Monday, January 07, 2008

Tangan (Tetap) Di Atas

Jim Braddock adalah petinju yang sama sekali tidak diunggulkan. Lawan dalam pertarungan saat itu adalah Max Baer, juara dunia kelas berat yang demikian ganasnya sampai pernah menewaskan dua lawan sebelumnya. Sementara Jim bertinju sekedar untuk bertahan hidup, bahkan sering sekedar untuk dapat menyediakan makan malam bagi keluarganya. Amerika Serikat di awal tahun 30-an adalah masa "great depression" dengan puncaknya kejatuhan pasar saham tahun 1929. Dampaknya langsung dirasakan James Braddock dan keluarganya. Petinju yang sangat berbakat itupun harus lebih sering bekerja sebagai kuli di galangan kapal daripada berlatih tinju. Namun, melawan Max Baer yang diunggulkan 10 : 1, ternyata James mampu bertahan, bahkan kemudian memenangkan pertarungan 15 ronde yang sangat ketat dan brutal. James Braddock kemudian tercatat sebagai juara dunia tinju kelas berat dari tahun 1935 hingga 1937.

Dibalik keberhasilan Jim, adalah Joe Gould, manager dan sahabat Jim yang selalu memompakan semangat kedalam diri Jim. Padahal kehidupan Joe sendiri juga bukanlah tanpa persoalan. Meskipun tinggal di apartemen berkelas dan selalu tampil selayaknya manager sukses, Joe sebenarnya dalam kondisi nyaris bangkrut. Apartemen mewahnya, ternyata di dalamnya sudah kosong nyaris tanpa perabotan. Ada satu kalimat dari Joe Gould yang menjelaskan mengapa sekalipun dalam kondisi bangkrut, Joe, dengan pakaian yang selalu rapih, terus berusaha bernegosiasi memperoleh pertandingan yang baik untuk Jim. Kalimat yang sama, yang selalu diingatkannya kepada Jim, agar dapat bertahan dari gempuran pukulan lawan. Yaitu, "Always keep your hands up.". Jaga tanganmu tetap di atas!

Demikianlah kisah nyata perjalanan hidup James Braddock, yang diceritakan dalam film Cinderella Man yang dibintangi Russel Crowe.

Menjalankan bisnis bagi saya ada persamaanya dengan perjuangan petinju di atas ring. Butuh keberanian dan perjuangan untuk mendapat kesempatan bertanding di atas ring. Namun butuh perjuangan yang lebih besar lagi untuk dapat bertahan di atas ring. Butuh perjuangan untuk memulai usaha. Namun jangan lupa, akan perlu perjuangan yang lebih keras lagi untuk membuat usaha Anda bertahan.

Paling tidak demikianlah pengalaman saya. Pada masa awal memulai usaha, sama seperti kebanyakan pengusaha pemula, semangat saya begitu berkobar. Namun dalam beberapa bulan, ketika cash outflow selalu lebih besar dari cash inflow, dapat Anda bayangkan, usaha saya dengan cepat berubah menjadi petinju kurang tenaga yang hanya dapat berjalan seperti zombie. Pukulan-pukulan tajam dari kreditor yang datang menagih, mulai terasa sangat menyakitkan. Apalagi pukulan-pukulan balasan dalam bentuk usaha penjualan yang sekuat tenaga coba saya lontarkan dengan sisa tenaga, hanya mengenai tempat kosong, alias gagal total. Ibarat petinju, usaha saya sudah terpojok di sudut ring, dan yang bisa saya lakukan hanyalah menjaga "tangan tetap di atas", agar tidak terkena pukulan mematikan. Seperti kata Joe Gould, "Always keep your hands up."

Kalau dalam bisnis, konkretnya seperti apa "menjaga tangan tetap di atas" tadi. Tentu dapat berbeda-beda tergantung situasi yang Anda hadapi. Kalau dalam kasus saya dahulu, ada tiga hal yang saya lakukan untuk dapat bertahan di atas ring bisnis saya. Tiga prinsip yang saya sebut sebagai prinsip "Tangan Tetap di Atas".

Tidak pernah lari. Tidak pernah bersembunyi.

Ketika Anda memiliki kewajiban usaha, Anda pasti dicari-cari orang. Cara mudah yang paling sering ditempuh adalah "menghilang". Mulai dari tidak mengangkat telpon, berganti nomor telpon, tidak merespon surat, email, selalu tidak ada di rumah, hingga ekstrimnya pindah tempat tinggal. Apakah masalahnya kemudian selesai? Bisa ditebak, biasanya malah lebih parah, karena pihak lain yang semula masih mau bicara baik-baik, kini sudah kehilangan kesabaran. Lebih buruk lagi, dengan sulit dihubungi, tidak mau menerima telpon, atau bahkan menghilang, maka peluang-peluang pun ikut pergi. Ketika punya masalah, memang setiap kali telpon berdering, kadang membawa beban ketakutan. Namun, siapa tahu kalau yang menelpon adalah orang yang akan memberi order, bukan debt collector? Lagipula tidak ada alasan untuk lari, karena toh yang kita hadapi manusia juga, yang masih memiliki hati nurani dan rasa hormat kepada sesama manusia.

Sewaktu menghadapi masalah, memang selalu ada godaan untuk diam merenung di rumah. Kalau buat saya ini malah menambah stress. Untuk menghilangkannya saya memilih untuk selalu melakukan sesuatu pekerjaan setiap hari. Saya ingat, dulu setiap pagi saya membuat catatan apa yang akan saya lakukan hari ini, siapa yang akan saya telpon, siapa yang akan saya temui. Dan saya kadang kaget sendiri karena jadwal saya luar biasa padat. Begitu banyak orang yang saya temui, bahkan kadang sekedar meeting-meeting tidak penting. Paling tidak bertemu orang membuat saya tidak memikirkan "masalah" lagi, bahkan kemudian terbukti pertemuan-pertemuan tadi membawa peluang-peluang baru.

Lihat fakta, bukan opini.

Dalam masa sulit, maka biasanya penilaian kita akan dikaburkan oleh opini. Sewaktu upaya-upaya penjualan saya tidak membawa hasil, sementara kewajiban semakin menumpuk, yang mengemuka di pikiran saya adalah opini, bahwa saya nyaris bangkrut, bahwa bisnis saya sudah "habis", bahwa saya punya banyak hutang, dan sebagainya. Semuanya hanyalah opini. Yang segera masuk ke perasaan, dan terasa sangat berat. Padahal ketika saya mencoba mengurai fakta nya, maka situasinya lebih mudah dipahami dan dicari penyelesaiannya. Dan fakta dalam bisnis adalah angka-angka rupiah yang mudah dihitung. Saya kemudian mengesampingkan opini dan perasaan, dan masuk ke dalam detil angka. Berapa rupiah kewajiban saya, berapa rupiah piutang saya di luar, berapa rupiah saya bisa mendapat pinjaman pihak lain. Atas dasar analisa angka-angka tadi, saya dengan mudah dapat menawarkan solusi kepada kreditor untuk membayar kewajiban secara bertahap. Fakta berupa angka-angka tadi menjadi panduan yang sangat baik untuk segera keluar dari masalah.

Hanya memikirkan peluang.

Pada awalnya ini mungkin bentuk dari pelarian saja. Karena berpikir tentang peluang jauh lebih menyenangkan daripada memikirkan persoalan. Jadi saya lebih suka memikirkan peluang-peluang dibanding masalah yang waktu itu saya hadapi. Pada masa sulit, saya telah menyusun puluhan proposal dan melakukan puluhan presentasi, sekalipun tidak semua membawa hasil. Dan ajaibnya, memikirkan peluang dan selalu melakukan sesuatu setiap hari, ternyata menarik lebih banyak ide, peluang dan orang, yang kemudian sangat membantu dalam bisnis saya. Dan ketika peluang berhasil kami wujudkan dalam bisnis yang nyata, yang menghasilkan cash inflow, maka masalah selesai dengan sendirinya.

Demikian tiga prinsip sederhana yang dulu pernah membuat saya bertahan untuk tidak KO. Semoga mengilhami Anda untuk memiliki prinsip sendiri agar selalu dapat menjaga "Tangan Tetap di Atas", tidak peduli seberat apapun pukulan-pukulan yang Anda hadapi di atas ring bisnis Anda. (FR).

3 comments:

anugerah perdana said...

Pak Fauzi, dulu saat masih kuliah, saya pernah berbisnis masakan jepang di kantin kampus

Dan saya melanggar prinsip pertama

Di awal2, omset melejit. Mungkin karena faktor coba2 yg cukup tinggi di kalangan mahasiswa.

Namun tidak sampai dua bulan, omset menurun drastis hingga setengahnya. Dan ini membuat saya cukup shock.

Turunnya penjualan, ditambah lagi dengan faktor eksternal yaitu kampus libur panjang.

Saya melanggar prinsip pertama, saya lari walau tak bersembunyi.

Karena pasca liburan counter masakan jepang tersebut tidak pernah buka lagi hingga kini

NB : Pak Fauzi rumahnya di daerah mana ya, kalo boleh saya silaturahim kesana :) saya orang buahbatu

WURYANANO said...

Uraian 3 point utama yang bagus buat TDA, mas Fauzi.

Sukses selalu buat anda dan keluarga.

Salam,
Wuryanano

Fauzi Rachmanto said...

Kang Anugerah, saya tinggal di daerah jalah Dakota (deket bandara, pt. DI). Kalau mau ketemu di BIP juga boleh. Istri saya & Bu Eka (TDA Bandung) punya outlet di BIP.