Berhutang. Kata ini sebelumnya tidak ada dalam kamus hidup saya sebelum saya mulai berbisnis. Maklum, saya lahir dan dibesarkan dari keluarga pegawai yang sangat konservatif. Bahkan, salah satu paman saya (almarhum) yang sangat sukses berbisnis, selalu menekankan tips bisnis beliau: “jangan pernah berhutang”. Beliau tidak mau dalam posisi berhutang kepada bank sekalipun. Dengan menjalankan prinsip tersebut, yang terjadi akhirnya banyak pihak yang malah dalam posisi berhutang pada beliau.
Sewaktu saya berkarir di perbankan, tentu saya tidak dapat menganjurkan tips paman saya tadi kepada debitur-debitur saya. Malah sebaliknya saya menganjurkan: “berhutang-lah untuk bisnis”, “jangan gunakan dana Anda sendiri, gunakan dana bank”, dsb. Namun, kehancuran sistem perbankan di Indonesia sekitar tahun 1997 – 2002, mau tidak mau membuat saya berpikir: Ada ada dengan berhutang? Mengapa efek negatifnya demikian destruktif. Mungkin banyak yang tidak sadar, bahwa biaya yang telah dikeluarkan untuk recovery sistem perbankan kita mencapai sekitar Rp.600 trilyun, melalui obligasi rekap, yang sampai sekarang ditanggung renteng orang se Indonesia melalui pajak yang kita bayar. Mau tidak mau akhirnya saya kembali merenungkan “ilmu berhutang” ini.
Misteri kertas ke-11
Untuk memahami asal muasal hutang, kita bisa belajar dari model “sistem hutang” sederhana yang terdiri dari 3 aktor dalam sebuah sistem tertutup. Mungkin sudah sering ditulis orang, saya coba menceritakan kembali dengan cara saya:
Bayangkan ada 3 orang yang tinggal di sebuah pulau terpencil, sebut namanya Andi, Budi dan Caca, atau kita singkat saja si A, B dan C. A adalah seorang pekerja yang berhasil menciptakan 10 keping emas. C adalah seorang petani yang bisa menyediakan aneka makanan, dan B adalah seorang “banker”. Singkat cerita, B berhasil meyakinkan A untuk menyimpan 10 keping emas nya pada B, supaya aman. Dan B memberikan bukti penyimpanan berupa 10 lembar kertas (inilah asal kata “bank notes”). Dengan demikian A tidak perlu membawa-bawa emas nya, cukup membawa kertas. A, B dan C sama-sama paham bahwa 10 kertas tadi setara dengan 10 keping emas. Suatu ketika, C meminjam 10 kertas tadi dari A. A bersedia, namun mensyaratkan “bunga” 10% pada saat pengembalian. Arti nya, C harus menyerahkan 11 kertas, pada saat jatuh tempo. Persoalan nya: Dari mana kertas yang ke-11? Bukankah hanya ada 10 kertas untuk 10 keping emas? Jadi, seberapa pun keras C berusaha, dia tidak akan pernah berhasil mengembalikan 11 kertas. Inilah cacat sistem hutang berbasis bunga.
Model diatas memang disimplifikasi. Namun prinsip yang sama berlaku pada sistem perbankan umum yang jauh lebih kompleks. Dalam sistem kompleks tentu cacat demikian akan tertutup oleh sistem. Tapi bisa Anda perhatikan sendiri, dalam setiap sistem perbankan selalu ada pihak yang tidak dapat mengembalikan hutang. Ini yang dari waktu ke waktu, pada akhirnya akan meledak seperti yang pernah terjadi dalam semua sistem ekonomi di muka bumi.
Hutang dan Manipulasi Rasa Takut
Jadi mengapa sistem hutang yang cacat tadi masih dipertahankan? Salah satu jawaban adalah power yang diperoleh pemberi hutang terhadap pengutang, dalam bentuk manipulasi rasa takut. Berhutang mau tidak mau akan menimbulkan rasa takut. Takut tidak mampu bayar, takut tidak memiliki cukup uang, dsb. Dan, rasa takut adalah akar dari segala kegagalan. Sementara pihak pemberi hutang akan menikmati dominasi atas pengutang. Ini berlaku tidak hanya bagi individu, namun juga perusahaan bahkan negara. Buku John Perkins “Confessions of an Economic Hit Man”, dengan jujur menceritakan bagaimana hutang luar negeri selama ini dijadikan senjata untuk mendominasi negara terbelakang.
Manipulasi rasa takut melalui hutang sering juga mematikan kreativitas pengusaha. Ambil contoh, apa yang umumnya akan dilakukan oleh debitur macet dari suatu bank? Meminta tambahan hutang! Karena rasa takut, kreativitas nya, sudah mati. Satu-satu nya jalan keluar yang terpikirkan adalah berhutang dan berhutang lagi.
Berhutang dengan Ilmu
Bukan berarti saya anti hutang. Saya hanya ingin memberi gambaran bahwa sistem hutang yang ada saat ini, by design, memiliki cacat yang membuat selalu akan ada pihak yang tidak dapat membayar hutang. Jadi pastikan Anda adalah bukan pihak tadi.
Berhati-hatilah terhadap hutang konsumsi. Hutang konsumsi sangat memanipulasi ketakutan. Dari awal offering nya saja sudah menekankan suatu pesan tersembunyi bahwa: “kita tidak punya cukup uang untuk memiliki yang kita inginkan”. Ketakutan demikian sangat berbahaya. Padahal dalam mencapai yang kita inginkan, uang bukanlah poin nya. Ketika kreativitas terbuka, bukankah sering kita memperoleh sesuatu dari sumber tak terduga? Belum lagi jika hutang konsumsi tadi macet. Ditelpon dan dikejar debt collector, betul-betul akan memanipulasi rasa takut hingga debitur sering tidak berpikir jernih lagi.
Pembiayaan produktif layak Anda pertimbangkan. Ini tentu dengan pertimbangan matang setelah memahami “ilmu hutang”. Bentuk pembiayaan harus Anda pertimbangkan baik-baik. Dan ini akan sangat tergantung pada bentuk kebutuhan Anda. Misalnya apakah pembiayaan untuk menutupi cash-flow, atau untuk berinvestasi. Untuk menutup cash-flow, hutang supplier adalah yang terbaik, karena umumnya berbiaya rendah. Atau kita juga bisa memanfaatkan pinjaman revolving dari bank, secara hati-hati. Bagaimana dengan kartu kredit? Kartu kredit adalah pinjaman konsumen berbunga sangat tinggi. Ingat biasanya rate dicantumkan dalam hitungan per bulan, jadi rate per annum nya akan sangat tinggi. Besar kemungkinan profit margin Anda sesungguhnya tidak akan menutup beban bunga.
Untuk kebutuhan investasi sebaiknya Anda menggunakan hutang investasi yang berjangka panjang dan memiliki cicilan tetap. Memang di atas kertas ini akan memudahkan kita menghitung cash-flow. Namun tetap harus hati-hati karena seharusnya Anda memasukkan faktor resiko. Hutang investasi disusun dengan berbagai asumsi. Padahal semua pengusaha paham betul, siapa yang tahu apa yang akan terjadi 5 tahun lagi?
Poin terpenting dari “ilmu berhutang” adalah jangan sampai hutang mematikan kreativitas dan memanipulasi rasa takut Anda. Jadikan hutang sebagai alat bantu Anda, dan pastikan Anda tetap memegang kendali masa depan Anda. (FR)
3 comments:
Saya paling setuju dengan paragraf terakhirnya. Tapi.....gimana caranya ya...:-( Tetap aja susah buat memulai bang...... Salam buat Mbak Puspa...
hehehe .. thx mas arman, kalo kata orang2 pinter rumus nya selalu dimulai dr dalam diri sendiri (BE), baru lakukan sesuatu (DO), maka kita akan HAVE. Kurang lebih begitu.
Wah tepat sekali Bung Ikram. Berhutang memang tidak apa-apa. Asal hati-hati. Sebaiknya sesuai dengan kapasitas (kemampuan membayar) dan dilakukan untuk tujuan yang baik. Kalau Nabi mohon perlindungan dari hutang, kalau orang sekarang bangga berhutang ... Thanks.
Post a Comment