Tuesday, May 27, 2008

Risalah Hati

Why set your heart on a piece of earth, simple one? Seek out the source which shines forever. -- Jalaluddin Rumi, Mathnawi II, 709.

Bayangkan sebuah ruang kamar. Di dalamnya ada sebuah lampu menempel di langit-langit. Lampu tadi ditutupi oleh tudung lampu yang terbuat dari kaca putih bening. Sudah terbayang? Kalau sudah kita lanjutkan. Lampu tadi menerangi seluruh isi kamar. Sangat terang. Seisi kamar pun terlihat jelas, berkat cahaya dari lampu, yang terpancar melewati tudung lampu yang bening.

Hingga kemudian ada debu kotor menempel di tudung kaca bening tadi. Debu tadi akan menghalangi cahaya. Jika dibiarkan, semakin banyak debu bertumpuk, semakin redup cahaya lampu. Hingga apabila tudung lampu tertutup penuh dengan debu hitam, pijaran cahaya akan tertutup. Cahaya pun tidak terlihat, dan kamar menjadi gelap.

Ah, mau membicarakan apa sih ini?

Sabar. Sabar. Saya sedang membuat analogi tentang hati. Bukan, bukan liver yang berwarna coklat kemerahan itu. Namun hati manusia yang tak berwujud, namun ada. Hati yang bisa membuat Anda mabuk kepayang, sekaligus bisa membuat Anda marah tujuh turunan. Hati yang membuat Anda ketakutan, namun hati yang sama bisa membuat Anda berani melawan segala rintangan. Hati yang dalam bahasa Arab disebut Qalbu.

Karena tidak berwujud makanya kita perlu model, perlu perumpamaan. Hati ibaratnya tudung lampu yang terbuat dari kaca putih bening di kamar yang saya ceritakan tadi. Ruang kamar tadi adalah Jiwa kita. Jiwa adalah aspek diri kita yang non-fisik. Anda pasti tahu, sebagai manusia kita memiliki aspek fisik dan aspek non-fisik. Aspek fisik adalah organ tubuh kita. Aspek non-fisik adalah jiwa kita. Tubuh fisik kita adalah kendaraan bagi jiwa kita. Hati dapat menerangi jiwa kita, sepanjang kita selalu menjaga hati kita tetap bersih.

Memangnya hati bisa kotor? Bisa, seperti halnya tudung lampu yang tertutup debu.

Di dalam jiwa (Nafs) kita ada komponen yang bernama pikiran (Aql) yang sesungguhnya netral. Pikiran adalah alat bantu kita dalam berinteraksi dengan dunia fisik. Berkat Pikiran kita dapat memahami dunia materi. Namun jika pikiran berpaling kepada dunia materi semata, kadang ia akan memandu kita ke arah yang salah. Pikiran akan mereferensikan setiap tindakan berdasarkan penguasaan atas materi. Yang berujung pada ketakutan akan kehilangan (fear). Ini adalah landasan dari sikap kikir, bakil, dengki, iri, sombong, dan sebagainya yang akan menciptakan debu kotor yang menempel pada kaca hati. Debu yang menumpuk akan menghalangi cahaya bagi jiwa kita.

Sebaliknya, pikiran juga bisa berpaling ke dalam. Pikiran yang berpaling ke dalam diri kita sendiri akan menemukan bahwa, dunia materi di "luar sana", sesungguhnya memiliki aspek-aspek yang sama dengan diri nya. Sama-sama ciptaan Tuhan, yang bahan baku nya sama. Karenanya pikiran akan sadar bahwa ia sudah memiliki segala yang ia cari. Tidak akan pernah merasa takut kekurangan. Tidak akan pernah merasa takut kehilangan. Tidak merasa lebih dari orang lain, dan tidak akan merasa di bawah orang lain. Inilah cinta (love) yang menjadi dasar dari sikap welas asih, ikhlas, syukur, dan sebagainya yang akan menghapuskan debu dari kaca hati. Bola kaca hati pun menjadi bening. Hati akan memancar terang, menerangi jiwa.

Tapi dari mana cahaya hati sesungguhnya berasal? Cahaya lampu itu tentu bukan berasal dari tudung kaca yang melingkupi lampu, namun berasal dari pijar lampu yang ada di dalam. Sumber cahaya itu adalah dari Ruh yang ditiupkan oleh Sang Pencipta sendiri ke dalam diri manusia. Cahaya yang berasal dari Sumber dari segala sumber. Bayangkan, betapa dahsyatnya apa yang ada dalam diri kita. Betapa terang sesungguhnya cahaya yang dapat kita pancarkan. Jika saja kita mengizinkan cahaya hati menerangi jiwa kita.

Namun sayangnya kita sering mengotori hati kita sendiri sehingga ruang jiwa kita demikian gelap, sehingga kita dapat dikelabuhi oleh cahaya semu dari dunia materi di luar sana. Ibarat penghuni gua, yang dalam gelap terpesona oleh bayangan dari luar pintu gua dan mengira bayangan tadi adalah realitas. Kita sering terjebak dalam ketakutan akan kekurangan. Sehingga terus mencari dan mencari, tanpa pernah merasa cukup. Atau terbuai dalam ilusi akan kenikmatan materi yang dikendalikan nafsu (syahwat), bukan cahaya dari hati.

Semangat jiwa yang berasal dari ketakutan atau syahwat, dapat datang dan pergi dengan mudah. Karena dipengaruhi oleh kondisi materi di luar sana. Namun jiwa yang diterangi oleh cahaya yang berasal dari hati, tidak akan terpengaruh oleh dunia luar. Dia akan terus terang, dan terang terus.

Maka, izinkanlah cahaya hati kita terpancar keluar, menerangi jiwa kita. Sehingga setiap tindakan adalah ekspresi dari terangnya cahaya agung yang berasal dari Ruh, yang telah ditiupkan sendiri oleh Sang Pencipta. Maka dengan demikian, sehat, bahagia dan makmur, akan kembali menjadi fitrah bagi kita semua. Amin. (Fauzi Rachmanto)

4 comments:

WURYANANO said...

Jagalah hati, jangan kau kotori...
Jagalah hati, cahaya Ilahi...

Selamat Menjaga Hati, Mas Fauzi.
Semoga semakin sukses lahir-batin.

Salam dari UKM Jatim.

Fauzi Rachmanto said...

Maturnuwun Mas Nano,

Berguru terus dari jauh ke Mas Nano. Sampai ketemu di Malang ya.

fade2blac said...

ada yang kurang pak, bagaimana tips agar kaca bohlamnya nggak kotor, alias, bagaimana agar kita tidak terpengaruh terhadap gambaran pantulan cahaya?

Apple UnOfficial Blogs Network said...

kata pak Agus Musthofa :
Hati = Ruh
Nyawa = Jiwa