Dulu ketika saya membeli rumah di daerah Bekasi untuk tempat tinggal keluarga kecil saya, pertanyaan yang saya ulang-ulang ke sales nya adalah: “Bebas banjir kan mas?“ Jawaban nya waktu itu sedikit konyol :“Kalau disini banjir, monas udah tenggelem pak ..“. Saya sedikit khawatir, karena waktu itu kami punya balita yang bakal ditinggal-tinggal seharian dengan hanya ditemani pembantu. Pada tahun 2002, hujan terus menerus mendera Jakarta. Ternyata betul, perumahan yang kami tinggali bebas banjir. Tetapi ... nah ada tapi nya, jalan akses menuju perumahan tadi terpotong oleh genangan banjir setinggi roda mobil. Istri saya bersama anak kami, sempat mengalami harus berlayar dengan mobil, bahkan karena mobil kami sedan, air pun dengan mudah masuk dalam kabin melalui celah pintu. Ajaib nya istri saya berhasil membawa mobil kami keluar dari banjir dengan selamat. Bahkan sempat menjemput saya dari kantor. Sebelum akhirnya si mobil menyerah karena dinamo nya terbakar.
Waktu itu, banyak keluarga dan teman kami yang mengalami kejadian yang jauh lebih mengenaskan. Ada yang rumahnya terendam hingga 2 meter, perabotan rusak, mobil terendam, hingga pengalaman evakuasi ditengah malam yang gelap gulita. Karena khawatir hal semacam itu akan berulang, kami pun pindah lagi ke Bandung.
Jujur saja, saya tidak sanggup jika harus hidup di lingkungan yang terus menerus kebanjiran. Anehnya, jutaan orang di Jakarta mau, sanggup, dan bersedia hidup dalam banjir. Jakarta banjir? Ah sudah biasa. Begitu jawaban yang sering kita dengar. Salah satu mantan sopir saya bercerita, kalau di tempat tinggal nya setiap musim hujan pasti banjir. Saya mendengar dengan sedikit risih cerita itu, “Kenapa tidak pindah?” Tanya saya. “Yah bagaimana lagi pak …”.
Sudah biasa. Memang beginilah Jakarta. Bagaimana lagi. Kalimat-kalimat ini mewakili pikiran-pikiran orang yang menyerah pada keadaan. Padahal kita semua mengakuai potensi kekuatan pikiran. Siapa yang dapat menyelamatkan Jakarta dari banjir kalau bukan warga Jakarta? Ketika sebagian besar warga Jakarta berpikiran bahwa banjir adalah tradisi, maka ya terjadilah banjir. Sebagai tradisi!
Padahal bebas banjir itu bisa. Kota-kota lain di dunia bisa, jadi Jakarta harus bisa. Janganlah kita mengutuk “siklus banjir 5 tahunan“, tapi bersyukurlah bahwa Tuhan masih memberi waktu 5 tahun untuk berbenah. Sudah berulang-ulang dihantam banjir. Dan apa yang telah Jakarta lakukan disaat banjir belum tiba? Warga nya tetap membuang sampah sembarangan, dan pemerintah nya menghambur-hamburkan uang untuk infrastruktur yang tidak mendesak. Padahal apa yang lebih penting dari membebaskan Jakarta dari banjir? Busway bisa ditunda, bikin gedung baru bisa ditunda, trotoar baru bisa ditunda. Tapi membebaskan Jakarta dari banjir harus sekarang.
Saya pernah mengantarkan kolega, seorang CEO perusahaan software dari UK yang baru pertama ke Jakarta. Kami menyusuri Sudirman – Thamrin menuju hotel tempat dia menginap. Waktu itu hujan deras turun. Tidak terjadi banjir, tapi genangan di jalan cukup banyak. Itupun sudah cukup membuat wajahnya tampak cemas. Tidak tahan, dia berkomentar: “They should check the drainage system …” Hampir saya nyletuk “What drainage system?” Bahkan seorang yang baru pertama ke Jakarta pun akan tahu bahwa sistem drainase di Jakarta tidak berfungsi. Dan anehnya kita tidak melakukan tindakan yang cukup untuk membereskan nya.
Jakarta (dan juga Indonesia) butuh pemimpin yang mampu memberi inspirasi bahwa kita bisa berubah kalau kita mau. Kalau sebagian besar warga Jakarta sudah yakin bahwa Jakarta bisa bebas banjir, maka pertanyaan berikutnya yaitu “bagaimana” akan lebih mudah dijawab. Orang-orang yang yakin bisa, akan lebih mudah mendapat jawaban. Ide-ide cara baru yang belum terpikirkan sebelumnya akan bermunculan. Dan insyaAllah, alam semesta mendukung.
Banjir kali ini, alhamdulillah saya sekeluarga kini tinggal di Bandung. Saya turut bersimpati dengan banjir di Jakarta. Semoga para korban banjir di Jakarta diberi ketabahan, dan semoga seluruh warga Jakarta pikiran nya tercerahkan, bahwa bebas banjir itu bisa.(FR)
1 comment:
Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan, semua ini telah kuperiksa, yakni bahwa orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apapun yang dihadapinya.
Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah.
Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.
Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.
Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap.
Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.
Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.
Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.
Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.
Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.
Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.
Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.
Post a Comment