi berbasis web. Yah rada kringetan … karena garasi nya tanpa AC. Jujur saja saya waktu itu juga kepengen untuk melakukan hal yang sama, tapi sayang … rumah saya waktu itu tidak ada garasi nya.
Seperti kita ketahui bersama, gelombang dot com (pertama) di AS kemudian menjadi “dot com bubble” yang akhirnya meletup, saking banyaknya perusahan listed yang belakangan ambruk karena value nya tidak riil. Perusahaan IT Australia yang saya ceritakan di atas saham nya ambruk, CEO nya yang anak muda itu didepak.“Garage company” nya teman saya tadi juga tidak berlangsung lama.
Pelajaran pertama yang dapat saya petik dari kurang berhasil nya “bisnis dari garasi” tadi adalah, bahwa kita sering lupa akan esensi dari fenomena bisnis. Internet telah memfasilitasi kita untuk melakukan interaksi bisnis dengan mudah, cepat dan massal. Sehingga lokasi bekerja menjadi sangat fleksibel. Anda bisa bekerja dan berkolaborasi dengan rekan kerja kapan saja Anda mau. Dari mana saja Anda mau. Tapi bukan berarti harus dari garasi. Kalau Anda punya kamar ber AC atau di depan rumah Anda ada warnet berAC yang menyediakan Teh Botol dingin, ya tidak usah susah2 kepanasan bekerja di garasi. Point nya adalah fleksibilitas waktu dan tempat. Bukan garasi nya.
Garasi pada bisnis IT adalah “simbol”, bukan esensi. Banyak rekan-rekan saya terjebak dalam “simbol-simbol” bisnis, bukan esensi nya. Sehingga untuk mulai berbisnis IT mereka malah lebih pusing akan kantor nya (harus keren), peralatan nya (harus canggih), kendaraan nya (harus baru), sekretaris nya (harus cantik), dsb. Sampai lupa create sales!. Padahal dalam bisnis menggunakan internet, mereka bisa sangat minim bertatap muka. Sebagai contoh, untuk efisiensi, saya sering melakukan training atau webinar dengan memanfaatkan Webex ataupun LiveMeeting. Saya bisa tetap di rumah saya yang nyaman di Bandung, rekan-rekan saya di Jakarta dan Singapote, dan pengajar nya bisa dari US atau UK. Bersukurlah ada internet yang membebaskan Anda dari tempat kerja.
Kemudian, pelajaran yang kedua yang dapat saya ambil, bahwa sikap “me-too” rupanya sangat berbahaya. Dan ini sempat menjadi kecenderungan yang kuat di kalangan pengusaha Indonesia. Ingat booming perbankan Indonesia? Ketika ada pengusaha yang mendirikan bank, semua pengusaha besar waktu itu rame-rame mendirikan bank. Akhirnya gulung tikar nya pun rame-rame. Demikian pula waktu booming property. Kalau yang melakukan ini pengusaha generasi “tua” saya masih maklum. Tapi kalau anak-anak muda yang melakukan, saya sedikit heran. Ingat booming “kafe tenda”? Percayalah, iklim usaha yang “me-too” itu tidak sustainable. Demikian juga di bisnis IT.
“Me-too” boleh saja, tapi dengan semangat inovasi untuk menawarkan yang beda, dan lebih baik. Google membuat mesin pencari yang beda dan lebih baik dari yang lain. Membaca buku tentang kesuksesan Google, saya dapat merasakan semangat Larry Page dan Sergey Brin untuk menciptakan sesuatu yang baru. Memang mesin pencari, tapi dengan pemeringkat hasil, tidak seperti mesin pencari yang sudah-sudah. Dan mereka berhasil. Jadi kalau Anda akan memulai bisnis IT, entah dari garasi atau dari kamar kos-kos an, pertanyaan nya adalah, adakah sesuatu yang baru yang akan Anda tawarkan? (FR-Jan07).
1 comment:
Ikram! Thanks sudah mampir. Kapan2 ketemu dong di Bandung. Gimana kalo buka jaket masih ada kaos Superman nya? hehehe ... BTW terjemahin dong buku2 kewirausahaan, bukan kewiraan lho hehehe ...
Post a Comment