Friday, January 26, 2007

Ilmu Berhutang

Berhutang. Kata ini sebelumnya tidak ada dalam kamus hidup saya sebelum saya mulai berbisnis. Maklum, saya lahir dan dibesarkan dari keluarga pegawai yang sangat konservatif. Bahkan, salah satu paman saya (almarhum) yang sangat sukses berbisnis, selalu menekankan tips bisnis beliau: “jangan pernah berhutang”. Beliau tidak mau dalam posisi berhutang kepada bank sekalipun. Dengan menjalankan prinsip tersebut, yang terjadi akhirnya banyak pihak yang malah dalam posisi berhutang pada beliau.

Sewaktu saya berkarir di perbankan, tentu saya tidak dapat menganjurkan tips paman saya tadi kepada debitur-debitur saya. Malah sebaliknya saya menganjurkan: “berhutang-lah untuk bisnis”, “jangan gunakan dana Anda sendiri, gunakan dana bank”, dsb. Namun, kehancuran sistem perbankan di Indonesia sekitar tahun 1997 – 2002, mau tidak mau membuat saya berpikir: Ada ada dengan berhutang? Mengapa efek negatifnya demikian destruktif. Mungkin banyak yang tidak sadar, bahwa biaya yang telah dikeluarkan untuk recovery sistem perbankan kita mencapai sekitar Rp.600 trilyun, melalui obligasi rekap, yang sampai sekarang ditanggung renteng orang se Indonesia melalui pajak yang kita bayar. Mau tidak mau akhirnya saya kembali merenungkan “ilmu berhutang” ini.

Misteri kertas ke-11

Untuk memahami asal muasal hutang, kita bisa belajar dari model “sistem hutang” sederhana yang terdiri dari 3 aktor dalam sebuah sistem tertutup. Mungkin sudah sering ditulis orang, saya coba menceritakan kembali dengan cara saya:
Bayangkan ada 3 orang yang tinggal di sebuah pulau terpencil, sebut namanya Andi, Budi dan Caca, atau kita singkat saja si A, B dan C. A adalah seorang pekerja yang berhasil menciptakan 10 keping emas. C adalah seorang petani yang bisa menyediakan aneka makanan, dan B adalah seorang “banker”. Singkat cerita, B berhasil meyakinkan A untuk menyimpan 10 keping emas nya pada B, supaya aman. Dan B memberikan bukti penyimpanan berupa 10 lembar kertas (inilah asal kata “bank notes”). Dengan demikian A tidak perlu membawa-bawa emas nya, cukup membawa kertas. A, B dan C sama-sama paham bahwa 10 kertas tadi setara dengan 10 keping emas. Suatu ketika, C meminjam 10 kertas tadi dari A. A bersedia, namun mensyaratkan “bunga” 10% pada saat pengembalian. Arti nya, C harus menyerahkan 11 kertas, pada saat jatuh tempo. Persoalan nya: Dari mana kertas yang ke-11? Bukankah hanya ada 10 kertas untuk 10 keping emas? Jadi, seberapa pun keras C berusaha, dia tidak akan pernah berhasil mengembalikan 11 kertas. Inilah cacat sistem hutang berbasis bunga.

Model diatas memang disimplifikasi. Namun prinsip yang sama berlaku pada sistem perbankan umum yang jauh lebih kompleks. Dalam sistem kompleks tentu cacat demikian akan tertutup oleh sistem. Tapi bisa Anda perhatikan sendiri, dalam setiap sistem perbankan selalu ada pihak yang tidak dapat mengembalikan hutang. Ini yang dari waktu ke waktu, pada akhirnya akan meledak seperti yang pernah terjadi dalam semua sistem ekonomi di muka bumi.

Hutang dan Manipulasi Rasa Takut

Jadi mengapa sistem hutang yang cacat tadi masih dipertahankan? Salah satu jawaban adalah power yang diperoleh pemberi hutang terhadap pengutang, dalam bentuk manipulasi rasa takut. Berhutang mau tidak mau akan menimbulkan rasa takut. Takut tidak mampu bayar, takut tidak memiliki cukup uang, dsb. Dan, rasa takut adalah akar dari segala kegagalan. Sementara pihak pemberi hutang akan menikmati dominasi atas pengutang. Ini berlaku tidak hanya bagi individu, namun juga perusahaan bahkan negara. Buku John Perkins “Confessions of an Economic Hit Man”, dengan jujur menceritakan bagaimana hutang luar negeri selama ini dijadikan senjata untuk mendominasi negara terbelakang.

Manipulasi rasa takut melalui hutang sering juga mematikan kreativitas pengusaha. Ambil contoh, apa yang umumnya akan dilakukan oleh debitur macet dari suatu bank? Meminta tambahan hutang! Karena rasa takut, kreativitas nya, sudah mati. Satu-satu nya jalan keluar yang terpikirkan adalah berhutang dan berhutang lagi.

Berhutang dengan Ilmu

Bukan berarti saya anti hutang. Saya hanya ingin memberi gambaran bahwa sistem hutang yang ada saat ini, by design, memiliki cacat yang membuat selalu akan ada pihak yang tidak dapat membayar hutang. Jadi pastikan Anda adalah bukan pihak tadi.

Berhati-hatilah terhadap hutang konsumsi. Hutang konsumsi sangat memanipulasi ketakutan. Dari awal offering nya saja sudah menekankan suatu pesan tersembunyi bahwa: “kita tidak punya cukup uang untuk memiliki yang kita inginkan”. Ketakutan demikian sangat berbahaya. Padahal dalam mencapai yang kita inginkan, uang bukanlah poin nya. Ketika kreativitas terbuka, bukankah sering kita memperoleh sesuatu dari sumber tak terduga? Belum lagi jika hutang konsumsi tadi macet. Ditelpon dan dikejar debt collector, betul-betul akan memanipulasi rasa takut hingga debitur sering tidak berpikir jernih lagi.

Pembiayaan produktif layak Anda pertimbangkan. Ini tentu dengan pertimbangan matang setelah memahami “ilmu hutang”. Bentuk pembiayaan harus Anda pertimbangkan baik-baik. Dan ini akan sangat tergantung pada bentuk kebutuhan Anda. Misalnya apakah pembiayaan untuk menutupi cash-flow, atau untuk berinvestasi. Untuk menutup cash-flow, hutang supplier adalah yang terbaik, karena umumnya berbiaya rendah. Atau kita juga bisa memanfaatkan pinjaman revolving dari bank, secara hati-hati. Bagaimana dengan kartu kredit? Kartu kredit adalah pinjaman konsumen berbunga sangat tinggi. Ingat biasanya rate dicantumkan dalam hitungan per bulan, jadi rate per annum nya akan sangat tinggi. Besar kemungkinan profit margin Anda sesungguhnya tidak akan menutup beban bunga.

Untuk kebutuhan investasi sebaiknya Anda menggunakan hutang investasi yang berjangka panjang dan memiliki cicilan tetap. Memang di atas kertas ini akan memudahkan kita menghitung cash-flow. Namun tetap harus hati-hati karena seharusnya Anda memasukkan faktor resiko. Hutang investasi disusun dengan berbagai asumsi. Padahal semua pengusaha paham betul, siapa yang tahu apa yang akan terjadi 5 tahun lagi?

Poin terpenting dari “ilmu berhutang” adalah jangan sampai hutang mematikan kreativitas dan memanipulasi rasa takut Anda. Jadikan hutang sebagai alat bantu Anda, dan pastikan Anda tetap memegang kendali masa depan Anda. (FR)

Monday, January 15, 2007

Bisnis IT Tidak Selalu Dari Garasi

Gelombang booming dot com sekitar kurun waktu 1995 - 2001 tak pelak membuat para pelaku bisnis IT waktu itu terpacu adrenalin nya. Bayangkan, hampir setiap hari kita mendengar cerita sukses dari anak-anak muda yang dengan mudah meraup jutaan dollar hanya bermodal kantor seadanya, bahkan, yang paling sering diekspos adalah: dari garasi rumah. Mulai meluasnya penggunaan internet pada waktu itu membuat hampir setiap pelaku IT berpikir bahwa revolusi telah tiba, dan semua hal bisa di “e-commerce” kan. Saya ingat waktu itu berbagai majalah bisnis memuat wajah-wajah muda dengan senyum mengembang, berhasil menjadi jutawan dollar baru karena dot com company nya berhasil listed di NASDAQ.

Saya dan teman-teman di Jakarta pada waktu itu juga sempat merasakan gairah yang sama. Apalagi perusahaan tempat saya bekerja waktu itu baru saja diakuisisi oleh sebuah perusahaan IT baru dari Australia, dipimpin seorang CEO nya yang masih sangat muda. Kami terkagum-kagum. Berkat kejelian sang CEO untuk masuk bursa saham Australia, perusahaan baru tadi dalam sejekejap sanggup memborong perusahaan-perusahaan IT di Asia Pasifik untuk memperluas jaringan nya. Saatnya anak muda!, saatnya ekonomi baru! itulah semangat yang kami rasakan waktu itu, seiring dengan reformasi politik yang waktu itu sedang berlangsung.

Ada teman saya yang demikian terinspirasi dengan gelombang dot-com di Amerika Serikat, hingga meniru mentah-mentah apa yang terjadi disana dengan merombak garasi rumah nya menjadi kantor! Untung istri nya setuju. Padahal rumah nya buesaar dan banyak ruangan di dalam. Sekelompok programmer tiap hari siang malam nongkrong di garasi tadi untuk membuat aplikasi-aplikasi berbasis web. Yah rada kringetan … karena garasi nya tanpa AC. Jujur saja saya waktu itu juga kepengen untuk melakukan hal yang sama, tapi sayang … rumah saya waktu itu tidak ada garasi nya.

Seperti kita ketahui bersama, gelombang dot com (pertama) di AS kemudian menjadi “dot com bubble” yang akhirnya meletup, saking banyaknya perusahan listed yang belakangan ambruk karena value nya tidak riil. Perusahaan IT Australia yang saya ceritakan di atas saham nya ambruk, CEO nya yang anak muda itu didepak.“Garage company” nya teman saya tadi juga tidak berlangsung lama.

Pelajaran pertama yang dapat saya petik dari kurang berhasil nya “bisnis dari garasi” tadi adalah, bahwa kita sering lupa akan esensi dari fenomena bisnis. Internet telah memfasilitasi kita untuk melakukan interaksi bisnis dengan mudah, cepat dan massal. Sehingga lokasi bekerja menjadi sangat fleksibel. Anda bisa bekerja dan berkolaborasi dengan rekan kerja kapan saja Anda mau. Dari mana saja Anda mau. Tapi bukan berarti harus dari garasi. Kalau Anda punya kamar ber AC atau di depan rumah Anda ada warnet berAC yang menyediakan Teh Botol dingin, ya tidak usah susah2 kepanasan bekerja di garasi. Point nya adalah fleksibilitas waktu dan tempat. Bukan garasi nya.

Garasi pada bisnis IT adalah “simbol”, bukan esensi. Banyak rekan-rekan saya terjebak dalam “simbol-simbol” bisnis, bukan esensi nya. Sehingga untuk mulai berbisnis IT mereka malah lebih pusing akan kantor nya (harus keren), peralatan nya (harus canggih), kendaraan nya (harus baru), sekretaris nya (harus cantik), dsb. Sampai lupa create sales!. Padahal dalam bisnis menggunakan internet, mereka bisa sangat minim bertatap muka. Sebagai contoh, untuk efisiensi, saya sering melakukan training atau webinar dengan memanfaatkan Webex ataupun LiveMeeting. Saya bisa tetap di rumah saya yang nyaman di Bandung, rekan-rekan saya di Jakarta dan Singapote, dan pengajar nya bisa dari US atau UK. Bersukurlah ada internet yang membebaskan Anda dari tempat kerja.

Kemudian, pelajaran yang kedua yang dapat saya ambil, bahwa sikap “me-too” rupanya sangat berbahaya. Dan ini sempat menjadi kecenderungan yang kuat di kalangan pengusaha Indonesia. Ingat booming perbankan Indonesia? Ketika ada pengusaha yang mendirikan bank, semua pengusaha besar waktu itu rame-rame mendirikan bank. Akhirnya gulung tikar nya pun rame-rame. Demikian pula waktu booming property. Kalau yang melakukan ini pengusaha generasi “tua” saya masih maklum. Tapi kalau anak-anak muda yang melakukan, saya sedikit heran. Ingat booming “kafe tenda”? Percayalah, iklim usaha yang “me-too” itu tidak sustainable. Demikian juga di bisnis IT.

“Me-too” boleh saja, tapi dengan semangat inovasi untuk menawarkan yang beda, dan lebih baik. Google membuat mesin pencari yang beda dan lebih baik dari yang lain. Membaca buku tentang kesuksesan Google, saya dapat merasakan semangat Larry Page dan Sergey Brin untuk menciptakan sesuatu yang baru. Memang mesin pencari, tapi dengan pemeringkat hasil, tidak seperti mesin pencari yang sudah-sudah. Dan mereka berhasil. Jadi kalau Anda akan memulai bisnis IT, entah dari garasi atau dari kamar kos-kos an, pertanyaan nya adalah, adakah sesuatu yang baru yang akan Anda tawarkan? (FR-Jan07).

Thursday, January 11, 2007

Tangan di Atas

Beberapa waktu lalu saya tidak sengaja nemu blog dan website Pak Roni Yuzirman (http://www.roniyuzirman.blogspot.com), pemilik Manet Vision dan pemrakarsa komunitas “Tangandiatas” (http://www.tangandiatas.com). Sebetulnya saya ingin mencari website Adi W. Gunawan, setelah membaca buku nya yang inspiratif. Karena kebetulan Pak Roni mengulas secara ringkas buku tersebut, Google pun mengarahkan saya ke blog Pak Roni. Membaca tulisan-tulisan disana, jujur saya sungguh terpesona. Pak Roni sungguh luar biasa. Wirausaha yang sukses membawa bisnisnya hingga masuk dalam 50 perusahaan terbaik majalah SWA. Komunitas “Tangandiatas” sendiri terdiri dari orang-orang dengan cita-cita luhur ingin dalam posisi “Tangan di Atas” (Pengusaha).

Saya jadi merenungkan jalan hidup saya sendiri. Alhamdulillah, kini saya termasuk “TDA”, meskipun belum sekaliber Pak Roni cs. Dulu nya saya juga “TDB” (karyawan). Namun hidup saya selama menjadi TDB memang “gak karuan”. Setelah lulus kuliah tahun 1994 gak sengaja keterima kerja di perbankan (gak nyambung dengan kuliah saya), persisnya di area corporate banking dan investment banking, kemudian gak puas pindah jadi analis di asset management company, gak puas lagi pindah jadi konsultan di salah satu software company asing. Dan waktu krismon, saya juga sempat singgah di BPPN. Kalau sekarang saya paham, sering pindah-pindah kerja ini rupanya salah satu sindrom “pengen jadi TDA”. Belakangan saya juga baru ngerti, kalau pengalaman-pengalaman saya sebagai TDB tadi sepertinya sudah diatur dari “sana” nya untuk memberi bekal buat saya menjadi TDA.

Dorongan kuat untuk TDA saya rasakan sewaktu bekerja di BPPN (2000 – 2002). Racun nya siapa lagi kalau bukan buku-buku nya Robert Kiyoshaki dan booming dot com diluar negeri. Karena saya mendalami bidang IT, khususnya solusi perbankan, saya sempat merancang beberapa software. Salah satu nya untuk manajemen reksadana yang saya beri nama “Spinoza”, meminjam nama filsuf yang pemikiran nya saat itu saya gandrungi. Nasib Spinoza gak jelas, karena konsep nya juga tidak matang. Saya sampai ngabur ke India untuk melihat bagaimana teman-teman saya disana membuat software yang bagus. Pulang dari India makin berkobar-kobar, “madhep-mantep” niat jualan solusi remote trading untuk transaksi saham. Software nya bikinan India. Teknologi nya waktu itu tergolong advanced. Sayang market nya belum siap. Investasi saya semua akhirnya jadi “ongkos belajar” saja. Padahal saking gak sabarnya jadi TDA saya sudah kadung hengkang dari BPPN, dengan mengabaikan iming-iming “golden shakehand” kalau mau nunggu BPPN dibubarkan pemerintah.

Kadung nyemplung di bidang IT, atas dorongan teman, saya bikin formal saja usaha saya, System Design Group Indonesia (SDGI). Prinsip saya, kalau orang lain bisa, masa saya gak bisa. Untung tidak hanya Mestakung (Alam Semesta Mendukung), tapi Orang Tua, Istri dan Mertua semua mendukung. Selama sepi order, saya jualan “skill” jadi Project Manager di proyek-proyek IT perusahaan lain, bikin studi kebutuhan IT, dsb. Yang semuanya saya mainkan one-man-show. Jadi dapur tetap ngebul. SDGI juga sempat nimbrung membuat solusi messaging dan telekomunikasi. Semua berakhir dengan keuntungan berupa “hasil riset”, dan investasi nya akhirnya menjadi “ongkos belajar”. Untuk tidak menyebut tiada hasil … hehehe …

Dengan prinsip “keep your hands up” seperti di film Cinderella Man itu, lama-lama orang mungkin berpikir, ini perusahaan kok bertahan terus ya, gak ada mati nya ya, ngotot ya, ngeyel ya, gak bubar2 ya … hehehe … Coba deh dikasih proyek … Mestakung pun mulai bekerja. Maka satu dua project lumayan besar mulai kami dapat. Kemudian atas jasa kawan yang ikut mendirikan SDGI, saya akhirnya berkenalan dengan beberapa principal dari US dan UK yang mempercayakan solusi nya kami jual di Indonesia. Ini membuat SDGI fokus dengan solusi yang kami berikan. Hingga hari ini. Network kami juga terus meluas ke beberapa pelaku IT di ASEAN dan Australia. Di bisnis IT yang super dinamis, saya terus belajar dari yang sudah maju. Mimpi saya sih nanti nya harus produk kita yang dijual keluar, bukan sebaliknya.

Setelah alhamdulillah SDGI berjalan dengan lumayan baik, saya jadi mulai berpikir untuk “naik kelas”, tidak lagi menjadi pengelola usaha (business manager) namun betul-betul menjadi business owner seperti cita-cita saya semula. Banyak pekerjaan yang sekarang saya lepaskan ke para konsultan kami yang pinter-pinter. Saya juga mulai berpikir untuk menciptakan “multiple streams of income”, tidak hanya dari satu bidang usaha saja. Disini saya kembali dari nol lagi. Belajar lagi. Selain itu, jika semula saya selalu berbisnis dengan rekan-rekan kerja, kali ini saya ingin berbisnis bersama-sama dengan anggota keluarga saya. Kebetulan keluarga saya, terutama Istri dan Ayah Mertua saya memiliki visi yang sama. Saat ini kami mencoba memulai usaha klinik kecantikan dan spa di Bandung. Namanya Leha-Leha. Ayah Mertua saya mem-franchise dari Bu Yati Utoyo & Pak Budi Utoyo. Dua figur luar biasa yang banyak memberi kami inspirasi sukses.

Saya sungguh bergairah dengan prospek usaha saya di masa mendatang. Selain bertekad untuk membantu keluarga saya membesarkan klinik kecantikan tadi (dan lumayan bisa treatment rutin untuk mengecilkan perut), saya juga tengah menyiapkan beberapa ide bisnis baru untuk dikembangkan bersama-sama Istri dan keluarga. Niat saya, sukses itu kalau bisa ya dicapai bersama-sama keluarga. Bukankah indah, sukses finansial dan selalu dekat dengan keluarga? Semoga perkenalan saya dengan para TDA yang telah lebih dahulu mengarungi samudra kesuksesan, bisa memberi saya inspirasi yang lebih seru lagi. (FR).